Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN AKHIR FARMASI FISIKA

KINETIKA REAKSI DAN STABILITAS OBAT

OLEH :
KELOMPOK 8
GOLONGAN I

I GDE PANDE ANINDHITA PUTRA WICAKSANA (1508505030)


NI KADEK SANTI LESTARI (1508505031)
NI KOMANG CAHYANINGSIH (1508505032)
KOMANG TRISKA MANCIKA PUTRI (1508505033)

LABORATORIUM FARMASETIKA DASAR


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017

0
PERCOBAAN VI
KINETIKA REAKSI DAN STABILITAS OBAT

I. LATAR BELAKANG
Stabilitas dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai ketahanan suatu
produk sesuai dengan batas-batas tertentu selama penyimpanan dan penggunaanya
atau umur simpan suatu produk, dimana produk tersebut masih mempunyai sifat
dan karakteristik yang sama seperti pada waktu pembuatan. Banyak faktor yang
mempengaruhi stabilitas dari sediaan farmasi, antara lain stabilitas bahan aktif,
interaksi antara bahan aktif dengan bahan tambahan, proses pembuatan bentuk
sediaan, kemasan, cara pengemasan dan kondisi lingkungan yang dialami selama
pengiriman, penyimpanan, penanganan dan jarak waktu antara pembuatan dan
penggunaan. Faktor lingkungan seperti temperatur, radiasi cahaya dan udara
(khususnya oksigen, karbondioksida dan uap air) juga mempengaruhi
stabilitas.Demikian pula faktor formulasi seperti ukuran partikel, pH, sifat dari air
dan sifat pelarutnya dapat mempengaruhi stabilitas (Osol et al, 1980; USP, 1990).
Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu
sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah besar dan memerlukan waktu yang
lama untuk sampai ke tangan pasien yang membutuhkan. Obat yang disimpan
dalam jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan
dosis yang diterima pasien berkurang. Adakalanya hasil urai zat tersebut bersifat
toksik sehingga dapat membahayakan jiwa pasien. Oleh karena itu perlu diketahui
faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat sehingga dapat dipilih
kondisi yang tepat untuk untuk pembuatan sediaan sehingga kestabilan dari suatu
obat dapat terjaga (Ansel, 1989).
Ukuran stabilitas sangat penting untuk membangun keamanan obat, khasiat
obat dan bioavailabilitas obat. Pengujian stabilitas penting untuk memastikan
bahwa obat akan tetap efektif dan aman selama penyimpanan maupun
penggunaannya (Budiman, 2008). Pengujian stabilitas merupakan pengujian yang
dirancang untuk mendapatkan informasi mengenai stabilitas farmasi dalam rangka

1
menetapkan masa edar dan periode penggunaan dalam kondisi penyimpanan
tertentu (Manurung, 2007). Ketidakstabilan suatu sediaan farmasi dapat dideteksi
melalui perubahan sifat fisika, kimia serta penampilan dari suatu sediaan farmasi.
Besarnya perubahan kimia sediaan farmasi ditentukan dari laju penguraian obat
melalui hubungan antara kadar obat dengan waktu, atau berdasarkan derajat
degradasi dari suatu obat yang jika dipandang dari segi kimia, stabilitas obat dapat
diketahui dari ada atau tidaknya penurunan kadar selama penyimpanan. Secara
fisiologis, larutan obat harus diformulasikan sedekat mungkin ke pH stabilitas
optimumnya karena besarnya laju reaksi hidrolitik dipengaruhi atau dikatalisis
oleh gugus hidroksi (Ansel, 1989; Lachman et al.,1994).
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan uji stabilitas dengan metode
iodometri untuk mengetahui stabilitas obat pada vitamin C karena dilihat dari
pemeriannya, obat tersebut mudah mengalami perubahan seperti oksidasi dan
mudah terdegradasi sehingga hasil dari uji stabilitas obat dapat ditunjukkan
dengan mudah, tepat dan waktu yang dibutuhkan singkat.

II. RUMUSAN MASALAH


2.1 Bagaimana pengaruh suhu terhadap kestabilan vitamin C?
2.2 Bagaimana cara menentukan tingkat reaksi dari vitamin C?
2.3 Bagaimana cara menentukan waktu kadaluarsa Vitamin C?

III. TUJUAN
III.1. Menerangkan pengaruh suhu terhadap kestabilan Vitamin C.
III.2. Menentukan tingkat reaksi dari Vitamin C.
III.3. Menentukan waktu kadaluarsa dari Vitamin C.

IV. TINJAUAN PUSTAKA


4.1 Stabilitas
Stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk obat atau
kosmetik untuk bertahan dalam batas spesifikasi yang ditetapkan sepanjang

2
periode penyimpanan dan penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan,
kualitas dan kemurnian produk tersebut (Joshita, 2008).
Kestabilan umumnya adalah sesuatu yang menyebabkan
ketidakaktifan obat melalui penguraian obat atau melalui hilangnya khasiat
obat karena perubahan bentuk fisik dan kimia yang kurang diinginkan dari
obat tersebut (Martin et al, 2008).
Sediaan yang stabil adalah suatu sediaan yang masih berada dalam
batas yang dapat diterima selama periode penyimpanan dan penggunaan,
dimana sifat dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat
dibuat (Joshita, 2008). Adapun beberapa kriteria stabilitas sebagai berikut:
1. Stabilitas Kimia
Stabilitas kimia adalah kemampuan mempertahankan keutuhan kimiawi
dan potensi zat aktif yang tertera pada etiket dalam batasan spesifikasi.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi stabilitas kimia diantaranya:
pengaruh pelarut, pengaruh cahaya, pengaruh kelembapan, pengaruh
suhu, pengaruh kekuatan ion, pengaruh tetapan dielektrik, pengaruh
katalisis, dan pengaruh zona iklim dunia.
2. Stabilitas Fisika
Stabilitas fisika adalah kemampuan mempertahankan sifat fisika awal
dari suatu sediaan termasuk penampilan, kesesuaian, keseragaman,
disolusi, disintegrasi, kekerasan, dan kemampuan disuspensikan.
3. Stabilitas Mikrobiologi
Sterilitas atau resistensi terhadap pertumbuhan mikroba dipertahankan
sesuai dengan persyaratan yang dinyatakan. Zat antimikroba yang ada
harus dapat mempertahankan efektivitas sediaan dalam batas yang
ditetapkan.
4. Stabilitas Terapi
Stabilitas terapi adalah tidak adanya perubahan terhadap efek terapi dari
sediaan selama masa penyimpanan (shelf life).
5. Stabilitas Toksikologi

3
Stabilitas toksikologi adalah tidak terjadinya peningkatan toksisitas yang
bermakna selama waktu simpan, misalnya tidak terbentuk senyawa epi
dan anhidro dalam suspensi tetrasiklin yang menyebabkan toksisitas
pada ginjal
(Joshita, 2008).
Untuk menjaga kestabilan obat perlu diperhatikan pula faktor-faktor
yang mempengaruhi kestabilan suatu zat, yaitu panas, cahaya, kelembaban,
oksigen, pH, mikroorganisme dan bahan-bahan tambahan yang digunakan
dalam formula sediaan obat.Kestabilan suatu obat dapat dipercepat dengan
meningkatkan suhunya. Setiap kenaikan suhu 100C akan mempercepat laju
reaksi 2-3 kali, dimana laju reaksi adalah pengurangan konsentrasi reaktan
atau penambahan konsentrasi produk per satuan waktu (Joshita, 2008).
Penguraian bahan atau sediaan farmasi dapat digolongkan sebagai
hidrolisis dan oksidasi. Obat yang mengandung lebih dari satu gugus
fungsional kemungkinan dapat terhidrolisis dan teroksidasi secara
bersamaan. Reaksi lainnya seperti isomerasi, empimerisasi dan fotolisis juga
dapat mempengaruhi kestabilan obat dalam berbagai produk cairan, padatan
dan semisolid. Hidrolisis merupakan reaksi air dengan ester seperti etil
asetat dan dengan amida seperti prokamida. Akan tetapi reaksi antara air dan
ion-ion garam dari asam lemah dan baha lemah disebut juga hidrolisis
(Martin et al, 1983).
Dalam ilmu kimia organik oksidasi diartikan sebagai lepasnya
hidrogen (dehidrogenasi). Bila suatu reaksi melibatkan molekul oksigen,
biasanya disebut otooksidasi atau otoksidasi, karena biasanya terjadi secara
spontan dalam keadaan normal. Salah satu penelitian kinetika yang pertama
tentang otooksidasi asam askorbat menjadi asam dehidroaskorbat dilakukan
pada tahun 1963 oleh Barron et al. Obat-obat yang mudah teroksidasi seperti
asam askorbat dapat distabilkan dengan menghindari oksigen, mendapar
larutan pada pH yang sesuai, menggunakan pelarut bebas logam, menambah
inhibitor, menghindari cahaya, menyimpan produk pada temperatur rendah

