KELARUTAN
Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:
Teori Umum
Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan
jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan dinyatakan dalam satuan milliliter pelarut yang
dapat melarutkan suatu gram zat, Misalnya 1 g asam salisilat akan larut dalam 550 mL air. Kelarutan
dapat juga dinyatakan dalam satuan molalitas, molaritas, dan persen.
Data kelarutan suatu zat dalam air sangat penting untuk diketahui dalam pembuatan sediaan
farmasi. Sediaan farmasi cairan seperti sirup, eliksir, obat tetes mata, injeksi, dan lain-lain dibuat
dengan menggunakan pembawa air. Obat baru dapat diabsorpsi dari saluran cerna dalam keadaan
terlarut, oleh karena itu salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan
adalah dengan menaikkan kelarutan zat aktifnya di dalam air.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain adalah pH, suhu, jenis
pelarut, bentuk dan ukuran partikel zat, konstanta dielektrik bahan pelarut, adanya zat lain seperti
surfaktan, pembentuk kompleks, ion sejenis, dll.
Pengaruh pH
Zat aktif yang sering digunakan sebagai bahan aktif suatu obat biasanya adalah senyawa organic yang
bersifat asam atau basa lemah. Kelarutan senyawa semacam ini sangat dipengaruhi oleh pH
pelarutnya. Kelarutan asam-asam organic lemah seoerti barbiturate dan sulfonamide dalam air akan
bertambah dengan meningkatnya pH, karena terbentuk garam yang mudah larut dalam air. Basa-
basa organic lemah seperti alkaloid dan anestetik lokal pada umumnya sukar larut dalam air. Apabila
pH larutanditurunkan dengan penambahan asam kuat, maka akan terbentuk garam yang mudah
larut dalam air.
Hubungan antara pH dengan kelarutan asam dan basa lemah digambarkan melalui persamaan
berikut :
HApadat ↔ HAlar
HAlar + H20↔ H30+ + A-
Untuk asam lemah:
pHp = pKa + log
Pengaruh Suhu
Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada suhu, titik leleh zat padat dan panas
pelarutan molar zat tersebut. Pengaruh suhu terhadap kelarutan zat dalam larutan ideal diberikan
oleh persamaan berikut:
-log =
,
Tanda i menyatakan larutan ideal, sedangkan tanda 2 menyatakan zat terlarut. Pada suhu di atas titik
leleh, zat akan berada dalam keadaan cair sehingga dapat bercampur dengan pelarut dalam setiap
perbandingan. Oleh karena itu persamaan tersebut tidak berlaku apabila T lebih besar dari T0,
Pada larutan nonideal, aktivitas zat terlarut merupakan konsentrasi zat terlarut dikalikan dengan
koefisien aktivitas.
a2 = X2 ɣ2
a = aktivitas
x2 = konsentrasi obat dalam fraksi mol
ɣ2 = koefisien aktivitas
karena pada larutan ideal a2 = dan ɣ2 =1 maka untuk larutan nonideal akan diperoleh persamaan
berikut:
-log X2 = + log ɣ2
,
2ɣ
=
S = S¥. e α/r
Walaupun demikian pengaruh ukuran partikel terhadap kelarutan suatu obat tidak akan terlihat
dengan jelas kecuali bila ukuran partikel obat direduksi menjadi berukuran mkro. Pengurangan
ukuran partikel yang sangat ekstrim tersebut tidak dapat dicapai dnegan cara penggilingan ataupun
mikronisasi biasa. Untuk mencapai ukuran tersebut dapat digunakan metode pembuatan larutan
padat. Metode lain yang menghsilkan ukuran yang agak lebih besar adalah pembuatan disperse
padat.
Konfigurasi molekul dan bentuk susunan kristal juga berpengaruh terhadap kelarutan zat.
Karakteristis zat padat tertentu seperti bentuk hidrat dan anhidrat, amorf dan kristal juga
mempengaruhi kelarutan suatu zat.
Pengaruh konstanta dielektrik
Kelarutan suatu zat dipengaruhi polaritas dari pelarut. Pelarut polar memiliki konstanta dielekstrik
yang tinggi sehingga dapat melarutkan zat-zat yang bersifat polar sedangkan zat-zat nonpolar sukar
larut di dalamnya. Demikian pula sebaliknya at-zat polar sukar larut di dalam bahan pelarut
nonpolar.
