Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Definisi Kelarutan
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam larutan
jenuhnya pada suhu tertentu. Larutan dalam campuran homogen bahan yang
berlainan dapat dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat didalam
cairan. Disamping itu terdapat larutan didalam kondisi padat (misalnya gelas,
bentuk kristal campur (Voight, 1995).
Kelarutan suatu zat didefinisikan sebagai jumlah solut yang dibutuhkan
untuk menghasilkan suatu larutan jenuh dalam sejumlah solven. Pada suatu
temperatur tertentu suatu larutan jenuh yang bercampur dengan solut yang tidak
terlarut merupakan contoh lain dari keadaan kesetimbangan dinamik (Mochtar,
1989).
Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi
zatterlarut didalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan
dinyatakan dalam satuan mililiter pelarut yang dapat melarutkan satu gram zat.
Misalnya 1 gram asam salisilat akan larut dalam 500 mL air. Kelarutan juga
dinyatakan dalam satuan molalitas, molaritas dan persen (Tungadi, 2009).
Kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain
menunjukkan bahwa 1 bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut
dalam bagian volume tertentu pelarut, menurut Dirjen POM (1995). Sedangkan
menurut Martin (1990), kelarutan dapat didefinisikan sebagai konsentrasi zat
terlarut untuk larut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu. Namun, secara
kualitatif kelarutan dapat didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau
lebih zat untuk membentuk disperse molekuler homogen.
Kelarutan didefenisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat
terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, dan secara kualitatif
didefenisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk
dispersi molekuler homogen. Larutan dinyatakan dalam mili liter pelarut yang
dapat melarutkan satu gram zat. Misalnya 1 gram asam salisilat akan larut  dalam

4
500 ml air. Kelarutan dapat pula dinyatakan dalam satuan molalitas, molaritas dan
persen (Genaro, 1990).
2.1.2 Istilah Kelarutan
Untuk menyatakan kelarutan zat kimia, istilah kelarutan dalam pengertian
umum kadang-kadang perlu digunakan tanpa mengindahkan perubahan kimia
yang mungkin terjadi pada pelarutan tersebut. Pernyataan kelarutan zat dalam
bagian tertentu pelarut adalah kelarutan pada suhu 20oC dan kecuali dinyatakan
lain menunjukkan bahwa, 1 bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair
larut dalam bagian volume tertentu pelarut, pernyataan kelarutan yang tidak
disertai angka adalah kelarutan pada suhu kamar, kecuali dinyatakan lain, zat jika
dilarutkan boleh menunjukkan sedikit kotoran mekanik seperti bagian kertas
saring, serat dan butiran debu. Pernyataan bagian dalam kelarutan berarti bahwa 1
g zat padat atau 1 ml zat cair dalam sejumlah dalam sejumlah ml pelarut (Dirjen
POM, 1979).
Menurut Anief (2003), Jika kelarutan suatu zat tidak diketahui dengan pasti,
kelarutannya dapat ditunjukkan dengan istilah berikut :

Istilah kelarutan Jumlah bagian pelarut yang diperlukan untuk


melarutkan 1 bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 –10
Larut 10 – 30
Agak sukar larut 30 – 100
Sukar larut 100 – 1.000
Sangat sukar larut 1000 – 10.000
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000
Mekanisme pelarutan zat terlarut dibagi dalam tiga tahapan yaitu (Martin, 1993) :
a. Tahap pertama menyangkut pemindahan satu molekul dari fase terlarut pada
temperatur tertentu. Kerja yang dilakukan dalam memindahkan satu molekul
dari zat terlarut sehingga dapat lewat ke wujud uap membutuhkan pemecahan
ikatan antara molekul – molekul yang berdekatan. Kerja pemecehan ikatan