4
dan mencegah sistem oksidasi-reduksi dengan potensial tertentu (Martin et
al., 1983).
Cahaya bisa menyebabkan suatu sediaan obat mengalami
oksidasi.Reaksi oksidasi merupakan reaksi pelepasan elektron oleh suatu zat
dan menyebabkan bertambahnya bilangan oksidasi dari zat tersebut.Reaksi
ini berperan penting dalam penguraian obat.Gugus fungsi yang mudah
mengalami reaksi oksidasi adalah fenol, eter, thiol, thioleter, asam
karboksilat, aldehid, dan nitrit.Kelembaban suatu sediaan obat dapat
mengalami terjadinya hidrolisis.Hidrolisis merupakan suatu proses
solvolisis dimana molekul obat obat bereaksi dengan molekul air
menghasikan produk pecahan dari konstitusi kimia yang berbeda. Obat-
obatan dengan gugus ester dan amida merupakan yang paling rentan
mengalami reaksi hidrolisis (Lachman, 1994).
Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana
reaksi penguraian dari larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan
asam (H+) atau basa (OH-) dengan menggunakan katalisator yang dapat
mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi dan tidak mempengaruhi hasil dari
reaksi (Ansel, 1989).
Suatu obat dalam bentuk kristalnya mungkin akan lebih stabil dari
polimorfisanya, atau bahkan sebaliknya. Hal ini penting untuk mengetahui
kemurnian obat yang dibuat sebelum dilakukan percobaan uji stabilitasnya,
sebab ketidakmurnian suatu obat merupakan salah satu katalisator penyebab
kerusakan obat sehingga menyebabkan sediaan obat menjadi tidak stabil dan
mengubah penampilan fisik bahan obat. Stabilitas fisik dan kimia baik bahan
obat berupa zat aktif maupun komponen lain dalam formulasi merupakan
kriteria yang paling penting untuk menentukan suatu stabilitas kimia dan
farmasi serta mempersatukannya sebelum memformulasikan menjadi
bentuk-bentuk sediaan. (Ansel, 1989).
Uji stabilitas biasanya dilakukan secara kimia. Tujuan utama uji
stabilitas obat antara lain untuk memilih formulasi dan sistem penutupan
wadah yang sesuai (berdasarkan stabilitas), untuk menentukan masa edar

5
dan kondisi penyimpanan, untuk menegaskan masa edar yang telah
ditetapkan, dan untuk membuktikan bahwa tidak ada perubahan yang terjadi
dalam formulasi atau proses pembuatan yang dapat memberikan efek
merugikan pada stabilitas obat (Manurung, 2007). Ada beberapa kriteria
yang digunakan sebagai rancangan studi stabilitas, yaitu :
1. Wadah dan penutup
Dalam stabilitas harus dikembangkan setiap jenis hubungan antara
wadah dan penutup yang diusulkan untuk pemasaran obat yang berbeda-
beda dalam komposisi atau desainnya (misalnya ketebalan dinding,
jumlah uliran dalam penutup), termasuk penutup yang sifatnya tahan
terhadap gangguan anak dan tahan terhadap perubahan sekitar tanpa
memperhatikan kemiripan tutup.Perhatian khusus harus diberikan
kepada semua ukuran wadah sediaan dosis ganda, seperti aerosol dan
preparat parenteral. Apabila integritas penutupan wadah kemasan perlu
diuji, maka kelembaban relatif yang lebih tinggi dari 75% masih
dimungkinkan dan masih cukup memadai untuk memastikan
kelekatannya pada suhu 37C (misalnya pada unit blister dan kemasan
strip).
2. Fluktuasi suhu yang ekstrim
Studi tentang efek fluktuasi suhu yang sesuai dengan kondisi
pengangkutan dan penyimpanan suatu produk harus dipertimbangkan
dalam hal ini, obat yang dikemas harus diperlakukan pada semua kondisi
suhu yang menyerupai fluktuasi yang mungkin dihadapi pada saat
berada di jalur distribusi. Studi ini terutama ditujukan pada preparat cair,
seperti injeksi, larutan, suspensi dan preparat setengah padat (cream,
salep dan pasta) diberi perlakuan suhu beku paling tidak selama 7 hari
dan hasil pengamatan harus digunakan untuk penandaan kondisi
penyimpanan yang cocok atau untuk kepentingan pemberian tabel
peringatan.
3. Suhu penyimpanan

6
Suhu penyimpanan yang benar digunakan selama penentuan studi
stabilitas harus dicantumkan.
4. Efek pembukaan dan penutupan wadah
Efek stabilitas yang diakibatkan oleh pembukaan dan penutupan
wadah harus dinilai dan diperbandingkan dengan stabilitas yang
dikembangkan dari studi yang telah dilakukan pada kemasan tak dibuka.
Efek penutupan dan pembukaan wadah disimulasikan dengan sampling
menggunakan wadah yang sama pada seluruh periode uji yang
dijadwalkan sepanjang isinya memungkinkan dan bukannya dilakukan
dengan hanya sekedar pengambilan sampling kemasan tertutup pada
masing-masing periode uji.
5. Kualitas microbial
Produk obat yang mengandung pengawet harus dipantau kandungan
pengawetnya dalam interval waktu tertentu selama periode tanggal
kadaluarsa produk yang diproyeksikan. Ini dapat dilakukan dengan
menyelenggarakan microbial challenge test (misalnya, uji efektivitas
pengawet antimikrobia dari USP, ini berlaku untuk wadah tak dibuka)
dan dengan penyelenggaraan penetapan kadar secara kimiawi untuk
pengawet. Apabila kuantitas minimal dari pengawet yang dipakai untuk
mencapai pengendalian efektivitas mikroba telah ditentukan, maka
penetapan secara kimiawi mungkin cukup memadai sebagai penampil uji
pencegahan secara periodik. Hal ini terutama penting untuk
mempertimbangkan cukup tidaknya suatu sistem pengawet pada kondisi
penggunaan vial dosis ganda.
6. Degradasi produk
Jika degradasi produk diidentifikasi, informasi yang harus
dicantumkan meliputi:

a. Struktur kimia

7
b. Referensi silang terhadap setiap informasi yang ada tentang efek
biologis dan efek lain yang bermakna, pada konsentrasi berapa perlu
diperhitungkan,
c. Prosedur isolasi dan pemurnian,
d. Mekanisme pembentukan, termasuk orde reaksi,
e. Sifat-sifat fisika dan kimia,
f. Spesifikasi dan petunjuk uji keberadaan pada tingkat konsentasi yang
disyaratkan harus ada,
g. Indikasi ada tidaknya aksi farmakologi
(Connors, 1992).
Terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjaga
kestabilan dari preparat-preparat farmasi yang mengandung obat, dimana
sediaan farmasi berupa obat umumnya terurai melalui reaksi hidrolisis
ataupun reduksi. Bentuk-bentuk sediaan padat yang mengandung zat aktif
yang tidak stabil dalam air harus dilindungi dari kelembaban atmosfer. Hal
ini dapat dilakukan dengan menggunakan suatu penyalutan pelindung tahan
air menyelimuti tablet atau dengan menutup dan menjaga obat dalam wadah
yang tertutup rapat. Kestabilan suatu obat juga dapat dipengaruhi oleh pH,
dimana reaksi penguraian dari larutan obat dapat dipercepat dengan
penambahan asam (H+) atau basa (OH-) dengan menggunakan katalisator
yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi dan tidak mempengaruhi
hasil dari reaksi (Lachman, et al., 1986).
Untuk mendeteksi perbandingan stabilitas maka dapat digunakan dua
metode yaitu dengan tes daya tahan-waktu panjang dan tes daya tahan
dipercepat.
a. Tes daya tahan-waktu panjang
Pada tes ini obat selama waktu tertentu disimpan dibawah
persyaratan penyimpanan (suhu, cahaya,udara dan kelembaban) yang
diharapkan di simpan dalam lemari pendingin atau ruang pendingin.
Dalam jarak waktu tertentu pada akhir percobaan dikontrol/dianalisis
kandungan bahan obat, sifat mikrobiologis, sifat sensoris dan keadaan

