Anda di halaman 1dari 39

PERCOBAAN I

KELARUTAN

Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:

 Menentukan kelarutan suatu zat secara kuantitatif


 Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat
 Menjelaskan usaha-usaha yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan zat aktif dalam
air untuk pembuatan sediaan cair

Teori Umum
Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan
jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan dinyatakan dalam satuan milliliter pelarut yang
dapat melarutkan suatu gram zat, Misalnya 1 g asam salisilat akan larut dalam 550 mL air. Kelarutan
dapat juga dinyatakan dalam satuan molalitas, molaritas, dan persen.
Data kelarutan suatu zat dalam air sangat penting untuk diketahui dalam pembuatan sediaan
farmasi. Sediaan farmasi cairan seperti sirup, eliksir, obat tetes mata, injeksi, dan lain-lain dibuat
dengan menggunakan pembawa air. Obat baru dapat diabsorpsi dari saluran cerna dalam keadaan
terlarut, oleh karena itu salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan
adalah dengan menaikkan kelarutan zat aktifnya di dalam air.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain adalah pH, suhu, jenis
pelarut, bentuk dan ukuran partikel zat, konstanta dielektrik bahan pelarut, adanya zat lain seperti
surfaktan, pembentuk kompleks, ion sejenis, dll.
 Pengaruh pH
Zat aktif yang sering digunakan sebagai bahan aktif suatu obat biasanya adalah senyawa organic yang
bersifat asam atau basa lemah. Kelarutan senyawa semacam ini sangat dipengaruhi oleh pH
pelarutnya. Kelarutan asam-asam organic lemah seoerti barbiturate dan sulfonamide dalam air akan
bertambah dengan meningkatnya pH, karena terbentuk garam yang mudah larut dalam air. Basa-
basa organic lemah seperti alkaloid dan anestetik lokal pada umumnya sukar larut dalam air. Apabila
pH larutanditurunkan dengan penambahan asam kuat, maka akan terbentuk garam yang mudah
larut dalam air.
Hubungan antara pH dengan kelarutan asam dan basa lemah digambarkan melalui persamaan
berikut :

HApadat ↔ HAlar
HAlar + H20↔ H30+ + A-
Untuk asam lemah:
pHp = pKa + log

untuk basa lemah:

pHp = pKw- pKb + log

 Pengaruh Suhu
Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada suhu, titik leleh zat padat dan panas
pelarutan molar zat tersebut. Pengaruh suhu terhadap kelarutan zat dalam larutan ideal diberikan
oleh persamaan berikut:

-log =
,

: kelarutan ideal zat dalam fraksi mol


T : suhu mutlak larutan
T0 : titik leleh zat dalam suhu mutlak
Hf : panas pelarutan molar

Tanda i menyatakan larutan ideal, sedangkan tanda 2 menyatakan zat terlarut. Pada suhu di atas titik
leleh, zat akan berada dalam keadaan cair sehingga dapat bercampur dengan pelarut dalam setiap
perbandingan. Oleh karena itu persamaan tersebut tidak berlaku apabila T lebih besar dari T0,
Pada larutan nonideal, aktivitas zat terlarut merupakan konsentrasi zat terlarut dikalikan dengan
koefisien aktivitas.

a2 = X2 ɣ2
a = aktivitas
x2 = konsentrasi obat dalam fraksi mol
ɣ2 = koefisien aktivitas

karena pada larutan ideal a2 = dan ɣ2 =1 maka untuk larutan nonideal akan diperoleh persamaan
berikut:

-log X2 = + log ɣ2
,

 Pengaruh Jenis Pelarut


Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar akan melarutkan zat-zat
polar dan ionic, begitu pula sebaliknya. Kelarutan zat juga tergantung pada struktur zat seperti
perbandignan gugus polar dan nonpolar dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus nonpolar
suatu zat, semakin sukar zat tersebut larut dalam air.
Pelarut polar bertindak sebagai pelarut dengan mekanisme sebagai berikut:

 Mengurangi gaya tarik antara ion yang berlawanan dalam kristal


 Memecah ikatan kovalen elektrolit-elektrolit kuat, karena pelarut ini bersifat amfiprotik
 Membentuk ikatan hydrogen dengan zat terlarut
Pelarut nonpolar tidak dapat mengurangi gaya tarik menarik antara ion-ion karena konstanta
dielektriknya rendah. Pelarut nonpolar juga tidak dapat memutuskan ikatan kovalen dan tidak dapat
membentuk jembatan hydrogen. Pelarut semacam ini melarutkan zat-zat nonpolar dengan tekanan
internal yang sama melalui induksi antaraksi dipol.
Pelarut semipolar dapat menginduksi tingkat kepolaran molekul-molekul pelarut nonpolar. Ia
bertindak sebagai perantara untuk mencampurkan pelarut polar dan nonpolar.

 Pengaruh bentuk dan ukuran partikel


Kelarutan suatu zat akan meningkat dengan berkurangnya ukuran partikel zat terebut, sesuai
dengan persamaan Ostwald-Freundlich berikut:
ɣ
Ln S = =


=

S = S¥. e α/r

S : kelarutan partikel halus (mikro)


S∞ : kelarutan partikel besar
ɣ : tegangan permukaan partikel zat padat (dalam kasus ini sangat sukar ditentukan)
M : bobot molekul zat terlarut
ρ : bobot jenis
r : jari-jari akhir partikel (cm)
R : konstanta gas (8,314 x 107 erg.der-1.mol-1)
T : suhu mutlak

Walaupun demikian pengaruh ukuran partikel terhadap kelarutan suatu obat tidak akan terlihat
dengan jelas kecuali bila ukuran partikel obat direduksi menjadi berukuran mkro. Pengurangan
ukuran partikel yang sangat ekstrim tersebut tidak dapat dicapai dnegan cara penggilingan ataupun
mikronisasi biasa. Untuk mencapai ukuran tersebut dapat digunakan metode pembuatan larutan
padat. Metode lain yang menghsilkan ukuran yang agak lebih besar adalah pembuatan disperse
padat.
Konfigurasi molekul dan bentuk susunan kristal juga berpengaruh terhadap kelarutan zat.
Karakteristis zat padat tertentu seperti bentuk hidrat dan anhidrat, amorf dan kristal juga
mempengaruhi kelarutan suatu zat.
 Pengaruh konstanta dielektrik
Kelarutan suatu zat dipengaruhi polaritas dari pelarut. Pelarut polar memiliki konstanta dielekstrik
yang tinggi sehingga dapat melarutkan zat-zat yang bersifat polar sedangkan zat-zat nonpolar sukar
larut di dalamnya. Demikian pula sebaliknya at-zat polar sukar larut di dalam bahan pelarut
nonpolar.
Konstanta dielektrik adalah suatu besaran tanpa diemsni dan merupakan rasio antara kapasistas
elektrik medium (Cx) terhadap vakum (Cv) atau ε = Cx/Cv
Besarnya konstanta dielektik menurut Moore dapat diatur dengan menambahkan bahan pelarut lain.
Tetapan dielektrik suatu campuran bahan pelarut merupakan hasil penumlahan tetapan dielektrik
masing-masing sesudah dikalikan dengan % volume setiap komponen pelarut.
Adakalanya suatu zat lebih mudah larut dalam pelarut campuran dibandingkan dengan pelarut
tunggalnya. Fenomena ini dikenaldengan istilah co-solvency sedangkan bahan perlarut di dalam
pelarut campur yang mampu meningkatkan kelarutan zat aktif disebut co-solvent. Etanol, gliserin,
dan propilen glikol adalah contoh-contoh co-solvent yang umum digunakan dalam bidang farmasi,
khususnya dalam pembuatan sediaan eliksir.
Data konstanta dielektrik beberapa bahan pelarut

