Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMASI FISIKA PERCOBAAN I

”KELARUTAN ZAT PADAT”

Oleh :

NAMA : WIEDYA ALFITRYA ZAMRI

NIM : 2001088

KELAS : S1-2B

KELOMPOK : GENAP

DOSEN PENGAMPU : Dr. Gressy Novita, M.Farm, apt.

ASISTEN DOSEN : 1.

2.

3.

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

2021
PRAKTIKUM PERCOBAAN I
KELARUTAN ZAT PADAT

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk :
1. Menentukan kelarutan zat padat secara kuantitatif
2. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan zat
3. Menjelaskan usaha-usaha yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kelarutan zat aktif dalam air untuk pembuatan zat cair.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Kelarutan suatu senyawa adalah jumlah maksimal senyawa
bersangkutan yang larut dalam sejumlah pelarut tertentu pada suatu suhu
tertentu dan merupakan larutan jenuh yang ada dalam kesetimbangan
dengan bentuk padatnya (Roth, 1988).
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu
larutan jenuh pada suatu suhu tertentu. Larutan sebagai campuran
homogen bahan yang berlainan. Untuk dibedakan antara larutan dari gas,
cairan dan bahan padat dalam cairan. Disamping itu terdapat laruan dalam
keadaan padat (misalnya gelas, pembentukan kristal campuran).
Kelarutan dalam Farmakope Indonesia diartikan dengan kelarutan
pada suhu 200C atau 250C dinyatakan dalam satu bagian bobot zat padat
atau satu bagian volume zat cair dalam bagian volume tertentu pelarut,
kecuali dinyatakan lain.
Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan
konsentrasi maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut
tersebut. Bila suatu pelarut pada suhu tertentu melarutkan semua zat
terlarut sampai batas daya melarut nya larutan ini disebut larutan jenuh.
Agar batas daya pelarutnya diperhatikan berbagai kemungkinan kelarutan
diantara dua macam bahan kimia yang menentukan jumlah masing-masing
yang diperlukan untuk membuat larutan jenuh dalam air, yaitu larutan
topikal kalsium hidroksida, USP dan larutan oral Kalium Iodida.
Kelarutan suatu senyawa dinyatakan dalam gr/lt. Besarnya
kelarutan suatu senyawa adalah jumlah maksimal senyawa bersangkutan
yang larut dalam sejumlah pelarut tertentu dan merupakan larutan yang
ada dalam kesetimbangan dengan bentuk padatnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan zat antara lain:
1. Temperatur
2. pH
3. Terjadinya peristiwa solubilasi
4. Terjadinya perubahan ketetapan dielektrik dengan menambah pelarut
lain
5. Pengadukan
6. Luas permukaan
7. Viskositas
8. Ukuran partikel
Dalam pembuatan bentuk sediaan farmasi seperti eliksir digunakan
pelarut dalam bentuk tunggal maupun campuran, sebab kelarutan zat aktif
yang ada sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut.
Pelarut (solven) didefinisikan sebagai suatu medium dimana zat
terlarut (solute) terlarut. Pelarut juga adalah benda cair atau gas yang
melarutkan benda padat, cair, gas yang menghasilkan sebuah larutan.
Paling umum pelarut yang digunakan dalam kehidupan adalah air.
Pelarut memiliki 2 jenis, yaitu:
1. Pelarut polar
Senyawa polar adalah senyawa yang terbentuk akibat adanya
suatu ikatan antara elektron pada unsur-unsurnya atau pelarut yang
melarutkan zat terlarut ionik dan zat polar lainnya. Hal ini terjadi
karena unsur yang berkaitan tersebut mempunyai nilai
keelektronegatifitas yang berbeda.
Ciri-ciri senyawa polar:
 Dapat larut dalam air dan pelarut lain
 Memiliki kutub (+) dan kutub (-), akibat tidak meratanya distribusi
elektron
 Memiliki pasangan elektron bebas (bila bentuk molekul diketahui)
atau memiliki perbedaan keelektronegatifan.
Sesuai dengan itu, air bercampur dengan alkohol dalam segala
