Anda di halaman 1dari 44

DASAR-DASAR TEKNIK PERCOBAAN

FARMASI FISIK

Laboratorium Farmasi Fisik


Departemen Farmasetika
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
2020

1
DAFTAR ISI
KELARUTAN INTRINSIK DAN KELARUTAN SEMU OBAT .......................................................................................... 3
KOEFISIEN PARTISI .............................................................................................................................................. 16
PENETAPAN UKURAN DAN DISTRIBUSI PARTIKEL ............................................................................................... 21
VISKOSITAS DAN RHEOLOGI ............................................................................................................................... 30
DISPERSI KOLOIDAL DAN NANOPARTIKEL ........................................................................................................... 38

2
Percobaan 1
Kelarutan Intrinsik dan Kelarutan Semu Obat

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengenal konsep kelarutan obat, serta mempelajari pengaruh pH
pelarut terhadap kelarutan bahan obat yang bersifat asam lemah.

B. PENDAHULUAN
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting diperhatikan pada tahap preformulasi bahan
obat menjadi sediaan farmasi. Berdasarkan Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, obat digolongkan manjadi empat
golongan, seperti ditampilkan pada gambar 1.1. Utamanya untuk senyawa obat kelas II dan kelas IV, kelarutan
menjadi suatu faktor yang harus ditingkatkan untuk meningkatkan ketersediaan hayati obat di dalam tubuh.
Beberapa metode dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat, antara lain melalui pembentukan garam,
perubahan struktur internal kristal (polimorfi), atau dengan penambahan suatu bahan penolong, misalnya
pengompleks, surfaktan, atau kosolven.

Kelarutan Baik Kelarutan Buruk


Permeabilitas Baik KELAS I KELAS II
Disolusi cepat Disolusi tergantung kelarutan
Permeabilitas Buruk KELAS III KELAS IV
Disolusi tergantung permeabilitas Disolusi lambat (tergantung
kelarutan dan permeabilitas)
Gambar 1.1. Sistem Klasifikasi Biofarmasetik

Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar akan lebih melarutkan zat-zat
polar dan ionik, begitu pula sebaliknya. Fenomena ini sering disebut sebagai like dissolves like. Kelarutan juga
bergantung pada struktur zat, seperti perbandingan jumlah gugus polar dan non-polar dari suatu molekul. Makin
panjang rantai gugus non-polar (rantai atom karbon) dari suatu zat, makin sukar zat tersebut larut dalam air.
Sifat kelarutan umumnya dinyatak dalam kemampuan suatu senyawa untuk terlarut pada dua kondisi pelarut
yang bertentangan, yaitu polar (direpresentasikan oleh air), dan non-polar (direpresentasikan oleh lemak/lipid). Sifat
hidrofilik atau lipofobik berhubungan dengan kelarutan di dalam air, sedangkan lipofilik atau hidrofobik berhubungan
dengan kelarutan di dalam lemak.
Kelarutan pada umumnya berhubungan dengan aktivitas biologis dari senyawa seri homolog. Kelarutan juga
berhubungan erat dengan absorpsi obat. Hal ini penting karena intensitas aktivitas biologis obat tergantung pada
derajat absorpsinya.
Prinsip Umum

3
Larutan jenuh adalah larutan dimana zat terlarut berada pada kesetimbangan antara fase molekul dengan
fase partikel. Kelarutan secara kuantitatif adalah suatu konsentrasi tertinggi suatu zat terlarut di dalam suatu pelarut
pada suhu tertentu, dimana zat masih dapat terlarut sempurna dalam bentuk molekulnya. Lewat dari titik kelarutan
ini, maka zat dalam bentuk partikel mulai terbentuk (terjadi pengendapan). Kelarutan kualitatif adalah interaksi
spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler homogen. Larutan tidak jenuh adalah suatu
larutan yang mengandung zat terlarut pada konstrasi di bawah konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan
sempurna pada temperatur tertentu. Larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut pada
konsentrasi lebih banyak dari nilai kelarutannya pada temperatur tertentu. Istilah-istilah kelarutan menurut
Farmaskope dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1. Istilah perkiraan kelarutan menurut Farmakope


Istilah Bagian Pelarut untuk Satu Bagian Zat Terlarut
Sangat mudah larut <1
Mudah larut 1-10
Larut 10-30
Agak sukar larut 30-100
Sukar larut 100-1.000
Sangat sukar larut 1.000-10.000
Praktis tidak larut > 10.000

Kelarutan dapat digambarkan secara tepat dengan aturan fase Gibbs: F = C – P + 2 (persamaan 1.1), dengan F
adalah jumlah derajat kebebasan, yaitu jumlah variabel bebas (seperti temperatur, tekanan, dan konsentrasi) yang
harus ditetapkan untuk menentukan sistem secara sempurna. C adalah jumlah komponen terkecil yang cukup untuk
mneggambarkan komposisi kimia dari setiap fase/wujud zat, sedangkan P adalah jumlah fase/wujud zat. Angka 2
ditambahkan di dalam aturan fase Gibbs karena sistem paling pasti adalah ketika derajat kebebasannya nol, diperoleh
pada sistem tunggal (C=1) yang terdiri dari tiga fase (padat, cair, gas).

Interaksi Pelarut dengan Zat Terlarut


Air merupakan pelarut yang baik untuk garam, gula, dan senyawa sejenis, sedangkan minyak mineral dan
benzena merupakan pelarut untuk zat yang sukar larut air. Penemuan empiris ini dikenal dengan istilah like dissolves
like.
Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh kesesuaian antara polaritas obat denga polaritas pelarutnya,
utamanya adalah momen dipolnya. Pelarut polar malarutkan zat terlarut ionik dan zat polar lain. Namun, Hildebrand
menyampaikan bahwa informasi tentang momen dipol saja tidak cukup untuk menerangkan kelarutan zat polar di
dalam air. Kemampuan zat terlarut membentuk ikatan hidrogen juga merupakan faktor yang berpengaruh. Misalnya,
meskipun nitrobenzena memiliki momen dipol 4,2x10-18 esu.cm dan fenol memiliki momen dipol 1,7x10-18 esu.cm,
nitrobenzena hanya larut dalam jumlah 0,0155 mol/kg dalam air, sedang fenol sampai sejumlah 0,95 mol/kg pada
200C. Contoh lain adalah air melarutkan fenol, alkohol, aldehida, keton, amina, dan senyawa lain yang mengandung
atom oksigen dan nitrogen seperti pada gambar 1.2, dimana penjelasannya adalah karena dapat membentuk ikatan
hidrogen dengan air.

4
Gambar 1.2. Struktur senyawa yang membentuk ikatan hidrogen dengan air

Perbedaan sifat kesamaan dan kebasaan dari konstituen dalam hal donor akseptor elektron Lewis juga
memberi andil untuk interaksi spesifik dalam larutan. Molekul air dalam es terikat bersama dalam ikatan hidrogen
membentuk struktur tetrahedral. Walaupun beberapa ikatan hidrogen akan pecah ketika es mencair, air tetap
berstruktur seperti es dalam pengukuran besar pada temperatur biasa. Struktur yang seolah-olah seperti kristal ini
pecah apabila air bercampur dengan setiap zat dapat memberikan ikatan hidrogen. Apabila etil alkohol dan air
dicampur, ikatan hidrogen di antara molekul air dipindahkan sebagian oleh ikatan hidrogen antara molekul air dan
molekul alkohol. Kelarutan zat juga bergantung pada gambaran struktur seperti perbandingan gugus polar terhadap
gugus nonpolar dari molekul.
Singkatnya, pelarut polar seperti air bertindak sebagai pelarut menurut mekanisme berikut:
a. Disebabkan karena tingginya tetapan dielektrik yaitu sekitar 80 untuk air, pelarut polar mengurangi gaya
tarik menarik antara ion dalam kristal yang bermuatan berlawanan sepertu natrium klorida. Kloroform
mempunyai tetapan dielektrik 5 dan benzena sekitar 1 atau 2, oleh karena itu senyawa ionik praktis tidak
larut dalam pelarut ini.
b. Pelarut polar memecah ikatan kovalen dari elektrolit kuat dengan reaksi asam basa karena pelarut ini
amfiprotik. Sebagai contoh, air menyebabkan ionisasi HCl: HCl + H2O à H3O+ + Cl-. Asam organik lemak
kelihatannya tidak akan terionisasi oleh air; di sini dikenal istilah kelarutan parsial, sebagai pengganti
pembentukan ikatan hidrogen dengan air. Tetapi fenol dan asam karboksilat mudah larut dalam larutan
basa kuat.

Gambar 1.3. Perbedaan interaksi asam karboksilat dengan air dan basa kuat (NaOH)

c. Akhirnya pelarut polar mampu mengsolvasi molekul dan ion dengan adanya gaya interkasi dipol,
terutama pembentukan ikatan hidrogen. Zat terlarut harus bersifat polar karena seringkali harus bersaing
untuk mendapatkan tempat dalam struktur pelarut apabila ikatan dalam molekul pelarut tersebut telah
berasosiasi. Interaksi ion-dipol di antara garam natrium dari asam oleat dengan air digambarkan di
gambar 1.4. berikut.

Gambar 1.4. Interaksi natrium oleat dengan air

Aksi pelarut dari cairan nonpolar, berbeda dengan zat polar. Pelarut nonpolar tidak dapat mengurangi gaya
tarik menarik antara ion-ion elektrolit kuat dan lemah, karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah, tidak dapat

5
memecahkan ikatan kovalen dan elektrolit yang berionisasi lemah. Pelarut nonpolar termasuk dalam golongan
pelarut aprotik, dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen dengan nonelektrolit. Namun demikian, senyawa
nonpolar dapat melarutkan zat terlarut nonpolar dengan tekanan dalam yang sama melalui interaksi dipol induksi.
Molekul zat terlarut tetap berada dalam larutan dengan adanya sejenis gaya van der Waals/London yang lemah.
Seperti keton dan alkohol dapat menginduksi suatu derajat polaritas tertentu dalam molekul pelarut
nonpolar, sehingga menjadi dapat larut dalam alkohol, contohnya benzena yang mudah dapat dipolarisasikan.
Kenyataannya, senyawa semipolar dapat bertindak sebagai pelarut perantara yang dapat menyebabkan
bercampurnya cairan polar dan nonpolar. Sesuai dengan itu, aseton menaikkan kelarutan eter dalam air. Loran dan
Guth mempelajari aksi pelarut perantara dari alkohol dalam campuran air-minyak jarak. Propilena glikol telah
terbukti menaikkan kelarutan timbal-balik dari air dan minyak permen, serta air dan benzil benzoat.
Like dissolves like dapat disusun dengan menyatakan bahwa kelarutan suatu zat pada umumnya dapat
diperkirakan hanya dalam cara kualitatif, setelah mempertimbangkan polaritas, tetapan dielektrik, asosiasi, solvasi,
tekanan dalam, reaksi asam-basa, dan faktor-faktor lainnya. Kelarutan bergantung pada pengaruh kimia, listrik,
struktur yang menyebabkan interaksi timbal-balik antara zat terlarut dan pelarut.
Beberapa tipe pelarut dan tetapan dielektriknya dapat dilihat dalam tabel 1.2. Perhatikan bahwa istilah
“polaritas” tidak hanya diwakili oleh konstanta dielektrik pelarut dan zat terlarut saja tetapi juga oleh faktor-faktor
lain.
Tabel 1.2. Polaritas beberapa pelarut, dan zat yang mudah terlarut dengannya
Tetapan dielektrik Pelarut Zat terlarut
pelarut
garam anorganik, garam
80 air
organik
50 glikol gula, tanin
minyak jarak, wax resin, minyak
30 metanol dan etanol
menguap
aldehida, keton, alkohol tinggi, elektrolit lemah termasuk
20
eter, ester, oksida barbiturat
heksana, benzena, karbon
5 tetraklorida, etil eter, petroleum alkaloid dan fenol
eter
fixed oil, lemak, petrolatum,
0 minyak mineral dan fixed oil
parafin, dan hidrokarbon lain

Kelarutan Zat Padat di Dalam Cairan


Suatu larutan farmasetik dapat terdiri dari berbagai variasi zat terlarut dan pelarut. Hasil pencampuran berupa
larutan tersebut bisa bersifat ideal maupun nonideal. Kita akan mulai dengan larutan ideal, kemudian dilanjutkan
dengan larutan biasa nonpolar atau agak polar dan akhirnya dengan larutan yang sangat polar, di mana solvasi dan
asosiasi (penggabungan) berakibat pada penyimpangan yang nyata dari sifat ideal.
Kelarutan zat padat dalam larutan ideal bergantung pada suhu, titik leleh zat padat, panas peleburan molar
(ΔHf) yaitu panas yang diabsorpsi saat suatu zat padat meleleh. Dalam larutan ideal, panas pelarutan sama dengan
panas peleburan. Kelarutan ideal tidak dipengaruhi oleh sifat pelarut. Persamaan untuk larutan ideal zat padat dalam
cairan adalah:

(persamaan 1.2)

6
di mana Xi2 adalah kelarutan ideal zat terlarut yang dinyatakan dalam fraksi mol, T0 adalah titik leleh zat terlarut padat
dalam derajat mutlak, dan T adalah suhu mutlak larutan. Notasi i dalam Xi2 adalah untuk larutan ideal, dan notasi 2
menyatakan fraksi mol dari zat terlarut. Pada temperatur di atas titik leleh, zat terlarut berada dalam keadaan cair,
dan dalam larutan ideal, zat terlarut cair bercampur dalam segala perbandingan dengan pelarut. Oleh karena itu
persamaan (1.2) tidak lagi dipakai apabila T > T0. Persamaan ini juga tidak memadai pada suhu yang diperkirakan di
bawah titik leleh di mana ΔHf tidak dapat digunakan lagi.