Nama Bahan ε Nama Bahan ε


Air 80,4 Kloroform 4,8
Gliserin 43,0 Asam hidroklorida 4,6
Etil alcohol 25,7 Etil eter 4,34
Metil alcohol 33,7 Minyak zaitun 3,1
n-propil alcohol 21,8 Minyak biji kapas 3,0
Benzaldehid 17,8 Asam oleat 2,4
Amil alcohol 15,8 Toluene 2,39
Aseton 21,4 Benzene 2,28
Fenol 9,3 dioksan 2,26
Etil asetat 6,4 Karbon tetraklorida 2,24
Petrolatum cair 2,5 Minyak lemon 2,25

 Pengaruh Penambahan Zat-zat Lain


Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk meningkatkan kelarutan suatu zat. Molekul
surfaktan terdiri atas dua bagian, yaitu bagian polar dan nonpolar. Apabila surfaktan didispersikan
dalam air pada konsentrasi rendah, surfaktan akan berkumpul pada permukaan dengan
mengorientasikan bagian yang polar ke arah air dan bagian nonpolar ke arah udara. Kumpulan
surfaktan tersebut akan membentuk suatu lapisan monomolecular. Bila permukaan cairan telah
jenuh dengan molekul-molekul surfaktan maka molekul-molekul yang berada di dalam cairan akan
membentuk agregat yang disebut misel. Konsentrasi pada saat misel mulai tersebntuk disebut
Konsentrasi Misel Kritik (KMK).
Sifat penting misel adalah kemampuannya dalam menaikkan kelarutan zat-zat yang sukar larut
dalam air. Proses ini dikenal dengan nama solubilisasi miselar. Solubilisasi terjadi karena molekul
zat yang sukar larut berasosiasi dengan misel membentuk suatu larutan yang jernih dan stabil secara
termodinamika. Lokasi molekul zat terlarut dalam misel tergantung pada polaritas zat tersebut.
Molekul-molekul nonpolar akan masuk ke dalam bagian nonpolar dari misel, sedangkan olekul polar
akan teradsorpsi pada permukaan misel. Molekul-molekul semipolar akan masuk ke daerah plasidae
membentuk suatu misel campuran.
Selain penambahanan surfaktan dapat juga dilakukan penambahan zat-zat pembentuk kompleks
untuk meningkatkan kelarutan suatu zat. Misalnya penambahan uretan dalamm pembuatan injeksi
kinin atau pembuatan kompleks dengan siklodekstrin.

Prosedur Percobaan
A. Pengaruh Pelarut Campur Terhadap Kelarutan Zat

1. Buatlah 50 mL campuran bahan pelarut yang tertera pada table di bawah ini
Air (%v/v) Alkohol (%v/v) Propilen glikol (%v/v)
60 0 40
60 10 30
60 20 20
60 30 10
60 40 0

2. Ambil 25 mL campuran pelarut, larutkan asam salisilat sebanyak 500 mg ke dalam


masing-masing campuran pelarut
3. Kocok larutan. Jika ada endapan yang larut selama pengocokan, tambahkan sejumlah
tertentu asam salisilat sampai diperoleh larutan yang jenuh kembali
4. Saring larutan
5. Ambil sebanyak 10 mL larutan dan tentukan kadar asam salisilat yang larut dengan cara
titrasi asam basa dengan peniter NaOH 0.1 N menggunakan indikator fenolftalein
6. Buatlah kurva antara kelarutan asam salisilat dengan harga konstanta dielektrik bahan
pelarut campur yang ditambahkan

B. Pengaruh Penambahan Surfaktan Terhadap Kelarutan Zat

1. Buatlah 20 mL larutan Tween 80 dengan konsentrasi 1.0; 5.0; 10.0; 25; dan 50 mg/100
mL
2. Tambahkan 500 mg asam salisilat ke dalam masing-masing larutan
3. Kocok larutan dengan alat pengocok selama 2 jam. Jika ada endapan larut selama
pengocokan tambahkan lagi asam salisilat sampai diperoleh larutan yang jenuh
4. Saring dan tentukan kadar asam salisilat yang terlarut dalam masing-masing larutan
dengan cara titrasi seperti pada poin A.
5. Buatlah kurva antara kelarutan asam salisilat dengan konsentrasi tween 80 yang
digunakan
6. Tentukan konsentrasi misel kritik (KMK) Tween 80
C. Pengaruh ph terhadap Kelarutan Zat

1. Buat 50 mL larutan dapar fosfat dengan pH 4,5,6,7,8


2. Ambil 25 mL masing-masing larutan lalu tambahkan 0.5 gram natrium diklofenak ke
dalamnya
3. Kocok larutan. Jika ada endapan selama pengocokan, tambahkan natrium diklofenak
4. Saring dan tentukan kadar natrium diklofenak yang terlarut dalam masing-masing
larutan dapar dengan cara spektrofotometri UV pada panjang gelombang 274-278 nm.
Bila konsentrasi larutan terlalu pekat, encerkan terlebih dahulu dengan dapar yang
sesuai
5. Buat kurva hubungan antara kosentrasi zat yang diperoleh dengan pH larutan
Percobaan
Suspensi Flokulasi dan Deflokulasi

Tujuan
 Mengamati perbedaan suspensi terflokulasi dan terdeflokulasi
 Mengamati stabilita fisik suspensi

Teori
Suspensi adalah sediaan cairan yang mengandung partikel tidak larut dalam bentuk halus yang
terdispersi ke dalam fase cair. Terdapat bermacam-macam suspensi yang dikenal dalam sediaan
farmasi, seperti suspensi oral, suspensi topical, suspensi tetes telinga, suspensi oftalmik, dan
suspensi injeksi.

Suspensi adalah sistem dispersi kasar di mana ukuran partikel dispersi > 0,1 mikrometer. Partikel-
partikel yang terdapat di dalam sistem suspensi tidak stabil secara termodinamika, karena memiliki
energi bebas permukaan yang tinggi dan memiliki kecenderungan untuk berkumpul kembali dengan
sesamanya membentuk ukuran partikel yang lebih besar untuk mengurangi energi bebas
permukaan. Fenomena berkumpulnya partikel-partikel dalam sistem suspensi ini disebut sebagai
flokulasi. Partikel yang bergabung akan membentuk gumpalan (agregat) longgar yang bergabung
satu dengan lainnya melalui ikatan Van der Waals yang lemah. Namun, agregat longgar yang
terbentuk dapat membentuk agregat padat yang saling terikat kuat yang disebut dengan caking.