8
galentik yang dapat dideteksi dengan metode kimia fisika (Volgh,
1994).
b. Tes daya tahan dipercepat
Cara ini dapat digunakan untuk penetapan kinetika reaksi dan
penguraian yang dipelajari dengan menggunakan suhu tinggi (suhu
diatas suhu ruangan) yang kemudian diekstrapolasi pada suhu
penyimpanan. Metode ini di awali dengan tes tekanan dibawah
persyartan isothermikyaitu obat disimpan pada suhu tinggi yang
bervariasi dalam interval waktu tertentu dan ditentukan konsentrasi
dari kecepatan penguraian serta pengaruh suhu terhadap kecepatan
reaksinya. Selanjutnya dilakukan tes tekanan dibawah persyaratan
tidak isothermik yaitu obat disimpan pada suhu yang secara teratur
suhunya ditinggikan. Obat yang di ujikan harus dalam bentuk larutan
(Volgh, 1994).

4.2 Titrasi Iodometri


Terdapat dua cara melakukan analisis dengan menggunakan senyawa
pereduksi iodium, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Cara langsung
disebut iodimetri (digunakan larutan iodium untuk mengoksidasi reduktor-
reduktor yang dapat dioksidasi secara kuantitatif pada titik ekivalennya).
Namun, metode iodimetri ini jarang dilakukan mengingat iodium sendiri
merupakan oksidator yang lemah. Cara tidak langsung disebut iodometri
(oksidator yang dianalisis kemudian direaksikan dengan ion iodida berlebih
dalam keadaan yang sesuai yang selanjutnya iodium dibebaskan secara
kuantitatif dan dititrasi dengan larutan natrium thiosilfat standar atau asam
arsenit) (Day & Underwood, 1981).
Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk
menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksida yang lebih
besar daripada sistem iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang bersifat
oksidator seperti CuSO4.5H2O. Pada iodometri, sampel yang bersifat
oksidator direduksi dengan kalium iodida berlebihan dan akan menghasilkan

9
iodium yang selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat.
Banyaknya volume natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara
dengan iodium yang dihasilkan dan setara dengan banyaknya sampel
(Gandjar dan Rohman, 2007). Sebagai contoh adalah penentuan kandungan
klorin (Cl2) dalam agen pemutih. Klorin akan mengoksidasi iodida untuk
menghasilkan iodium. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

Selanjutnya iodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan baku natrium


tiosulfat menurut reaksi:

(Gandjar dan Rohman, 2007).


Banyaknya volume natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran
setara dengan iodium yang dihasilkan dan setara dengan banyaknya sampel
(Ansel, 1989).
Dua hal penting yang sering menyebabkan kesalahan dalam titrasi
yang melibatkan iod adalah:
1. Kehilangan iod yang disebabkan oleh sifat mudah menguapnya yang
cukup berarti, dan larutan iodida yang asam dioksidasi oleh oksigen di
udara:
4I- + O2 + 4H+2I2 + 2H2O
2. Reaksi diatas lambat dalam larutan netral tetapi lebih cepat dalam
larutan berasam dan dipercepat oleh cahaya matahari
(Day dan Underwood, 1981).

4.3 Vitamin C
Vitamin C yang disebut juga dengan asam askorbat memiliki rumus
molekul C6H8O6. Berikut adalah struktur asam askorbat:

10
Gambar 1. Struktur asam askorbat (Depkes RI, 1995)
Asam askorbat atau vitamin C mengandung tidak kurang dari 99,0%
dan tidak lebih dari 100,5% C6H8O6. Asam askorbat memiliki bobot molekul
176,13 gram/mol. Pemeriannya hablur atau serbuk putih atau agak kuning.
Oleh pengaruh cahaya lambat laun menjadi berwarna gelap.Dalam keadaan
kering stabil diudara, dalam larutan cepat teroksidasi.Melebur pada suhu lebih
kurang 190o. Vitamin C mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol,
tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam benzene (Depkes RI,
1995).
Vitamin C merupakan senyawa yang mempunyai sifat pereduksi kuat
dan dalam larutan, vitamin C mudah rusak akibat oksidasi oksigen dari
udara.Asam askorbat sangat mudah teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat
dengan adanya enzim asam askorbat oksidase, akan tetapi akan bersifat stabil
jika dalam bentuk kristal (murni). Secara kimia, asam ini juga sangat labil dan
dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam diketogulonat yang
tidak memiliki kemampuan sebagai vitamin C aktif. Suasana basa akan
menyebabkan asam diketogulonat teroksidasi menjadi asam oksalat dan asam
treonat (Safaryani dkk., 2007).
Vitamin C bersifat hidrofil dan melindungi membran sel dari luar,
terutama bekerja dalam cairan di luar sel. Vitamin C banyak terdapat di semua
sayur-mayur, khususnya kol, paprika, peterseli, asparagus, serta buah-buahan.
Terdapat juga dalam susu sapi dan dan daging, kecuali hati. Dalam tubuh
terdapat banyak jaringan, termasuk darah dan leukosit.Vitamin C mudah
dioksidasi dan diinaktifkan bila makanan dimasak terlalu lama.Khasiatnya
yang terpenting adalah pada dosis teraupetis yang cukup tinggi berdaya
antiviral kuat dan antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2007).

11
V. PROSEDUR PENELITIAN
5.1 ALAT DAN BAHAN
5.1.1 Alat Percobaan
a. Gelas beker 100 mL i. Pipet tetes
b. Labu Erlenmeyer 100 mL j. Labu ukur 100 mL
c. Gelas ukur 5 mL; 100 mL k. Botol kaca gelap
d. Statif dan klem l. Aluminium foil
e. Buret m. Timbangan analitik
f. Batang pengaduk n. Kertas perkamen
g. Bulb filler o. Sendok tanduk
h. Pipet ukur p. Oven

5.1.2 Bahan Percobaan


a. Akuades
b. Larutan sampel vitamin C 100 mg/mL
c. Larutan H2SO4 0,5 M
d. Larutan Na2S2O3 0,1 M
e. Larutan KIO3 0,02 M
f. KI
g. Indikator Kanji
h. Es Batu

5.2 PROSEDUR KERJA


5.2.1 Pembuatan Larutan Standar KIO3 0,02 M 200 mL
a. Perhitungan
Larutan standar KIO3 0,02 M 100 mL (dibuat 2 kali)
gram x 1000
M = Mr x v (ml)
a x 1000
0,02 M = 214 gr/mol x 100 ml
a (massa) = 0,43gram
b. Skema Kerja Pembuatan Larutan Standar KIO3 0,02M 200 mL

12
KIO3 ditimbang sebanyak 0,43 gram dalam gelas beker.

Ditambahkan akuades secukupnya, diaduk sampai KIO3 larut,


dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL.

Ditambahkan akuades sampai tanda batas pada labu ukur 100 mL,
digojog sampai homogen.

Dilakukan sebanyak 2 kali untuk mendapatkan volume 200 mL.