perbandingan, melarutkan gula dan senyawa polihidroksi yang lain.
Contoh: Alkohol, HCl, PCl3, H2O, N2O5.
2. Senyawa non polar
Senyawa non polar adalah senyawa yang terbentuk akibat
adanya suatu ikatan antar elektron pada unsur-unsur yang
membentuknya. Pelarut non polar tidak dapat mengurai gaya tarik-
menarik antar ion-ion elektrolit kuat dan lemah, karena tetapan elektrik
pelarut yang rendah. Pelarut non polar juga tidak dapat memecahkan
ikatan kovalen dan elektrolit yang terionisasi lemah karena pelarut
aprotik dan dapat membentuk jembatan hidrogen dengan nonelektrolit.
Hal ini juga terjadi karena unsur yang berikatan mempunyai nilai
elektronegatifan yang sama atau hampir sama.
Ciri-ciri senyawa non polar:
 Tidak larut dalam air dan pelarut polar lain
 Tidak memiliki kutub (+) dan kutub (-), akibatnya meratanya
distribusi elektron
 Tidak memiliki pasangan elektron bebas (bila bentuk molekul
diketahui) atau keelektronegatifannya sama.
Contoh: Cl2, PCl5, H2, N2
Pelarut-pelarut yang umum digunakan dalam farmasi adalah air,
alkohol-gliserin, gliserin dan propilen glikol. Suatu zat dapat larut
dalam pelarut tertentu, tetapi jumlahnya selalu terbatas. Batas itu
disebut kelarutan. Kelarutan bergantung juga pada sifat dan
konsentrasi zat-zat lain, terutama ion-ion dalam campuran itu.
Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukan
konsntrasi maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut
tersebut. Bila suatu pelarut dalam suhu tertentu melarutkan semua zat
terlarut sampai batas daya melarutnya, larutan ini disebut larutan
jenuh. Larutan jenuh adalah suatu larutan dimana zat terlarut berada
dalam kesetimbangan dengan fase pada (zat terlarut). Larutan tidak
jenuh atau hampir jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat
terlarut dalam konsentrasi dibawah konsentrasi yang dibutuhkan untuk
penjenuhan sempurna pada terperatur tertentu.
Zat aktif yang mempunyai kelarutan kurang baik bisa
dipengaruhi terhadap keadaan obat dalam sediaan, sehingga dapat
diasumsikan bahwa semakin tinggi kelarutan maka kadar bahan aktif
semakin meningkat. Faktor kelarutan dan kestabilan dapat
diperkirakan, sedangkan karakteristik rasa dan organoleptis lain masih
tergantung pada faktor subjektif, jadi formulasi suatu cairan
memerlukan penggabungan nilai ilmiah dan estetika.
Sedangkan untuk Pengaruh Pelarut Campur terhadap Kelarutan
Zat Padat adalah Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh
polaritas dari pelarut, yaitu oleh dipol momennya. Pelarut polar
melarutkan zat terlarut ionik dan zat polar lainnya, contoh : air
bercampur dengan alkohol dalam segala perbandingan dan melarutkan
gula. Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut,
pelarut polar mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat
melarutkan zat-zat non polar sukar larut di dalamnya, begitu pula
sebaliknya. Berdasarkan tetapan dielektrik ini menurut Moore dapat
diatur dengan penambahan pelarut lain.
Dalam pembuatan suatu bentuk sediaan farmasi seperti eliksir
digunakan pelarut dalam bentuk tunggal maupun campur, sebab
kelarutan zat aktif yang ada sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut.
Pelarut yang polar mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi, dapat
melarutkan dengan baik zat-zat yang polar. Sedangkan zat-zat non
polar sukar larut didalamnya begitu juga sebaliknya atau dikenal
dengan “like dissolve like".
Dasar pemilihan pelarut campur: toksisitas, kelarutan, konstanta
dielektrik pelarut, ketercampuran bahan. Kombinasi pelarut campur
yang banyak digunakan dalam sediaan farmasi adalah :
1. campuran air-alkohol atau
2. campuran air-pelarut lain yang sesuai antara lain gliserin, propilen
glikol, sorbitol dan sirupus simpleks