Salah satu yang menjadi permasalahan dalam pembuatan suspensi adalah terbentuknya agregat
padat pada saat proses penyimpanan. Terbentuknya agregat padat akan mengurangi homogenitas
dispersi dan menurunkan stabilitas sediaan suspensi. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
stabilitas suspensi, adalah:

1. Ukuran Partikel
2. Kekentalan
3. Jumlah Partikel (konsentrasi)
4. Sifat atau Muatan Partikel
Terdapat dua jenis sistem suspensi yaitu:

1. Suspensi Terflokulasi
Ciri-ciri suspensi terflokulasi adalah:
a. Partikel-partikel membentuk agregat longgar
b. Kecepatan sedimentasi tinggi
c. Sedimen tersusun longgar
d. Sedimen mudah didispersi ulang
e. Suspensi tidak enak dilihat karena pengendapan yang cepat dan perbedaan antara area
supernatant dan endapan
2. Suspensi Terdeflokulasi
Ciri-ciri suspensi terdeflokulasi adalah:
a. Partikel dalam suspensi terdeflokulasi dalam keadaan memisah
b. Kecepatan pengendapan lambat
c. Sedimen akhir sangat padat
d. Tidak mudah didispersi ulang
e. Suspensi berpenampilan bagus

Untuk menentukan apakah suatu sediaan suspensi merupakan bagian dari sistem terdeflokulasi atau
terflokulasi, maka dilakukan pemeriksaan kecepatan pengendapan partikel terdispersi. Kecepatan
pengendapan suatu partikel dapat ditentukan dengan menggunakan Hukum Stokes, dimana:

( )
V=

Keterangan:

V = kecepatan akhir (cm/detik)


D = diameter partikel
ρs = kerapatan fase terdispersi
ρ0 = kerapatan medium pendispersi
g = percepatan gravitasi
η = viskositas medium pendispersi (poise)
Persamaan Stokes dapat ditulis dalam bentuk di bawah ini bila mempertimbangkan ketidaksamaan
bentuk dan ukuran partikel pada sistem larutan nyata:

( )
V= K

Dimana K adalah suatu konstanta yang ditentukan melalui eksperimen

Dalam percobaan sistem suspensi, parameter sedimentasi yang dapat diperiksa adalah volume
sedimentasi dan derajat flokulasi:

a) Volume Sedimentasi
Volume sedimentasi adalah perbandingan antara volume akhir dari endapan (Vu) terhadap
volume awal suspensi sebelum mengendap (V0). Volume sedimentasi hanya memberikan
data kualitatif sedimentasi yang terjadi dalam sistem suspensi.
F = Vu/V0
Volume sedimentasi dapat bernilai <1 hingga >1
F < 1 bila Vu < V0
F = 1 bila Vu = V0
F > 1 bila Vu > V0

b) Derajat Flokulasi (β)


Derajat flokulasi adalah parameter yang menghubungkan volume endapan yang mengalami
flokulasi dan volume endapan yang mengalami deflokulasi. Persamaan derajat flokulasi
dapat ditulis sebagai berikut:
( ! / # !$) %$#&'$!
β= =( ! / # !$) %$#&'$!
Membuat Sistem Suspensi
1. Terflokulasi
Untuk menghasilkan sistem suspensi terflokulasi, ke dalam suspensi perlu ditambahkan
bahan yang mengatur laju pengendapan seperti:
a. Elektrolit. Elektrolit bekerja dengan mengurangi lapisan elektrik antar partikel
terdispersi
b. Surfaktan. Surfaktan, baik ionic maupun anionic, bekerja dengan menurunkan
tegangan permukaan antar partikel sehingga mencegah partikel yang berdekatan
untuk saling bergabung satu sama lain
c. Polimer. Polimer akan diadsorpsi di permukaan partikel yang menyebabkan
terbentuknya jembatan antar partikel, sehingga mencegah terbentuknya agregat
longgar.
2. Terdeflokulasi
Pembuatan sistem suspensi terdeflokulasi tidak memerlukan bahan khusus.

Alat dan Bahan


Alat: Mortar dan stamper, gelas ukur 100 mL, corong gelas, botol bening, batang pengaduk, spatula
Bahan: Sulfamerazin, alumunium klorida, gliserin, CMC-Na, air suling

Prosedur Percobaan
A. Pembuatan Suspensi Flokulasi
a) Timbang sulfamerazin masing-masing sebanyak 3,5 gram
b) Buat larutan stok AlCl3 0,003 M dalam labu 250 mL (timbang alumunium klorida
sebanyak 0,181 gram)
c) Buat pengenceran berseri sebagai berikut:
i. Pengenceran 1: pipet 8,33 mL larutan stok, encerkan dalam labu 50 mL
ii. Pengenceran 2: pipet 16,6 mL larutan stok, encerkan dalam labu 50 mL
iii. Pengenceran 3: pipet 33,3 mL larutan stok, encerkan dalam labu 50 mL
d) Buat suspensi sulfamerazin (50 mL) yang mengandung alumunium klorida di atas.

B. Pembuatan Suspensi Deflokulasi


e) Timbang sulfamerazin masing-masing sebanyak 3,5 gram
f) Buat suspensi sulfamerazin (50 mL) yang masing-masing mengandung CMC Na 0,5%,
1%, dan 2% (gunakan gliserin sebagai pembasah)

C. Pengamatan Sedimentasi
- Amati dan catat tinggi sedimentasi yang terjadi dalam interval waktu 0, 15, 30, 60, 90
menit, dan 24 jam
- Keluarkan suspensi dari dalam botol, lalu masukkan air sampai batas tinggi sedimentasi
yang telah dicatat sebelumnya pada setiap interval waktu, lalu tuang ke dalam gelas ukur
dan catat volumenya sebagai volume sedimentasi

D. Penentuan redispersibilitas suspensi setelah 24 jam


- Setelah 24 jam, kocok sediaan sebanyak 20 kali. Hitung jumlah pembalikan (N) yang
diperlukan sehingga diperlukan suspensi yang homogeny
- Amati dan catat tinggi sedimentasi yang terjadi

Data dan Hasil Percobaan


PERCOBAAN 3
PENENTUAN TEGANGAN PERMUKAAN

Tujuan
Menentukan tegangan permukaan beberapa cairan

Teori
Definisi fenomena permukaan dan antarmuka
1. Tegangan muka dapat didefinisikan sebagai gaya yang terjadi pada permukaan suatu
cairan yang menghalangi ekspansi cairan tersebut. Hal ini disebabkan oleh gaya-gaya
tarik yang tidak seimbang pada antarmuka (inter faces) cairan gaya ini bisa segera
diketahui pada kenaikan cairan biasa dalam kapiler dan bentuk spheris suatu tetesan
kecil cairan.
2. Tegangan antarmuka (interfasial) adalah tegangan yang diukur pada bidang batas dua
cairan yang saling tidak bercampur.Tegangan antarmuka ini penting dalamaspek praktis
dan teoritis pada masalah-masalah emulsi.

Tegangan muka mempunyai dimensi gaya per unit panjang permukaan (dyne/cm) atau
tenaga per unit permukaan kuadrat (erg/cm2) ini dapat dihitung dengan mengetahui secara
pasti gaya yang sama dan berlawanan. Metode pengukuran tegangan muka terdapat dalam
setiap teks standar Kimia Fisika.

Metode kenaikan kapiler


Suatu cairan naik dalam kapiler karena gaya tegangan mukanya bekerja pada system
kapiler lalu bekerja sepanjang perimeter kapiler dan menurut definisi di atas hal tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Tegangan muka = Gaya / 2πr


Dimana r adalah jari-jari kapiler. Gaya ini yang menyebabkan cairan naik ke atas secar
pasti dilawan oleh efek gravitasi yang dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut
2. Efek gravitasi = π r2 h d g
Dimana r adalah jari-jari kapiler, h adalah tinggi kenaikan, d adalah kerapatan dan g
adalah gaya gravitasi.

Laboratorium Fisika Farmasi 21


Dengan menyamakan dua gaya tersebut didapat persamaan sebagai berikut :
Tegangan muka x 2 π r = π r2 h d g atau tegangan muka = ½r h d g

Catatan
Sudut yang dibuat cairan dengan kapiler pada pada permukaannya dapat memodifisir
persamaan tersebut,tetapi secara umum untuk cairan efeknya sedemikian hingga faktor ini
dapat diabaikan. mengukur jari-jari kapiler merupakan tugas yang sukar dilakukan, namun
demikian ada kemungkinan untuk membandingkan kenaikan kapiler cairan yang belum
diketahui tegangan mukanya, kemudian ratio berikut ini dapat digunakan untuk
perhitungannya.