5.2.2 Pembuatan Larutan Standar Na2S2O3 0,1 M 200 mL


a. Perhitungan
Larutan Standar Na2S2O3 0,1 M 100 mL (dibuat 2 kali)
gram x 1000
M = Mr x v (ml)
a x 1000
0,1 M = 248,17 gr/mol x 100 ml
a (massa) = 2,48gram

b. Skema Kerja Pembuatan Larutan Standar Na2S2O3 0,1 M 200 mL

Na2S2O3ditimbang sebanyak 2,48 gram, kemudian dimasukkan dalam


gelas beker.

Ditambahkan akuades secukupnya, diaduk sampai Na2S2O3 larut,


dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL.

Ditambahkan akuades sampai tanda batas pada labu ukur 100 mL,
digojog sampai homogen.

13
Dilakukan sebanyak 2 kali untuk mendapatkan volume 200 mL.

5.2.3 Pembuatan Larutan H2SO4 0,5 M 100 mL


a. Perhitungan
Diketahui : Tersedia larutan H2SO4 98% b/b (bj = 1,84 gr/mL)
(FI IV hal 53).
98% b/b = 98 gram H2SO4 dalam 100 gram larutan.
Ditanya : volume larutan H2SO4 98% b/b yang dipipet?
Jawab :
massa (m)
Volume (v) = massa jenis ( )
100 gr
v = 1,84 gr/mL
v = 54,35 Ml
Jadi, 98%b/b = 98 gram H2SO4 dalam 54,35 mL larutan.
gram x 1000
M = Mr x v (ml)
98 gram x 1000
M = 98,07 gr/mol x 54,35 mL
M = 18,39 M

Pengenceran :
V1 x K1 = V2 x K2
V1 x 18,39 M = 100 ml x 0,5 M
V1 = 2,72 mL ~ 2,8 mL

14
b. Skema Kerja Pembuatan Larutan H2SO4 0,5 M 100 mL

Asam sulfat pekat (98% b/b) diukur 2,8 mL, dimasukkan ke dalam gelas
beaker yang berisi sedikit akuades.

Diaduk sampai homogen kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100


mL.

Ditambahkan akuades sampai tanda batas pada labu ukur 100 mL,
digojog sampai homogen.

5.2.4 Pembuatan Indikator kanji 0,5% b/v


a. Perhitungan
Diketahui: 0,5 % b/v = 0,5 gram per 100 ml
Maka digunakan kanji sebanyak 0,5 gram

b. Skema Kerja Pembuatan Indikator Kanji 100 mL

Ditimbang kanji sebanyak 0,5 gram kemudian dimasukkan ke dalam gelas beaker.

Ditambahkan akuades secukupnya, diaduk sampai homogen.

anaskan di atas penangas air sampai kanji larut sempurna, kemudian didinginkan dan dimasukkan

Ditambahkan akuades sampai tanda batas pada labu ukur 100 mL, digojog sampai homogen

15
5.2.5 Standarisasi Larutan Na2S2O3 0,1 M
a. Skema Kerja

Disiapkan 3 buah labu erlenmeyer (diberi nomor 1, 2, dan 3) masing


masing labu diisi dengan 25 mL larutan standar KIO3 0,02 M.

Labu 1, ditambahkan 2 gram KI dan 10 mL larutan H2SO4 0,5 M, dititrasi


dengan larutan Na2S2O3 0,1 M sampai larutan berwarna kuning pucat.

Ditambahkan beberapa tetes indikator kanji sampai terbentuk larutan


berwarna biru kehitaman, dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 M sampai
larutan bening kembali.

Dilakukan hal yang sama pada labu nomor 2 dan 3 kemudian dihitung
konsentrasi molar larutan standar Na2S2O3.

5.2.6 Penetapan Kadar

Disiapkan 6 buah erlenmeyer (diberi nomor 1 sampai 6), masing


masing labu diisi 10 mL sampel larutan vitamin C.

Labu 1, ditambahkan 2 gram KI, 20 mL larutan H2SO4 0,5 M, dan 25 mL


larutan KIO3 0,02 M.

Dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 M sampai larutan berwarna


kecoklatan.

Ditambahkan beberapa tetes indikator kanji sampai larutan berwarna


biru kehitaman.

Dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 M sampai larutan bening kembali.

Labu 2 yang berisi 10 mL larutan sampel vitamin C diletakkan pada suhu


80C selama 15 menit (kemudian diperlakukan sama dengan labu 1).

Labu 3 yang berisi 10 mL larutan sampel vitamin C diletakkan pada suhu


80C selama 30 menit (kemudian diperlakukan sama dengan labu 1).

Labu 4 yang berisi 10 mL larutan sampel vitamin C diletakkan pada suhu


80C selama 45 menit (kemudian diperlakukan sama dengan labu 1).

16
Labu 5 yang berisi 10 mL larutan sampel vitamin C diletakkan pada suhu
80C selama 60menit (kemudian diperlakukan sama dengan labu 1).

Labu 6 yang berisi 10 mL larutan sampel vitamin C diletakkan pada suhu


80C selama 90 menit (kemudian diperlakukan sama dengan labu 1).

Dicatat volume yang digunakan, dicari kadar Vitamin C pada masing-


masing lama pemanasan, kemudian dicari orde reaksi dan waktu
kadaluarsanya

VI. ANALISIS DATA


VI.1 Tabel Penimbangan
Tabel 1. Penimbangan dan Pemipetan Bahan

No. Nama Bahan Jumlah

Pembuatan Larutan Na2S2O3


a. Serbuk Na2S2O3 2,48 gram
1.
b. Serbuk Na2CO3 0,052 mg
c. Akuades ad 100 mL
Pembuatan Larutan KIO3
2. a. Kristal KIO3 0,431 gram
b. Akuades ad 100 mL

Pembuatan Larutan H2SO4 0,5 M

3. a. H2SO4 96% b/b 2,8 mL


b. Akuades ad 100 mL

Pembuatan Indikator Kanji


4. a. Amilum tritici 503 mg
b. Akuades ad 100 mL

5. Serbuk vitamin C 250,7 mg

17
6. Kristal KI untuk standarisasi 0,5 gram
larutan Na2S2O3 dan penetapan sebanyak 9
kadar vitamin C kali
penimbangan

VI.2 Hasil Pengamatan


a. Standarisasi Larutan Standar Na2S2O3

Larutan KIO3 yang digunakan : 0,02 M


Indikator : Kanji 6 tetes
Tabel 2. Tabel Pengamatan Standarisasi Larutan Standar Na2S2O3

Volume Pengamatan Kesimpulan


Na2S2O3
6,8 mL Coklat kuning pucat Titik akhir titrasi tercapai

Biru kehitaman bening


7,0 mL Coklat kuning pucat Titik akhir titrasi tercapai

Biru kehitaman bening


7,1 mL Coklat kuning pucat Titik akhir titrasi tercapai

Biru kehitaman bening


b. Penetapan Kadar Vitamin C
Larutan KIO3 yang digunakan: 0,02M
Indikator : Kanji 7 tetes
Sampel : Vitamin C
Suhu pemanasan : 95oC
Tabel 3. Tabel Pengamatan Titrasi Vitamin C
Lama Volume Pengamatan Kesimpulan
Pemanasa Na2S2O3
n
0 menit 5,6 mL Coklat kuning pucat Titik akhir titrasi
tercapai
Biru kehitaman bening

18
15 menit 5,2 mL Coklat kuning pucat Titik akhir titrasi
tercapai
Biru kehitaman bening
40 menit 5,5 mL Coklat kuning pucat Titik akhir titrasi
tercapai
Biru kehitaman bening
45 menit 5,6 mL Coklat kuning pucat Titik akhir titrasi
tercapai
Biru kehitaman bening
1 jam 5,2 mL Coklat kuning pucat Titik akhir titrasi
tercapai
Biru kehitaman bening
2 jam 5,0 mL Coklat kuning pucat Titik akhir titrasi
tercapai
Biru kehitaman bening

6.3 Perhitungan
a. Perhitungan Standarisasi Na2S2O3
Diketahui: Molaritas KIO3 = 0,02 M
Volume KIO3 = 6,25 mL
Volume Na2S2O3 I = 6,8 mL
Volume Na2S2O3 II = 7,0 mL
Volume Na2S2O3 III = 7,1 mL
Ditanya : Molaritas Na2S2O3, SD dan RSD =.?
Jawab :