III. ALAT DAN BAHAN


Alat :
1. Buret 10 ml
2. Pipet volume 10 ml
3. Erlemeyer
4. Kertas saring
Bahan :
1. Larutan Tween 80 sebagai konsentrasi
2. Aquadest
3. Larutan NaOH 0,1N
4. Serbuk asetosal
5. Indikator PP
6. Kalium Hidrogen Phtalat
7. Etanol
8. Gliserin
9. Serbuk teofilin

IV. CARA KERJA


IV.1 Pengaruh Surfaktan Terhadap Kelarutan Zat Padat
A. Pembakuan larutan NaOH
1. Kalium Hidrogen Phtalat sebanyak 300 mg dimasukkan
kedalam erlemeyer lalu dilarutkan dengan 10ml aquadest,
kemudian ditambahkan 1-2 tetes indikator PP.
2. Titrasi dengan larutan NaOH hingga terjadi perubahan warna
dari tidak berwarna menjadi warna merah muda stabil. Catat
volume titrasi dan hitung normalitas NaOH. Titrasi dilakukan
sebanyak tiga kali.

Normalitas NaOH dihitung dengan rumus:

𝑁 = 𝑚𝑔
𝐵𝐸𝑥𝑉

B. Penetapan Kadar Asetosal dalam larutan surfaktan


1. Buat 50 ml larutan surfaktan dalam berbagai konsentrasi: 1%,
3%, 5% dan 10% b/v dalam aquadest.
2. Timbang 500 ml asetosal
3. Masukkan 50 ml larutan surfaktan dan asetosal yang ditimbang
kedalam erlemeyer 125 ml, asetosal dilarutkan dalam larutan
surfaktan dengan bantuan magnetik stirer selama lebih kurang
15 menit.
4. Saring kedalam erlemeyer 50 ml.
5. Tentukan kadar asetosal dengan cara: dipipet 10 ml filtrat,
dimasukkan kedalam erlenmeyer. Ditambah satu tetes indikator
PP kemudian titrasi dengan larutan NaOH 0,1N sampai terjadi
warna merah muda. Titrasi dilakukan sebanyak tiga kai.
6. Lakukan percobaan blangko ( menggunakan aquadest 50 ml
saja), lalu hitung jumlah asetosal yang terlarut (mg) dan
tentukan % kadar asetosal yang terlarut dalam setiap larutan.
7. Buat grafik antara % surfaktan dengan % asetosal yang
terlarut.
mg asetosal terlarut: V x N x BE

%𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 = 𝑚𝑔 𝑎𝑠𝑒𝑡𝑜𝑠𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 50 𝑚𝑙 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛


𝑚𝑔 𝑎𝑠𝑒𝑡𝑜𝑠𝑎𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝑥 100%

4.2. Pengaruh Pelarut Campur Terhadap Kelarutan Zat Padat


A. Pembakuan larutan NaOH
1. Kalium Hidrogen Phtalat sebanyak 300 mg dimasukkan
kedalam erlemeyer lalu dilarutkan dengan 10ml aquadest,
kemudian ditambahkan 1-2 tetes indikator PP.
2. Titrasi dengan larutan NaOH hingga terjadi perubahan warna
dari tidak berwarna menjadi warna merah muda stabil. Catat
volume titrasi dan hitung normalitas NaOH. Titrasi dilakukan
sebanyak tiga kali.

Normalitas NaOH dihitung dengan rumus:

𝑁 = 𝑚𝑔
𝐵𝐸𝑥𝑉

B. Penetapan kadar teofilin dalam pelarut campur


1. Buatlah campuran pelarut seperti yang tertera pada tabel
dibawah ini

NO. Air (ml) Alkohol (ml) Gliserin (ml) Jumlah


1. 45 5 - 50
2. 42,5 5 2,5 50
3. 40 5 5 50
4. 37,5 5 7,5 50
5. 35 5 10 50

2. Timbang 200 mg teofilin.


3. Larutkan teofilin sedikit demi sedikit kedalam masing-masing
campuran pelarut diatas didalam erlenmeyer 125 ml. Kocok
selama 15 menit.
4. Saring larutan tersebut kedalam erlenmeyer 50 ml
menggunakan kertas saring
5. Tentukan kadar teofilin dengan cara: pipet 10 ml filtrat,
masukkan kedalam erlenmeyer. Tambahkan satu tetes indikator
PP kemudian titrasi dengan larutan NaOH 0,1N sampai terjadi
warna merah muda. Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali.
6. Lakukan percobaan blangko (menggunakan aquadest 50 ml
saja) lalu hitung jumlah teofilin yang terlarut (mg) dan
tentukan %kadar teofilin yang terlarut dalam setiap pelarut
campur.
7. Buat grafik antara % gliserin dengan teofilin yang terlarut
mg asetosal terlarut: V x N x BE
%𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 = 𝑚𝑔 𝑎𝑠𝑒𝑡𝑜𝑠𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 50 𝑚𝑙 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛
𝑚𝑔 𝑎𝑠𝑒𝑡𝑜𝑠𝑎𝑙 𝑎𝑤𝑎 𝑥 100%

V. HASIL DAN PENIMBANGAN


I. Hasil
A. Pembakuan NaOH

Pengulangan V KHP V NaOH


1 10 ml 14,6 ml
2 10 ml 15,3 ml
3 10 ml 15,7 ml

mg
N1=
BE ×V
300 mg
=
204,23× 14,6
= 0,1006 N

mg
N2=
BE ×V
300 mg
=
204,23× 15,3
= 0.0960 N

mg
N3=
BE ×V
300 mg
=
204,23× 15,3
= 0,0935 N

0,1006+0,0960+0,0935
N rata-rata =
3

= 0.0967 N

B. Penetapan kadar Asetosal

NO. Tween 80 NaOH terpakai (ml)


1 Blangko 2,5
2,5
2,6
2 Tween 80 1% 3
3,1
3,1
3 Tween 80 3% 4,1
3,9
3,7
4 Tween 80 5% 4,2
4,5
4,3
5 Tween 80 10% 5,7
5,7
5,8
Blangko: 2,5
2,5+2,5+2,6
2,5 rata-rata= = 2,46 ml
3
2,6

mg asetosal= V × N × BE
= 2,46 × 0.0967 ×180,16
= 42,8 × 5 = 214 mg
mg asetosal dalam 50 ml
% kadar = × 100 %
mg asetosal awal
214 mg
= ×100 %
500 mg
= 42,8%
Tween 80 1% = 3
3+3,1+3,1
3,1 rata-rata= = 3,06 ml
3
3,1
mg asetosal = V × N × BE
= 3,06 × 0.0967 ×180,16
= 53,3 × 5 = 266,5 mg
mg asetosal dalam 50 ml
% kadar = × 100 %
mg asetosal a wal
266,5 mg
= ×100 %
500 mg
= 53,3%

Tween 80 3% = 4,1
4,1+3,9+3,7
3,9 rata-rata= = 3,9 ml
3
3,7
mg asetosal = V × N × BE
= 3,9 × 0.0967 ×180,16
= 67,9 × 5 = 339,5 mg
mg asetosal dalam 50 ml
% kadar = × 100 %
mg asetosal awal
339,5 mg
= ×100 %
500 mg
= 67,9%

Tween 80 5% = 4,2
4,2+4,5+ 4,3
4,5 rata-rata= = 4,33 ml
3
4,3

mg asetosal = V × N × BE
= 4,33 × 0.0967 ×180,16
= 75,4 × 5 = 377 mg
mg asetosal dalam 50 ml
% kadar = × 100 %
mg asetosal awal
377 mg
= ×100 %
500 mg
= 75,4%

Tween 80 10% = 5,7


5,7+5,5+5,6
5,5 rata-rata= = 5,73 ml
3
5,6
mg asetosal = V × N × BE
= 5,73 × 0.0967 ×180,16
= 99,82 × 5 = 499,1 mg
mg asetosal dalam 50 ml
% kadar = × 100 %
mg asetosal awal
499,1 mg
= ×100 %
500 mg
= 99,82%

kurva penambahan surfaktan terhadap


asetosal
120

100 99,8
9
80 75,4
67,9
60 53,3
42,8
40

20

0
0 5 10 15 20 25

SURFAKTAN

C. Penetapan kadar Teofilin

Campur NaOH terpakai (ml)