Konstanta dielektrik adalah suatu besaran tanpa diemsni dan merupakan rasio antara kapasistas
elektrik medium (Cx) terhadap vakum (Cv) atau ε = Cx/Cv
Besarnya konstanta dielektik menurut Moore dapat diatur dengan menambahkan bahan pelarut lain.
Tetapan dielektrik suatu campuran bahan pelarut merupakan hasil penumlahan tetapan dielektrik
masing-masing sesudah dikalikan dengan % volume setiap komponen pelarut.
Adakalanya suatu zat lebih mudah larut dalam pelarut campuran dibandingkan dengan pelarut
tunggalnya. Fenomena ini dikenaldengan istilah co-solvency sedangkan bahan perlarut di dalam
pelarut campur yang mampu meningkatkan kelarutan zat aktif disebut co-solvent. Etanol, gliserin,
dan propilen glikol adalah contoh-contoh co-solvent yang umum digunakan dalam bidang farmasi,
khususnya dalam pembuatan sediaan eliksir.
Data konstanta dielektrik beberapa bahan pelarut
Prosedur Percobaan
A. Pengaruh Pelarut Campur Terhadap Kelarutan Zat
1. Buatlah 50 mL campuran bahan pelarut yang tertera pada table di bawah ini
Air (%v/v) Alkohol (%v/v) Propilen glikol (%v/v)
60 0 40
60 10 30
60 20 20
60 30 10
60 40 0
1. Buatlah 20 mL larutan Tween 80 dengan konsentrasi 1.0; 5.0; 10.0; 25; dan 50 mg/100
mL
2. Tambahkan 500 mg asam salisilat ke dalam masing-masing larutan
3. Kocok larutan dengan alat pengocok selama 2 jam. Jika ada endapan larut selama
pengocokan tambahkan lagi asam salisilat sampai diperoleh larutan yang jenuh
4. Saring dan tentukan kadar asam salisilat yang terlarut dalam masing-masing larutan
dengan cara titrasi seperti pada poin A.
5. Buatlah kurva antara kelarutan asam salisilat dengan konsentrasi tween 80 yang
digunakan
6. Tentukan konsentrasi misel kritik (KMK) Tween 80
C. Pengaruh ph terhadap Kelarutan Zat
Tujuan
Mengamati perbedaan suspensi terflokulasi dan terdeflokulasi
Mengamati stabilita fisik suspensi
Teori
Suspensi adalah sediaan cairan yang mengandung partikel tidak larut dalam bentuk halus yang
terdispersi ke dalam fase cair. Terdapat bermacam-macam suspensi yang dikenal dalam sediaan
farmasi, seperti suspensi oral, suspensi topical, suspensi tetes telinga, suspensi oftalmik, dan
suspensi injeksi.
Suspensi adalah sistem dispersi kasar di mana ukuran partikel dispersi > 0,1 mikrometer. Partikel-
partikel yang terdapat di dalam sistem suspensi tidak stabil secara termodinamika, karena memiliki
energi bebas permukaan yang tinggi dan memiliki kecenderungan untuk berkumpul kembali dengan
sesamanya membentuk ukuran partikel yang lebih besar untuk mengurangi energi bebas
permukaan. Fenomena berkumpulnya partikel-partikel dalam sistem suspensi ini disebut sebagai
flokulasi. Partikel yang bergabung akan membentuk gumpalan (agregat) longgar yang bergabung
satu dengan lainnya melalui ikatan Van der Waals yang lemah. Namun, agregat longgar yang
terbentuk dapat membentuk agregat padat yang saling terikat kuat yang disebut dengan caking.