Reaksi Pembentukan I3- oleh KI dan KIO3


KIO2 K+ + IO3

KI K+ + I
Penyetaraan reaksi

Reduksi : IO I
3 3

Oksidasi : I I
3

Reduksi : 3 IO + 18H + 16e I + 9H2O
+
X1
3 3

Oksidasi : 3 I I +2e X8
3

19

Reduksi : 3 IO + 18H+ + 16e I + 9H2O
3 3

Oksidasi : 24 I 8 I 3 + 16e

+
3 IO 3 + 18H + 16e + 24 I I + 9H2O + 8 I + 16e
3 3

+
3 IO 3 + 18H + 24 I 9 I 3 + 9H2O

+
IO3 + 6H + 8 I 3 I 3 + 3H2O..(a)


Reaksi Na2S2O3 dengan I3

2
Na2S2O3 2Na+ + S O
4 6


Reduksi : I3 3I

2 2
Oksidasi : S O S O
2 3 4 6

Penyetaraan reakasi

Reduksi : I3 + 2e 3I

2 2
Oksidasi : 2 S O S O + 2e
2 3 4 6

2 2
I3 + 2e + 2 S O 3 I + S O + 2e
2 3 4 6
2 2
I3 + 2 S O 3 I + S O
2 3 4 6

(b)

Penggabungan Reaksi (a) danReaksi (b)/ Reaksi Standarisasi

+
IO3 + 6H + 8 I 3 I 3 + 3H2O x3
2 2
I 3 + 2 S 2 O3 3I + S O
4 6
x8

20
+
3 IO 3 + 18H + 24 I 9 I 3 + 9H2O
2 2
8 I 3 + 16 S 2 O3 24 I +8 S 4 O6

+ 2
3 IO 3 + 18H + 24 I + 8 I 3 +
16 S 2 O3 9 I 3

2
+9H2O+ 24 I +8 S O
4 6
+
2
3 IO 3 + 18H + 16 S 2 O3 I3 +9H2O+8

2
S 4 O 6

Mol KIO3 = Molaritas KIO3 x Volume KIO3


= 0,02 M x 6,25 mL
= 0,125mmol
koefisien S2 O2-3
Mol Na2S2O3 = x mol KIO3
koefisien IO-3
16
= x 0,125mmol
3
= 0,667 mmol
Molaritas Na2S2O3 masing-masing titrasi
mol Na 2 S 2 O 3
Titrasi I =
Volume Na 2 S 2 O3 I
0,667 mmol
=
6,8 mL
= 0,098 M
mol Na 2 S 2 O3
Titrasi II =
Volume Na 2 S 2 O3 II
0,667 mmol
=
7,0 mL
= 0,095 M
mol Na2 S 2O 3
Titrasi III =
Volume Na 2 S 2 O3 III

21
0,667 mmol
=
7,1 mL
= 0,093 M
Molaritas Na2S2O3 rata-rata =

M Na2 S 2O 3 I + M Na 2 S 2 O 3 II + M Na2 S 2 O 3 III


3
0,098 M +0,095 M +0,093 M
= = 0,095
3
M

SD dan RSD
Tabel 4. Perhitungan SD dan RSD
Titrasi i i ( - ) ( - )2
I 0,098 0,095 3 x 10-3 9 x10-6
II 0,095 0,095 0 0
III 0,093 0,095 -2 x 10-3 -2 x 10-6

( - )2= 7 x 10-6

SD
(x - x) 2

n -1

SD =
7 x 106
2
= 1,87 x 10-3

SD 1,87 x 103
RSD = 100% = RSD = 100%
0,095

RSD = 1,97 %

Jadi, molaritas rata-rata larutan Na2S2O3 adalah (0,095 1,87 x 10-3) M

b. Perhitungan Penetapan Kadar Vitamin C


Diketahui : Molaritas KIO3 = 0,02 M

22
Volume KIO3 = 6,25 mL
Molaritas Na2S2O3 = 0,153 M
BM C6H8O6 = 176,13 gram/mol
Volume sampel = 10 mL
Volume Na2S2O3 I (0 menit) = 5,6 mL
Volume Na2S2O3 II (15 menit) = 5,2 mL
Volume Na2S2O3 III (40 menit) = 5,5 mL
Volume Na2S2O3 IV (45 menit) = 5,6 mL
Volume Na2S2O3 V (1 jam) = 5,2 mL
Volume Na2S2O3 VI (2 jam) = 5,0 mL
Ditanya : Kadar vitamin C, orde yang dimiliki, dan waktu kadaluarsa?
Jawab :

Reaksi Pembentukan I 3 oleh KI dan KIO3


KIO3 K+ + IO3
KI K+ + I-
Penyetaraan setengah reaksi

Reduksi : IO I3
3

Oksidasi : I- I3


Reduksi : 3 IO + 18H+ + 16e I3 + 9H2O x1
3

Oksidasi : 3I- I3 + 2e x8


Reduksi : 3 IO + 18H+ + 16e I 3 + 9H2O
3

Oksidasi : 24I- 8 I 3 + 16e

- +
3 IO 3 + 24I + 18H + 16e I3 + 8 I
3
+ 9H2O

+ 16e
- +
3 IO 3 + 24I + 18H 9 I3 + 9H2O

23
- +
IO3 + 8I + 6H 3 I 3 + 3H2O ..
(a)


Reaksi C6H8O6 dengan I3


Reduksi :
I 3 + 2e 3I-
Oksidasi : C6H8O6 C6H6O6 +2H+ +2e


I3 + C6H8O6 + 2e 3I- + C6H6O6 +2H+ +2e

I3 + C6H8O6 3I- + C6H6O6 +2H+.(b)

Reaksi dari persamaan (a) dan (b)


- +
IO3 + 8I + 6H 3 I 3 + 3H2O x3


I3 + C6H8O6 3I- + C6H6O6 +2H+ x8

- +
3 IO 3 + 24I + 18H 9 I 3 + 9H2O


8 I 3 + 8C6H8O6 24I- + 8C6H6O6 +16H+

-
3 IO 3 +24I + 8 I 3 +8C6H8O6+18H+ 9 I 3 +24I- +8C6H-

6O6+16H+ +9H2O
+
3 IO 3 +8C6H8O6 +2H I 3 +8C6H6O6 +9H2O


Reaksi antara Na2S2O3 dengan I3

Na2S2O3 2Na+ + S2 O2-


3


Reduksi : I3 + 2e 3I-

24
Oksidasi : 2S2 O 2-3 S4 O 2-6 + 2e


I3 + 2S2 O 2-3 + 2e 3I- + S4 O2-6 + 2e


I3 + 2S2 O 2-3 3I- + S4 O2-6 .

Reaksi titrasi
2S2O32- + I3- S4O62- + 3I-
3IO3- + 8C6H8O6+ 2H+ 8C6H6O6 + I3- +9H2O
8C6H8O6 + 2S2O32- + 3IO3- + 2H+ 8C6H6O6 + S4O62-+3I- + 9H2O

Mol KIO3 = Molaritas KIO3 x Volume KIO3


= 0,02 M x 6,25 mL
= 0,125 mmol
-
koefisien I3
Mol I awal = - x Mol KIO3
3 koefisienIO3
3
= x 0,125 mmol
1
= 0,375 mmol