5
antara 2 molekul yang berdekatan adalah 2w22, di mana notasi 22 adalah
interaksi antara molekul zat terlarut, lubang yang ditinggalkannya tertutup
dan setengah dari energi yang diterima kembali. Penerimaan energi potensial
atau kerja netto untuk proses ini adalah w22.
b. Tahap kedua menyangkut pembentukan lubang dalam pelarut yang cukup
besar untuk menerima molekul zat terlarut. Kerja yang dibutuhkan untuk
tahap ini adalah w11, di mana angka itu adalah energi interaksi antara molekul
– molekul pelarut.
c. Molekul zat terlarut akhirnya ditempatkan dalam lubang dalam pelarut dan
pertambahan kerja atau penurunan energi potensial dalam langkah ini adalah
w12. Angka 12 adalah energi interaksi zat terlarut dengan pelarut. Lubang
dalam pelarut yang terbentuk dalam 2, sekarang tertutup dan penurunan
tambahan dalam energy w12 terjadi, menyangkut kerja netto dalam tahap ini
adalah 2w12.
2.1.3 Jenis-Jenis Kelarutan
Adapun jenis-jenis kelarutan menurut Martin (1990) yaitu :
1. Larutan jenuh
Larutan jenuh adalah suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam
kesetimbangan fase padat (zat terlarut).
2. Larutan tidak jenuh
Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah suatu larutan yang
mengandung zat terlarut dalam kosentrasi di bawah kosentrasi yang dibutuhkan
untuk penjenuhan sempurna padasuhu tertentu.
3. Larutan lewat jenuh
Larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut
dalam kosentrasi lebih banyak daripada yang seharusnya ada pada temperatur
tertentu, terdapat juga zat terlarut yang tidak larut.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelarutan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat menurut Lund (1994),
yaitu:

6
1. Pengaruh pH
Zat aktif yang sering digunakan di dalam dunia pengobatan adalah zat
organic yang bersifat asam lemah atau basa lemah, dimana kelarutannya sangat
dipengaruhi oleh pH pelarutnya. Kelarutan asam-asam organik lemah seperti
barbiturate dan sulfonamide dalam air akan bertambah dengan naiknya pH karena
terbentuknya garam yang mudah larut dalam air. Sedangkan basa-basa organic
seperti alkaloida dan anestetik lokal pada umumnya sukar larut dalam air. Bila pH
larutan diturunkan dengan penambahan asam kuat, maka akan terbentuk garam
yang mudah larut dalam air.
2. Temperatur
Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada temperature, titik
leleh zat padat, dan panas peleburan molar zat tersebut.
3. Jenis Pelarut
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar
akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik, begitu juga sebaliknya.
Kelarutan zat juga tergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar
dan non polar dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar suatu zat,
makin sukar zat tersebut larut dalam air. Pelarut polar bertindak sebagai pelarut
dengan mekanisme sebagai berikut menurut Lund (1994), yaitu:
a. Mengurangi gaya tarik antara ion yang berlawanan dalam kristal.
b. Mencegah ikatan kovalen elektrolit-elektrolit kuat, karena pelarut ini
bersifat amfiprotil.
c. Membentuk ikatan hidrogen dengan zat terlarut.
Pelarut non polar tidak dapat mengurangi daya tarik menarik antara ion-ion
karena konstanta dielektriknya yang rendah. Juga tidak dapat mencegah ikatan
kovalen dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen. Pelarut ini dapat
melarutkan zat-zat non polar dengan tekanan internal yang sama melalui indoksi
antaraksi dipol.
Pelarut semi polar dapat menginduksi tingkat kepolaran molekul-molekul
pelarut non polar yang bertindak sebagai perantara (intermediate solvent) untuk
mencampurkan pelarut polar dan non polar.

7
4. Bentuk dan Ukuran Partikel
Kelarutan suatu zat akan naik dengan berkurangnya ukuran partikel suatu
zat. Konfigurasi molekul dan bentuk susunan Kristal juga berpengaruh terhadap
kelarutan zat. Partikel yang bentuknya tidak simetris lebih mudah larut bila
dibandingkan dengan partikel yang bentuknya simetris.
5. Konstanta Dielektrik Pelarut
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar
mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat polar,
sedangkan zat-zat non polar sukar larut di dalamnya. Begitu pula sebaliknya.
Besarnya tetapan dielektrik ini menurut Moore dapat diatur dengan penambahan
pelarut lain. Tetapan dielektrik suatu campuran pelarut merupakan hasil
penjumlahan dari tetapan dielektrik masing-masing yang sudah dikalikan dengan
persen volume masing-masing komponen pelarut. Adakalanya suatu zat lebih
mudah larut dalam pelarut campuran dibandingkan dengan pelarut tunggalnya.
Fenomena ini dikenal dengan istilah co-solvency dan pelarut yang mana dalam
bentuk campuran dapat menaikkan kelarutan zat tersebut disebut co-solvent.
6. Adanya Zat Lain
Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk menaikkan
kelarutan suatu zat. Molekul surfaktan terdiri atas dua bagian yaitu bagian polar
dan non polar. Apabila didispersikan dalam air pada konsentrasi yang rendah,
akan berkumpul pada permukaan dengan mengorientasikan bagian polar kearah
air dan bagian non polar kearah udara, membentuk suatu lapisan monomolekul.
Disperse molekul surfaktan ini secara termodinamika tidak stabil karena bagian
non polar mengganggu interaksi bagian polar surfaktan dengan air. Oleh karena
itu surfaktan mempunyai kecenderungan berasosiasi membentuk agregat yang
dikenal sebagai misel. Konsentrasi pada saat misel mulai terbentuk disebut
konsentrasi Konsentrasi Misel Kritik (KMK).
Sifat yang penting dari misel ini adalah kemampuannya untuk menaikkan
kelarutan zat-zat yang biasanya sukar larut dalam air. Proses ini dikenal dengan
solubilisasi. Solubilisasi terjadi karena molekul zat yang sukar larut berasosiasi
dengan misel membentuk suatu larutan yang jernih dan stabil secara