I 1,3
1,2
1,2
II 1,4
1,5
1,4
III 1,6
1,5
1,5
IV 1,6
1,6
1,7
V 1,7
1,7
1,8
Campuran I = 1,3

1,3+1,2+ 1,2
1,2 rata-rata= = 1,23 ml
3

1,2
mg teofilin = V × N × BE
= 1,23 × 0.0967 ×180,17
= 21,42 × 5 = 107,1 mg
mg teofilin dalam50 ml
% kadar = ×100 %
mg teofilin awal
107,1mg
= × 100 %
200mg
= 53,55%

Campuran II = 1,4

1,4+1,5+1,4
1,5 rata-rata= = 1,43 ml
3
1,4
mg teofilin = V × N × BE
= 1,43 × 0.0967 ×180,17
= 24,91 × 5 = 124,55 mg
mg teofilin dalam50 ml
% kadar = ×100 %
mg teofilin awal
124,55mg
= × 100 %
200 mg
= 62,27%

Campuran III = 1,6

1,6+1,5+1,5
1,5 rata-rata= = 1,53 ml
3

1,5
mg teofilin = V × N × BE
= 1,53 × 0.0967 ×180,17
= 26,65 × 5 = 133,25 mg
mg teofilin dalam50 ml
% kadar = ×100 %
mg teofilin awal
133,25mg
= × 100 %
200 mg
= 66,62%

Campuran IV = 1,6

1,6+1,6+1,7
1,6 rata-rata= = 1,63 ml
3

1,7
mg teofilin = V × N × BE
= 1,63 × 0.0967 ×180,17
= 28,39 × 5 = 141,95 mg
mg teofilin dalam50 ml
% kadar = ×100 %
mg teofilin awal
141,95mg
= × 100 %
200 mg
= 70,97%

Campuran V = 1,7

1,7+1,7+1,8
1,7 rata-rata= = 1,73 ml
3

1,8
mg teofilin = V × N × BE
= 1,73 × 0.0967 ×180,17
= 30,14 × 5 = 150,7 mg
mg teofilin dalam50 ml
% kadar = ×100 %
mg teofilin awal
150,7 mg
= ×100 %
200 mg
= 75,35%
Kurva Pengaruh Penambahan Pelarut Campur
80
Terhadap Kelarutan Zat
70 75,35
60 70,97
66,62
TEOFILIN
50 62,27
E 53,55
40
30
20
10
0
0 5 10 15 20 25

GLISERIN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


VI.1 Kesimpulan
1. Surfaktan dapat mempengaruhi kelarutan asetosal
2. Semakin besar konsentrasi surfaktan yang ditambahkan kedalam
larutan asetosal, maka semakin tinggi kelarutan asetosal didalam
air.
3. Dari data tersebut, semakin tinggi konsentrasi tween 80 maka
semakin tinggi pula kelarutan asetosal. Hal ini sesuai dengan
Farmakope Indonesia Edisi III yaitu asetosal lebih mudah larut
dalam etanol dibandingkan dalam air tetapi asetosal dapat mudah
larut dalam air panas.
4. Penggunaan konsolven dapat meningkatkan kelarutan Teofilin
5. Kelarutan Teofilin meningkat seiring dengan peningkatan
konsentrasi gliserin
6. Kadar atau konsentrasi alkohol tidak divariasikan karena kadar
maksimal yang bisa digunakan dalam pelarut campur yaitu 10%
6.2 Saran
1. Sebaiknya dalam praktikum ini kita juga menggunakan surfaktan
lain agar dapat dibandingkan kelarutannya.
2. Pada praktikum selanjutnya, dalam penentuan kadar teofilin dalam
larutan campuran yang digunakan adalah propilen glikol agar
dapat dibandingkan kelarutannya jika menggunakan gliserol.