Mol I3 yang bereaksi dengan Na2S2O3

koefisien I-3
Mol I = x Mol Na2S2O3
3 koefisien S2 O-3

koefisien I-3
= x M Na2S2O3 x Volume Na2S2O3
koefisien S2 O-3

Titrasi I
1
Mol I3 I = x 0,095 M x 5,6 mL
2
= 0,266 mmol

25
Titrasi II
1
Mol I 3 II = x 0,095 M x 5,2 mL
2
= 0,247 mmol

Titrasi III
1
Mol I 3 III = x 0,095 M x 5,5 mL
2
= 0,261 mmol

Titrasi IV
1
Mol I3 IV = x 0,095 M x 5,6 mL
2
= 0,266 mmol

Titrasi V
1
Mol I3 V = x 0,095 M x 5,2 mL
2
= 0,247 mmol

Titrasi VI
1
Mol I 3 VI = x 0,095 M x 5,0 mL
2
= 0,237 mmol


Mol I 3 yang bereaksi dengan Vitamin C


Mol I3 = Mol I 3 awal Mol I 3 yang bereaksi dengan

Na2S2O3

Titrasi I

Mol I 3 I = 0,375 mmol 0,266 mmol
= 0,109 mmol

Titrasi II

Mol I3 II = 0,375 mmol 0,247 mmol

26
= 0,128 mmol
Titrasi III

Mol I 3 III = 0,375 mmol 0,261 mmol
= 0,114 mmol
Titrasi IV

Mol I3 IV = 0,375 mmol 0,266 mmol

= 0,109 mmol
Titrasi V

Mol I3 V = 0,375 mmol 0,247 mmol

= 0,128 mmol
Titrasi VI

Mol I 3 VI= 0,375 mmol 0,237 mmol

= 0,138 mmol

Mol Vitamin C (C6H8O6)



C6H8O6 + I3 C6H6O6 + 2H+ + 3I-

koefisien C6 H 8 O 6
MolC6H8O6 = - x Mol I3 yang bereaksi dengan
koefisien I 3

vitamin C
1
= x Mol I3 yang bereaksi dengan vitamin C
1
Titrasi I
1
Mol C6H8O6 I = x 0,109 mmol = 0,109 mmol
1

Titrasi II
1
Mol C6H8O6 II = x 0,128 mmol = 0,128 mmol
1

27
Titrasi III
1
Mol C6H8O6 III = x 0,114 mmol = 0,114 mmol
1
Titrasi IV
1
Mol C6H8O6 IV = x 0,109 mmol = 0,109 mmol
1
Titrasi V
1
Mol C6H8O6 V = x 0,128 mmol = 0,128 mmol
1
Titrasi VI
1
Mol C6H8O6 IV = x 0,138 mmol = 0,138 mmol
1

Massa C6H8O6 dalam sampel


Massa C6H8O6 = Mol C6H8O6 x BM C6H8O6
= Mol C6H8O6 x 176,13 gram/mol
Titrasi I
Massa C6H8O6 I = 0,109 mmol x 176,13 gram/mol
= 19,198 mg
= 0,0192 gram

Titrasi II
MassaC6H8O6 II = 0,128 mmol x 176,13 gram/mol
= 22,544 mg
= 0,0225 gram
Titrasi III
Massa C6H8O6 III = 0,114 mmol x 176,13 gram/mol
= 20,078 mg
= 0,0200 gram

Titrasi IV
Massa C6H8O6 IV = 0,109 mmol x 176,13 gram/mol
= 19,198 mg

28
= 0,0192 gram

Titrasi V
Massa C6H8O6 V = 0,128 mmol x 176,13 gram/mol
= 22,544 mg
= 0,0225 gram

Titrasi VI
Massa C6H8O6 IV = 0,138 mmol x 176,13 gram/mol
= 24,306 mg
= 0,0243gram

Kadar C6H8O6 dalam % b/v (volume sampel = 10 mL)


Titrasi I
0,0192 gram
Kadar C6H8O6 I = x 100% = 0,192 % b/v
10 ml

Titrasi II
0,0225 gram
Kadar C6H8O6 II = x 100% = 0,225 % b/v
10 ml

Titrasi III
0,0200 gram
Kadar C6H8O6 III = x 100% = 0,2 % b/v
10 ml

Titrasi IV
0,0192 gram
Kadar C6H8O6 IV = x 100% = 0,192 % b/v
10 ml
Titrasi V
0,0225 gram
Kadar C6H8O6 V = x 100% = 0,225 % b/v
10 ml

Titrasi VI
0,0243 gram
Kadar C6H8O6 VI = x 100% = 0,243 % b/v
10 ml

29
Tabel 5. Kadar % b/v Sampel Vitamin C
Sampel Lama pemanasan Kadar (%b/v)

I 0 menit 0,192 % b/v


II 15 menit 0,225 % b/v
III 40 menit 0,2 % b/v

IV 45 menit 0,192 % b/v

V 1 jam 0,225 % b/v

VI 2 jam 0,243 % b/v

c. Kinetika Reaksi
Molaritas Vitamin C untuk setiap perlakuan
Massa 1000
M= x
BM Vol

Sampel I
0,0192 gram 1000
MI = x = 0,0109 M
176,13 gram/mol 10 mL

Sampel II
0,0225 gram 1000
M II = x = 0,0127 M
176,13 gram/mol 10 mL

Sampel III
0,0200 gram 1000
M III = x = 0,0113 M
176,13 gram/mol 10 mL

Sampel IV
0,0192 gram 1000
M IV = x = 0,0109 M
176,13 gram/mol 10 mL
Sampel V

30
0,0225 gram 1000
MV = x = 0,0127 M
176,13 gram/mol 10 mL

Sampel VI
0,0243 gram 1000
MV = x = 0,0137 M
176,13 gram/mol 10 mL

Tabel 6. Orde Reaksi


t (waktu) Orde nol [M] Orde satu (log [M]) Orde dua [1/M]
0 menit 0,0109 M -1,9626 91,743
15 menit 0,0127 M -1,8962 78,740
40 menit 0,0113 M -1,9469 88,495
45 menit 0,0109 M -1,9626 91,743
1 jam 0,0127 M -1,8962 78,740
2 jam 0,0137 M -1,8633 72,993

Grafik Hubungan Konsentrasi dan Waktu


Orde nol
y = 0,00002x + 0.011
r2 = 0.483
Orde satu
y = 0.00067x - 1.948
r2 = 0.446

Orde dua
y = -0.130x + 90.05
r2 = 0.485

31
Grafik 1. Orde Nol

Konsentrasi vs waktu
0.02

f(x) = 0x + 0.01
0.01 R = 0.48
orde 0
Konsentrasi (M) Linear (orde 0)
0.01

0
0 50 100

Waktu (menit)

Grafik 2. Orde Satu

Orde 1
-1.8
-1.82 0 50 100 150
-1.84
-1.86
orde 1
-1.88 f(x) = 0x - 1.95
Konsentrasi (M) Linear (orde 1)
-1.9 R = 0.45
-1.92
-1.94
-1.96
-1.98

waktu (menit)

32
Grafik 3. Orde Dua

Konsentrasi vs waktu
100

80 f(x) = - 0.13x + 90.05


R = 0.49
60 orde 2
Konsentrasi (M) 40 Linear (orde 2)

20

0
0 50 100

waktu (menit)

Nilai R terbesar diberikan oleh kinetika orde dua, maka reaksi mengikuti kinetika
orde 2, yaitu sebagai berikut:

1 1
kt
A A o
1 1
= +k 15
78,740 91,743

0,0127 = 0,0194 +15 k

15k = 0,0194 -0,0127

k = 6,7 x 10-3 / menit

0,1 x ( A0
t90 =
k

0,1 x 91,743
= 3
6,7 x 10

33
= 5,4 x 10-3 menit
Jadi, waktu kadaluarsa sampel vitamin C adalah 5,4 x 10-3 menit.

