Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi berasal dari Bahasa Yunani: pharmakon, yang berarti toksin atau
obat. Obat adalah gabungan antara ilmu Kesehatan dan ilmu kimia yang meneliti
cara penyediaan obat menjadi bentuk khusus sehingga siap untuk digunakan
sebagai obat untuk penyakit tertentu. Di sisi lain, farmasi adalah ilmu yang
mempelajari cara membuat, mencampur, memformulasikan, mengidentifikasi,
menggabungkan, dan menganalisis obat-obatan dan pengobatannya. Dalam
bidang farmasi, ada banyak ilmu yang dipelajari, khususnya dalam menetukan
kualitas obat yakni ilmu fisika kimia obat.
Farmasi bukan merupakan ilmu pasti, akan tetapi berupa ilmu terapan
ketika ilmu ini adalah gabungan antara ilmu pasti dan seni. Farmasi membutuhkan
ilmu lain seperti ilmu fisika, ilmu biologi, ilmu kedokteran, ilmu manajemen, ilmu
kimia, ilmu teknologi, ilmu seni, dan lain-lain. Salah satu ilmu di atas yaitu ilmu
fisika, dapat digabungkan menjadi suatu ilmu yang disebut Farmasi Fisika.
Farmasi Fisika adalah kajian atau cabang ilmu hubungan antara fisika
(sifat-sifat Fisika) dengan kefarmasian (sediaan Farmasi, farmakokinetik, serta
farmakodinamiknya) yang mempelajari tentang analisis kualitatif serta kuantitatif
senyawa organik dan anorganik yang berhubungan dengan sifat fisikanya serta
menganalisis pembuatan dan pengujian hasil akhir dari sediaan obat. Farmasi
fisika adalah cabang ilmu farmasi yang mempelajari sifat fisik dan kimia dari obat
dan bahan-bahan farmasi lainnya. Ilmu ini mencakup berbagai aspekseperti
pengukuran sifat fisik dan kimia obat, pengembangan metode analisis, dan
penentuan stabilitas obat.
Stabilitas obat adalah kemampuan suatu produk obat untuk
mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya
saat dibuat dalam batasan yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan
penggunaan. Stabilitas obat sangat penting untuk menjamin kualitas, keamanan,
dan kemanjuran obat bagi pengguna. Stabilitas obat dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik fisik, kimia, mikrobiologi, maupun lingkungan. Oleh karena

1
itu, perlu dilakukan uji stabilitas obat untuk mengetahui kondisi optimal
penyimpanan dan penggunaan obat, serta untuk menentukan waktu kadaluarsa
obat.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukan praktikum farmasi
fisika dengan percobaan Stabilitas Obat.
1.2 Tujuan Praktikum
1. Agar mahasiswa mampu memahami konsep pengujian stabilitas obat
2. Agar mahasiswa mampu melakukan pengujian stabilitas obat yang
dipengaruhi oleh suhu
3. Agar mahasiswa mampu menentukan stabilitas suatu sediaan dari hasil
pengujian
1.3 Manfaat Praktikum
1. Mahasiswa dapat memahami konsep pengujian stabilitas obat
2. Mahasiswa mampu melakukan pengujian stabilitas obat yang dipengaruhi
oleh suhu
3.. Mahasiswa mampu menentukan stabilitas suatu sediaan dari hasil
pengujian
1.4 Prinsip Percobaan
Menentukan stabilitas obat paracetamol dengan cara uji stabilitas pada
suhu 40°C, 50°C dan 60°C dengan rentang waktu 10, 20, 30 menit dan 40 menit
serta menentukan waktu paruh dan waktu kadaluwarsa obat paracetamol dengan
menentukan tingkat/orde reaksi penguraian melalui metode substitusi dan metode
grafik, energi aktivasi menggunakan persamaan Arrhenius, dan K pada suhu 25°C