Salah satu yang menjadi permasalahan dalam pembuatan suspensi adalah terbentuknya agregat
padat pada saat proses penyimpanan. Terbentuknya agregat padat akan mengurangi homogenitas
dispersi dan menurunkan stabilitas sediaan suspensi. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
stabilitas suspensi, adalah:
1. Ukuran Partikel
2. Kekentalan
3. Jumlah Partikel (konsentrasi)
4. Sifat atau Muatan Partikel
Terdapat dua jenis sistem suspensi yaitu:
1. Suspensi Terflokulasi
Ciri-ciri suspensi terflokulasi adalah:
a. Partikel-partikel membentuk agregat longgar
b. Kecepatan sedimentasi tinggi
c. Sedimen tersusun longgar
d. Sedimen mudah didispersi ulang
e. Suspensi tidak enak dilihat karena pengendapan yang cepat dan perbedaan antara area
supernatant dan endapan
2. Suspensi Terdeflokulasi
Ciri-ciri suspensi terdeflokulasi adalah:
a. Partikel dalam suspensi terdeflokulasi dalam keadaan memisah
b. Kecepatan pengendapan lambat
c. Sedimen akhir sangat padat
d. Tidak mudah didispersi ulang
e. Suspensi berpenampilan bagus
Untuk menentukan apakah suatu sediaan suspensi merupakan bagian dari sistem terdeflokulasi atau
terflokulasi, maka dilakukan pemeriksaan kecepatan pengendapan partikel terdispersi. Kecepatan
pengendapan suatu partikel dapat ditentukan dengan menggunakan Hukum Stokes, dimana:
( )
V=
Keterangan:
( )
V= K
Dalam percobaan sistem suspensi, parameter sedimentasi yang dapat diperiksa adalah volume
sedimentasi dan derajat flokulasi:
a) Volume Sedimentasi
Volume sedimentasi adalah perbandingan antara volume akhir dari endapan (Vu) terhadap
volume awal suspensi sebelum mengendap (V0). Volume sedimentasi hanya memberikan
data kualitatif sedimentasi yang terjadi dalam sistem suspensi.
F = Vu/V0
Volume sedimentasi dapat bernilai <1 hingga >1
F < 1 bila Vu < V0
F = 1 bila Vu = V0
F > 1 bila Vu > V0
Prosedur Percobaan
A. Pembuatan Suspensi Flokulasi
a) Timbang sulfamerazin masing-masing sebanyak 3,5 gram
b) Buat larutan stok AlCl3 0,003 M dalam labu 250 mL (timbang alumunium klorida
sebanyak 0,181 gram)
c) Buat pengenceran berseri sebagai berikut:
i. Pengenceran 1: pipet 8,33 mL larutan stok, encerkan dalam labu 50 mL
ii. Pengenceran 2: pipet 16,6 mL larutan stok, encerkan dalam labu 50 mL
iii. Pengenceran 3: pipet 33,3 mL larutan stok, encerkan dalam labu 50 mL
d) Buat suspensi sulfamerazin (50 mL) yang mengandung alumunium klorida di atas.
C. Pengamatan Sedimentasi
- Amati dan catat tinggi sedimentasi yang terjadi dalam interval waktu 0, 15, 30, 60, 90
menit, dan 24 jam
- Keluarkan suspensi dari dalam botol, lalu masukkan air sampai batas tinggi sedimentasi
yang telah dicatat sebelumnya pada setiap interval waktu, lalu tuang ke dalam gelas ukur
dan catat volumenya sebagai volume sedimentasi
Tujuan
Menentukan tegangan permukaan beberapa cairan
Teori
Definisi fenomena permukaan dan antarmuka
1. Tegangan muka dapat didefinisikan sebagai gaya yang terjadi pada permukaan suatu
cairan yang menghalangi ekspansi cairan tersebut. Hal ini disebabkan oleh gaya-gaya
tarik yang tidak seimbang pada antarmuka (inter faces) cairan gaya ini bisa segera
diketahui pada kenaikan cairan biasa dalam kapiler dan bentuk spheris suatu tetesan
kecil cairan.
2. Tegangan antarmuka (interfasial) adalah tegangan yang diukur pada bidang batas dua
cairan yang saling tidak bercampur.Tegangan antarmuka ini penting dalamaspek praktis
dan teoritis pada masalah-masalah emulsi.
Tegangan muka mempunyai dimensi gaya per unit panjang permukaan (dyne/cm) atau
tenaga per unit permukaan kuadrat (erg/cm2) ini dapat dihitung dengan mengetahui secara
pasti gaya yang sama dan berlawanan. Metode pengukuran tegangan muka terdapat dalam
setiap teks standar Kimia Fisika.
