Anda di halaman 1dari 3

Teori Dasar

Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi
kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama
penyimpanan (Connors, et al., 1979).

Stabilitas dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai ketahanan suatu


produk sesuai dengan batas-batas tertentu selama penyimpanan dan penggunaanya
atau umur simpan suatu produk dimana produk tersebut masih mempunyai sifat
dan karakteristik yang sama seperti pada waktu pembuatan (Deviarny, et al.,
2012).

Pada pembuatan obat harus diketahui waktu paro suatu obat. Waktu paro
suatu obat dapat memberikan gambaran stabilitas obat, yaitu gambaran kecepatan
terurainya obat atau kecepatan degradasi kimiawinya. Panas, asam-asam, alkali-
alkali, oksigen, cahaya, kelembaban dan faktor-faktor lain dapat menyebabkan
rusaknya obat. Mekanisme degradasi dapat disebabkan oleh pecahnya suatu
ikatan, pergantian spesies, atau perpindahan atom-atom dan ion-ion jika dua
molekul bertabrakan dalam tabung reaksi (Moechtar, 1989).

Ada dua hal yang menyebabkan ketidakstabilan obat, yang pertama adalah
labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu, termasuk struktur kimia masing-
masing bahan dan sifat kimia fisika dari masing-masing bahan. Yang kedua adalah
faktor-faktor luar, seperti suhu, cahaya, kelembaban, dan udara, yang mampu
menginduksi atau mempercepat reaksi degradasi bahan. Skala kualitas yang
penting untuk menilai kestabilan suatu bahan obat adalah kandungan bahan aktif,
keadaan galenik, termasuk sifat yang terlihat secara sensorik, secara
miktobiologis, toksikologis, dan aktivitas terapetis bahan itu sendiri. Skala
perubahan yang diijinkan ditetapkan untuk obat yang terdaftar dalam farmakope.
Kandungan bahan aktif yang bersangkutan secara internasional ditolerir suatu
penurunan sebanyak 10% dari kandungan sebenarnya (Voight, 1994).

Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana reaksi
penguraian dari larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan asam (H+) atau
basa (OH-) dengan menggunakan katalisator yang dapat mempercepat reaksi tanpa
ikut bereaksi dan tidak mempengaruhi hasil dari reaksi (Ansel, 1985).

Kestabilan dari suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal itu penting mengingat sediaannya
biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan juga memerlukan waktu yang
lama untuk sampai ke tangan pasien yang membutuhkannya. Obat yang disimpan
dalam jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan
hasil urai dari zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat membahayakan jiwa
pasien. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
kestabilan suatu zat hingga dapat dipilih suatu kondisi dimana kestabilan obat
tersebut optimum (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004).
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta: UI
Press.

Connors, K.A., Amidan, dan Kennon L. 1979. Chemical Stability of


Pharmaceuticals. New York: John Willey and Sons.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III.


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Deviarny, C., Henny Lucida, dan Safni. 2012. Uji Stabilitas Kimia Natrium
Askorbil Fosfat Dalam Mikroemulsi Dan Analisisnya Dengan HPLC.
Jurnal Farmasi Andalas. Vol. 1(1).

Moechtar. 1989. Farmasi Fisika: Bagian Larutan dan Sistem Dispersi.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Anda mungkin juga menyukai