Contoh Penerapan (1)


Soal: Berapakah kelarutan naftalen dalam larutan ideal 200C? Titik leleh naftalen 800C, dan panas peleburan molar
4.500 kal/mol.
Penyelesaian:

Kelarutan dalam fraksi mol dapat diubah menjadi molalitas (apabila berat molekul pelarut M1 diketahui) dengan
hubungan sebagai berikut,

(persamaan 1.3)

Keaktifan zat terlarut dalam larutan dinyatakan sebagai konsentrasi dikalikan dengan koefisien keaktifan. Apabila
konsentrasi diberikan dalam fraksi mol, keaktifan dinyatakan sebagai a2 = X2.y2 (persamaan 1.4) dimana y2 apada
skala fraksi mol dikenal sebagai koefisien keaktifan rasional. Dengan mengubah logaritma, maka

(persamaan 1.5)

Dalam larutan ideal, a2 = n, karena n = 1 dan dengan demikian kelarutan ideal, persamaan 1.2 dapat dinyatakan dalam
bentuk keaktifan sebagai

(persamaan 1.6)

Tabel 1.3. Panas peleburan molar untuk obat dan molekul lain
Ragam Senyawa ΔHf (kal/mol)
Asam benzoat 4.302
Kafein 5.044
Klorpromazin HCl 6.730
Metil p-aminobenzoat 5.850
Metil p-hidroksibenzoat 5.400

7
Fenilefrin HCl 6.800
Fenitoin 11.300
Asam p-hidroksibenzoat 7.510
Sulfadiazin 9.740
Sulfametoksazol 7.396
Teobromin 9.818
Teofilin 7.097
Tolbutamide 6.122

Dengan menggabungkan persamaan 1.5 dan 1.6, kelarutan nonideal dinyatakan dalam bentuk log menjadi

(persamaan 1.7)
dimana V2 adalah volume molar atau volume per mol zat terlarut cair (lewat dingin/supercooled) dan φi adalah
volume fraksi atau [X1V1 / (X1V1 + X2V2)].pelarut, R adalah tetapan gas, 1,987 kal/derajat.mol dan T adalah suhu mutlak
larutan. Dari tekanan dalam pelarut dan zat nonideal nonpolar atau agak polar, bentuk (W)½ dikenal dengan
parameter kelarutan dan ditunjukkan oleh simbol δ1 dan δ2 untuk pelarut dan zat terlarut. Dalam larutan yang encer,
volume fraksi mendekati satu, dan φi dapat diabaikan sebagai pendekatan pertama. Bila perhitungan kasar
memperlihatkan makna yang lebih kecil dari 1, harus dibuat perhitungan kembali dengan memperhitungkan harga
φi, W = energi potensial/gaya tarik menarik. Kelarutan fraksi mol dari zat terlarut nonpolar atau sedikit polar dianggap
sebagai larutan nonideal:

(persamaan 1.8)
Jika R diganti dengan 1,987 kal/mol.det dan T dengan 2980K pada 250C, yaitu temperatur yang paling sering
digunakan, akan diperoleh:

(persamaan 1.9)
Parameter kelarutan yang menyatakan kohesi antara molekul sejenis, dapat dihitung dari panas penguapan, tekanan
dalam, tegangan permukaan, dan sifat-sifat lain seperti diuraikan oleh Hildebrand dan Scott. Panas penguapan dalam
hubunganya dengan volume molar zat, apabila tersedia pada temperatur yang diinginkan, mungkin menyokong cara
terbaik untuk perhitungan parameter kelarutan. Ini adalah akar kuadrat dari tekanan dalam atau

(persamaan 1.10)
dengan ΔHv adalah panas penguapan dan Vt adalah volume molar senyawa cair pada temperatur
yang diinginkan. R adalah tetapan gas dan T adalah temperatur mutlak.

8
Contoh Penerapan (2)
Soal: (a) Hitung parameter kelarutan iodium dan kemudian, (b) Tentukan fraksi mol dan kelarutan molal dari iodium
dalam karbon disulfida pada 250C. (c) Berapa koefisien keaktifan zat terlarut dalam larutan? Panas penguapan cairan
iodium diekstrapolasi ke 250C adalah 11,493 kal/mol, panas peleburan rata-rata ΔHf sekitar 3600 kal pada 250C, titik
leleh iodium 1130C dan volume molarnya V2 adalah 59 cm3 pada 250C. Parameter kelarutan karbon disulfida adalah
10.
Penyelesaian:

(a)
(Perhatian bahwa harga yang diperoleh dari data kelarutan, adalah suatu yang berbeda dari harga yang
diperoleh disini).
(b) X2 pertama dihitung dengan menganggap φi2 adalah 1.

Sekarang volume fraksi φi sama dengan V1(1—X2)/[V1(1—X2)+V2X2]. Atau untuk iodium (V2 = 59 cm3) dalam
karbon disulfida (V1=60 cm3). φ = 0,9322.
Hitung kembali X2 dari (b) dengan φi2 sebagai (0,9322)2 termasuk bentuk kedua dalam ruas kanan dari
persamaan kelarutan memberikan X2 = 0,0815.
Sesudah 6 kali pengulangan dengan menggunakan kalkulator, hasilnya menjadi X2 = 0,0845. Harga
percobaan untuk kelarutan dalam karbon disulfida dicatat oleh Hildebrand dan Scott adalah 0,0546 pada
250C. Kelarutan fraksi mol ideal X12 untuk uap iodium adalah 0,250 pada 250C.
Kelarutan dalam fraksi mol yang dihitung dari uap iodium dalam karbon disulfida dapat diubah menjadi
konsentrasi molal yang menggunakan persamaan

(c) Dengan membandingkan persamaan (1.9) dan (1.10), jelaslah bahwa kelarutan ideal dihubungkan dengan
kelarutan nyata pada temperatur tertentu dengan persamaan

oleh karena itu, koefisien keaktifan zat terlarut adalah

Larutan tidak ideal di mana persamaan Scatchard-Hildebrand diterapkan disebut larutan regular (biasa).
Larutan reguler dapat lebih dimengerti dengan membandingkannya terhadap beberapa sifat larutan ideal.
Pertama, molekul larutan ideal memperlihatkan kebebasan gerakan sempurna dan distribusi acak dalam
larutan. Kedua, larutan ideal terbentuk tanpa perubahaan kandungan panas, yaitu panas tidak diabsorpsi
atau dilepaskan selama proses pencampuran.
Lebih jauh lagi, tidak ada perubahan volume ketika komponen larutan ideal dicampur.

9
Tabel 1.4. Volume molar dan parameter kelarutan untuk beberapa senyawa cair

Tabel 1.5. Volume molar dan parameter kelarutan senyawa kristal (nilai percobaan)

Molekul larutan reguler, seperti molekul dalam larutan ideal, mempunyai energi kinetik yang cukup untuk
mencegah pengaturan dan kehilangan entropi; dan larutan reguler, seperti larutan ideal, memperlihatkan
ketidakaturan yang sempurna. Perbedaan entropi dalam pembentukan larutan reguler diberikan oleh rumus

(persamaan 1.11)

Contoh Penerapan (3)


Soal: Hitung harga W untuk larutan kafeina dalam pelarut murni, dioksan (δ=10,01), dalam air murni (δ=23,45), dan
dalam campuran 50:50 persen volume dioksan dan air (δ=16,73) pada 250C. ΔHf adalah 5044 kal/mol dan T0 =
5120C. ΔSf 9,85 kal/mol.det.
Penyelesaian:
Dengan menggunakan persamaan 1.11, logaritma dari kelarutan fraksi mol ideal, —log Xi2 ternyata adalah 1,16460
atau Xi2 = 0,068454. Volume molar (V2) kafeina adalah 144 cm3/mol pada 250C. Fraksi volume φi dari dioksan, air, dan
campuran 50:50 dioksan dan air masing-masing adalah 0,985809; 0,982066 dan 0,942190. Dengan menggunakan
definisi A, akan memperoleh A untuk kafeina dalam dioksan= 0,102570; dalam air=0,101793; dan dalam campuran
50:50 dioksan:air 0,093694.

10
Kelarutan fraksi mol kafeina dalam ketiga pelarut pada 250C yang didapat dari percobaan adalah 0,008491 dalam
dioksan, 0,002285 dalam air dan 0,0211372 dalam campuran 50:50 dioksan dan air.
Dengan menggunakan logγ2/A untuk ke tiga larutan:

dan dalam campuran 50:50


Harga W kemudian diperoleh lagi dalam dioksan:
8,83728 = (10,01)2 + (13,8)2 2W
W = 140,90144
Dalam air:
14,50425 = (23,45)2 + (13,8)2-2W
W = 362,91873
Dalam campuran air:dioksan 50:50:
5,39574 = (16,73)2 + (13,8)2 2W
W = 232,46855

Contoh Penerapan (4)


Soal: Hitung kelarutan kafeina (δ2=13,8) pada 250 dalam campuran 40:60 persen volume dioksan
dan air. Gunakan persamaan kuadrat untuk mendapatkan harga W(hitung).
Penyelesaian:
Pertama-tama seseorang memperoleh harga δ1 dari campuran dioksan dan air 40:60. Dengan menggunakan
persamaan:

dimana φd dan φw adalah fraksi volume 0,40 dan 0,60 dari pelarut dioksan dan air, dan δd dan δw adalah parameter
kelarutannya:
δ1 = 0,40(10,01) + 0,60 (23,45) = 18,07
Kemudian W(hitung) diperoleh dengan perhitungan kembali:
W(hitung) = 79,41140 + 1,86857 (18,07) + 0,43565 (18,07)2
W(hitung) = 255,427; W(percobaan) = 255,191
Harga W(hitung) disubstitusi dimana —log Xi2 untuk kafeina adalah 1,1646 dan A adalah 0,09520.
—log X2 = 1,1646 + 0,09520 [(18,07)2 + (13,8)2 — 2(255,427)]
—log X2 = 1,74635
X2(hitung) = 0,0179; X2(percobaan) = 0,0162

11
Tabel 1.6. Beberapa harga kelarutan yang diamati dan yang dihitung dari kafeina dalam sistem
dioksan-air pada 250C*

*)δ2=13,8; —log Xi2=1,1646


†)W dihitung dengan satuan kal/cm3
‡) W(hitung) diperoleh dengan menggunakan persamaan pangkat empat
**) X2(hitung) dimana W diganti oleh W(hitung)

Tabel 1.7. Volume molar dan parameter kelarutan senyawa kristal (nilai percobaan)

Pengaruh pH terhadap kelarutan


Di dunia kefarmasian, kita akan sangat sering menjumpai bahan-bahan obat terutama yang sintetik. Bahan-
bahan obat tersebut sebagian besar berupa senyawa organik yang bersifat asam lemah atau basa lemah. Dengan
demikian, faktor pH juga dapat mempengaruhi kelarutannya. Untuk obat- obat yang bersifat asam lemah, pada pH
yang rendah zat tersebut praktis dianggap tidak mengalami ionisasi. Kelarutan obat dalam bentuk ini sering disebut
sebagai kelarutan intrinsik. Jika pH dinaikkan, maka kelarutannya pun akan meningkat, karena selain terbentuk
larutan jenuh obat dalam bentuk molekul yang tidak terionkan (kelarutan intrinsik) juga terlarut obat yang berbentuk
ion, seperti terlihat pada kesetimbangan ionisasi gambar 1.5.