Catatan
Sudut yang dibuat cairan dengan kapiler pada pada permukaannya dapat memodifisir
persamaan tersebut,tetapi secara umum untuk cairan efeknya sedemikian hingga faktor ini
dapat diabaikan. mengukur jari-jari kapiler merupakan tugas yang sukar dilakukan, namun
demikian ada kemungkinan untuk membandingkan kenaikan kapiler cairan yang belum
diketahui tegangan mukanya, kemudian ratio berikut ini dapat digunakan untuk
perhitungannya.
( ) / . . . .
= =
( ) / . . . .
Jadi dengan mengetahui kerapatan cairan-cairan dan tingginya kenaikan dalam cairan
kapiler yang sama tegangan muka cairan yang belum diketahui dapat ditentukan.
Alat
Pipa kapiler
Alat-alat gelas
Bahan
Air
Natrium lauril sulfat
Parafin cair
Prosedur Percobaan
Tentukan tegangan muka zat-zat berikut dengan metode kenaikan kapiler
1. Air
2. Larutan Natrium lauril sulfat 0,01; 0,05; dan 0,1%
3. Parafin cair
LarutanNatrium
lauril sulfat
0,01%,0,05%,0,1%
Parafin cair
Tujuan
Mempelajari cara penentuan viskositas larutan Newton dengan viskosimeter Ostwald
Mempelajari pengaruh kadar larutan terhadap viskositas larutan
Teori
Satuan cgs viskositas adalah poise, gaya gesek yang diperlukan untuk menghasilkan
kecepatan 1 cm/det antara dua bidang paralel dari zat cair yang luasnya 1 cm2 dan
dipisahkan oleh jarak 1 cm.
= dyne.det.cm-2
Zat cair akan mengalir jika kepadanya dikenakan suatu pengadukan atau tekanan (stress)
yang dalam satuan cgs dapat dinyatakan dengan dyne/cm2 .Yang penting pada pengukuran
ini gaya yang diberikan harus diatur sedemikian rupa sehingga aliran yang terjadi bersifat
laminer bukan turbulen.
Zat cair seandainya tekanan dari gaya tersebut dinyatakan dengan shearing stress atau
tekanan gesek = F/A dan kecepatan gesek atau shearing rate = dv/dx, untuk zat cair yang
memiliki sifat alir Newton, hubungan tersebut dapat dinyatakan dengan:
Jika hubungan ini dinyatakan dengan suatu grafik dapat dilihat pada gambar
dv/dx
iii
ii
Pada Gambar 10.1 dapat diketahui bahwa makin besar angka arahnya (slope)nya makin
rendah viskositas cairan. Zat cair tunggal serta larutan yang ukuran molekulnya kecil
misalnya sirup, memiliki tipe alir Newton. Adapun hubungan antara kadar zat terlarut
dengan viskositas larutannya, dapat dinyatakan dengan persamaan Arrhenius.
η = ηo ckc...............(2)
dimana : η = berturut-turut adalah viskositas larutan dan
ηo = viskositas pelarut
k = suatu tetapan
c = kadar larutan
.
log η = log ηo + ...............(3)
,
Jika persamaan (3) digambarkan dalam suatu grafik dapat dilihat pada Gambar 10.2.
log η
K / 2,303
log ηo
Gambar 10.2. Hubungan antara log η larutan dengan kadar larutannya
Faktor lain yang dapat mempengaruhi viskositas adalah suhu. Hubungan ini dapat pula
dinyatakan dengan persamaan Arrhenius:
η = AcE/RT
Pengukuran Viskositas
Untuk menentukan viskositas cairan Newton dapat digunakan semua alat pengukur
viskositas, misalnya viskositas Ostwald, viskositas Hoople, viskositas Brookfield, viskositas
Stormerr. Untuk percobaan ini alat yang digunakan adalah viskosimeter Ostwald. Dasar
yang digunakan untuk penentuaan viskositas ini adalah Hukum Poiseulie tentamg zat cair
yang mengalir melalui pipa kapiler dengan persamaan:
π. .
=
8. . η
π. .
η=
8. . V
Dimana r = jari-jari kapiler
l = panjang pipa kapiler
v = volume zat cair
p = tekanan yang bekerja pada zat cair
t = waktu yang diperlukan untuk mengamati volume v zat cair melalui pipa
panjang l
Karena sukar untuk membuat pengukuran yang teliti (accurate) dari jenis alat tersebut
biasanya diukur/dikaliberasi dengan suatu cairan yang telah diketahui viskositasnya.