( ) / . . . .
= =
( ) / . . . .

Jadi dengan mengetahui kerapatan cairan-cairan dan tingginya kenaikan dalam cairan
kapiler yang sama tegangan muka cairan yang belum diketahui dapat ditentukan.

Alat
Pipa kapiler
Alat-alat gelas

Bahan
Air
Natrium lauril sulfat
Parafin cair

Prosedur Percobaan
Tentukan tegangan muka zat-zat berikut dengan metode kenaikan kapiler
1. Air
2. Larutan Natrium lauril sulfat 0,01; 0,05; dan 0,1%
3. Parafin cair

Data Hasil Percobaan


Tabel 6.1. Data pengamatan tegangan permukaan beberapa zat

Laboratorium Fisika Farmasi 22


Nama zat cair Kerapatan Tinggi kenaikan Tegangan muka
Air

LarutanNatrium
lauril sulfat
0,01%,0,05%,0,1%

Parafin cair

Laboratorium Fisika Farmasi 23


PERCOBAAN 4
PENENTUAN VISKOSITAS LARUTAN NEWTON
DENGAN VISKOSIMETER OSTWALD

Tujuan
Mempelajari cara penentuan viskositas larutan Newton dengan viskosimeter Ostwald
Mempelajari pengaruh kadar larutan terhadap viskositas larutan

Teori
Satuan cgs viskositas adalah poise, gaya gesek yang diperlukan untuk menghasilkan
kecepatan 1 cm/det antara dua bidang paralel dari zat cair yang luasnya 1 cm2 dan
dipisahkan oleh jarak 1 cm.

Dalam satuan cgs :


.
Poise =
.
=

= dyne.det.cm-2

Satuan lain yang sering digunakan adalah centipoise = cps


1 poise = 100 centipoise

Zat cair akan mengalir jika kepadanya dikenakan suatu pengadukan atau tekanan (stress)
yang dalam satuan cgs dapat dinyatakan dengan dyne/cm2 .Yang penting pada pengukuran
ini gaya yang diberikan harus diatur sedemikian rupa sehingga aliran yang terjadi bersifat
laminer bukan turbulen.

Zat cair seandainya tekanan dari gaya tersebut dinyatakan dengan shearing stress atau
tekanan gesek = F/A dan kecepatan gesek atau shearing rate = dv/dx, untuk zat cair yang
memiliki sifat alir Newton, hubungan tersebut dapat dinyatakan dengan:

F/A = α dv/dx atau

Laboratorium Fisika Farmasi 39


= η dv/dx...............(1)
Dimana:
η atau α = viskositas atau koefisien viskositas

Jika hubungan ini dinyatakan dengan suatu grafik dapat dilihat pada gambar
dv/dx
iii
ii

Gambar 10.1. Hubungan antara kecepatan gesek (dv/dx) denganF/A


gaya gesek (F/A) pada
cairan Newton

Pada Gambar 10.1 dapat diketahui bahwa makin besar angka arahnya (slope)nya makin
rendah viskositas cairan. Zat cair tunggal serta larutan yang ukuran molekulnya kecil
misalnya sirup, memiliki tipe alir Newton. Adapun hubungan antara kadar zat terlarut
dengan viskositas larutannya, dapat dinyatakan dengan persamaan Arrhenius.

η = ηo ckc...............(2)
dimana : η = berturut-turut adalah viskositas larutan dan
ηo = viskositas pelarut
k = suatu tetapan
c = kadar larutan

.
log η = log ηo + ...............(3)
,

Jika persamaan (3) digambarkan dalam suatu grafik dapat dilihat pada Gambar 10.2.

log η

K / 2,303

Laboratorium Fisika Farmasi 40

log ηo
Gambar 10.2. Hubungan antara log η larutan dengan kadar larutannya

Faktor lain yang dapat mempengaruhi viskositas adalah suhu. Hubungan ini dapat pula
dinyatakan dengan persamaan Arrhenius:

η = AcE/RT

dimana A = suatu tetapan


E = energy aktivasi
R = tetapan gas
T = suhu ( dalamoK)

Pengukuran Viskositas
Untuk menentukan viskositas cairan Newton dapat digunakan semua alat pengukur
viskositas, misalnya viskositas Ostwald, viskositas Hoople, viskositas Brookfield, viskositas
Stormerr. Untuk percobaan ini alat yang digunakan adalah viskosimeter Ostwald. Dasar
yang digunakan untuk penentuaan viskositas ini adalah Hukum Poiseulie tentamg zat cair
yang mengalir melalui pipa kapiler dengan persamaan:

π. .
=
8. . η

π. .
η=
8. . V
Dimana r = jari-jari kapiler
l = panjang pipa kapiler
v = volume zat cair
p = tekanan yang bekerja pada zat cair
t = waktu yang diperlukan untuk mengamati volume v zat cair melalui pipa
panjang l

Karena sukar untuk membuat pengukuran yang teliti (accurate) dari jenis alat tersebut
biasanya diukur/dikaliberasi dengan suatu cairan yang telah diketahui viskositasnya.

Laboratorium Fisika Farmasi 41


! " #"$% &" & ' "ℎ) *. . #"$% & ' "ℎ) , &" & ' "ℎ)
=
! " #"$% & ' "ℎ) *. . #"$% & ' "ℎ) , & ' "ℎ)

Karena digunakan tube yang sama untuk mengukur kedua- duanya maka:

η I, t
=
η- P- t

dimana, u tidak diketahui (unknown), k diketahui (know) dan karena tekanan yang menekan
cairan melalui tube sesuai dengan kenaikan gravitasi dan berbanding lurus dengan
kerapatan cairan maka,

η d, t ,
=
η- d1 t 1

d, t ,
η = η-
d1 t 1

Alat
Viscosimeter ostwald
Alat-alat gelas

Bahan
Air
Alkohol
Gula

Prosedur Percobaan
Tentukan viskositas cairan-cairan berikut dengan viskosimeter Ostwald
1. Air
2. Alkohol
3. Larutan gula 20%, 40%,60 dan X%
4. Hitung secara teoritis viskositas larutan gula 45%

Laboratorium Fisika Farmasi 42


Air dapat digunakan sebagai pembanding dengan viskositas seperti tercantum dalam Tabel
10.1

Data Hasil Percobaan


Tabel 10.1. Data pengukuran viskositas berbagiai zat cair
No Nama Zat Cair Kerapatan Waktu Viskositas
1. Air
2. Alkohol
3. Larutan gula 20%
4. Larutan gula 40%
5. Larutan gula 60%
6. Larutan gula X%

Laboratorium Fisika Farmasi 43


PERCOBAAN 5
DISPERSI KOLOIDAL DAN SIFAT-SIFATNYA

Tujuan
Menentukan sifat dan faktor-faktor yang mempengaruhi koloid.

Teori
Koloid biasanya dibagi menjadi dua golongan besar, berdasarkan pada apakah ada
disolvatasi oleh medium dispersi atau tidak, atau apakah dia tidak berinteraksi secara nyata
dengan medium, yaitu:
1. Koloid liofilik, disolvatasikan oleh solven/pelarut atau sering dinamakan koloid yang
suka pelarut.
2. Koloid liofobik, kebalikan dari koloid liofilik yaitu mempunyai afinitas kecil untuk
pelarut dan sering dinamakan koloid pembenci pelarut.