Gambar 1.5. Pengaruh pH pada bentuk molekul asam benzoat

12
Fraksi obat yang terionkan [fi] dan fraksi obat yang tidak terionkan/dalam bentuk molekul [fu] dalam larutan,
hubungannya dengan pH larutan mengikuti persamaan Handerson-Hasselbach:

pH = pKa + log [fi]/[fu] (persamaan 1.12)


Terma fi dan fu masing-masing dapat dinyatakan sebagai Si dan So. Selanjutnya, bayangkan bahwa dalam
larutan sekarang terdapat sejumlah kuantitas dari spesi terion dan spesi yang masih dalam bentuk molekul. Sehingga
sekarang kita dapatkan bahwa total keduanya adalah yang kita sebut sebagai kelarutan total dari suatu senyawa.
Dengan bahasa matematis, kita nyatakan:

ST=So+Si (persamaan 1.13)


dengan ST = kelarutan total senyawa, S0 = kelarutan dalam bentuk molekul (kelarutan intrinsik), dan Si = kelarutan
dalam bentuk ion. Dengan menggunakan persamaan (1.12) dan (1.13) didapatkan:

pH = pKa + log [ST - So]/[So] (persamaan 1.14)

Gambar 1.6. Plot persentase bentuk molekul versus pH medium. Perhatikan kelarutan intrinsik antara senyawa pKa=2 dengan
pKa=5; pada pH=6, tampak bahwa yang pertama memiliki fraksi molekul jauh lebih kecil daripada yang kedua.

Apabila besarnya pH = pKa, maka kelarutan total obat menjadi dua kali kelarutan intrinsiknya; jika besamya
pH satu unit di atas pKa,maka kelarutan obat menjadi 11 kali kelarutan intrinsiknya, dan jika besarnya pH dua unit di
atas harga pKa, maka kelarutannya meningkat menjadi 101 kali kelarutan intrinsiknya. Untuk membuktikan
pernyataan tersebut, Anda dapat menghitungnya di atas kertas dan dapat membuat suatu estimasi seberapa besar
rasio kelarutan bentuk ion dengan kelarutan intrinsiknya pada kondisi pH larutan yang berbeda sebagaimana
terdapat dalam gambar 1.6. Konsep dasar ini selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan pH yang memberikan
kelarutan maksimal dari suatu obat.

13
C. METODE
ALAT BAHAN
Thermostatic Shaking Waterbath Asam Benzoat
Spektrofotometer UV-Vis (Genesys) Dapar pH 3,2; 4,2; dan 5,2
Seperangkat Glassware Aquadest
Flakon

Langkah Kerja
Lakukan percobaan pendahuluan untuk menentukan waktu yang diperlukan untuk memperoleh larutan
jenuh, Larutkan 100 mg asam benzoat dalam flakon yang telah diisi 10 mL larutan dapar pada suhu tertentu (37°C).
Jalankan shaker dan tiap selang waktu tertentu (30 menit) sampel diambil, segera disaring lalu diencerkan dan
ditetapkan kadarnya. Perhatian: penyaringan dilakukan dua kali, pertama menggunakan kertas saring, lalu kemudian
menggunakan membran filter 0,45 µM.
Larutan tersebut dianggap sudah jenuh apabila pada dua kali penetapan kadar dengan rentang waktu
pengambilan sampel yang berurutan tidak memberikan perbedaan kadar yang bermakna. Untuk memperoleh
kejenuhan tersebut misalnya diperlukan waktu t jam.
Percobaan yang akan diambil datanya, dilakukan dengan cara yang sama seperti percobaan pendahuluan,
tetapi waktu percobaan diperpanjang misalnya 2x t jam. Dalam percobaan ini gunakan waktu 30, 60, dan 90 menit
untuk sampling.

Penetapan Kadar
Sampel diencerkan dengan pelarut/dapar masing-masing pada pH yang sesuai (disesuaikan dengan hasil
pembacaan, bisa sampai 1000x pengenceran). Dibaca serapannya pada panjang gelombang 227 nm dan ditetapkan
kadarnya menggunakan kurva baku yang tersedia.

Cara Evaluasi
Dari data tersebut buatlah kurva kelarutan vs masing-masing pH pelarut hasil percobaan kemudian
bandingkan dengan kurva hubungan keduanya secara teoretis yang diperoleh dari perhitungan menggunakan
persamaan Handerson-Hasselbach seperti contoh di bawah ini (gambar 1.7). Bahaslah jika terjadi perbedaan.

Gambar 1.7. Plot antara pH versus kelarutan total dan pH versus derajat ionisasi senyawa

14
D. DISKUSI
1. Fenobarbital merupakan obat asam lemah, yang memiliki pKa = 7,41, dengan kelarutan intrinsik = 1 gram
dalam 987 mL air pada 250C. Anda diminta untuk membuat larutan fenobarbital 5 mg/mL.
a. Hitung pada pH berapa obat dapat terlarut pada konsentrasi yang diminta
b. Hitung pH dari larutan natrium fenobarbital 10 mg/mL. Apa yang akan terjadi bila pada penyimpanan,
pH larutan meningkat menjadi 9? Apa yang terjadi bila pH turun sampai 7?
2. Antara obat A dengan pKa 4,5 dan obat B dengan pKa 8,5, manakah yang lebih mudah larut dalam medium
dengan konsentrasi ion hidronium 8 x 10-3? Mengapa? Jelaskan dengan perhitungan.
3. Pilihlah salah satu obat berikut (gambar 1.8) kemudian rencanakan bagaimana agar kelarutannya maksimal
namun tetap stabil.

Gambar 1.8. Sifat keasaman beberapa obat

15
Percobaan 2
Koefisien Partisi

A. TUJUAN
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh pH terhadap koefisien partisi obat yang bersifat
asam lemah (asam salisilat) dalam campuran pelarut kloroform-air.

B. PENDAHULUAN
Koefisien partisi merupakan sifat fisikokimia yang menjadi petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik dari
molekul obat. Adanya pemahaman tentang koefisien partisi dan pengaruh pH pada koefisien partisi akan bermanfaat
dalam memahami transport dan absorpsi obat, mekanisme pemisahan dalam kegiatan analisis seperti pada
penggunaan kromatografi, dan juga studi hubungan struktur- aktivitas suatu molekul. Semakin besar nilai koefisien
partisinya maka semakin banyak senyawa dalam pelarut organik. Nilai koefisien partisi suatu senyawa tergantung
pelarut organik tertentu yang digunakan untuk melakukan pengukuran. Umumnya pengukuran koefisien partisi
dilakukan dengan menggunakan air dan n-oktanol. Dalam hal ini, n-oktanol menyerupai membran biologis dalam
tubuh makhluk hidup.
Pergerakan molekul obat dari suatu fase cairan ke fase cairan lain disebut sebagai partisi (partitioning) dan
merupakan fenomena kesetimbangan yang umum dalam suatu proses farmasetik. Agar lebih jelas, bayangkan bahwa
dalam tubuh, obat akan mengalami partisi ke air (cairan tubuh) maupun ke fase lipofilik dalam hal ini adalah
membran. Suatu bahan obat dan juga zat pengawet dalam sediaan emulsi juga akan mengalami pergerakan ke fase
air maupun fase minyaknya. ”Antusiasnya” zat tersebut ”berkunjung” ke fase air atau minyak/lemak ditentukan dari
sifat alamiah zat yang melibatkan keberadaan gugus fungsi dan juga polaritasnya (ingat kembali P1). Adanya 2 fase
cairan yang tak saling campur (immiscible) dan bertetangga dengan suatu solut menyebabkan migrasi/perpindahan
solut ke kedua fase tersebut dengan laju tertentu. Sampai suatu saat, laju perpindahan ke fase 1 dan fase 2
mengalami kesetimbangan sebagaimana diilustrasikan dalam gambar 1. Di bawah kondisi yang demikian, tidak
terjadi perubahan signifikan kadar solute di tiap fase.
Bila ditinjau secara termodinamik, pada kondisi kesetimbangan potensial kimia dari solute (energi bebas
solute dalam pelarut) dalam suatu fase setara dengan potensial kimia di fase lain. Dengan menyatakan

dengan µw adalah potensial kimia dalam air, µo potensial kimia dalam pelarut organic tertentu, dan aw serta ao
masing-masing menunjukkan koefisien aktivitas solute (efek kadar solute pada interaksi antar-solute dalam sistem)
Dengan menata ulang persamaan tersebut, didapatkan

Terma di sisi kiri konstan pada suhu dan tekanan tertentu sehingga ao/aw = konstan, untuk suatu larutan ideal, a dapat
diganti dengan c sehingga co/cw = konstan. Rasio ini yang kemudian kita kenal sebagai koefisien partisi yang sering

16
disimbolkan dengan P. Rasio tersebut adakalanya dinyatakan sebagai log P. Perhatikan, bahwa Pow sering dinyatakan
sebagai fungsi dari kadar solute yang ada.

Gambar 2.1. Skema partisi suatu obat berupa asam lemah dalam fase air dan fase minyak. Perhatikan bahwa pada pH tertentu,
senyawa dapat terbagi menjadi bentuk molekul dan bentuk terion. Bentuk molekul cenderung akan ”berkunjung” ke fase
minyak sedangkan yang terion lebih senang menuju fase air.

Nilai koefisien partisi dapat berkisar dari 10-3 sampai dengan 107. Bila dinyatakan dengan terma log P, kisaran
tersebut dari -3 sampai dengan 7. Harap diperhatikan dan diingat bahwa koefisien partisi merupakan hasil
perbandingan antara 2 besaran kadar. Dengan demikian, satuan keduanya dapat saling meniadakan dan menjadikan
P atau log P dimensionless. Sekali lagi, senyawa dengan nilai P besar bersifat lipofilik/hidrofobik sedangkan yang P-
nya kecil (<10) cenderung hidrofilik dan memiliki sifat larut dalam air. Indeks o yang ada dalam persamaan tidak harus
lipid namun bisa berupa pelarut organik yang relatif nonpolar daripada air.
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika obat-obat tersebut dilarutkan dalam air,
sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang terionkan tergantung pH larutannya. Obat-obat yang tidak
terionkan (unionized) lebih mudah larut dalam lipid, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil atau
bahkan praktis tidak larut, dengan demikian pengaruh pH terhadap kecepatan absorbsi obat-obat yang bersifat asam
lemah atau basa lemah sangat besar.
Untuk menghitung fraksi obat-obat yang tidak terionkan dapat digunakan persamaan Handerson-Hasselbach,
yaitu (a untuk asam lemah, b untuk basa lemah):

Ada dua macam koefisien partisi, yaitu (1) koefisien partisi sejati (true partition coefficient, TPC) dan (2)
koefisien partisi semu (apparent partition coefficient, APC). Untuk dapat dikatakan sebagai koefisien partisi sejati,
harus memenuhi persyaratan: (1) Antara kedua pelarut benar-benar tidak dapat campur satu sama lain (immiscible),
(2) Bahan obatnya (solute) tidak mengalami asosiasi atau disosiasi, (3) Kadar obatnya relatif kecil (<0,01 M), (4)
Kelarutan solute pada masing-masing pelarut kecil. Bila keempat kondisi ini terpenuhi, maka berlaku persamaan
TPC = C1/C2, dengan C1 adalah kadar obat dalam fase lemak, dan C2 adalah kadar obat dalam fase air
Apabila keempat kondisi ini tidak terpenuhi, maka disebut sebagai koefisien partisi semu. Ingat bahwa istilah
semu menunjukkan pada kondisi nonideal karena dalam penelitian biofarmasetika dan pada berbagai tujuan yang
lain umumnya memiliki kondisi nonideal dan tidak disertai koreksinya, sehingga hasilnya adalah koefisien partisi
semu. Biasanya sebagai fase lipid adalah n- oktanol, kloroform, sikloheksan, isopropil miristat, dan lain-lain. Fase air
yang biasanya digunakan adalah larutan dapar. Pada keadaan ini berlaku persamaan:

17
dengan:
C20 = Kadar obat dalam fase air mula-mula (initial)
C2’ = Kadar obat dalam fase air setelah tercapai kesetimbangan (equilibrium)
a = Volume fase air
b = Volume fase lemak

Tabel 2.1. Daftar obat dan nilai Log P-nya. Penetapan menggunakan n-oktanol sebagai fase lemak.