Karena digunakan tube yang sama untuk mengukur kedua- duanya maka:
η I, t
=
η- P- t
dimana, u tidak diketahui (unknown), k diketahui (know) dan karena tekanan yang menekan
cairan melalui tube sesuai dengan kenaikan gravitasi dan berbanding lurus dengan
kerapatan cairan maka,
η d, t ,
=
η- d1 t 1
d, t ,
η = η-
d1 t 1
Alat
Viscosimeter ostwald
Alat-alat gelas
Bahan
Air
Alkohol
Gula
Prosedur Percobaan
Tentukan viskositas cairan-cairan berikut dengan viskosimeter Ostwald
1. Air
2. Alkohol
3. Larutan gula 20%, 40%,60 dan X%
4. Hitung secara teoritis viskositas larutan gula 45%
Tujuan
Menentukan sifat dan faktor-faktor yang mempengaruhi koloid.
Teori
Koloid biasanya dibagi menjadi dua golongan besar, berdasarkan pada apakah ada
disolvatasi oleh medium dispersi atau tidak, atau apakah dia tidak berinteraksi secara nyata
dengan medium, yaitu:
1. Koloid liofilik, disolvatasikan oleh solven/pelarut atau sering dinamakan koloid yang
suka pelarut.
2. Koloid liofobik, kebalikan dari koloid liofilik yaitu mempunyai afinitas kecil untuk
pelarut dan sering dinamakan koloid pembenci pelarut.
Jika yang digunakan sebagai solven air maka digunakan istilah hidrofilik dan hidrofobik.
Kedua tipe koloid tersebut sama-sama menunjukkan tipe sifat fisika yang sama, tapi dapat
berbeda cukup jauh dalam perkembangannya setiap sifat spesifiknya. Dispersi koloidal
yang dibuat dengan salah satu dari dua metode umum, yaitu metode kondensasi dan
metode dispersi.
Metode dispersi menggunakan teknik pengecilan ukuran partikel dari partikel berdimensi
koloidal. Untuk ini dapat digunakan disintegrator mekanik seperti “colloid”. Seringkali
solven yang dicampur dengan zat dapat menyebabkan partikel non koloidal menjadi
koloidal. Metode disperse tipe ini khusus dinamakan peptisasi. Beberapa logam dapat
didispersi sebagai koloid oleh arus listrik di dalam tabung elektrolitik (electrolytic cell)
Semua disperse koloidal menunjukkan suatu sifat optik yang dikenal sebagai efek tyndall.
Jika seberkas cahaya diarahkan pada suatu disperse koloidal maka cahaya tersebut akan
dipancarkan dan suatu berkas sinar atau kerucut sinar akan terlihat karena banyak disperse
Kenaikan kadar dari koloid-koloid semacam itu tidak mempengaruhi viskositas dari
disperse karena mereka berinteraksi dengan molekul-molekul solven/pelarut. Sifat-sifat
stabilitas sistem liofilik dan liofobik juga berbeda. Semua disperse koloid mempunyai
muatan listrik. Jika suatu zat atau ion dengan muatan sebaliknya dikembalikan dalam suatu
disperse koloid, muatan dalam koloid dapat dihilangkan atau dinetralkan dan koloid akan
mengendap.
Suatu hidrofobik biasanya lebih jelas dipengaruhi oleh elektrolit sedangkan sistem
hidrofilik disolvatasi dan suatu cincin pelindung mengelilingi koloid hingga membuatnya
menjadi kurang peka terhadap ion-ion yang bermuatan yang berasal dari elektrolit. Salah
satu cara untuk menambah stabilitas koloid hidrofobik ialah penambahan suatu koloid
hidrofilik pada sistem tersebut. Dalam hal ini koloid hidrofilik dinamakan koloid pelindung.
Sistem hidrofilik akan menjadi kurang stabil pada penambahan solven yang polaritasnya
lebih kecil daripada air karena solven-solven tersebut akan bersaing dengan molekul air
dan mendehidrasi koloid.