8
termodinamika. Lokasi melekul zat terlarut dalam misel tergantung pada pelarut
zat tersebut. Molekul-molekul non polar akan masuk ke bagian non polar dari
misel sedangkan molekul-molekul polar akan teradsorbsi pada permukaan misel.
Molekul-molekul polar akan teradsorbsi pada permukaan misel. Molekul-molekul
semi polar akan teradsorbsi pada permukaan misel. Molekul-molekul semi polar
akan masuk ke daerah palisade dan membentuk suatu misel campuran.
Selain penambahan surfaktan, dapat juga ditambahkan zat-zat pembentuk
kompleks untuk menaikkan kelarutan suatu zat, misalnya penambahan uretan
dalam pembuatan injeksi khinin.
2.1.5 Koefisien Distribusi
Koefisien distribusi merupakan suatu perbandingan kelarutan suatu zat
(sampel)di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta
mempunyai hargatetap pada suhu tertentu. Pada ekstraksi cair-cair, satu
komponen bahan atau lebih dari suatucampuran dipisahkan dengan bantuan
pelarut. Ekstraksi cair-cair terutama digunakan, bila pemisahan campuran dengan
cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan azeotrop
atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Metode ekstraksi
cair-cair merupakan distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua
pelarut yang tidak saling bercampur seperti benzena, karbon tetraklorida atau
kloroform. Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang
berbeda dalam kedua fase pelarut (Pratiwi, 2013).
Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam
pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut
lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi
lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak dan
air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal
tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan
aktivitas zat terlarut dalam satu pelarut jika aktivitas zat terlarut dalam pelarut lain
diketahui, asalkan kedua pelarut tidak tercampur sempurna satu sama lain. Faktor

9
yang mempengaruhi tetapan distribusi adalah jenis zat pelarut, konsentrasi, jenis
zat terlarut dan suhu (Anita, 2013).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam larutan,
yaitu menurut Cammarata (1995) :
1. Temperatur
Kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan suhu
10℃.
2. Kekuatan Ion
Semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka lajudistribusi makin kecil.
3. Konstanta Dielektrik
Efek konstanta dielektrik terhadap konstanta lajureaksi ionik diekstrapolarkan
sampai pengenceran tak terbatas, yangpengaruh kekuatan ionnya 0. Untuk reaktan
ion yang kekuatannyabermuatan berlawanan maka laju distribusi reaktan tersebut
adalahpositif dan untuk reaktan yang muatannya sama maka laju
distribusinyanegatif.
4. Katalisis
Katalisis dapat menurunkan laju – laju distribusi (Katalisnegatif). Katalis
dapat juga menurunkan energi aktivitas denganssmengubah mekanisme reaksi
sehingga kecepatan bertambah.
5. Katalis Asam Basa Spesifik
Laju distribusi dapat dipercepat denganpenambahan asam atau basa. Jika laju
peruraian ini terdapat bagian yangmengandung konsentrasi ion hidrogen atau
hidroksi.
6. Cahaya Energi
Cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yangdiperlukan untuk
terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuaidengan energi yang cukup akan
diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul– molekul.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalahpengaruh sifat
kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antaralain bahwa senyawa
yang larut baik dalam bentuk lamak terkonsentrasidalam jaringan yang