18
C. METODE
ALAT BAHAN
Seperangkat alat gelas Asam salisilat
Shaking thermostatic waterbath Aquadest
Spektrofotometer UV-Vis (Genesys) n-Heksana
Pipet volume
Neraca analitik

Percobaan Koefisien Partisi


Diambil masing-masing larutan dapar salisilat pH 2, 3, dan 4 sebanyak 10 mL dan dimasukkan dalam tabung
percobaan. Ditambahkan pada larutan tersebut 4 mL n-heksana lalu diinkubasi pada suhu 370C dan di-shaking selama
2 jam. Selanjutnya, dilakukan penentuan kadar salisilat dalam fase air pada menit ke-60, 90, dan 120 dari sejak
shaking dan inkubasi dimulai. Kesetimbangan dicapai apabila setelah dilakukan beberapa kali penentuan kadar
tersebut hasilnya sudah konstan. Selanjutnya, hitung masing-masing koefisien partisi pada ketiga tingkat pH tersebut
dan buat kurva APC sebagai fungsi pH.

Penetapan Kadar Salisilat


Sebanyak 1 mL fase air pada percobaan koefisien partisi diencerkan 10x (ad 10 mL), lalu dibaca serapannya
pada panjang gelombang 293 nm atau lakukan scanning. Bila masih terlalu pekat (di luar range 0,2-0,8) diencerkan
lagi. Ditentukan kadar salisilat dengan menggunakan kurva baku yang tersedia.

Penyajian Data
Bahan uji Asam salisilat
Kadar awal (C20) 0,01 M
Volume fase air (a) 5 mL larutan dapar
Volume fase lemak (b) 2 mL n-heksana
Panjang gelombang maksimum 293 nm
Operating time 6-10 menit
Blanko Aquadest
Kurva baku Tersedia di laboratorium

pH Absorbansi/Serapan Faktor pengenceran Kadar (M) Rerata

Keamanan Kerja
Hati-hati saat bekerja dengan n-heksana, lakukan di lemari asam (fume hood), gunakan masker dan sarung tangan.

19
D. DISKUSI
1. Carilah satu artikel terkait dengan kegunaan konsep pH dan koefisien partisi dalam bidang biofarmasetika
atau formulasi. Berikut adalah hal-hal yang perlu dicantumkan:
a. Judul artikel dan nama jurnal serta nama pengarang.
b. Arti penting penelitian yang dilakukan.
c. Metode yang digunakan secara ringkas.
d. Hasil dan kesimpulan secara ringkas.

2. Berdasarkan tabel 2.1, pilih 3 senyawa yang berbeda, gambar struktur senyawa masing-masing, kemudian
urutkan berdasarkan lipofilisitasnya. Tentukan mana dari ketiganya yang lebih mudah diabsorpsi di usus?
Bila memungkinkan, analisislah gugus mana yang memberikan kontribusi pada lipofilisitas senyawa
tersebut.

20
Percobaan 3
Penetapan Ukuran dan Distribusi Partikel

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk Mempelajari morfologi, penetapan ukuran dandistribusi dari partikel
zat padat dengan metode mikroskopi dan pengayakan (sieving).

B. PENDAHULUAN
Studi terhadap partikel (dimensi dan distribusi) sangat diperlukan di berbagai bidang. Pada kenyataannya,
material padat sering digunakan pada bentuk serbuk atau granulnya. Contoh jelas di kehidupan sehari-hari adalah
sediaan farmasetis (zat aktif dan eksipien), makanan (tepung, gula), teknologi material (keramik dan abrasive, bijih
ogam), dan bahan bangunan (pasir dan semen). Alasan utama untuk melirik dan menelaah dimensi partikel tadi tentu
karena hal tersebut mempengaruhi sifat fisik dan juga sebagai dasar penentuan kondisi pengolahannya. Studi inilah
yang kita sebut sebagai mikromeritik.
Di bidang farmasi, ukuran partikel memiliki banyak kepentingan untuk dipelajari karena akan memberi
dampak pada sediaan yang dibuat (1) Mempengaruhi disolusi. Partikel dengan ukuran lebih kecil dan halus (fine)
akan lebih cepat untuk melarut daripada partikel dengan ukuran yang lebih besar. (2) Sifat alir dari serbuk sangat
tergantung pada ukuran dan bentuk partikel. Hal tersebut akan sangat diperhatikan di kegiatan produksi mengningat
serbuk bahan untuk membuat tablet harus dipindahkan dari hopper menuju ke tempat pengempaan. Partikel kasar
dengan bentuk bola mengalir lebih mudah daripada yang berbentuk memnajang atau terlalu halus. (3) Deposit
partikel pada suatu permukaan dipengaruhi oleh ukurannya dan perlu dipertimbangkan khusunya pada formulasi
sediaan aerosol. Diharapkan partikel aerosol dapat terdeposisi secara merata pada berbagai daerah dari paru-paru.
(4) Stabilitas suatu dispersi seperti emulsi dan suspensi juga bergantung pada ukuran bahan yang terdispersi. Gaya
antara partikel koloid dipengaruhi oleh dimensi. Begitu pula kecepatan pengendapan akan tergantung pada ukuran
dan kerapatan.
Pengukuran ukuran partikel biasanya cukup sukar kecuali jika partikel tersebut mempunyai bentuk yang
tetap/teratur dan hal ini jarang terjadi. Pengetahuan statistik berguna sekali dalam pengukuran partikel karena
alasan tersebut di atas, dan umumnya diasumsikan sebagai diameter bola ekivalen. Berbagai metode pengukuran
dapt digunakan untuk penetapan ukuran partikel dari suatu populasi serbuk. Metode tersebut berupa pengayakan,
pencitraan langsung, pengenapan dan dynamic light scattering (laser light diffraction). Tiap metode tersebut
memberikan pengukuran dengan rentang ukuran tertentu dan mneghasilkan interpretasi yang berbeda sesuai
dengan pendekatan karakterisasinya. Sebagai contoh adalah metode pengayakan yang kisaran pengukurannya 20-
100 mm, pencitraan langsung dapat mendeteksi partikel dengan ukuran 9,2-121 Å, difraksi laser kisaran 0,02 µm-9
mm.
Terkait interpretasi, penghitungan dengan Coulter counter akan memberikan pendekatan diameter ekivalen
volume, analisis citra lebih mengarah pada diameter luasan proyeksi sedangkan dynamic light scattering
menginformasikan diameter hidrodinamik. Metode pengayakan berbeda dari yang lain dengan menyedikan
informasi hubungan diameter dengan bobot.

21
Pemilihan karakteristik diameter partikel disesuaikan dengan proses yang diamati dan yang lebih tampak
pengaruhnya. Ketika yang diamati adaah proses disolusi/pelarutan, luas permukaan merupak parameter penting.
Dengan demikian, diameter yang memuat hubungan dengan luas permukaan akan lebih berguna karena ada
pengaruh antara luas permukaan dengan kecepatan larut. Bisa jadi pula, untuk proses tertentu, kita akan
menggunakan diameter yang memuat hubungan volume partikel dengan bobotnya. Selain itu, pemilihan interpretasi
diameter juga disesuaian dengan keragaman ukurannya. Rerata ukuran geometrik (dgeo) dan simpangan baku
geometrik (σgeo) digunakan ketika distribusi partikelnya asimetris.

Ukuran Partikel dan Distribusi Ukuran


Dua sifat penting partikel yang bersifat heterogen adalah bentuk dan luas permukaan partikelnya serta jarak
ukuran dan jumlah atau bobot partikelnya yang berarti luas muka totalnya. Serbuk dikatakan berdiameter rata-rata
20 µm, dimaksudkan bahwa serbuk tersebut adalah partikel halus berdimensi tiga dan tak teratur, serta dengan satu
dimensi linier (hanya pendekatan).
Analogi pernyataan diatas: anggap ukuran rerata suatu bangunan adalah x meter. Dimensinya didasarkan atas
sifat penting berikut: Untuk tempat mendarat helikopter, yang penting adalah tinggi dan luas gedung; untuk ruang
kerja, yang terpenting adalah luas lantainya, untuk keperluan ruang penyimpanan, yang terpenting adalah
volumenya.

Tabel 3.1. Dimensi partikel dalam sistem dispersi farmasi

Sekali lagi, berdasar analogi, dimensi partikel dapat ditentukan menurut sifatnya: yaitu luas permukaan,
volume, daerah proyeksinya atau kecepatan pengenapan. Dimensi partikel diungkap dengan ”diameter bola
ekivalen”, misalnya: ds, dv, dp, dan dst. Tipe diameter dapat mencerminkan metodenya, misal dp diperoleh dengan
metode mikroskopik dan dst ditentukan dengan metode sedimentasi.
Penentuan diameter tergantung pada dua faktor:
1. Bentuk data dari prosedurnya: pengayakan memberikan bobot, metode permeabilitas menghasilkan luas
permukaan, laju sedimentasi diperoleh dari metode sedimentasi.
2. Untuk apa serbuk digunakan: Adsorpsi, maka diameter permukaan puratanya ditentukan; Suspensi, maka
diameter Stokes puratanya yang ditentukan.
Distribusi ukuran partikel dapat untuk menghitung ukuran partikel rata-rata. Persamaan Edmundson untuk
ukuran partikel rerata:

(persamaan 3.1)
dengan:
n = jumlah partikel yang berada dalam jarak ukuran.

22
d = titik tengah/rata-rata jarak ukuran.
p adalah suatu indeks yang mewakili suatu dimensi.
p=1, dimensinya adalah panjang partikel; p=2, luas partikel; dan p=3, volume partikel.

Nilai p juga menentukan tipe deretnya apakah berupa aritmatik (p=positif), geometrik (p=nol) ataukah
harmonik (p=negatif). Adapun f merupakan indeks frekuensi yang dinyatakan dengan ndf. Bila f=0 yang diperoleh
adalah jumlah total partikel; f=1, panjang; f=2, luas permukaan dan f=3, volume dari partikel.

Distribusi Ukuran Partikel


Merupakan ukuran sebaran jumlah atau bobot partikel yang dinyatakan dalam bentuk kurva terhadap rentang
ukuran partikel rerata. Kurva tersebut kita kenal sebagai kurva distribusi frekuensi. Dari tabel 3.2, distribusi ukuran
partikel dari metode mikroskopi dinyatakan sebagai jumlah unit partikel. Adapun data distribusi bobot lebih
disenangi daripada jumlah pada metode pengayakan.
Jumlah partikel per satuan bobot N yang dinyatakan dalam istilah dvn dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut.
Anggaplah suatu partikel berbentuk bola, maka volume sebuah partikel tunggal = 𝜋dvn3/6. dan massanya (volume
dikali kerapatan) = 𝜋dvn3ρ/6 gram per partikel. Dengan demikian,

(persamaan 3.2)

Metode untuk Menentukan Ukuran Partikel


Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan ukuran partikel di antaranya:
1. Metode mikroskopi
2. Metode pengayakan (sieving)
3. Metode pengenapan (sedimentasi)
4. Metode penentuan volume partikel
Tidak ada metode langsung yang benar-benar menghitung ukuran partikel sesungguhnya:
- Mikroskopi hanya dua atau tiga dimensi partikel,
- Sedimentasi menghasilkan ukuran partikel relatif terhadap kecepatan sedimentasinya,
- Volume partikel dengan alat Coulter counter dapat menghitung diameter volume ekivalen. Namun
demikian, kita tidak dapat gambaran bentuk partikel.
Dengan demikian, ukuran dari suatu metode pengukuran tidak dapat dibandingkan dengan metode lainnya karena
pendekatan masing-masing metode adalah berbeda.