Jika yang digunakan sebagai solven air maka digunakan istilah hidrofilik dan hidrofobik.
Kedua tipe koloid tersebut sama-sama menunjukkan tipe sifat fisika yang sama, tapi dapat
berbeda cukup jauh dalam perkembangannya setiap sifat spesifiknya. Dispersi koloidal
yang dibuat dengan salah satu dari dua metode umum, yaitu metode kondensasi dan
metode dispersi.

Metode kondensasi menggabungkan partikel-partikel kecil (ion dan molekul) untuk


membentuk partikel-partikel yang lebih besar yang masuk dalam jarak ukuran koloidal.
Biasanya dilakukan dengan jalan mengganti solven atau dengan melakukan reaksi tertentu.

Metode dispersi menggunakan teknik pengecilan ukuran partikel dari partikel berdimensi
koloidal. Untuk ini dapat digunakan disintegrator mekanik seperti “colloid”. Seringkali
solven yang dicampur dengan zat dapat menyebabkan partikel non koloidal menjadi
koloidal. Metode disperse tipe ini khusus dinamakan peptisasi. Beberapa logam dapat
didispersi sebagai koloid oleh arus listrik di dalam tabung elektrolitik (electrolytic cell)

Semua disperse koloidal menunjukkan suatu sifat optik yang dikenal sebagai efek tyndall.
Jika seberkas cahaya diarahkan pada suatu disperse koloidal maka cahaya tersebut akan
dipancarkan dan suatu berkas sinar atau kerucut sinar akan terlihat karena banyak disperse

Laboratorium Fisika Farmasi 45


koloidal sangat menyerupai larutan sejati maka sifat tersebut berguna untuk membedakan
antara disperse koloidal dan larutan sejati. Larutan sejati tidak akan memencarkan cahaya
karena partikel-partikel yang terdispersi di dalamnya begitu kecil hingga tidak
menimbulkan efek tersebut. Suatu sifat lain yang menarik dari koloid adalah viskositas,
koloid liofobik tidak merubah viskosits suatu disperse karena disperse tersebut tidak
disolvatasikan.

Kenaikan kadar dari koloid-koloid semacam itu tidak mempengaruhi viskositas dari
disperse karena mereka berinteraksi dengan molekul-molekul solven/pelarut. Sifat-sifat
stabilitas sistem liofilik dan liofobik juga berbeda. Semua disperse koloid mempunyai
muatan listrik. Jika suatu zat atau ion dengan muatan sebaliknya dikembalikan dalam suatu
disperse koloid, muatan dalam koloid dapat dihilangkan atau dinetralkan dan koloid akan
mengendap.

Suatu hidrofobik biasanya lebih jelas dipengaruhi oleh elektrolit sedangkan sistem
hidrofilik disolvatasi dan suatu cincin pelindung mengelilingi koloid hingga membuatnya
menjadi kurang peka terhadap ion-ion yang bermuatan yang berasal dari elektrolit. Salah
satu cara untuk menambah stabilitas koloid hidrofobik ialah penambahan suatu koloid
hidrofilik pada sistem tersebut. Dalam hal ini koloid hidrofilik dinamakan koloid pelindung.
Sistem hidrofilik akan menjadi kurang stabil pada penambahan solven yang polaritasnya
lebih kecil daripada air karena solven-solven tersebut akan bersaing dengan molekul air
dan mendehidrasi koloid.

Alat
Viscosimeter
Alat-alat gelas
Bahan
Mucilago gumma arabici
Argentum proteinatum
FeCl2
Alginat

Prosedur Percobaan
A. Pembuatan Larutan Koloidal
1. Buatlah Mucilago Gumma Arabici 35-40% sebanyak 50 ml

Laboratorium Fisika Farmasi 46


2. Buatlah larutan 5 % Argentum Proteinatum sebanyak 10 ml
3. Larutkan 0,25 g dan 0,50 g FeCl2 dalam 100 ml air mendidih
4. Buatlah larutan 0,5 % dan 1% Alginat
B. Viskositas Koloid
Tetapkan viskositas larutan no.3 dan no.4
C. Pengaruh Elektrolit terhadap Koloid
1. Ambillah 10 ml masing-masing larutan tersebut diatas, kecuali untuk larutan
Argentum Proteinatum diambil 4 ml, tambah 2 ml 2% NaCl lagi dan seterusnya,
catatlah pada penambahan berapa ml larutan 25% akan terjadi endapan pada
masing-masing larutan koloidal.
2. Ambillah 20 ml larutan 0,5 % FeCl3, campurlah dengan 5 ml larutan 10% gelatin.
Selanjutnya lakukan percobaan seperti C.1
D. Pengaruh Alkaloid terhadap Koloid
Catatlah berapa ml alkohol 95% yang dibutuhkan untuk mengendapkan 10 ml larutan
5% dan 10% gelatin.
E. Reversibilitas Koloid
Uapkan 10 ml larutan no. A1, A2 dan A3 hingga kering, tambahkan 10 ml air dingin,
amatilah yang terjadi pada setiap larutan koloid tersebut.

Data Hasil Percobaan


A. Tunjukkan pada setiap sediaan manakah yang dibuat menurut metode kondensasi dan
distribusi
1……………………………………
2……………………………………
3……………………………………
4……………………………………

Tabel 5.1. Data pengukuran viskositas beberapa koloid


Koloid Nomor Viskositas ( poise )

Tabel 5.2. Data pengukuran volume NaCl untuk pengendapan

Laboratorium Fisika Farmasi 47


Sediaan ml NaCl yang di pakai

2. Berapa ml NaCl yang digunakan untuk mengendapkan sediaan tersebut.

B. Jumlah alkohol (95%) yang menyebabkan pengendapan larutan no. A4

C. Tunjukkan koloid manakah yang mempunyai sifat reversible dan irreversible


Mucilago Gummi Arabici
Larutan Perak Proteinat
Larutan FeCl2.

Laboratorium Fisika Farmasi 48


PERCOBAAN 5

STABILITA

Tujuan Percobaan

 Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:


 Menentukan tingkat reaksi penguraian suatu zat
 Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat
 Menentukan energi aktivasi dari reaksi penguraian suatu zat
 Menentukan usia simpan suatu zat
 Menggunakan data kinetika kimia untuk memperkirakan kestabilan suatu zat

Teori Umum

Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat formulasi suatu
sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah besar
dan memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke tngan pasien yang membutuhkan. Obat yang
disimpan dalam jangka waktu lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan dosis yang
diterima pasien berkurang. Adakalanya hasil urai tersebut bersifat toksis sehingga dapat
membahayakan jiwa pasien. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kestabilan suatu zat sehingga dapat dipilih kondisi pembuatan sediaan yang tepat sehingga
kestabilan obat terjaga.

Faktor-faktor yan dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain, panas, cahaya, kelembaban,
oksigen, pH, mikroorganisme, dan bahan-bahan tambahan yang dipergunakan dalam formula
sediaan obat. Sebagai contoh, senyawa-senyawa ester dan amida seperti amil nitrat dan
kloramfenikol merupakan zat yang mudah terhidrolisis dengan adanya lembab sedangkan vitamin C
sangat mudah sekali mengalami oksidasi.