Alat
Viscosimeter
Alat-alat gelas
Bahan
Mucilago gumma arabici
Argentum proteinatum
FeCl2
Alginat
Prosedur Percobaan
A. Pembuatan Larutan Koloidal
1. Buatlah Mucilago Gumma Arabici 35-40% sebanyak 50 ml
STABILITA
Tujuan Percobaan
Teori Umum
Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat formulasi suatu
sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah besar
dan memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke tngan pasien yang membutuhkan. Obat yang
disimpan dalam jangka waktu lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan dosis yang
diterima pasien berkurang. Adakalanya hasil urai tersebut bersifat toksis sehingga dapat
membahayakan jiwa pasien. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kestabilan suatu zat sehingga dapat dipilih kondisi pembuatan sediaan yang tepat sehingga
kestabilan obat terjaga.
Faktor-faktor yan dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain, panas, cahaya, kelembaban,
oksigen, pH, mikroorganisme, dan bahan-bahan tambahan yang dipergunakan dalam formula
sediaan obat. Sebagai contoh, senyawa-senyawa ester dan amida seperti amil nitrat dan
kloramfenikol merupakan zat yang mudah terhidrolisis dengan adanya lembab sedangkan vitamin C
sangat mudah sekali mengalami oksidasi.
Pada umumnya penentuan kestabilan suatu zat dapat dilakukan melalui perhitungan kinetika kimia.
Cara ini tidak memerlukan waktu lama sehingga cukup praktis digunakan dalam bidang farmasi. Hal-
hal yang penting diperhatikan dalam penentuan kestabilan suatu zat secara kinetika kimia adalah:
Kecepatan reaksi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi
Tingkat reaksi dan cara penentuan
Kecepatan reaksi adalah besarnya perubahan konsentrasi zat pereaksi dan hasil reaksi per satuan
waktu. Menurut Hukum Aksi Massa, kecepatan reaksi sebanding dengan hasil kali konsentrasi molar
reaktan yang masing-masingnya dipangkatkan dengan jumlah molekul senyawa yang terlibat di
dalam reaksi.
aA + bB cC + dD
( ) ( ) ( ) ( )
v= - =- =+ =+
v = k (A)a (B)b
k = konstanta reaksi
Tingkat Reaksi
Tingkat reaksi adalah banyaknya faktor konsentrasi yang turut berperan dalam menentukan
kecepaan reaksi. Misalnya untuk reaksi:
aA + bB cC + …
maka tingkat reaksi untuk A adalah a, untuk B adalah b, dan tingkat reaksi total adalah a+b
- = k. C0 (C = konsentrasi)
-dC = k dt
Jika diintegrasikan, maka dihasilkan
Ct-C0 = -k. t
k = (C0 – Ct) t-1
Ct = konsentrasi pada waktu t
C0 = konsentrasi awal
Jika Ct = ½ C0
Maka k = ½ C0. t-1, sehingga
t1/2 = ½ C0. k-1
satuan k adalah mol. L-1.detik-1, jika waktu (detik), dan konsentrasi (mol. L-1)
t1/2 adalah waktu paruh, yaitu waktu yang dibutuhkan suatu zat untuk terurai menjadi
setengah dari konsentrasi semula.
- = k. C
-dC = k dt
Waktu paruh :
, ,
T1/2 = =
- = k. (A) (B)
Atau
K=
Jika dilakukan dua percobaan dengan konsentrasi yang berbeda, maka t1/2 dapat
dibandingkan sebagai berikut:
( / ) ( )
( / )
= = n-1
( )
( / )
Log = (n-1) log
( )
n= /
+1
Jika salah satu reaktan merupakan molekul netral maka ZAZB = 0. Pada saat ini
kecepatan reaksi tidak dipengaruhi kekuatan ion.
3. Pengaruh pH
Reaksi penguraian beberapa larutan obat dapat dipercepat oleh penambahan asam
(H+) atau basa (OH-). Katalisator semacam ini disebut katalisator asam-basa khusus.
Percobaan
EMULSIFIKASI
Tujuan Percobaan
Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam pembuatan emulsi
Membuat emulsi dengan menggunkan emulgator golongan surfaktan
Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi
Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi
Teori Umum
Emulsi adalah suatu sistem disperse yang secara termodinamik tidak stabil, terdiri dari paling sedikit
dua cairan yang tidak bercampur dan satu di antaranya terdispersi sebagai globul-globul dalam
cairan lainnya. Sistem ini umumnya distabilkan dengan emulgator. Dalam bidang farmasi, emulsi
umumnya terdiri dari fase minyak dan fase air.