VII. PEMBAHASAN
Larutan adalah campuran homogen antara zat pelarut dan zat
terlarut. Kelarutan adalah kemampuan suatu zat melarut dalam pelarut
tertentu. Larutan umunya dibagi menjadi 3 yaitu larutan jenuh adalah
larutan yang zat terlarutnya dapat melarut dalam zat pelarutnya dalam
konsentrasi yang maksimal. Larutan lewat jenuh terjadi pada saat zat
terlarut sudah melewati batas maksimal zat pelarut untuk melarutkan yang
biasanya dintadai dengan terbentuknya larutan. Larutan tak jenuh terjadi
saat zat terlarut belum mencapai batas maksimal zat pelarut untuk
melarutkannya.
Dalam kelarutan dikenal istilah colsovency dimana colsovent
merupakan bahan yang digunakan untuk meningkatkan kelarutannya
misalnya seperti penggunaan pelarut campur sedangkan consolvency
merupakan peristiwa peningkatan kelarutan.
Faktor yang mempengaruhi kelarutan zat antara lain:
1. pH
Zat organik yang bersifat asam lemah atau basa lemah
adalah zat aktif yang sering digunakan dalam dunia farmasi.
Kelarutannya dipengaruhi pH, yakni untuk dapat larut zat
organik yang bersifat asam lemah diberikan atau dicampurkan
dulu dengan larutan basa agar berbentuk garam organik yang
mudah larut dalam air, demikian sebaliknya.
2. Temperatur
Ada 3 pernyataan tentang kelarutan yang dipengaruhi oleh
temperatur, yaitu:
 Bila suhu dinaikkan, kelarutan akan meningkat, namun bila di
dinginkan dia akan mengendap
 Bila suhu dinaikan, kelarutan akan meningkat
 Bila suhu dinaikkan, kelarutan akan kecil
3. Pengaruh bentuk dan ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel, maka kelarutan zat tersebut
akan meningkat, begitu pula sebaliknya.
4. Pengaruh jenis pelarut
Pelarut polar melarutkan lebih baik zat-zat polar atau ionik
beigutpula sebaliknya. Pelarut non polar akan melarutkan lebih
baik zat-zat non polar atau molekul.
5. Pengaruh konstanta elektrik
Besarnya dielektrik diatur dengan penambahan pelarut
lain.
6. Pengaruh penambahan zat-zat lain
Surfaktan adalah zat yang sering digunakan unuk
menaikkan kelarutan suatu zat.
Pada percobaan praktikum ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh surfaktan terhadap kelarutan suatu zat. Surfaktan yang
digunakan adalah tween 80 dengan zat aktif yang dilarutkan adalah
asetosal. Pada percobaan ini, asetosal akan dilarutkan dalam volume air,
tween 80 dengan volume yang berbeda.
Pada percobaan ini,kita mengetahui pengaruh surfaktan terhadap
kelarutan asetosal. Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan
untuk menaikan kelarutan suatu zat. Molekul surfaktan terdiri atas dua
bagian yaitu bagian polar dan non polar. Apabila didisppersikan dalam air
pada konsentrasi yang rendah, akan berkumpul pada permukaan dengan
mengorientasikan bagian polar ke arah air dan bagian non polar kearah
udara. Surfaktan mempunyai kecenderungan berasosiasi membentuk
agregat yang dikenal sebagai misel. Konsentrasi pada saat misel mulai
terbentuk disebut konsentrasi misel kritik (KMK). Menurut literatur yang
didapat bahwa penambahan surfaktan dapat meningkatkan kelarutan
dengan cara menurunkan tegangan permukaan antara serbuk asetosal
dengan air.
Menurut Martin, obat yang bersifat asam lemah dan basa lemah
dapat dilarutkan dengan bantuan kerja penglarutan dari permukaan zat
aktif. Pelarutan obat dalam misel mengalami gejala koloidal. Asetosal
yang larut oleh air dari surfaktan non ionik (Tween 80) dianggap
terdistribusi diantara larutan air dan misel surfaktan
Berdasarkan kelarutannya, asetosal merupakan senyawa yang sukar
larut dalam air dan larut dalam etanol (95%). Hal inilah yang mendasari
bahwa pada percobaan ini asetosal tidak larut dalam campuran tween 80