VII. PEMBAHASAN
Praktikum kinetika reaksi dan stabilitas obat ini dilakukan uji stabilitas kimia
terhadap vitamin C dengan melihat pengaruh suhu terhadap kestabilan vitamin C.
Uji stabilitas ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kestabilan
vitamin C, untuk mengetahui metode yang digunakan dalam uji stabilitas terhadap
vitamin C, untuk mengetahui kinetika reaksi yang terjadi pada uji stabilitas
vitamin C, dan untuk mengetahui waktu kadaluarsa dari vitamin C. Dalam
industri farmasi, uji stabilitas obat mesti dilakukan untuk menjamin terpeliharanya
mutu, keamanan, dan khasiat obat selama masa edar produk (Manurung, 2007).
Penetapan kadar sampel vitamin C ini menggunakan metode titrasi iodometri.
Pada praktikum ini tidak digunakan spektrofotometri untuk menetapkan kadar
dari vitamin C karena jika menggunakan metode spektrofotometri, vitamin C akan
terpapar udara terbuka cukup lama sehingga akan mengalami oksidasi. Hal ini
disebabkan karena vitamin C mudah bereaksi dengan O2 di udara menjadi asam
dehidroaskorbat (Safaryani dkk., 2007).
Titrasi iodometri umumnya digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-
senyawa yang mempunyai potensial oksidasi lebih besar daripada sistem iodium-
iodida atau senyawa-senyawa bersifat oksidator. Titrasi iodometri digunakan
karena zat yang akan dititrasi atau ditetapkan kadarnya bukan merupakan
pereduksi yang cukup kuat untuk dititrasi langsung dengan iodium. Kelebihan
iodida ini ditambahkan kepada zat yang ditentukan kadarnya (dalam hal ini zat
yang dimaksud adalah vitamin C) dengan pembebasan iodium yang kemudian
dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat (Gandjar dan Rohman, 2007).
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat antara
lain panas, cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme, dan bahan-bahan
tambahan yang dipergunakan dalam formula sediaan obat. Suhu dapat

34
mempengaruhi kestabilan suatu zat karena kenaikan suhu dapat mempercepat
terjadinya berbagai reaksi termasuk reaksi-rekasi penguraian yang dapat
mengganggu stabilitas zat-zat tertentu.
Tahapan pertama yang dilakukan adalah pembuatan larutan, yaitu larutan
H2SO4, indikator kanji, larutan baku KIO 3, dan larutan baku Na2S2O3. Dalam
pembuatan larutan H2SO4, penambahan sedikit air di labu ukur terlebih dahulu
harus dilakukan yang kemudian dilanjutkan dengan penambahan H2SO4 pekat
karena H2SO4 tidak boleh dimasukkan secara langsung tanpa air ke dalam labu
ukur sebab akan terjadi reaksi eksoterm yang menghasilkan suatu panas yang
dapat mengakibatkan pecahnya labu ukur.
Sebelum dilakukan penetapan kadar dalam larutan vitamin C, dilakukan
standarisasi larutan titran dengan menggunakan larutan KIO 3 terlebih dahulu.
Larutan titran yang digunakan untuk menetapkan kadar sampel adalah Na2S2O3.
Larutan natrium tiosulfat merupakan garam pentahidrat yang tidak stabil untuk
penyimpanan dalam jangka waktu lama karena dapat terurai dalam larutan asam,
membentuk belerang sebagai endapan seperti susu. Reaksi natrium tiosulfat yang
terjadi saat terurai dalam larutan asam sebagai berikut.
S2O32- + 2 H+ H2S2O3H2SO3+ S(p)
Karena sifat larutan natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama
maka perlu dilakukan standarisasi Na2S2O3 dengan larutan baku primer KIO3 (Day
dan Underwood, 1981). Standarisasi adalah suatu proses yang mana larutan baku
sekunder dibakukan dengan larutan baku primer. Standarisasi dilakukan karena
semua perhitungan dalam titrimetri didasarkan pada konsentrasi titran sehingga
konsentrasi titran harus dibuat atau diketahui setepat mungkin (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Larutan KIO3 berperan sebagai larutan baku primer yang digunakan untuk
membakukan natrium tiosulfat karena larutan ini kemurniannya cukup tinggi
dengan pembakuan natrium tiosulfat melalui pembentukan iodium (Gandjar dan
Rohman 2007). Garam KIO3 mampu mengoksidasi iodida menjadi iod secara
kuantitatif dalam larutan asam. Oleh karena itu digunakan sebagai larutan baku
dalam proses titrasi iodometri ini. Selain itu juga karena sifat iod itu sendiri yang

35
mudah teroksidasi oleh oksigen dalam lingkungan sehingga iodida mudah
terlepas. Reaksi ini sangat kuat dan hanya membutuhkan sedikit sekali kelebihan
ion hidrogen untuk melengkapi reaksinya. Namun, kekurangan utama dari garam
ini sebagai baku primer adalah bahwa bobot ekivalennya yang rendah. Larutan
standar ini sangat stabil dan menghasilkan iod bila diolah dengan asam. Reaksinya
adalah sebagai berikut.
KIO3 + 5KI + 3H2SO4 3K2SO4 + 3I2 + 3H2O
Larutan KIO3 memiliki dua kegunaan penting, yang pertama sebagai sumber
dari sejumlah iod yang diketahui dalam titrasi yang harus ditambahkan ke dalam
larutan yang mengandung asam kuat dan tidak dapat digunakan dalam medium
yang netral atau memiliki tingkat keasaman yang rendah. Yang kedua, dalam
penetapan kandungan asam dari larutan secara iodometri, atau dalam standarisasi
larutan asam kuat. Indikator yang digunakan adalah indikator kanji karena warna
biru tua kompleks pati-iod berperan sebagai uji kepekaan terhadap iod. Kepekaan
itu lebih besar dalam larutan yang sedikit asam daripada larutan netral dan lebih
besar dengan adanya ion iodida. Kanji dipilih sebagai indikator karena kanji
bereaksi dengan iod, dengan adanya iodida membentuk suatu kompleks yang
berwarna biru kuat, yang akan terlihat pada konsentrasi iod yang sangat rendah.
Standardisasi Na2S2O3 dilakukan dengan menggunakan 6,25 mL larutan KIO3
0,02 M yang ditambahkan 0,5 gram KI dan 2,5 mL H 2SO4 0,5 M. Penambahan KI
ditujukan untuk menciptakan iodida berlebih, meningkatkan kelarutan I2, dan
mengantisipasi kekurangan I2. Ion iodida yang berasal dari KI akan menggantikan
ion iodida yang telah menguap. Penambahan larutan H2SO4 bertujuan untuk
menciptakan suasana asam sehingga oksidasi ion iodida dapat berlangsung lebih
cepat (Day dan Underwood, 1981). Pada suasana asam potensial reduksi iodat
menjadi meningkat dengan pesat akibat naiknya konsentrasi H + dalam larutan
sehingga iodat ini direduksi secara lengkap oleh iodida. Selain itu, H2SO4
berfungsi sebagai katalisator dalam reaksi untuk membantu KIO 3 dalam
mengoksidasi iodida menjadi iod (Happinessa, 2011).
Tahapan selanjutnya, larutan dititrasi dengan larutan Na2S2O3 hingga
mendekati titik akhir titrasi yang ditunjukkan dengan warna kuning pucat.

36
Kemudian ditambahkan indikator kanji sebanyak 6 tetes secara bertahap hingga
larutan menjadi berwarna biru kehitaman. Kemudian titrasi dilanjutkan hingga
warna biru kehitaman hilang (bening). Titrasi pembakuan natrium tiosulfat
merupakan titrasi tak langsung, sehingga indikator kanji ditambahkan ketika
mendekati titik akhir titrasi, hal ini dilakukan karena kanji dengan I3- akan
membentuk kompleks yang sukar larut apabila ditambahkan pada awal titrasi.
Penambahan kanji pada titik akhir titrasi menyebabkan perubahan warna larutan
menjadi biru, yaitu hasil pembentukan kompleks I3- dengan rantai B-amilosa pada
kanji.
Dilakukan tiga kali titrasi dalam standarisasi Na2S2O3 agar dapat diketahui
presisi dan diperoleh nilai konsentrasi yang lebih akurat. Adapun volume Na2S2O3
yang digunakan dari ketiga titrasi tersebut berturut-turut adalah sebanyak 6,8 mL,
7,0 mL; dan 7,1 mL. Setelah dilakukan perhitungan, diperoleh molaritas masing-
masing, yaitu 0,098 M; 0,095 M dan 0,093 M.
Pada penetapan kadar sampel vitamin C digunakan sampel serbuk yang
mengandung vitamin C 100 mg/ml yang kemudian diambil 10 mL dan
dimasukkan ke dalam masing-masing 6 buah vial. Sampel pertama tidak diberi
perlakuan khusus, hanya didiamkan pada suhu ruangan, sampel kedua dipanaskan
pada suhu 95C selama 15 menit, sampel ketiga dipanaskan pada suhu 95C
selama 40 menit, sampel keempat dipanaskan pada suhu 95C selama 45 menit,
sampel kelima dipanaskan pada suhu 95C selama 60 menit, dan sampel keenam
dipanaskan pada suhu 95C selama 120 menit. Setelah dipanaskan sampel segera
dimasukkan ke dalam es selama 5 menit. Hal ini bertujuan untuk memberikan
efek thermal shock pada larutan sampel sehingga dapat diketahui perubahan yang
terjadi dari penurunan suhu tersebut. Ketidakstabilan suatu sediaan farmasi dapat
dideteksi melalui perubahan sifat fisika, kimia serta penampilan dari suatu sediaan
farmasi. Selanjutnya semua sampel ditentukan kadarnya dengan cara titrasi
iodometri.
Setiap terjadinya kenaikan suhu maka akan mempercepat laju reaksi oksidasi
yang terjadi, sehingga konsentrasi reaktan akan berkurang dan produk akan
bertambah (Joshita, 2008). Di mana reaktannya adalah asam askorbat sedangkan