Emulsi minyak dalam air, yaitu bila fase minyak terdispersi di dalam fase air
Emulsi air dalam minyak, yaitu bila fase air terdispersi di dalam fase minyak
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor penting untuk diperhatikan
karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak dipengaruhi emulgator yang digunakan. Salah satu
emulgator yang banyak digunakan adalah surfaktan. Mekanisme kerja emulgator semacam ini
berdasar atas kemampuannya menurunkan tegangan permukaan air dan minyak serta membentuk
lapisan monoolekular pada permukaan globul terdispersi.
Secara struktur, molekul surfaktan terdiri atas gugus polar dan nonpolar. apabila surfaktan
dimasukkan ke dalam sistem yang terdiri dari air dan minyak, maka gugus polar akan mengarah ke
fase air sedangkan gugus nonpolar ke arah fase minyak. Surfaktan yang didominasi gugus polar akan
cenderung membentuk emulsi minyak dalam air.
Sebaliknya jika molekul surfaktan lebih didominasi gugus nonpolar akan cenderung menghasilkan
emulsi air dalam minyak. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan tentang kekuatan gugus polar dan
nonpolar suatu surfaktan. Metode yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi surfaktan sebagai
emulgator adalah metode HLB. Semakin tinggi nilai HLB suatu surfaktan, sifat kepolarannya akan
meningkat.
Dalam pembuatan emulsi diperlukan komponen minyak. Oleh karena itu, perlu diketahui HLB Butuh
Minyak. HLB Butuh suatu minyak pada umumnya bernilai tetap untuk suatu emulsi tertentu, dan
nilainya ditentukan berdasarkan percobaan. Nilai HLB Butuh Minyak setara dengan nilai HLB
surfaktan atau campuran surfaktan yang dgunakan untuk mengemulsikan minyak dengan air
sehingga membentuk suatu emulsi yang stabil.
Sebagai contoh:
Emulgator 5%
Air ad 100%
Secara teoritis emulgator dengan HLB 12 merupakan emulgator yang paling cocok untuk pembuatan
emulsi dengan formula di atas. Namun pada kenyataannya jarang sekali ditemukan surfaktan dengan
HLB yang nilainya persis sama dengan nilai HLB butuh fase minyak. Oleh karena itu, penggunaan
kombinasi surfaktan dengan nilai HLB rendah dan tinggi akan memberikan hasil yang lebih baik. Hal
ini disebabkan karena dengan menggunakan kombinasi emulgator aan diperoleh nilai HLB
mendekati nilai HLB butuh minyak. Misalnya, pada emulsi tersebut di atas menggunakan kombinasi
Tween 80 (HLB 15) dan Span 80 (HLB 4.3), diperlukan perhitungan jumlah masing-masing
emulgator. Jumlah tersebut dapat dihitung melalui cara berikut:
15 a + 21,5 – 4,3 a = 60
10,7 a = 38,5
A = 3,6
Emulsi yang secara termodinamika tidak stabil umumnya disebabkan oleh tingginya energi bebas
permukaan. Hal ini terjadi karena pada proses pembuatannya luas permukaan salah satu fase akan
bertambah berlimpat ganda sedangkan seluruh sistem umumnya cenderung kembali kepada
posisinya yang paling stabil, yaitu pada saat energi bebasnya paling rendah. Oleh karena itu, globul-
globul akan bergabung sampai akhirnya ssitem memisah kembali. Berdasarkan fenomena semacam
itu, dikenal beberpa peristiwa ketidakstabilan emulsi, yaitu:
A. Minggu ke-1: penentuan HLB butuh minyak dengan jarak HLB lebar
B. Minggu ke-2 : penentuanHLB butuh minyak dengan jarak yang lebih sempit
Buatlah satu seri emulsi dengan nilai HLB butuh masing-masing 5,7,9,11, dan 13
Prosedur kerja :
a. Hitung jumlah Tween dan Span yang diperlukan untuk setiap nilai HLB butuh
b. Timbang masing-masing minyak, air, tween, dan span sejumlah yang dibutuhkan
c. Campurkan minyak dengan Span, campurkan air dengan Tween, panaskan keduanya di
atas tangas air bersuhu 60 C
d. Tambahkan campuran minyak ke dalam campuran air dan segera diaduk
e. Masukkan emulsi ke dalam tabung sedimentasi dan beri tanda sesuai dengan nilai HLB
masing-masing
f. Tinggi emulsi dalam tabung diusahakan sama dan catat waktu mulai memasukkan emulsi
dalam tabung
g. Amati jenis ketidakstabilan emulsi yang terjadi selama 6 hari. Bila terjadi creaming, ukur
tinggi emulsi yang membentuk cream
h. Tentukan pada nilai HLB berapa emulsi tampak relative paling stabil
KECEPATAN DISOLUSI
Tujuan percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:
Teori Umum
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut
tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang umum menggambarkan proses disolusi zat padat telah
dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut :
= (Cs-C)
dM/dt : kecepatan disolusi
D : koefisien difusi
S : luas permukaan zat
Cs : kelarutan zat padat
C : konsentrasi zat dalam larutan pada waktu t
H : tebal lapisan difusi
Dalam teori disolusi atau perpindahan masa, diasumsikan bahwa selama proses disolusi berlangsung pada
permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan
ketebalan h, seperti tampak pada gambar berikut:
Lapisan
Zat padat Difusi Air
Cs Larutan
x=0
Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada kelarutan zat tersevyt (Cs)
sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan disolusi
dapat disederhanakan menjadi:
. .
=
Dari persamaan tersebut di atas tampak beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi
suatu zat yaitu:
1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) zat yang bersifat endotermik serta
memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui
persamaan berikut:
.
D=
.
D : koefisien difusi
k : konstantan Boltzman
r : jari-jari molekul
η : viskositas pelarut
T : suhu
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan
persamaan Einstein. Meningkatnya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan
disolusi.
3. pH pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat=zat yang bersifat asam atau basa lemah.
= K. S. Cs. (1 + [ ]
)
Jika [H+] kecil atau pH tinggi maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi
zat juga meningkat.
[ ]
= K. S. Cs. (1 + )
Jika [H+] besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi
zat juga meningkat.
4. Pengadukan
Kecepatan pengadukanakan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan berlangsung
cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang sehingga kecepatan disolusi meningkat.
5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil, maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga kecepatan
disolusi meningkat.
6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang berlainan
dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal metastabil umumnya lebih mudah
larut daripada bentuk stabilnya sehingga kecepatan disolusinya besar.
1. Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengaturan ekssak terhadap luas permukaan
partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan
cara yang sesuai.
2. Metode Permukaan Konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable perbedaan luas
permukaan efektif dapt diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih daulu kemudian
ditentukan seperti pada metode suspensi.
Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan menggunakan alat uji disolusi tipe
dayung (alat tipe 2) seperti yang tercantum dalam USP. Untuk metode permukaan tetap dapat
digunakan alat seperti yang diusulkan oleh Simonelli dkk sebagai berikut:
Alat Uji Kecepatan Disolusi Permukaan Tetap Alat Uji Kecepatan Disolusi USP
Selain faktor-faktor yang telah diuraikan di atas, kecepatan disolusi suatu zat aktif dari sediaannya
dipengaruhi pula oleh faktor formulasi dan teknik pembuatan sediaan. Dalam bidang farmasi,
penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan disolusi merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi absorbs obat di samping membantu memprediksi kecepatan absorbs
obat di dalam tubuh. Penentuan kecepatan disolusi suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa
tahap pembuatan suatu sediaan obat, antara lain:
1. Tahap Praformulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan terhadap bahan baku obat dengan tujuan
untuk memilih sumber bahan baku dan memperoleh informasi tentang bahan baku tersebut.
2. Tahap Formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan untuk memilih formula sediaan yang
terbaik.
3. Tahap Produksi
Pada tahap ini kecepatan disolusi dilakukan untuk mengendalikan kualitas sediaan obat yang
diproduksi.
Percobaan
Pada percobaan penentuan kecepatan disolusi digunakan metode suspensi.