10
mengandung banyak lemak sedangkan sebaliknya zathidrofil hampir tidak diambil
oleh jaringan lemak karena itu ditentukanterutama dalam ekstrasel (Ernest, 1999).
Untuk dua pelarut yang tidak saling melarutkan, seperti air dan karbontertra
klorida, ketika dicampurkan akan terbentuk dua fasa yang terpisah. Jika ke
dalamnya ditambahkan zat terlarut yang dapat larut di kedua fasa tersebut, seperti
iodium yang dapat larut dalam air dan CCl4 maka zat terlarut akan terdistribusi di
kedua pelarut (yang berbeda fasa) tersebut, sampai tercapai keadaan
kesetimbangan. Pada saat tersebut potensial kimia zat terlarut di fasa 1 sama
dengan potensial kimianya di fasa 2
µ1 = µ2
Jika kedua larutan encer ideal, maka
µ1 = µ1º+RT In x 1 sehingga kesetimbangan
µ1º+RT x1 = µ2º+RT In x2
Karena x1 dan x2 tidak bergantung pada komposisi, maka pada T tetap.
x2
=k
x1
dengan k koefisien distribusi atau koefisien partisi, yang harganya tidak
bergantung  pada konsentrasi zat terlarut pada T yang sama. Hukum distribusi
Nernts hanya  berlaku untuk spesi molekul yang sama di kedua larutan: jika
terlarut terisolasi mejadi ion-ionnya atau molekul yang lebih sederhana atau jika
terasosiasi membentuk molekul yang lebih kompleks, maka hukum distribusi
tidak dapat diterapkan pada konsentrasi totalnya di kedua fasa melainkan hanya
pada konsentrasi spesi yang sama yang ada dalam kedua fasa (Mulyani, 2014)
Pengaruh distribusi telah disebut pengaruh obat artinya membawa bahan obat
terarah kepada tempat kerja yang diinginkan dari segi terapeutik kita
mengharapkan distribusi dapat diatur artinya konsentrasi obat pada tempat kerja
lebih besar dari pada konsentrasi di tempat lain pada organisme, walaupun
demikian kemungkinan untuk mempengaruhi pada distribusi dalam bentuk hal
kecil, pada kemoterapi tumor ganas sebagian dicoba melalui penyuntikan atau
infus sitostatika ke dalam arteri memasok tumor untuk memperoleh kerja yang
terarah (Ernest, 1999).

11
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol, alkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan


mudah bergerak; bau khas; rasa panas. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P,
dan dalam eter P.
Kegunaan : Membersihkan alat
Khasiat : Sebagai disinfektan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya; ditempat sejuk, jauh dari nyala api.
2.2.2 Aquadest (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : AQUA DESTILATA
Nama lain : Air suling
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18,02 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak


berasa.
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

12
2.2.3 Asam Salisilat (Ditjen POM, 1979)
Nama resmi : ACIDIUM SALICYLUM
Nama lain : Asam Salisilat
Rumus molekul : C7H6O3
Berat molekul : 138,12 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Hablur ringan tak berwarna atau serbuk berwarna


putih hampir tidak berbau, rasa agak manis dan
tajam
Kelarutan : Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian
etanol 95% P, mudah larut dalam kloroform P dan
dalam eter P. Larutan dalam larutan amonium asetat
P, dinatrium hidrogenfosat P, kalium sitrat P dan
natrium sitrat P.
Kegunaan : Sebagai sampel.
Khasiat : Anti fungi.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2.2.4 Fenoftalein (Dirjen POM, 1995; Sweetman, 2009)
Nama resmi : PHENOLPHTHALEINUM
Nama lain : Fenoftalein
Rumus molekul : C20H14O4
Berat molekul : 318,33 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau putih kekuningan lemah;


tidak berbau; stabil di udara.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol,
agak sukar larut dalam eter.

13
Kegunaan : Sebagai indikator
Khasiat : Sebagai obat untuk kontipasi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2.2.5 Natrium Hidroksida (Dirjen POM, 1979; Rowe, 2009)
Nama Resmi : NATRII HYDROXYDUM
Nama Lain : Natrium Hidroksida
Rumus Molekul : NaOH
Berat Molekul : 40,00 g/mol
Rumus struktur :

Na-OH
Pemerian : Bentuk batang, buiran, massa hablur atau keping,
kering, kasar, rapuh dan menunjukkan suasana
hablur; putih, mudah meleleh basah. sangat alkalis
dan korosif. Segera menyerap kabondioksida.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol
(95%) P.
Kegunaan : Sebagai titran
Khasiat : Zat tambahan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2.2.6 Parasetamol (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama Lain : Asetaminofen/Parasetamol
Rumus Molekul : C8H9NO2
Berat Molekul : 151,16 g/mol
Stuktur Molekul :

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa


pahit

14
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%), dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian
propilenglikol P, larut dalam larutan alkali
hidroksida
Kegunaan : Sebagai larutan baku
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya

15

Anda mungkin juga menyukai