dan aquadest.
Hal ini menunjukkan bahwa, semakin besar konsentrasi surfaktan
maka semakin tinggi pula kelarutan asetosal didalam air. Hal ini terjadi
karena surfaktan merupakan molekul ampifilik yaitu memiliki gugus
hidrofilik (suka air, polar) dan gugus lipofilik (suka minyak, non polar),
sehingga surfaktan memiliki aftinitas dengan pelarut polar (air) ataupun
non polar (minyak)
Menurut Genaro, penambahan surfaktan dalam larutan akan
menyebabkan turunnya tegangan permukaan larutan. Setelah mencapai
konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan konstan walaupun
konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan melebihi
konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi membentuk misel.
Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration
(CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai.
Setelah CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang
menunjukkan bahwa antar muka menjadi jenuh dan terbentuk misel yang
berada dalam keseimbangan dinamis dengan monomernya.
Tween 80 dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dan
medium sekaligus membentuk misel sehingga molekul obat akan terbawa
oleh misel larut kedalam medium. Penggunaan surfaktan pada kadar yang
lebih tinggi akan berkumpul membentuk agregat yang disebut misel.
Berdasarkan grafik hasil percobaan, menunjukkan bahwa kadar
asetosal semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi
surfaktan. Grafik setelah naik akan memperlihatkan garis lurus yang
berarti konsentrasinya menjadi konstan. Hal ini menunjukkan surfaktan
tersebut telah menurunkan tegangan permukaan pada larutan asetosal
sampai pada titik CMC. Pada titik CMC ini surfaktan menjadi jenuh dan
surfaktan yang berlebih akan membentuk misel. Misel sendiri adalah suatu
agregat yang mengandung monomer-monomer surfaktan. Pada
konsentrasi setelah CMC, surfaktan akan meningkatkan kelarutan zat yang
tidak larut air karena zat tersebut dapat tersembunyi didalam misel. Misel
ini berperan dalam proses solubilisasi miselar. Solubilisasi miselar adalah
suatu pelarutan spontan yang terjadi pada molekul zat yang sukar larut
dalam air melalui interaksi yang reversibel dengan misel dari surfaktan
larutan sehingga terbentuk suatu larutan yang stabil secara termodinamika.
Pada percobaan praktikum ini juga bertujuan untuk mengetahui
kelarutan teofilin pada berbagai konsentrasi pelarut campuran bahan
pelarutnya adalah air, alkohol, dan gliserin dengan jumlah yang berbeda-
beda.
Pada percobaan kali ini penggunaan pelarut campur dimana % air
lebih banyak daripada etanol dan gliserin, yang mana air merupakan
dielektrik yang sangat tinggi yang mudah dijumpai. Air memiliki tetapak
dielektrik yang mampu melarutkan zat polar, sedangkan semakin tinggi
suatu tetapan dielektrik suatu larutan semakin mudah larutan tersebut
melarutkan.
Semua pelarut campur dibuat, lalu dimasukkan teofilin kedalam
pelarut campur itu masing-masingnya. Titrasipun dilakukan sampai terjadi
perubahan warna atau titik akhir titrasi. Pada praktikum ini teofilin
dilarutkan kedalam berbagai konsentrasi pelarut campur yang berbeda-
beda untuk melihat apakah kelarutan teofilin intensif atau malah menurun.
Didapat hasil konsentrasi pelarut campur tersebut (pelarut campur I)
dengan konsentrasi (45 : 5 : 0) dengan kadar teofilin yang terlarut
107,1mg dan %kadar 53,55%, konsentrasi pelarut campur II dengan
konsentrasi(42,5 : 5 : 2,5) dengan kadar teofilin yang telarut 124,55mg
dan % kadar 62,27%, konsentrasi pelarut campur III dengan konsentrasi
(40: 5 : 5) dengan kadar teofilin yang terlarut 133,25mg dan % kadar