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Stabilitas Obat
Stabilitas diartikan bahwa obat (bahan obat, sediaan obat), disimpan dalam
kondisi penyimpanan dan pengangkutannya tidak menunjukkan perubahan sama
sekali atau berubah dalam batas-batas yang diperoleh (Voigt, 1995).
Stabilitas obat adalah kemampuan suatu obat atau produk untuk
mempertahankan sifat dan katakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya
pada saat dibuat atau diproduksi. Identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian
dalam batasan yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan
(Joshita, 2008).
Stabilitas produk farmasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu
produk untuk bertahan dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode
penyimpanan dan penggunaan, sifat dan karakteristiknya sama dengan yang
dimilikinya pada saat dibuat (Vadas, 2000).
Stabilitas sediaan farmasi tergantung pada profil sifat fisika dan kimia pada
sediaan yang dibuat (termasuk eksipien dan sistem kemasan yang digunakan
untuk formulasi sediaan) dan fraksi lingkungan seperti suhu, kelembapan, dan
cahaya (Joshita, 2008).
Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu
sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah besar dan memerlukan waktu yang
lama untuk sampai ke tangan pasien yang membutuhkan. Obat yang disimpan
dalam jangka waktu lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan dosis
yang diterima pasien berkurang. Adanya hasil uraian zat tersebut bersifat toksik
sehingga dapat membahayakan jiwa pasien (Depkes, 2004).
Ada dua hal yang menyebabkan ketidakstabilan obat, yang pertama adalah
labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu, termasuk struktur kimia masing-
masing bahan dan sifat kimia fisika dari masing-masing bahan. Yang kedua adalah
faktor-faktor luar, seperti suhu, cahaya, kelembaban, dan udara, yang mampu

3
menginduksi atau mempercepat reaksi degradasi bahan. Skala kualitas yang
penting untuk menilai kestabilan suatu bahan obat adalah kandungan bahan aktif,
keadaan galenik, termasuk sifat yang terlihat secara sensorik, secara
miktobiologis, toksikologis, dan aktivitas terapetis bahan itu sendiri. Skala
perubahan yang diijinkan ditetapkan untuk obat yang terdaftar dalam farmakope.
Kandungan bahan aktif yang bersangkutan secara internasional ditolerir suatu
penurunan sebanyak 10% dari kandungan sebenarnya (Voight, R., 1994).
2.1.2 Macam-Macam Stabilitas Obat
1. Stabilitas Kimia
Stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat untuk
mempertahanakan integritas kimia dan potensinya seperti yang tercantum pada
etiket dalam batas waktu yang ditentukan. Pengumpulan dan pengolahan data
merupakan langkah menentukan baik buruknya sediaan yang dihasilkan,
meskipun tidak menutup kemungkinan adanya parameter lain yang harus
diperhatikan. Data yang harus dikumpulkan untuk jenis sediaan yang berbeda
tidak sama, begitu juga untuk jenis sediaan sama tetapi cara pemberiannya lain.
Jadi sangat bervariasi tergantung pada jenis sediaan, cara pemberian, stabilitas zat
aktif dan lain-lain (Attwood dan Florence, 2008).
2. Stabilitas Fisika
Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu
produk yang tergantung waktu (periode penyimpanan). Contoh dari perubahan
fisika antara lain migrasi (perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau,
perubahan tekstur atau penampilan. Evaluasi dari uji stabilitas fisika salah satunya
meliputi: pemeriksaan organoleptis yaitu pengamatan bentuk, warna, rasa, dan
bau yang dilakukan secara visual pada sediaan racikan pulveres (Vadas, 2000).
Parameternya dikatakan stabil apabila tidak ada perubahan warna, bentuk,
bau, dan rasa dan homogenitas yaitu evaluasi homogenitas sediaan racikan
pulveres yang diamati dari keseragaman warna berdasarkan pengamatan secara
visual. Parameternya dikatakan stabil apabila tidak terjadi perubahan homogenitas
(Vadas, 2000).

4
3. Stabilitas Mikrobiologi
Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan tetap di mana sediaan
bebas dari mikroorganisme atau memenuhi syarat batas mikroorganisme hingga
batas waktu tertentu. Terdapat berbagai macam zat aktif obat, zat tambahan serta
berbagai bentuk sediaan dan cara pemberian obat. Tiap zat, cara pemberian dan
bentuk sediaan memiliki karakteristik fisika kimia tersendiri dan umumnya rentan
terhadap kontaminasi mikroorganisme dan atau memang sudah mengandung
mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mutu sediaan karena berpotensi
menyebabkan penyakit dan efek yang tidak diharapkan pada terapi atau
penggunaan obat (WHO, 1997).
Stabilitas mikrobiologi diperlukan oleh suatu sediaan farmasi untuk
menjaga atau mempertahankan jumlah dan menekan pertumbuhan mikroorgansme
yang terdapat dalam sediaan tersebut hingga jangka waktu tertentu yang
diinginkan. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada
sediaan antara lain adalah kesesuaian ph, suhu, kelembapan, keberadaan air,
nutrisi, dan faktor cahaya. Selain itu terdapat faktor lain seperti sifat fisika-kimia
zat aktif dan zat tambahan. sifat fisika kimia zat aktif maupun zat tambahan dapat
mempengaruhi stabilitas mikrobiologi sediaan. Zat yang bersifat higroskopik atau
hidrofilik rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme (WHO, 1997).
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Obat
Menurut Gokani dkk (2012), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
stabilitas obat yaitu:
1. Oksigen
Oksigen merupakan senyawa yang memegang peranan penting dalam
reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi ini dapat mempengaruhi kestabilan obat karena
dapat mendegradasi obat tersebut.
2. Suhu
Suhu yang tinggi dapat mempengaruhi semua reaksi kimia. Kenaikan suhu
akan mempercepat reaksi kimia suatu obat. Suhu yang terlalu tinggi akan
menyebabkan stabilitas obat menjadi berkurang dan akhirnya menyebabkan
penurunan kadar dari obat tersebut.