Gambar 3.1. Kisaran ukuran partikel yang dapat dijangkau oleh beberapa metode pengukuran
partikel dan analisa permukaan spesifik (specific surface analysis).

23
Mikroskop Optik
- Untuk pengukuran partikel 0,2 µm-100 µm.
- Suspensi ditaruh pada slide atau ”ruled cell” dan diletakkan di bawah mikroskop.
- Green menyarankan pengukuran secara horisontal melalui tengah partikel agar diperoleh ”diameter
horisontal”.
- Hasil: Berupa jumlah partikel dalam tiap kelas, yang disebut frekuensi.
Kelemahan metode mikroskopi:
- Hanya dua dimensi partikel: panjang dan lebar.
- Harus dihitung (300 - 500) agar distribusi baik.
- Agak lama dan melelahkan.
Pengayakan
- Ayakan yang digunakan adalah ayakan standar dari National Bureau of Standards.
- Ayakan untuk memilah partikel yang lebih kasar.
- Jika hati-hati dapat untuk mengayak bahan sampai 44 µm (ayakan no.325).
- Dengan distribusi log-normal, persentase kumulatif bobot diplotkan pada skala probabilitas terhadap
logaritma ukuran rata-rata aritmatik masing-masing dari dua ayakan yang berdekatan. Menurut Herdan,
kesalahan mengayak dapat muncul dari faktor-faktor: kuantitas pengisian ayakan, lama pengayakan dan
intensitas pengayakan.
- Fonner, Banker dan Swarbrick menyatakan bahwa pengayakan menyebabkan ”attrition” dari bahan granul
sehingga harus hati-hati agar reproducible.
Sedimentasi/Pengenapan
- Berdasarkan pada Hukum Stokes.
- Partikel berbentuk bola.
- Dapat jatuh bebas tanpa hambatan dengan laju yang konstan.
- Hukum tersebut dapat untuk partikel tak teratur yang ukuran partikel relatif ekivalen dengan diameter dari
bola yang jatuh pada kecepatan yang sama.
- Partikel tidak mengalami agregasi atau menggumpal.
- Aliran mediumnya laminer atau streamline.
- Tidak terjadi aliran turbulence.

(persamaan 3.3)
dengan penyusunan ulang didapatkan

(persamaan 3.4)
v = Kecepatan pengenapan, h = jarak jatuh dalam waktu t,
dst = diameter rata-rata dari partikel,
ρs = kerapatan partikel, ρ0 = kerapatan dari medium dispersi,
g = percepatan sesuai dengan gravitasi
η0 = viskositas dan medium
Apakah aliran itu laminar atau turbulen, dapat diketahui dengan bilangan Reynolds (Re) yang tidak memiliki
dimensi, yang didefinisikan sebagai:

24
(persamaan 3.5)

Menurut Heywood, hukum Stokes tidak dapat digunakan jika Re > 0,2, karena pada harga tersebut terjadi
turbulensi. Dengan mengkombinasikan persamaan 3.3 dan persamaan 3.5 akan diperoleh

(persamaan 3.6)
sehingga

(persamaan 3.7)
Pengukuran Volume Partikel
- Alatnya adalah Coulter Counter
- Pada prakteknya, suspensi diencerkan dengan volume tertentu yang diketahui, dipompakan melalui lubang.
Kemudian, partikelnya akan bergerak satu per satu.
- Perubahan tahanan memiliki hubungan dengan volume partikel yang lewat tersebut.
- Instrumen ini mencatat semua partikel yang menghasilkan pulsa yang berada diantara dua nilai ambang dari
analisator. Alat ini mampu menghitung partikel 4.000/detik dan datanya dapat dikonversikan dari distribusi
volume ke distribusi bobot.
Coulter counter ini telah digunakan untuk mempelajari pertumbuhan partikel dan pelarutan (disolusi) serta
efek dari zat antibakteri terhadap pertumbuhan mikroorganisme.
Bentuk dan luas permukaan partikel:
- Bentuk partikel menyangkut sifat alir (flowability properties).
- Luas permukaan menyangkut packing suatu serbuk.
- Luas permukaan per satuan bobot atau volume adalah penting untuk mempelajari adsorpsi permukaan
dan kecepatan pelarutan.
- Partikel berbentuk bola memiliki luas permukaan yang minimum per satuan volume.
- Makin asimetris partikel, makin besar luas permukaan per satuan volumenya.
- Luas permukaan atau volume partikel didapat dengan ”diameter bola ekivalen”.
Luas Permukaan = 𝜋d2 (persamaan 3.8)
Volume = 𝜋d3/6 (persamaan 3.9)
Luas permukaan dan volume partikel berbentuk bola, berbanding lurus dengan d2 dan d3. Kuadrat dan kubik
dari dp berbanding lurus dengan luas permukaan dan volume. Dengan tetapan proporsionalitas, kita
dapatkan bahwa luas permukaan

(persamaan 3.10)
dengan αs = faktor luas permukaan dan ds = diameter permukaan ekivalen.
Untuk volume kita tulis

(persamaan 3.11)

25
dengan αs = faktor volume dan dv = diameter volume ekivalen faktor bentuk (shape factor).
Jadi untuk sebuah bola:

(persamaan 3.12)
Bila partikel berbentuk bola, maka αs/ αv 6,0. Semakin asimetris partikel, rasio makin melampaui 6.
Luas permukaan spesifik adalah adalah luas permukaan per satuan volume (Sv) dan luas permukaan per
satuan bobot (Sw). Jika asimetrik dan dimensi belum ditentukan, maka

(persamaan 3.13)
n = jumlah partikel
Luas permukaan per satuan bobot adalah

(persamaan 3.14)
ρ = kerapatan sesungguhnya dari partikel
Substitusi ke persamaan 3.13. dan 3.14 maka diperoleh persamaa umum:

(persamaan 3.15)
dimensinya adalah dvs, diameter volume permukaan karakteristik dari luas permukaan spesifik. Bila
partikelnya berbentuk bola:

karena (persamaan 3.16)


Luas permukaan serbuk dapat dihitung dari hasil distribusi ukuran partikel, terdapat dua metode lain untuk
mencari luas permukaan secara langsung yaitu:
1. Menetapkan jumlah gas yang diadsorpsi pada sampel serbuk untuk membentuk monolayer yang
merupakan fungsi langsung dari permukaan serbuk (metode adsorpsi).
2. Menetapkan kecepatan gas atau cairan yang merembes pada suatu kumpulan serbuk.

26
C. METODE
ALAT BAHAN
Mikroskop cahaya Serbuk dan granul amilum
Object glass dan deck glass
Gelas beaker
Pengayak elektrik

(1) Pengukuran Diameter Partikel secara Mikroskopi


1. Kalibrasi skala okuler dengan cara: tempatkan mikrometer di bawah mikroskop (hati-hati jangan sampai
terhimpit lensa). Himpitkan garis awal skala okuler dengan garis awal skala objektif kemudian tentukan garis
kedua skala yang tepat berimpit (ambil 3-5 garis kemudian ambil nilai rerata). Tentukan faktor kalibrasi skala
okuler.
2. Buat suspensi encer (tidak perlu kuantitatif, jika antar partikel saling memisah di bawah pengamatan
mikroskop maka sudah disebut encer) yang akan dianalisis dan buat sediaan yang cukup (3-5 sediaan) di
atas kaca objek.
3. Penentuan sistem monodispers/polidispers dengan langkah sebagai berikut:
a. Amati 20 - 25 partikel diri sediaan,
b. Tentukan nilai logaritma masing-masing partikel (log d),
c. Tentukan simpangan bakunya (SD),
d. Hitung nilai antilog dari rerata log d tadi (diperoleh dgeometrik) dan juga antilog SD yang sudah didapat
(SDgeometrik),
e. Sistem disebut polidispers jika harga antilog SD > 1,2 dan monodispers jika antilog SD < 1,2.
4. Lakukan grouping dengan cara: tentukan ukuran partikel yang terkecil dan terbesar dari serbuk yang
diamati, hitung rentang/interval-nya kemudian bagi menjadi beberapa kelas (gasal) paling sedikit 5 kelas.
5. Tetapkan ukuran partikel dan golongkan ke dalam group yang telah ditentukan dan ukurlah > 500
partikel jika sampel bersifat monodispers, serta ukurlah > 1000 partikel jika polidispers.
6. Hitung diameter rerata partikel (dav) dan buat kurva distribusi ukuran partikel serta tentukan harga
diameter-diameter seperti tersebut di bawah ini:
a. Length-number mean, dengan rumus
Σ𝑛𝑑
𝑑#$ =
Σ𝑛
b. Surface-number mean, dengan rumus

Σ𝑛𝑑*
𝑑($ = )
Σ𝑛
c. Volume-number mean, dengan rumus

- Σ𝑛𝑑
,
𝑑+$ = )
Σ𝑛

27
d. Surface-length, dengan rumus

Σ𝑛𝑑 *
𝑑(. =
Σ𝑛
e. Volume-surface, dengan rumus
Σ𝑛𝑑 ,
𝑑+/ =
Σ𝑛*
f. Volume-weight mean, dengan rumus
Σ𝑛𝑑 2
𝑑01 =
Σ𝑛,

Tabel 3.2. Contoh hasil penetapan ukuran partikel secara mikroskopi

Σn = ⋯ Σnd = ⋯ Σn𝑑 * = ⋯ Σn𝑑 , = ⋯ Σn𝑑 2 = ⋯


(2) Pengukuran diameter partikel dengan metode pengayakan
1. Susun ayakan secara berurutan dari atas ke bawah (pikirkan urutan nomor ayakan apakah dari
besar ke kecil ataukah kecil ke besar).
2. Masukkan 100 gram serbuk ke ayakan paling atas yang ditimbang saksama.
3. Ayak serbuk yang bersangkutan selama 10 menit pada getaran tertentu.
4. Timbang serbuk yang terdapat pada masing- masing ayakan.
5. Buat kurva distribusi persen bobot di atas/di bawah ayakan.

Tabel 3.3. Contoh hasil penetapan ukuran partikel secara pengayakan. Bandingkan dengan tabel 3.2 yang
distribusinya dinyatakan sebagai jumlah, distribusi ukuran pada tabel ini dinyatakan sebagai bobot.

28
Keterangan: *) menunjukkan ukuran dalam mm yang ekivalen dengan mesh terkait
(versi ASTM). % bobot adalah persentase bobot yang tertinggal di antara dua
ayakan yang berurutan (10/20 berarti yang lolos dari 10 dan tertinggal di 20.

D. KEAMANAN KERJA
Hati-hati saat menggunakan mikroskop, perhatikan posisi lensa sebalum menurunkan agar tidak menghimpit object
glass apalagi mikrometer. Lensa objektif dan mikrometer adalah bagian penting selain mahal harganya.

E. DISKUSI
1. Mikromeritik memiliki peranan penting dalam bidang farmasi, khususnya dalam formulasi sediaan obat.
Karakteristik serbuk obat maupun eksipien dapat mempengaruhi efisiensi formulasinya. Tidak jarang,
kekurangcermatan dalam memilih bentuk padatan API maupun eksipien menyebabkan terjadinya capping
maupun kecacatan lain pada tablet. Agar lebih memahami aplikasi mikromeritik, Anda ditugaskan mencari
dan membuat ringkasan dari suatu artikel yang memuat karakterisasi suatu API maupun eksipien sebelum
diformulasi menjadi tablet atau sediaan lain.
2. Metode pengayakan yang telah Anda lakukan, menghasilkan data bobot padahal Anda ingin mengetahui
ukuran partikel dari granul. Dengan menggunakan penalaran, apa fungsi dari menimbang bobot tersebut?
Transformasikan penyajian data hasil pengayakan menjadi penyajian data hasil mikroskopi.