37
produknya adalah asam dehidroaskorbat. Pemanasan menyebabkan lebih banyak
kerusakan asam askorbat, karena terjadinya oksidasi oksigen terhadap asam
askorbat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kecepatan degradasi atau
kecepatan oksidasi merupakan suatu fungsi atau tergantung pada kecepatan panas.
Semakin lama waktu pemanasan, maka konsentrasinya akan semakin berkurang.
Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin lama dilakukan pemanasan, maka vitamin
C yang terdegradasi akan semakin banyak sehingga kadarnya akan semakin
berkurang.
Berdasarkan hasil perhitungan, kadar vitamin yang diperoleh pada sampel I
(tanpa pemanasan) adalah 0,192 % b/v, kemudian 0,225% b/v pada sampel II
(pemanasan selama 15 menit), 0,2% b/v pada sampel III (pemanasan selama 40
menit), 0,192% b/v pada sampel IV (pemanasan selama 45 menit), 0,225% b/v
pada sampel V (pemanasan selama 60 menit), dan 0,243% b/v pada sampel VI
(pemanasan selama 120 menit). Berdasarkan hasil percobaan, terjadi perubahan
kadar yang tidak konstan pada sampel tanpa adanya pemanasan hingga sampel
dengan pemanasan selama 120 menit. Dalam hal ini, pemanasan tidak
berpengaruh terhadap kadar vitamin C, namun berdasarkan teori suhu
mempengaruhi kadar vitamin C. Di mana semakin lama pemanasan, maka kadar
dari vitamin C semakin kecil. Kesalahan ini dapat disebabkan karena saat titrasi
terjadi ketidaktepatan penambahan titran, sehingga konsentrasinya tidak diperoleh
dengan tepat. Ketidaktepatan penambahan titran ini terjadi karena sulitnya melihat
perubahan warna yang terjadi. Selain itu sebaiknya titrasi hanya dilakukan oleh 1
orang saja untuk menyeragamkan pengamatan namun pada saat percobaan titrasi
dilakukan secara bergantian. Selain itu juga dapat disebabkan karena jumlah KI
yang ditambahkan berkurang karena didiamkan terlalu lama. Dalam penanganan
zat aktif vitamin C yang perlu diperhatikan adalah suhu, cahaya, wadah dan
penyimpanannya. Dengan mengetahui pengaruh tersebut maka dapat
direkomendasikan bahwa bagaimana suhu untuk penyimpanan sediaan vitamin C
tersebut dan oleh karena vitamin C teroksidasi oleh adanya cahaya maka
penyimpanannya dalam wadah yang terlindung dari cahaya (Bender, 1979).

38
Setelah mengetahui kadar dari masing masing sampel, maka konsentrasi
dari masing masing sampel dapat ditentukan. Berdasarkan hasil perhitungan,
konsentrasi vitamin C yang diperoleh pada sampel I (tanpa pemanasan) adalah
sebesar 0,0109 M, pada sampel II (15 menit pemanasan) adalah sebesar 0,0127 M,
sampel III (40 menit pemanasan) adalah sebesar 0,0113 M, sampel IV (45 menit
pemanasan) adalah sebesar 0,0109 M, sampel V (60 menit pemanasan) adalah
sebesar 0,0127 M ,dan sampel VI (120 menit pemanasan) adalah sebesar 0,0137
M.
Dari data tersebut dapat dibuat sebuah kurva hubungan antara konsentrasi
vitamin C dengan waktu pemanasan. Terlihat pada kurva tersebut bahwa
penurunan konsentrasi vitamin C mengikuti orde dua, karena nilai regresi yang
paling mendekati 1 yaitu sebesar 0,485. Dari kurva tersebut kemudian ditentukan
konstanta kinetika reaksi atau k dari vitamin C, yaitu sebesar 6,7 x 10-3/menit,
nilai konstanta kinetika reaksi atau k selanjutnya digunakan untuk menentukan
waktu kadaluarsa atau t90 dari vitamin C yang terdapat pada sampel. Waktu
kadaluarsa di sini dimaksudkan bahwa waktu di mana kadar vitamin C yang
tersisa pada sampel sebesar 98%. Dari perhitungan dengan menggunakan
konstanta kinetika reaksi atau k, maka diperoleh waktu kadaluarsa dari vitamin C
adalah 5,4 x 10-3 menit.

VIII. Kesimpulan
8.1 Semakin lama waktu pemanasan vitamin C maka semakin cepat pula laju
reaksi yang terjadi, sehingga kadar vitamin C pada sampel akan semakin
berkurang karena adanya proses peruraian.
8.2 Penurunan konsentrasi vitamin C pada sampel mengikuti orde dua dengan
nilai regresi sebesar 0,485.
8.3 Waktu kadaluarsa vitamin C pada sampel adalah 5,4 x 10 -3 menit, di mana
pada waktu tersebut kadar vitamin C yang terurai sebesar 2%.

39
40
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Ardiyan Sukma. 2007. Iodimetri. Malang: Jurusan Kimia Fakultas Matematika


dan Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya.

Basset, J., dkk. 1994. Buku Ajar Vogel: Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Bender, A. G. 1978. Food Processing and Nutrition. London: Academic Press.

Day, R.A. dan A.L. Underwood. 1981. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Kelima.
Jakarta: Erlangga.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Gaman P.M. and K. B. Sherrington. 1994. The Science of Food, An Introduction


to Food Science, Nutrition, and Microbiology Second Edition. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Gandjar, I. G. dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Happinessa, B. 2011. Kimia Analitik Iodometri. Bandung: Laboratorium Kimia


Analitik Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Pasundan.

Joshita. 2008. Kestabilan Obat. Jakarta : Program S2 Ilmu Kefarmasian


Departemen Farmasi Universitas Indonesia.

Khopkar. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Lachman, et al. 1986.Pharmaceutical Dosage Form Dispersion System, Vol. 1.


Marcel Dekker Inc.

Martin, A.J.S., Swarbrick, dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisika, edisi III,
diterjemahkan oleh Yoshita, Jakarta: Universitas Indonesia.

Manurung, July. 2007. Pemastian Mutu Obat Kompendium Pedoman dan Bahan-
Bahan Terkait. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Safaryani, Nurhayati, Sri Haryanti, dan Endah Dwi Hastuti. 2007. Pengaruh Suhu
dan Lama Penyimpanan terhadap Penurunan Kadar Vitamin C Brokoli
(Brassica oleracea L).Buletin Anatomi dan Fisiologi Vol. XV, No.2.
Semarang: Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Diponegoro.

Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi 5. Yogyakarta: Gadjah


Mada. University Press.
LAMPIRAN

Gambar 1. Titrasi I pada Gambar 2. Titrasi I untuk Waktu


Standarisasi Larutan Na2S2O3 10 menit pada Penetapan Kadar

Gambar 3. Penambahan Indikator Gambar 4. Titrasi Akhir pada Penetap


Kanji setelah Titrasi I Na2S2O3

Anda mungkin juga menyukai