Pada umumnya penentuan kestabilan suatu zat dapat dilakukan melalui perhitungan kinetika kimia.
Cara ini tidak memerlukan waktu lama sehingga cukup praktis digunakan dalam bidang farmasi. Hal-
hal yang penting diperhatikan dalam penentuan kestabilan suatu zat secara kinetika kimia adalah:
 Kecepatan reaksi
 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi
 Tingkat reaksi dan cara penentuan

Kecepatan reaksi adalah besarnya perubahan konsentrasi zat pereaksi dan hasil reaksi per satuan
waktu. Menurut Hukum Aksi Massa, kecepatan reaksi sebanding dengan hasil kali konsentrasi molar
reaktan yang masing-masingnya dipangkatkan dengan jumlah molekul senyawa yang terlibat di
dalam reaksi.

Misalnya untuk reaksi:

aA + bB  cC + dD

Kecepatan reaksinya adalah:

( ) ( ) ( ) ( )
v= - =- =+ =+

v = k (A)a (B)b

k = konstanta reaksi

Tingkat Reaksi

Tingkat reaksi adalah banyaknya faktor konsentrasi yang turut berperan dalam menentukan
kecepaan reaksi. Misalnya untuk reaksi:

aA + bB  cC + …

maka tingkat reaksi untuk A adalah a, untuk B adalah b, dan tingkat reaksi total adalah a+b

1. Tingkat Reaksi Nol (0)


Terjadi apabila kecepatan reaksi tidak bergantung kepada konsentrasi pereaksinya.
Perubahan konsentrasi berlangsung konstan setiap waktu.

- = k. C0 (C = konsentrasi)

-dC = k dt
Jika diintegrasikan, maka dihasilkan
Ct-C0 = -k. t
k = (C0 – Ct) t-1
Ct = konsentrasi pada waktu t
C0 = konsentrasi awal

Jika Ct = ½ C0
Maka k = ½ C0. t-1, sehingga
t1/2 = ½ C0. k-1
satuan k adalah mol. L-1.detik-1, jika waktu (detik), dan konsentrasi (mol. L-1)
t1/2 adalah waktu paruh, yaitu waktu yang dibutuhkan suatu zat untuk terurai menjadi
setengah dari konsentrasi semula.

2. Tingkat Reaksi Satu (1)


Terjadi apabila kecepatan reaksi tergantung kepada konsentrasi satu pereaksi.

- = k. C

-dC = k dt

Jika diintegrasikan, maka diperoleh hasil berikut:


ln Ct = ln C0 – k.t
jadi,
,
k= log

Waktu paruh :
, ,
T1/2 = =

Satuan k = detik-1, jika waktu dinyatakan dalam detik

3. Tingkat Reaksi Dua (2)


Jika kecepatan reaksi tergantung pada konsentrasi dua pereaksi.
A+BP

- = k. (A) (B)

Jika (A) = (B)


-dC = k (C)2

Jika diintegrasikan, maka diperoleh persamaan berikut:


- = k.t

Atau

K=

Waktu paruh : t1/2 = C0 -1 . k-1


Satuan k adalah L.mol-1.detik-1, jika waktu dinyatakan dalam detik.

Penentuan Tingkat Reaksi


1. Dilakukan denganc ara mensubstitusikan konsentrasi zat yang diperoleh ke dalam
persamaan tingkat reaksi. Jika diperoleh harga k yang relative konstan, maka reaksi
berlangsung pada tingkat reaksi tersebut.
2. Dilakukan dengan cara membuat grafik hubungan antara konsentrasi zat yang diperoleh
terhadap waktu
3. Dilakukan dengan menentukan waktu paro
Secara umum:
T1/2 =

Jika dilakukan dua percobaan dengan konsentrasi yang berbeda, maka t1/2 dapat
dibandingkan sebagai berikut:
( / ) ( )
( / )
= = n-1
( )

( / )
Log = (n-1) log
( )

n= /
+1

Pada awalnya untuk mengevaluasi kestabilan suatu sediaan farmasi, dilakukan


pengamatan pada kondisi yang sesuai dengan kondisi penyimpanan obat. Misalnya pada
suhu kamar. Ternyata metode seperti itu memerlukan waktu yang lama dan tidak
ekonomis. Untuk keperluan penelitian stabilita digunakan teknik uji stabilitas dipercepat,
yaitu dengan mengamati perubahan konsentrasi obat pada minimum tiga suhu tinggi.
Dari hasil pengamatan pada tiga suhu tersebut, dengan membandingkan dua harga k
pada suhu yang berbeda dapat dihitung energi aktivasinya sehingga k pada suhu kamar
dapat dihitung. Harga k pada suhu kamar dapat juga diperoleh melalui ekstrapolasi grafik
antara log k dengan 1/T. Dengan demikian batas kadaluwarsa suatu sediaan farmasi
dapat diketahui secara cepat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi adalah:


1. Suhu
Pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi dapat diterangkan melalui persamaan
Arrhenius:
" /#$
k=A.!
k= konstanta kecepatan reaksi
A= faktor frekuensi
Ea= energi aktivasi
R= konstanta gas
T= suhu mutlak
2. Kekuatan Ion
Pengaruhkekuatan ion terhadap kecepatan reaksi dapat dilihat dari persamaan
berikut:
Log k = log k0 + 1,02 ZAZB √&
K= konstanta kecepatan penguraian pada kekuatan ion tertentu
K0 = konstanta kecepatan penguraian pada kekuatan ion=0
Z= muatan ion
μ = kekuatan ion

Jika salah satu reaktan merupakan molekul netral maka ZAZB = 0. Pada saat ini
kecepatan reaksi tidak dipengaruhi kekuatan ion.

3. Pengaruh pH
Reaksi penguraian beberapa larutan obat dapat dipercepat oleh penambahan asam
(H+) atau basa (OH-). Katalisator semacam ini disebut katalisator asam-basa khusus.

Percobaan

Pengaruh suhu terhadap kestabilan larutan antalgin

A. Penyiapan Larutan Dapar


Dapar yang digunakan dalam percobaan ini adalah dapar posfat yang dibuat dengan
mencampurkan 50 mL Kalium dihydrogen fosfat 0.1 M dan 46.1 mL NaOH 0.1 N. selanjutnya
ditambahkan air suling sampai 100 mL sehingga diperoleh larutan dapar dengan pH 8

B. Pembuatan Spektrum Absorpsi


Larutan antalgin 4 mg/mL dalam dapar pH 8 diukur serapannya panjang gelombang
maksimum 240 dan 270 nm

C. Pembuatan Kurva Kalibrasi


Buatlah larutan antalgin dengan cara melarutkan 100 mg antalgin dalam 30 mL etanol.
Tambahkan air suling bebas karbon diaoksida sampai 50 mL (larutan stok).
Pipet 0.5; 1,0; 1,5; 2,0; dan 3,0 mL larutan stok dan masukkan ke dalam labu takar 100 mL
Tambahkan larutan dapar pH 8 sampai tepat 100 mL
Ukur serapan pada panjang gelombang 240 dan 270 nm

D. Penentuan Stabilitas Larutan Antalgin


Penentuan stabilitas larutan antalgin dilakukan dengan cara uji dipercepat pada suhu 60, 70,
dan 80 C. pengujian dilakukan dengan cara mengukur konsentrasi antalgin sisa dalam larutan
pada waktu-waktu tertentu. Larutan antalgin yang diuji adalah larutan dengan konsentrasi 4
mg/mL.