29
Percobaan 4
Viskositas dan Rheologi

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk (1) mempelajari dan menentukan viskositas cairan Newtonian, dan (2)
mempelajari dan menentukan sifat alir cairan non-Newtonian.

B. PENDAHULUAN
Rheologi (rheo = mengalir, logos = ilmu) adalah ilmu yang mempelajari sifat alir berbagai cairan serta
perubahan bentuk berbagai benda padat. Di bidang farmasi, peranan rheologi penting karena menyangkut stabilitas,
keseragaman dosis, keajegan hasil produksi serta tinjauan praktis dalam penggunaan sediaan suspensi atau emulsi.
Dasar rheologi adalah mempelajari hubungan antara tekanan gesek (shearing stress) dengan kecepatan gesek
(shearing rate) pada cairan, atau hubungan antara strain dan stress pada benda padat.

Gambar 4.1. Skema pergerakan suatu fluida (F = gaya yang diberikan kepada fluida, h= jarak
antarlapisan dalam fluida, A=luas permukaan lapisan fluida, v=kecepatan alir dari fluida setelah
diberikan gaya). Fluida diasumsikan tersusun dari beberapa lapis layer dan alirannya laminar.

Membahas tentang rheologi, tentu akan berbicara pula mengenai viskositas. Viskositas merupakan ukuran
gesekan internal dari suatu cairan. Gesekan ini bisa diandaikan bahwa cairan tersusun dari lapisan-lapisan. Gesekan
muncul ketika satu lapisan bergerak relatif terhadap lapisan lain. Semakin besar gesekannya, besar gaya yang
diperlukan untuk menggerakkan lapisan-lapisan tadi juga semakin besar. Gaya tadi kita sebut sebagai shear dan dapat
berupa tindakan seperti menuang, menyebarkan, menyemprotkan atau mengaduk.
Isaac Newton menerangkan viskositas dengan membuat model seperti gambar 1 di atas. Dua bidang yang
saling sejajar dengan luas yang sama yaitu A dan terpisah sejauh h pada sumbu y bergerak searah sumbu x dengan

30
kecepatan yang berbeda yaitu v1 dan v2. Newton membuat asumsi bahwa gaya yang diperlukan agar gerakan
perpindahan tadi tetap terjadi dan juga menjaga perbedaan kecepatan antarlapisan berbanding lurus dengan
perbedaan kecepatan atau gradien kecepatan. Newton memiliki asumsi yang lain bahwa untuk mayoritas zat, pada
suhu tertentu, viskositasnya akan tidak tergantung pada shear rate. Dengan kata lain, memberikan gaya 2x dari gaya
sebelumnya akan mempercepat aliran cairan menjadi 2x semula. Dalam bahasa matematis:

(persamaan 4.1)
dengan η adalah suatu konstanta, yaitu viskositas untuk bahan tertentu pada suhu tertentu. Gradien kecepatan
dvx/dy atau dapat pula dinyatakan sebagai dvy/dx menerangkan pengenaan gaya pada cairan dan disebut sebagai
shear rate (γ) dengan satuan s-1. Term F/A menunjukkan gaya per satuan luas yang diperlukan untuk menghasilkan
shearing dan disebut dengan shear stress (τ) dengan satuan dynes/cm2. Oleh karena itu, persamaan 4.1 dapat
disederhanakan menjadi

(persamaan 4.2)

Satuan dari pengukuran viskositas adalah Poise (baca: poa). Sebuah zat yang memerlukan shear stress 1
dyne.centimeter-2 untuk menghasilkan shear rate 1 s-1 dikatakan memiliki viskositas sebesar 1 Poise atau 100
centiPoise. Pascal-seconds (Pa·s) atau mili-Pascal-seconds (mPa·s) merupakan satuan SI untuk viskositas. Satu Pascal-
second setara dengan 10 Poise.
Berdasarkan tipe alir, cairan dapat dibedakan menjadi
1. Cairan Newtonian
2. Cairan Non-Newtonian
a. Tidak tergantung waktu (time independent)
- Pseudoplastik
- Plastik
- Dilatan
b. Tergantung waktu (time dependent)
- Thiksotropi
- Rheopeksi
- Anti-thiksotropi atau thiksotropi negatif
- Anti-rheopeksi atau rheopeksi negatif
1. Cairan Newtonian
Suatu zat disebut Newtonian jika antara shear stress dengan shear rate memiliki hubungan tertentu yang
disebut viskositas atau koefisien viskositas (η). Rheogram untuk tipe aliran Newtonian ini dapat dilihat pada gambar
4.2 yang mana hubungan antara τ dan γ bersifat linier.

Gambar 4.2. Grafik yang menunjukkan hubungan antara shear stress vs shear rate (a) dan viskositas vs shear rate cairan tipe alir
Newtonian (b). Perhatikan bahwa shear rate akan meningkat secara proporsional dengan shear stress yang diberikan. Ciri khas
tipe alir Newtonian adalah konstannya viskositas meskipun shearing rate berubah.

31
Cairan yang memiliki tipe alir Newton meliputi cairan tunggal misalnya: air, etanol, gliserol, minyak pelumas,
serta larutan dari senyawa yang memiliki ukuran molekul kecil, misalnya larutan gula dan larutan berbagai macam
garam. Penentuan viskositas larutan Newton salah satunya menggunakan viskositas kapiler yang penetapannya
secara single point. Contohnya adalah viskositas Ostwald dan Cannon-Fenske.

2. Aliran Non-Newtonian
Cairan non-Newtonian memiliki hasil τ/γ yang tidak konstan sebagaimana pada tipe Newtonian. Dengan
kata lain, ketika shear rate berubah, shear stress tidak ikut berubah dengan proporsi yang sama. Viskositas
selanjutnya akan berubah mengikuti perubahan shear rate. Pemilihan spindle dan kecepatan putar dengan demikian
mempengaruhi hasil pengukuran viskositas dari cairan non-Newtonian. Hasil pengukuran yang didapat disebut
dengan apparent viscosity dan akan memberikan hasil yang akurat jika parameter-parameter tersebut dikendalikan
dengan teliti.
Cairan non-Newton dapat dipandang sebagai suatu sistem dengan campuran molekul yang beragam bentuk
dan ukurannya. Oleh karenanya, berapa besar gaya yang dibutuhkan untuk geseran akan dipengaruhi oleh ukuran,
bentuk, dan kohesivitas molekul-molekul tadi. Penentuan sifat alir larutan non-Newtonian menggunakan
viskosimeter yang dalam pengukurannya bersifat multiple point seperti cup and bob dan cone and plate. Sebagai
contoh adalah viskosimeter Stormer dan Brookfield. Gambar 4.3 meringkaskan rheogram beragam tipe cairan.

Gambar 4.3. Grafik yang menunjukkan hubungan antara shear stress vs shear rate (a) dan
viskositas vs shear rate cairan beragam tipe (b). Perhatikan perbedaan rheogram antar
berbagai tipe: (1) Newtonian, (2) Pseudoplastik, (3) Dilatan, dan (4) Plastik.

a. Aliran Pseudoplastik

Hubungan antara shear rate (γ) dengan shear stress (τ) dapat dinyatakan dalam satu persamaan τN = η’γ
(persamaan 4.3) dimana N merupakan bilangan tertentu, dengan nilai >1. Adapun η’ merupakan viskositas
pseudoplastik. Dari persamaan 4.3 ini dapat kita ketahui bahwa viskositas merupakan rasio dari τN terhadap γ. Mirip
dengan viskositas pada tipe Newtonian, hanya saja di sini shear stress memeiliki orde N>1 sehingga hubungannya
menjadi tidak linier lagi. Grafik hubungan antara dengan untuk aliran pseudoplastik dapat dilihat pada gambar 4.4.

32
Gambar 4.4. Grafik yang menunjukkan hubungan antara shear stress vs shear rate (A) dan
viskositas vs shear rate cairan tipe alir pseudoplastik (B). Perhatikan bahwa shear rate akan
meningkat sebanding dengan shear stress yang diberikan namun tidak linier.

Dengan mengamati grafik pada gambar 4.4(b), kita dapat mengetahui viskositas cairan turun dengan
naiknya kecepatan pengadukan. Penurunan viskositas tersebut terjadi cukup signifikan ditandai dengan kurva yang
cukup curam. Dengan kata lain, pemberian sedikit shearing stress di awal akan menghasilkan aliran yang mudah dari
cairan karena viskositas turun secara kontinu. Aliran akan berhenti sesaat setelah shear stress dihentikan. Terjadinya
penurunan viskositas ini disebabkan oleh ikatan antar partikelnya terlepas oleh adanya pengadukan dan ikatan
terbentuk setelah pengadukan dihentikan. Banyak bahan sediaan farmasi yang menunjukkan sifat alir pseudoplastik,
misalnya larutan gom, tragakan, CMC, beberapa sediaan suspensi, sirup, dan emulsi. Perhatikan saat Anda menuang
sirup manis, cukup dengan memiringkan botol larutan tadi akan mengalir mulus bahkan isi botol bisa habis jika botol
terus dimiringkan.

b. Aliran Plastik
Cairan dengan tipe aliran plastik sering disebut sebagai Bingham bodies dengan rheogram mirip tipe
pseudoplastik seperti terlihat pada gambar 4.5. Cairan tipe ini berperilaku sebagaimana zat padat pada kondisi statis.
Perbedaan dengan pseudoplastik terletak pada adanya yield value. Istilah yield value merujuk pada gaya minimal
yang harus diberikan agar cairan dapat mengalir. Gaya yang lebih kecil daripada yield value tadi berdampak belum
terjadinya aliran. Dengan kata lain, aliran baru terjadi setelah shear stress melampaui yield value. Tipe alir ini dijumpai
pada sediaan suspensi, krim, dan gel. Ingat kembali saat kita mengoleskan salep atau krim ke kulit. Semata memencet
tube dan menaruhnya di atas kulit tidak akan membuat sediaan tadi merata dan mengalir. Baru akan merata jika kita
menekan dan mengolesnya. Tindakan memencet dan mengoles tadi merupak usaha memberikan shear stress yang
melampaui yield value. Usaha mengeluarkan saos tomat dari botol kiranya cukup menjelaskan tipe alir semacam ini.

Gambar 4.5. Grafik yang menunjukkan hubungan antara shear stress vs shear rate (A) dan viskositas vs
shear rate cairan tipe alir plastik (B). Perhatikan bahwa shear rate tidak dimulai dari yield value. Shear
stress mulai dari sumbu koordinat (0,0) kemudian ditingkatkan secara perlahan sampai pada suatu saat
melampaui yield value dan dapat berubah menjadi tipe Newtonian, dilatan, maupun pseudoplastik.

33
c. Aliran Dilatan
Suatu cairan yang menunjukkan bertambahnya tahanan waktu shutting rate dipertinggi atau viskositasnya
meningkat dengan naiknya kecepatan pengadukan. Hal ini terjadi karena pengaruh pengadukan menyebabkan
terbentuknya struktur dari hasil penggabungan antarpartikel. Rheogram aliran tipe dilatan dapat dilihat pada gambar
4.6. Sistem yang memiliki sifat alir demikian misalnya: Cat murni, tinta cetak dan pasta. Hubungan antara F/A dengan
dy/dx dapat digambarkan dalam suatu persamaan analog dengan persamaan (1) tetapi harga N <1.

Gambar 4.6. Grafik yang menunjukkan hubungan antara shear stress vs shear rate (A) dan viskositas vs
shear rate cairan tipe alir dilatan dengan suatu yield value (B).

d. Thiksotropi dan Rheopeksi


Beberapa cairan akan menunjukkan perubahan viskositas seiring berjalannya waktu di bawah kondisi shear
rate yang konstan. Ada dua sifat utama yaitu thiksotropi dan rheopeksi. Suatu cairan yang bersifat thiksotropi akan
mengalami penurunan viskositas dengan berjalannya waktu saat dikenai shear yang konstan. Adapun rheopeksi
secara prinsip merupakan lawan dari perilaku thiksotropi yang mana viskositas akan meningkat seiring bertambahnya
waktu pada shear yang konstan. Gambar 4.7 berikut menunjukkan perbedaan kedua perilaku cairan tersebut.