66,62%, konsentrasi pelarut campur IV dengan konsentrasi (37,5 : 5 :7,5)
dengan kadar teofilin yang terlarut 141,95mg dan % kadar 70,97%,
konsentrasi pelarut campur V dengan konsentrasi (35 : 5 :10) dengan
kadar teofilin yang terlarut 150,7mg dan % kadar 75,35%.
Dari data yang didapatkan, dilihat bahwa dilihat bahwa larutan
blangko, larutan aquadest dan teofilin saja memiliki % kadar yang paling
kecil, hal ini sesuai dengan sifat kelarutan teofilin pada Farmakope III,
yaitu teofilin sukar larut dalam air, tetapi mudah larut dalam larutan alkali
hidroksida. Nah karena sifat kelarutannya yang sukar larut dalam air ini
maka untuk menaikkan kelarutannya dilarutkan kedalam pelarut campur.
Dari data yang di dapat, pelarut camput 5 yang memiliki nilai persen kadar
palingg tinggi yaitu 75,35% karena menurut teori, semakin tinggi
konsentrasi gliserin yang divariasikan dalam pelarut campur, semakin
tinggi pula kemampuan pelarut campur tersebut untuk melarutkan teofilin.
Prinsip yang bekerja pada kelarutan suatu objek dalam pelarut
campur ini adalah tetapan dielektrik. Kelarutan suatu bahan obat (Teofilin)
dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar mempunyai konstanta
dielektrik yang tinggi. Pelarut yang memiliki nilai konstanta dielektrik
yang tinggi biasanya dapat melarutkan zat-zat non polar yang sukar larut
didalamnya, begitu pula sebaliknya.
Tetapan dielektrik ini dapat diatur dengan penambahan pelarut lain.
Penambahan gliserin dan alkohol dapat memperbesar nilai konstanta
dielektrik. Penambahan konsentrasi gliserin dapat menyebabkan
perubahan polaritas, dengan adanya gliserin dalam larutan aquadest dan
alkohol dapat menyebabkan zat-zat non polar, seperti obat teofilin dapat
dilarutkan dengan mudah.
Seharusnya data yang didapatkan hasil kelarutan teofilin semakin
bertambah seiring dengan bertambahnya konsentrasi gliserin pada pelarut
campur sehingga data grafik harus memiliki grafik yang linier antara
konsentrasi pelarut campur dari kadar teofilin yang dapat terlarut.
Aplikasi praktikum ini di bidang farmasi ialah dapat menentukan
medium pelarut yang baik pada obat-obat yang sukar dilarutkan dalam air.
Baik pada obat dengan komposisi tunggal maupun obat kombinasi. Selain
menentukan pelarut yang sesuai, pada bidang farmasi dapat digunakan
untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul pada saat pembuatan
larutan dan lebih jauh lagi dapat bertindak sebagai standar uji.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk meningkatkan kelarutan yaitu
pembentukan kompleks penambahan ko-solven dan yang terakhir ialah
penambahan surfaktan. Pada praktikum ini, kelarutan ditingkatkan dengan
cara penambahan fosolven sehingga terjadi proses kosolvensi. Proses
kosolven adalah peristiwa dimana suatu zat dalam larutan dapat lebih
mudah larut dalam pelarut campur atau modifikasi pelarut. Pada
praktikum ini, modifikasi pelarut yang digunakan ialah aquadest, alkohol
dan gliserin. Penambahan pelarut lain dapat mempengaruhi tetapan atau
konstanta dielektrik yang menyebabkan zat-zat sukar larut dalam larutan
dengan mudah.
VIII. DAFTAR PUSTAKA

Agues, G. 2006. Pengembangan Sediaan Farmasi. ITB. Bandung

Ansel C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta:


Universitas Indonesia Press

Martin. 2010. Farmasi Fisika ed.III. UI Press. Jakarta

Jankins. 1957. Farmasi Fisika. UGM. Diels.Yogyakarta

R.Voight. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, edisi kelima.


Yogyakarta: Gadjah Mada University press

Roth,Herman,J. 1988. Analisis Farmasi. Yogyakarta: UGM-press

Anda mungkin juga menyukai