1. Sebanyak 5 mL larutan antalgin (4 mg/mL) dimasukkan ke dalam 30 vial, selanjutnya


vial-vial tersebut disimpan di dalam oven bersuhu 60, 70, dan 80 C (masing-masing
suh 10 vial)
2. Setelah 10 menit, ambil 2 vial dari masing-masing suhu, dinginkan dalam lemari es
untuk menghentikan reaksi penguraian
3. Saring larutan dan tentukan konsentrasi antalgin dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 240 dan 270 nm. Konsentrasi ini
dianggap sebagai konsentrasi awal antalgin untuk masing-masing suhu penyimpanan
4. Selanjutnya pada waktu-waktu 1,2,3, dan 4 hari setelah pengambilan awal diambil 2
vial dari setiap suhu.
5. Lakukan prosedur yang sama seperti penentuan konsentrasi awal
6. Tentukan konsentrasi antalgin sisa setelah waktu 1,2,3,dan 4 hari tersebut.
Perhitungan konsentrasi antalgin yang tersisa dilakukan dengan memasukan harga
absorban yang diperoleh ke dalam persamaan garis dari kurva kalibrasi.

E. Penentuan Usia Simpan larutan Antalgin


Tahapan perhitungannya adalah :
o Tentukan tingkat reaksi penguraian dengan cara perhitungan atau dengan cara grafik
o Hitung Energi Aktivasi (Ea) dengan mengunakan persamaan Arrhenius dengan
membuat kurva antara log k denga 1/T, lalu tentukan harga k pada suhu kamar
o Hitung usia simpan larutan antalgin tersebut pada suhu kamar apabila
larutantersebut dianggap sudah tidak dapat digunakan lagi bila telah terurai
sebanyak 10%
Percobaan 6

EMULSIFIKASI

Tujuan Percobaan

Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:

 Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam pembuatan emulsi
 Membuat emulsi dengan menggunkan emulgator golongan surfaktan
 Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi
 Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi

Teori Umum

Emulsi adalah suatu sistem disperse yang secara termodinamik tidak stabil, terdiri dari paling sedikit
dua cairan yang tidak bercampur dan satu di antaranya terdispersi sebagai globul-globul dalam
cairan lainnya. Sistem ini umumnya distabilkan dengan emulgator. Dalam bidang farmasi, emulsi
umumnya terdiri dari fase minyak dan fase air.

Berdasarkan fase terdispersinya dikenal dua jenis emulsi, yaitu :

Emulsi minyak dalam air, yaitu bila fase minyak terdispersi di dalam fase air

Emulsi air dalam minyak, yaitu bila fase air terdispersi di dalam fase minyak

Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor penting untuk diperhatikan
karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak dipengaruhi emulgator yang digunakan. Salah satu
emulgator yang banyak digunakan adalah surfaktan. Mekanisme kerja emulgator semacam ini
berdasar atas kemampuannya menurunkan tegangan permukaan air dan minyak serta membentuk
lapisan monoolekular pada permukaan globul terdispersi.

Secara struktur, molekul surfaktan terdiri atas gugus polar dan nonpolar. apabila surfaktan
dimasukkan ke dalam sistem yang terdiri dari air dan minyak, maka gugus polar akan mengarah ke
fase air sedangkan gugus nonpolar ke arah fase minyak. Surfaktan yang didominasi gugus polar akan
cenderung membentuk emulsi minyak dalam air.
Sebaliknya jika molekul surfaktan lebih didominasi gugus nonpolar akan cenderung menghasilkan
emulsi air dalam minyak. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan tentang kekuatan gugus polar dan
nonpolar suatu surfaktan. Metode yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi surfaktan sebagai
emulgator adalah metode HLB. Semakin tinggi nilai HLB suatu surfaktan, sifat kepolarannya akan
meningkat.

Dalam pembuatan emulsi diperlukan komponen minyak. Oleh karena itu, perlu diketahui HLB Butuh
Minyak. HLB Butuh suatu minyak pada umumnya bernilai tetap untuk suatu emulsi tertentu, dan
nilainya ditentukan berdasarkan percobaan. Nilai HLB Butuh Minyak setara dengan nilai HLB
surfaktan atau campuran surfaktan yang dgunakan untuk mengemulsikan minyak dengan air
sehingga membentuk suatu emulsi yang stabil.

Sebagai contoh:

Rx Paraffin cair 20% (HLB 12)

Emulgator 5%

Air ad 100%

Secara teoritis emulgator dengan HLB 12 merupakan emulgator yang paling cocok untuk pembuatan
emulsi dengan formula di atas. Namun pada kenyataannya jarang sekali ditemukan surfaktan dengan
HLB yang nilainya persis sama dengan nilai HLB butuh fase minyak. Oleh karena itu, penggunaan
kombinasi surfaktan dengan nilai HLB rendah dan tinggi akan memberikan hasil yang lebih baik. Hal
ini disebabkan karena dengan menggunakan kombinasi emulgator aan diperoleh nilai HLB
mendekati nilai HLB butuh minyak. Misalnya, pada emulsi tersebut di atas menggunakan kombinasi
Tween 80 (HLB 15) dan Span 80 (HLB 4.3), diperlukan perhitungan jumlah masing-masing
emulgator. Jumlah tersebut dapat dihitung melalui cara berikut:

Untuk 100 g emulsi:

Jumlah emulgator yang dibutuhkan = 5% x 100 g = 5 g

Misalkan jumlah Tween 80 = a gram, maka Span 80 = (5-a) gram

(a x 15) + [(5-a) x 4,3] = 5 x 12

15 a + 21,5 – 4,3 a = 60

10,7 a = 38,5
A = 3,6

Jumlah Tween 80 yang dibutuhkan = 3,6 g

Jumlah Span 80 yang dibutuhkan = 1,4 g

Emulsi yang secara termodinamika tidak stabil umumnya disebabkan oleh tingginya energi bebas
permukaan. Hal ini terjadi karena pada proses pembuatannya luas permukaan salah satu fase akan
bertambah berlimpat ganda sedangkan seluruh sistem umumnya cenderung kembali kepada
posisinya yang paling stabil, yaitu pada saat energi bebasnya paling rendah. Oleh karena itu, globul-
globul akan bergabung sampai akhirnya ssitem memisah kembali. Berdasarkan fenomena semacam
itu, dikenal beberpa peristiwa ketidakstabilan emulsi, yaitu:

1. Flokulasi dan Creaming


Fenomena ini terjadi karena penggabungan partikel yang disebabkan oleh adanya energi
bebas permukaan semata. Fokulasi adalah peristiwa terbentuknya kelompok-kelompok
globul yang posisinya tidak beraturan di dalam emulsi. Creaming adalah suatu peristiwa
terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda dalam emulsi. Lapisan
dengan konsentrasi paling pekat akan berada di sebelah atas atau bawah tergantung dari
bobot jenisfase terdispersi. Pada kedua peristiwa tersebut, emulsi masih dapat diperbaiki
melalui pengocokan karena lapisan monomolecularnya masih eksis.