Gambar 4.7. Hubungan waktu dengan viskositas pada tipe aliran (a) thiksotropi dan (b) rheopeksi

Keduanya dapat berkombinasi dengan berbagai tipe alir yang telah disebutkan di awal atau hanya terjadi
pada level shear rate tertentu saja. Elemen waktu merupakan variable penting; di bawah kondisi shear rate yang
konstan, beberapa cairan dapat mencapai nilai viskositas akhir dalam beberapa detik saja sementara yang lain agak
lama bahkan dapat mencapai beberap hari lamanya. Tipe rheopeksi jarang ditemui di sediaan farmasi. Adapun
thiksotropi lebih umum ditemui seperti pada gel, tinta cetak, dan juga cat.
Ketika suatu cairan thiksotropi dikenai variasi shear rate, akan diperoleh profil rheogram seperti ditunjukkan
pada gambar 4.8. Plot shear stress versus shear rate pada shear rate yang semakin meningkat menuju nilai tertentu,
kemudian secara segera menuju starting point. Perhatikan bahwa kurva "up" dan "down" tidak tumpang tindih.
Terjadinya "hysteresis loop" disebabkan oleh penurunan viskositas cairan seiring penambahan waktu shearing. Efek
tersebut bias jadi reversible dan bias jadi irreversible. Beberapa cairan dengan perilaku thiksotropi jika dibiarkan tidak
diganggu sementara waktu akan kembali menuju viskositas awal namun yang lain bias jadi tidak pernah kembal ke
awal.

34
Gambar 4.8. Pengaruh variasi pemberian shear rate terhadap viskositas cairan dengan perilaku thiksotropi.

e. Aliran Laminer dan Turbulen


Keberadaan viskositas akan mudah ditentukan bila kita mengasumsikan dalam cairan terjadi aliran laminar
yaitu pergerakan suatu lapisan melewati yang lain tanpa disertai transfer zat dari satu lapisan ke lapisan lain.
Viskositas di sini adalah gesekan antara lapisan-lapisan tersebut. Peristiwa lain yang menyebabkan transfer massa
dan perpindahan lapisan secara acak disebut turbulensi. Molekul atau partikel yang lebih besar dapat ”melompat”
dari satu lapisan ke lapisan lain dan pengakibatkan terjadinya disipasi atau pembuangan sejumlah energi dalam
proses. Energi yang dibutuhkan lebih besar untuk mempertahankan aliran turbulensi ini dibandingkan pada aliran
laminar pada kecepatan alir yang sama.
Pada aliran turbulen, masukan energi akan nampak sebagai shear rate yang seolah-olah labih besar daripada
yang diamati pada kondisi aliran laminar meskipun shear rate-nya sama. Turbulensi ini sering menyebabkan
kesalahan pengukuran viskositas yaitu menjadi lebih besar dari yang sebenarnya. Viskositas zat, kerapatan spesifik,
dan juga pemilihan kecepatan putar akan sangat mempengaruhi hasil pengukuran. Namun demikian, perlu
dibedakan antara kondisi turbulensi dengan perilaku dilatan. Secara umum, zat yang bersifat dilatan akan
menunjukkan kenaikan viskositas yang stabil secara bertahap seiring kenaikan shear rate sedangkan turbulen
ditandai dengan kenaikan secara tiba-tiba di atas shear rate tertentu. Di bawah shear rate tersebut bias jadi
berperilaku Newtonian atau non-Newtonian.

35
C. METODE
ALAT BAHAN
Viskosimeter Ostwald atau Cannon-Fenske Larutan gula berbagai konsentrasi (20%, 40%, 60%)
Viskosimeter Brookfield Larutan CMC-Na 2%
Neraca analitik Aquadest
Termometer
Stopwatch

1. Penentuan viskositas cairan dengan tipe alir Newtonian


Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah viskosimeter kapiler, dengan jenis Ostwald atau Cannon-
Fenske (gambar 4.9). Tentukan kerapatan larutan uji dengan menggunakan viskosimeter kapiler, pada suhu yang
ditetapkan. Paramater yang dicatat adalah waktu yang dibutuhkan cairan untuk mengalir dari batas atas kapiler
hingga batas bawahnya. Bandingkan viskositas antara berbagai konsentrasi larutan uji, beserta air sebagai baku.

Gambar 4.9. Viskosimeter kapiler Cannon-Fenske

Viskositas dapat dihitung menggunakan kesetaraan kerapatan terhadap viskositas, dengan rumus:
𝜂# 𝜌# . 𝑡#
=
𝜂* 𝜌* . 𝑡*
Tabel kerja viskositas larutan gula
Larutan/Cairan Kerapatan Waktu Viskositas
Air
Gula 20%
Gula 40%
Gula 60%

36
2. Penentuan sifat alir sistem Non-Newtonian
Alat yang digunakan untuk penentuan sifat alir adalah viskosimeter Stormer atau Brookfield. Pada
Brookfield, yang digunakan adalah hubungan antara kecepatan rotasi (RPM) spindle dengan viskositas. Dari
hubungan tersebut akan diketahui rheologi dari suatu fluida.
Bila menggunakan alat yang menghasilkan shear stress berbasis beban (misal viskosimeter cup and bob),
penambahan anak timbang dilakukan secara gradual (cek apakah terjadi turbulensi atau tidak). Supaya tidak terjadi
turbulensi, kecepatan putar rotor jangan melampaui 150 RPM (25 putaran/10 detik).
Buatlah rheogram kemudian analisis tipe alirnya.

Tabel kerja viskositas larutan CMC-Na 2%


Berat Beban (gram) Waktu untuk 25 kali putaran rotor RPM (putaran per menit)
10
20
30
40
50
40
30
20
10

D. DISKUSI
Suatu polimer hidrofilik dapat dimanfaatkan sebagai thickening agent dalam sediaan farmasi. Apa pengertian
thickening agent, berikan contohnya, dan bagaimana mekanisme kerjanya?
Carilah suatu artikel yang mengulas pengendalian mutu sediaan farmasi terkait dengan karakteristik rheologinya
kemudian ceritakan kembali pengetahuan Anda dalam laporan.

37
Percobaan 5
Dispersi Koloidal dan Nanopartikel

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk memahami sifat-sifat dispersi koloidal dan nanopartikel, stabilitas, dan
proteksinya.

B. PENDAHULUAN
Mari kita mulai pembahasan dispersi koloid dan nanopartikel dengan mengingat dan memahami dua istilah penting
berikut:
• Fase, yaitu suatu daerah berisi materi dengan komposisi dan sifat fisika yang seragam. Bayangkan es dan air
dalam suatu gelas, kemudian perhatikan bahwa meskipun keduanya sama-sama tersusun dari molekul H2O,
keduanya berbeda fase karena memiliki sifat fisika yang berbeda, dan membentuk campuran heterogen.
Jadi, esnya adalah suatu fase, air adalah fase yang lain, dan uap air yang muncul juga merupakan fase yang
lain, gelas sebagai wadah juga adalah fase yang lain. Istilah fase ini juga sering disebut sebagai wujud zat
(state of matter).
• Larutan, adalah campuran homogen dari dua atau lebih zat yang membentuk satu fase dan tidak saling
memisah. Sekarang bayangkan gula yang larut dalam air. Secara makroskopik kita akan mendapati bahwa
gula ”menyatu” dengan air, padahal pada kenyataannya jika kita pertajam pandangan kita pada tingkat
submikroskopik, akan dijumpai bahwa larutan tadi bisa dipisah menjadi molekul H2O dan molekul gula.
Sebagian ruang akan ditempati oleh air sedangkan yang lain diisi oleh gula dan ada bagian yang terisi oleh
air dan gula yang saling berikatan dengan interaksi ikatan hidrogen. Dengan demikian, konsep homogenitas
bisa kita pandang dengan mengarahkan pandangan dari skala makro menuju molekuler. Oleh karenanya,
kita munculkan istilah dispersi molekuler, dispersi koloidal, dan dispersi kasar.
Koloid atau disebut juga dengan dispersi koloidal merupakan campuran heterogen dua fase yang terdiri dari
fase terdispersi yang terdistribusi dalam suatu fase kontinu. Contoh yang tampak dalam kehidupan sehari-hari adalah
susu. Susu merupakan bentuk koloid yang tersusun dari partikel kecil lemak cair (liquid butterfat) sebagai fase
terdispersi yang ada dalam air sebagai medium pendispersi atau fase kontinu. Jika dibandingkan dengan larutan
sejati, fase kontinu dapat disebut sebagai zat yang bersifat solvent-like sedangkan fase terdispersinya dapat dianggap
sebagai zat solute-like.
Di dalam bidang farmasi, seringnya suatu zat padat akan didispersikan dalam suatu cairan seperti air dan
akan menghasilkan produk dengan karakteristik bisa jadi berupa dispersi molekuler, dispersi koloidal, maupun
dispersi kasar. Hal tersebut tergantung pada ukuran partikel dari fase terdispersinya. Untuk dispersi molekuler,
ukuran partikel < 1 nm dan berupa ion atau molekul. Pada dispersi koloidal kisarannya mulai dari 0,001-0,5 μm (1
nm-500 nm) atau dalam rentang nanometer, dan dapat berupa molekul tunggal, agregat, atau bahkan
makromolekul. Oleh karena itu, nanopartikel memiliki karakteristik sebagai dispersi koloidal. Partikel terdispersi
pada dispersi kasar berukuran lebih besar lagi yaitu >500 nm. Namun demikian, batasan kisaran tadi bukanlah
sesuatu yang saklek/rigid karena terkadang terjadi tumpeng tindih antar-kelas dispersi.
Tipe Koloid

38
Koloid biasanya dibagi menjadi dua golongan besar, berdasarkan pada apakah dia disolvatasikan oleh medium
dispersinya atau tidak, atau apakah dia tidak berantaraksi secara nyata dengan medium, yaitu:
1. Koloid liofilik, disolvatasikan oleh solven/pelarut dan sering dinamakan "koloid yang suka solven/pelarut".
Bila muncul istilah hidrofilik, maka yang dimaksud sebagai solvent-like adalah air sedinggga istilah
tersolvatasi menjadi terhidasi/terhidratasi. Molekul koloid hidrofilik memiliki afinitas dengan molekul air
ketika didispersikan ke dalam air dan terhidrasi. Koloid yang terhidrasi akan mengembang (swelling)
kemudian menaikkan viskositas dari sistem. Dampaknya adalah stabilitas dari koloid tersebut menjadi
meningkat karena terjadi penurunan interaksi antarpartikel yang dapat berakibat pada terjadinya
pengendapan (settling). Bisa jadi pula koloid tadi bermuatan yang selanjutnya menghasilkan suatu repulsion
antarpartikel bermuatan sehingga kejadian saling menempel dapat dikurangi. Contoh koloid hidrofilik
adalah musilago acacia, metilselulosa dan derivatnya, dan protein seperti albumin.
2. Koloid liofobik, kebalikan dari koloid liofilik, yaitu mempunyai afinitas kecil untuk solven/pelarut dan sering
dinamakan "koloid pembenci solven/pelarut". Berbeda dengan koloid hidrofilik, koloid hidrofobik hanya
sedikit atau bahkan tidak memiliki afinitas dengan molekul air sehingga tidak mnyebabkan perubahan
viskositas system. Partikel koloid bias memiliki muatan listrik melaui mekanisme adsorpsi ion elektrolit dari
larutan. Dispersi partikel semacam ini disebabkan tolak-menolak muatan sejenis dan gerak Brown.

Pembuatan Koloid
Dispersi koloidal yang dibuat dengan salah satu dari dua metoda umum, yaitu metode kondensasi dan metode
dispersi. Metode kondensasi menggabungkan partikel-partikel kecil (ion-ion dan molekul) untuk membentuk partikel-
partikel yang lebih besar yang masuk dalam jarak ukuran koloidal. Ini biasanya dilakukan dengan jalan mengganti
solven/pelarut atau dengan jalan melakukan reaksi kimia tertentu. Metode dispersi menggunakan teknik-teknik
pengecilan ukuran partikel dan partikel-partikel yang berdimensi koloidal. Untuk ini dapat digunakan disintegrator
mekanik seperti "coloid mill". Seringkali solven/pelarut atau solven/pelarut yang dicampur dengan lain zat dapat
menyebabkan partikel non- koloidal menjadi koloidal. Metoda dispersi tipe ini khusus dinamakan peptisasi. Beberapa
logam dapat didispersi sebagai koloid oleh arus listrik di dalam tabung elektrolitik (electrolytic cell).