2. Koalesens dan Demulsifikasi


Peristiwa in terjadi tidak semata-mata disebabkan karena energi bebas permukaan, tetapi
disebabkan pula oleh ketdaksempurnaan pelapisan globul. Koalasens adalah peristiwa
terjadinya penggabungan globul-globul menjadi lebih besar. Demulsifikasi adalah peristiwa
yang disebabkan oleh terjadinya proses lanjut dari koalesen. Kedua fase akhirnya terpisah
kembali menjadi dua cairan yang tidak bercampur. Untuk kedua peristiwa ini, emulsi tidak
dapat diperbaiki dengan melakukan pengocokan.
Tabel 6.1 Nilai HLB Butuh Beberapa Minyak dan Lemak
Nilai HLB Butuh
No Nama Bahan
M/A A/M
1 Minyak Jarak 12 -
2 Minyak Biji Kapas 12 5
3 Metil Salisilat 14 -
4 Vaselin 12 5
5 Parafin Cair 12 5
6 Parafin Padat 9 4
7 Adeps Lanae 10 8
8 Asam Stearat 15 6
9 Minyak Kacang 9 -
10 Stearil Alkohol 14 -
11 Setil Alkohol 15 -

Percobaan ini dilakukan selama 2 minggu dan terdiri dari:

A. Minggu ke-1: penentuan HLB butuh minyak dengan jarak HLB lebar
B. Minggu ke-2 : penentuanHLB butuh minyak dengan jarak yang lebih sempit

A. Penentuan HLB butuh minyak dengan jarak HLB lebar


Rx Minyak 20
Tween
Span
Air ad 100

Buatlah satu seri emulsi dengan nilai HLB butuh masing-masing 5,7,9,11, dan 13

Prosedur kerja :
a. Hitung jumlah Tween dan Span yang diperlukan untuk setiap nilai HLB butuh
b. Timbang masing-masing minyak, air, tween, dan span sejumlah yang dibutuhkan
c. Campurkan minyak dengan Span, campurkan air dengan Tween, panaskan keduanya di
atas tangas air bersuhu 60 C
d. Tambahkan campuran minyak ke dalam campuran air dan segera diaduk
e. Masukkan emulsi ke dalam tabung sedimentasi dan beri tanda sesuai dengan nilai HLB
masing-masing
f. Tinggi emulsi dalam tabung diusahakan sama dan catat waktu mulai memasukkan emulsi
dalam tabung
g. Amati jenis ketidakstabilan emulsi yang terjadi selama 6 hari. Bila terjadi creaming, ukur
tinggi emulsi yang membentuk cream
h. Tentukan pada nilai HLB berapa emulsi tampak relative paling stabil

B. Penentuan HLB butuh minyak dengan jarak HLB sempit


dari hasil percobaan pada minggu pertama diperoleh nilai HLB butuh berdasar atas emulsi
yang tampak relative palig stabil, misalnya nilai HLB butuhnya 9. Untuk memperoleh nilai
HLB butuh yang lbih akurat, perlu dibuat satu seri emulsi lagi dengan nilai HLB 8-10 dengan
jarak HLB masing-masing 0.25. prosedur kerja sama dengan percobaan A
PERCOBAAN 7

KECEPATAN DISOLUSI

Tujuan percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:

 Menentukan kecepatan disolusi suatu zat


 Menggunakan alat penentuan kecepatan disolusi suatu zat
 Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat

Teori Umum
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut
tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang umum menggambarkan proses disolusi zat padat telah
dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut :

= (Cs-C)
dM/dt : kecepatan disolusi
D : koefisien difusi
S : luas permukaan zat
Cs : kelarutan zat padat
C : konsentrasi zat dalam larutan pada waktu t
H : tebal lapisan difusi

Dalam teori disolusi atau perpindahan masa, diasumsikan bahwa selama proses disolusi berlangsung pada
permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan
ketebalan h, seperti tampak pada gambar berikut:

Lapisan
Zat padat Difusi Air
Cs Larutan

x=0

Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada kelarutan zat tersevyt (Cs)
sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan disolusi
dapat disederhanakan menjadi:
. .
=

Dari persamaan tersebut di atas tampak beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi
suatu zat yaitu:

1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) zat yang bersifat endotermik serta
memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui
persamaan berikut:

.
D=
.

D : koefisien difusi
k : konstantan Boltzman
r : jari-jari molekul
η : viskositas pelarut
T : suhu

2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan
persamaan Einstein. Meningkatnya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan
disolusi.

3. pH pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat=zat yang bersifat asam atau basa lemah.

Untuk asam lemah:

= K. S. Cs. (1 + [ ]
)

Jika [H+] kecil atau pH tinggi maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi
zat juga meningkat.

Untuk basa lemah:

[ ]
= K. S. Cs. (1 + )

Jika [H+] besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi
zat juga meningkat.

4. Pengadukan
Kecepatan pengadukanakan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan berlangsung
cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang sehingga kecepatan disolusi meningkat.

5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil, maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga kecepatan
disolusi meningkat.

6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang berlainan
dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal metastabil umumnya lebih mudah
larut daripada bentuk stabilnya sehingga kecepatan disolusinya besar.

7. Sifat Permukaan zat


Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan adanya
surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan menurun
sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah.

Penentuan kecepatan disolusi suatu zat dapat dilakukan dengan metode :

1. Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengaturan ekssak terhadap luas permukaan
partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan
cara yang sesuai.
2. Metode Permukaan Konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable perbedaan luas
permukaan efektif dapt diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih daulu kemudian
ditentukan seperti pada metode suspensi.

Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan menggunakan alat uji disolusi tipe
dayung (alat tipe 2) seperti yang tercantum dalam USP. Untuk metode permukaan tetap dapat
digunakan alat seperti yang diusulkan oleh Simonelli dkk sebagai berikut:

Alat Uji Kecepatan Disolusi Permukaan Tetap Alat Uji Kecepatan Disolusi USP
Selain faktor-faktor yang telah diuraikan di atas, kecepatan disolusi suatu zat aktif dari sediaannya
dipengaruhi pula oleh faktor formulasi dan teknik pembuatan sediaan. Dalam bidang farmasi,
penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan disolusi merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi absorbs obat di samping membantu memprediksi kecepatan absorbs
obat di dalam tubuh. Penentuan kecepatan disolusi suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa
tahap pembuatan suatu sediaan obat, antara lain:
1. Tahap Praformulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan terhadap bahan baku obat dengan tujuan
untuk memilih sumber bahan baku dan memperoleh informasi tentang bahan baku tersebut.
2. Tahap Formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan untuk memilih formula sediaan yang
terbaik.
3. Tahap Produksi
Pada tahap ini kecepatan disolusi dilakukan untuk mengendalikan kualitas sediaan obat yang
diproduksi.

Percobaan
Pada percobaan penentuan kecepatan disolusi digunakan metode suspensi.

A. Pengaruh Suhu terhadap Kecepatan Disolusi Zat


1. Isi bejana dengan 900 mL air suling
2. Pasang thermostat pada suhu 30 C
3. Jika suhu air di dalam bejaa sudah mencapai 30 C, masukkan 2 g asam salisilat dan hidupkan motor
penggerak pada kecepatan 20 rpm
4. Ambil sebnayak 20 mL air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit setelah
pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera digantikan dengan 20 mL air suling
5. Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan menggunakan spektroftometer
pada panjang gelombang :
6. Lakukan percobaan yang sama untuk suhu 40 dan 50
7. Tabelkan hasil yang diperoleh
8. Buat kurva antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu untuk setiap waktu

B. Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Kecepatan Disolusi Zat


1. Isi bejana dengan 900 mL air suling
2. Pasang thermostat pada suhu 30 C
3. Jika suhu air di dalam bejaa sudah mencapai 30 C, masukkan 2 g asam salisilat dan hidupkan motor
penggerak pada kecepatan 10 rpm
4. Ambil sebnayak 20 mL air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit setelah
pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera digantikan dengan 20 mL air suling
5. Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan menggunakan spektroftometer
pada panjang gelombang :
6. Lakukan percobaan yang sama untuk kecepatan 20 dan 30 rpm
7. Tabelkan hasil yang diperoleh
8. Buat kurva antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu untuk setiap waktu

Anda mungkin juga menyukai