Karakteristik Koloid
Semua dispersi koloidal menunjukkan suatu sifat optik yang dikenal sebagai efek Tyndall. Jika seberkah
cahaya diarahkan pada suatu dispersi koloidal, maka cahaya tersebut akan dipencarkan (scattered) dan suatu berkas
sinar atau kerucut sinar akan terlihat. Karena banyak dispersi koloidal sangat menyerupai larutan sejati, maka sifat
tersebut berguna untuk membedakan antara dispersi koloidal dan larutan sejati. Larutan sejati tidak akan
memencarkan cahaya, karena partikel- partikel yang terdispersi di dalamnya begitu kecil hingga tidak menimbulkan
efek tersebut sebagaiman terlihat pada gambar 5.1. Efek ini ditemukan oleh John Tyndall pada tahun 1869.Tyndall
scattering akan memencarkan semua panjang gelombang secara sama dan berbeda dengan Rayleigh scattering yang
hanya memncarkan panjang gelombang pendek (langit yang biru dan lembayung saat senja). Tyndall scattering dapat
diamati meskipun dispersinya transparan sekalipun. Seiring peningkatan kerapatan partikel (ukuran), scattering akan
menjadi semakin jelas ditandai dengan kenampakn berkabut pada larutan. Inilah alasan mengapa susu, kabut, dan awan
dapat terlihat putih. Padahal, yakin atau tidak, satuan droplet lemak atau air yang ada di susu dan awan tadi sebenarnya
transparan.
Di bawah mikroskop, kita dapat mengamati gerakan acak dari partikel koloid. Gerakan ini kita kenal dengan
gerak Brown yang biasa terjadi pada partikel dengan ukuran di bawah 5µm. Penyebab terjadinya gerakan tersebut
adalah tabrakan oleh molekul medium pendispersi terhadap partikel koloid. Jika partikel koloidnya besar, tentu ia
akan mampu menahan senggolan dan tabrakan dari segala arah oleh medium. Semakin kecil ukuran pertiikel,
tabrakan dari berbagai sisi akan menyebabkan partikel bergerak acak (tidak beraturan).

39
Gambar 5.1. berkas sinar pada (a) larutan koloidal mengalami efek Tyndall, sedangkan pada (b) larutan gula, berkas sinar diteruskan.

Dalam sistem koloid, akan selalu ada perbedaan potensial listrik atara fase koloid dengan cairan di
sekelilingnya. Partikel koloid yang bermu atan dapat menarik kelebihan dari counter- ion yang ada di sekitarnya
membentuk suatu “lapisan”. Inilah yang kita kenal sebagai elektrik double layer. Keberadaan muatan listrik di
permukaan koloid menjadikan partikel tadi dapat berpindah/bermigrasi ketika dikenai muatan listrik eksternal.
Migrasi tersebut menuju pada ekerode yang mauatannya berbeda dengan muatan koloid. Kita mengenal fenomena
tersebut sebagai elektroforesis yang memungkinkan kita memisahkan, misalnya, campuran protein.
Koloid tidak mampu melewati membrane semipermeable. Sifat ini mnereangkan kepada kita peranan
penting albumin dalam menjaga tekanan osmotic darah karena albumin tidak melewati membrane di pembuluh
darah. Di ginjal, ion dan molekul kecil akan disaring melalui membrane glomerulus namun makromolekulnya ditahan.
Sterilisasi dari beberapa injeksi koloid terkadang dilakukan dengan filtrasi memnggunakan membrane sintetik dengan
ukuran rerata porinya 220 nm.

Stabilitas Koloid
Keseragaman dispersi pertikel penting untuk efektivitas diagnostik dan terapeutik sehingga usaha
pencegahan settling dan ko-presipitasi perlu diperhatikan. Penambahan koloid hidrofilik ke koloid hidrofobik
menyebabkan koloid hidrofilik akan teradsorpsi ke permukaan hidrofobik bahkan akan melingkupinya. Koloid
hidrofilik akan membentengi koloid hidrofobik dari efek destabilisasi oleh elektrolit. Kerja ini kita sebut sebagai
perlindungan koloid. Koloid hidrofobik akan mengalami presipitasi jika solven yang mengelilinginya dan juga muatan
listriknya dihilangkan dari sekelilingnya. Contoh koloid pelindung adalah gelatin dan derivat metilselulose.
Jika berbicara stabilitas koloid, kita kenang kembali ingatan terkait gaya Tarik (attractive) antarmolekul
dalam suatu zat yaitu gaya van der Waals dan gaya disperse. Keduanya “beraksi” hanya pada jarak yang cukup dekat.
Gaya lain yang melawannya yaitu gaya tolak (repulsive force) bekerja pada jarak lebih dekat namun lebih kuat. Hal
tersebut memberikan informasi mengapa 2 atom tidak dapat menempati ruang yang sama. Ketika partikel koloid
disuspensikan dalam cairan dan bertumbukan satu sama lain, energi kinetiknya lebih kecil daripada energi kinetik
untuk partikel gas. Pada kondisi ini, gaya tolak sangat kecil sehingga kita dapat memperkirakan gaya van der Waals
atau gaya dispersi akan lebih dominan. Hal tersebut mendorong pembentukan agregat yang melebihi ukuran partikel
koloid yang selanjutnya akan menjadikan partikel jatuh ke dasar. Proses ini yang disebut dengan koagulasi. Gaya lain
yang menyebabkan tolakan antarmolekul adalah gaya elektrostatik (gaya Coulomb) yang bekerja pada jarak yang
lebih jauh daripada van der Waals. Namun demikian, gaya tolak elektrostatik dapat kehilangan efektivitasnya jika
konsentrasi ion dari medium terlalu besar atau jika medium membeku.

Contoh Ketidak-stabilan Koloid


Dengan meninjau emulsi, ada beberpa kejadian yang merupakan ketidakstabilan dari emulsi yang meliputi (gambar 5.2):
1. Coalescence: Tetes-tetes kecil globul/partikel bergabung menjadi globul/partikel yang lebih besar;

40
2. Flocculation: Mirip dengan coalescence namun ukurannya lebih kecil;
3. Creaming: Tetes fase minyak mengapung di permukaan karena kerapatan minyak lebih rendah daripada air dan
hilangnya kecenderungan untuk “bergandengan” antara kedua fase.
4. Breaking: Hasil akhir dari tahap-tahap di atas dan merupakan konsekuensi termodinamik ketidakcampuran
kedua fase.
Coagulation merupakan "breaking" dari dispersi sehingga partikel koloid saling mengumpul dan
mengendap. Istilah flocculation sering digunakan sebagai sinonim untuk coagulation, namun akan lebih
tepat jika digunakan utuk metode khusus yang mengakibatkan coagulation. Mayoritas coagulation terjadi
akibat perusakan bagian luar dari electric double layer sehingga gaya tolak- menolak elektrostatik
meningkat.

“Do Not Freeze”


Pernah membekukan susu? Ketika diambil lagi, susu tersebut tidak lagi berpenampilan seperti kondisi saat kita beli.
Pada beberapa produk makanan dan produk koloid lain akan dijumpai label "Do not freeze" begitu pula pada produk
cat lateks. Freezing dapat merusak electric double layer karena ion-ion bergabung dengan spesi netral, mereka saling
mendekat sampai gaya tarik-menarik muncul dan mengambil alih interaksi antarmolekul kemudan terjadilah
koagulasi yang tak dapat dikembalikan.

41
C. METODE
ALAT BAHAN
Mortar dan stamper Pulvis gummi arabici
Buret dan statif FeCl3
Seperangkat glassware NaCl
Beaker glass Natrium alginate
Magnetic stirrer Gelatin
Batang magnet Kitosan
pH-meter Asam asetat glasial
6N NaOH

D. LANGKAH KERJA

1. Pembuatan Larutan Koloidal dan Nanopartikel


a. Buatlah larutan Mucilago Gum Arabici 5% dalam air hingga volume 50 mL. Gunakan mortar dan stamper untuk
menghomogenkan.
b. Larutkan 0,25 gram dan 0,50 gram FeCl3 dalam 100 mL air mendidih.
c. Buatlah larutan alginat 0,5% dan 1% serta gelatin 5% dan 10%, masing-masing 50 mL.
d. Basahi kitosan dengan asam asetat glasial, kemudian larutkan dalam 20 mL air di dalam beaker glass 100 mL
berpengaduk. Kemudian larutkan kitosan dengan mengasamkan sistem hingga pH 2,0. Basakan sistem secara
perlahan dengan menggunakan 6N NaOH hingga pH sekitar 4,5-5,0, hingga mulai terbentuk dispersi
nanopartikel kitosan, ditandai dengan terbentuknya kabut tipis berwarna putih. Terakhir, adjust volume hingga
50 mL.

2. Pengaruh Elektrolit terhadap Stabilitas Koloid/Nanopartikel


Ambillah 10 mL masing-masing dispersi koloid/nanopartikel yang telah dibuat, dan tambahkan larutan NaCl 30%. Catatlah
pada penambahan berapa mL larutan NaCl 30% yang menyebabkan koagulasi pada masing-masing dispersi
koloid/nanopartikel.

3. Pengaruh Alkohol terhadap Koloid/Nanopartikel


Catatlah berapa mL alkohol 95 % yang dibutuhkan untuk mengendapkan 10 mL gelatin 5% dan 10 mL FeCl3 5%.

4. Proteksi terhadap Koloid/Nanopartikel


Tambahkan 3 mL koloid FeCl3 ke dalam tabung reaksi. Tambahkan masing-masing koloid pelindung yaitu gelatin, alginat,
kitosan, dan Mucilago Gum Arabici ke dalam tabung reaksi tadi dengan jumlah sesuai tabel 5.1 kemudian campur
homogen. Tambahkan NaCl 30% ke dalam campuran dan amati sampai terjadi presipitasi. Sebagai pembanding, siapkan
satu tabung berisi hanya koloid pelindung dan FeCl3 5%. Jangan lupa dokumentasikan dalam bentuk foto.

42
Tabel 5.1. Skema percobaan koloid pelindung

Volume Koloid (mL) Volume FeCl3, 5% (mL) Volume NaCl 30% (mL)
1 3 5
Mucilago Gum
3 3 5
Arabici
5 3 5
1 3 5
Gelatin 3 3 5
5 3 5
1 3 5
Alginat 3 3 5
5 3 5
1 3 5
Kitosan 3 3 5
5 3 5

E. DISKUSI

Stabilitas koloid dan nanopartikel memiliki hubungan erat dengan suatu istilah yaitu potensial zeta. Anda
diharapkan dapat memperluas pengetahuan dengan banyak membaca. Tugas Anda di praktikum ini adalah mencari
artikel yang mengulas potensial zeta dalam hubungannya dengan stabilitas koloid. Setelah Anda membacanya, tuliskan
kembali penjelasan tersebut dengan bahasa Anda sendiri secara ringkas dan masukkan dalam pembahasan di laporan
praktikum.

43
REFERENSI
1. Allen, T., 2003, Powder Sampling and Particle Size Determination, Elsevier, Amsterdam.

2. Aulton, M.E. (Ed.), 2004, Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design, 2nd Ed.,
ELBS, Hongkong.

3. Cussler, E.L., 2007, Difussion: Mass Transfer in Fluid Systems, 3rd Ed., Cambridge
University Press, Cambridge, London.

4. Florence, A.T. & Attwood D., 2006, Physiochemical Principles of Pharmacy, 4th Ed.,
Pharmaceutical Press, London.

5. Sinko, P.J., 2011, Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 6th Ed.,
Lippincott Williams & Wilkins, A Wolters Kluwer Co., Philadelphia.

44

Anda mungkin juga menyukai