5
3. pH
pH dapat mempengaruhi tingkat dekomposisi obat. Obat biasanya stabil
pada pH 4 sampai 8. Dengan adanya penambahan asam ataupun basa dapat
menyebabkan penguraian larutan obat menjadi dipercepat dan menyebabkan obat
menjadi tidak stabil.
Tiap bahan di dalam suatu bentuk sediaan, baik yang berkhasiat terapi aktif
atau inaktif dapat mempengaruhi stabilitas. Faktor lingkungan seperti suhu,
radiasi, cahaya, udara (terutama oksigen, karbon dioksida dan uap air) dan
kelembapan juga dapat mempengaruhi stabilitas. Demikian juga faktor seperti
ukuran partikel, pH, sifat alir dan pelarut lain yang digunakan, sifat wadah dan
adanya bahan kimia lain yang berasal dari kontaminasi atau dari pencampuran
produk berbeda yang disengaja dapat mempengaruhi stabilitas (Depkes, 2014).
Suatu obat dapat dikatakan stabil jika kadarnya tidak
berkurang dalam penyimpanan. Adapun ketika obat berubah warna, bau, dan
bentuk serta terdapat cemaran mikroba maka dapat disimpulkan bahwa
obat tersebut tidak stabil (Fitriani, 2015).
2.1.4 Orde Reaksi
Dalam mempertimbangkan stabilitas kimia farmasi yaitu untuk mengetahui
urutan reaksi, yang diperoleh secara eksperimental dengan mengukur laju reaksi
sebagai fungsi dari konsentrasi obat merendahkan. Urutan keseluruhan reaksi
adalah jumlah dari eksponen istilah konsentrasi tingkat ekspresi. Urutan
sehubungan dengan tiap reaktan itu eksponen dari istilah konsentrasi individu
dalam tingkat ekspresi (Parrot, 1978).
Orde reaksi merujuk pada cara untuk menggambarkan bagaimana
kecepatan suatu reaksi kimia tergantung pada konsentrasi reagen yang terlibat
dalam reaksi tersebut. Dalam kimia, reaksi-reaksi dapat memiliki orde yang
berbeda-beda tergantung pada hubungan antara konsentrasi reagen dan laju reaksi.
Menurut Ahmad dan Hiskia (1992), penentuan orde reaksi adalah langkah penting
dalam memahami kinetika reaksi kimia, dan ini dapat dilakukan melalui
percobaan dengan memantau perubahan konsentrasi reagen seiring waktu dan
menghitung laju reaksi pada berbagai kondisi.

6
Solusi tingkat reaksi biasanya dinyatakan dalam satuan perubahan
konsentrasi per periode waktu. Misalnya, mol per liter per jam, dan laju reaksi
kimia yang terjadi dalam larutan biasanya sebanding dengan konsentrasi spesies
reaksi (Martin, 1971).
1. Reaksi Orde Nol
Reaksi orde nol adalah reaksi yang lajunya tidak dipengaruhi oleh
konsentrasi reaktan. Persamaan reaksi orde nol dapat ditulis:

Jika kita mengintegralkan persamaan tersebut maka diperoleh persamaan


linear:

Jika kita memplot grafik [A] terhadap t maka akan diperoleh garis lurus
yang kemiringannya sama dengan -k reaksi tersebut. Satuan konstanta reaksi orde
nol adalah mol L-¹ s´¹ (Parrot, 1978).
1. Reaksi Orde Pertama
Jika laju suatu reaksi proporsional terhadap konsentrasi suatu reaktan maka
reaksi tersebut tergolong dalam reaksi orde pertama. Persamaan reaksi orde
pertama dapat ditulis sebagai berikut:

2. Reaksi Orde Kedua


Jika laju suatu reaksi proporsional terhadap konsentrasi dua reaktan yang
sedang bereaksi (misalkan A dan B) maka reaksi tersebut tergolong dalam reaksi
orde kedua. Persamaan laju reaksi orde kedua dapat ditulis sebagai berikut:

7
2.1.5 Metode Untuk Menentukan Orde Reaksi:
Menurut Martin (1983) terdapat tiga metode yang bisa digunakan untuk
menentukan orde reaksi, yaitu:
1. Metode Substitusi
Orde reaksi ditentukan dengan mensubstitusi nilai-nilai hasil eksperimen
ke dalam integral persamaan berbagai orde. Jika ditemukan persamaan dengan
nilai k yang konstan pada salah satu orde reaksi, maka reaksi diasumsikan
berjalan menurut orde tersebut
2. Metode Grafik
Orde reaksi ditentukan dengan memplot data konsentrasi terhadap waktu.
Jika garis lurus diperoleh ketika memplot konsentrasi vs waktu, maka reaksi
tersebut adalah reaksi orde nol. Jika garis lurus diperoleh ketika memplot log (a-x)
vs waktu, maka reaksi tersebut adalah reaksi orde pertama. Jika garis lurus
diperoleh ketika memplot 1/(a-x) vs waktu, maka reaksi tersebut adalah reaksi
orde kedua.
3. Metode Waktu Paruh
Waktu paruh diperoleh secara grafis dengan memplot a terhadap t pada dua
konsentrasi awal yang berbeda dan dengan membacanya waktu pada ½a 1 dan ½a2.
Nilai-nilai tersebut selanjutnya disubstitusi ke persamaan untuk memperoleh nilai
orde reaksi (n):

Waktu paruh (t½) adalah waktu yang diperlukan untuk kehilangan setengah
dari kadar awal suatu reaktan, atau dengan kata lain waktu yang diperlukan [A]
menjadi ½[A].
Masa simpan (t90) adalah waktu yang diperlukan untuk kehilangan 10%
bahan, atau dengan kata lain waktu yang diperlukan untuk penurunan [A] menjadi
90% dari kadar awalnya, 0,9[A]. Untuk sediaan farmasi, shelf life, yang juga
disebut masa kadaluarsa, adalah durasi waktu produk obat masih memenuhi

8
spesifikasi yang ditetapkan, dalam kondisi penyimpanan sesuai yang disebutkan
pada label wadah (Sinko dan Singh, 2011).
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Kemenkes RI, 2020)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Alkohol, antiseptik, etanol, antiseptik alkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguapdan


mudah terbakar, berbau khas panas, memberikan
nyala biru yang tidak berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform dan
dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, yaitu terhindar dari
cahaya, ditempat sejuk jauh dari nyala api
Khasiat : Sebagai antiseptik (menghambat pertumbuhan dan
membunuh mikroorganisme)
Kegunaan : Sebagai sampel dan disinfektan
2.2.2 Paracetamol (Kemenkes RI, 2020)
Nama resmi : ACETOMINOPHENUM
Nama lain : Paracetamol, acetaminofen
Rumus molekul : C8H9NO2
Berat molekul : 161,16 g/mol
Rumus struktur :

9
Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit.
Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium
hidroksida 1 N mudah larutan dalam etanol.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Khasiat : Analgetik dan antipiretik
Kegunaan : Sebagai sampel
Farmakokinetik : Absorbsi ; diserap cepat dan sempurna melalui
saluran cerna
Distribusi; hampir pada seluruh tubuh, 25% terikat
pada protein plasma
Metabolisme; dienzim sitokrom
Ekskresi ; melalui urin
Kelarutan : Menghambat COX-2 dan COX-3 pada hipotalamus
syaraf otak
Farmakodinamik : Menghasilkan sintesis prostaglandin di otak, tetapi
menghambat sintesis prostaglandin di pheriperal
sangat kecil
Interaksi Obat : Mengurangi efektivitas paracetamol, bisa digunakan
bersamaan carbamazepine, phenytoin, dan
phenobarbital
Stabilitas : Paracetamol kering dan murni stabil pada suhu 45°C
Dosis : 500-1000 mg minimal dan maksimal 4000 mg/hari
Efek Samping : Ruam, bengkak, hipotensi, kerusakan hati dan ginjal
Indikasi : Penurunan panas, penghilang sakit kepala, gigi dan
nyeri
Kontraindikasi : Gizi buruk, alergi paracetamol, gangguan hati dan
ginjal
Suhu : Kurang dari 15°C
pH : 4-6

10
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Praktikum Farmasi Fisika dengan percobaan “Stabilitas Obat”
dilaksanakan pada hari Sabtu, 28 Oktober 2023 pukul 07.00 WITA sampai dengan
selesai. Bertempat di Laboratorium Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas
Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu cawan porselin, dispo 1mL,
gelas kimia, gelas ukur, lumpang dan alu, neraca analitik, oven, pipet tetes,
spatula, spektrofotomer UV-Vis, dan vial.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu alkohol 70%, alkohol
96%, kertas pekamen, label, parasetamol, dan tisu.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Pemembuatan Larutan Induk
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Dibuat larutan induk dengan konsentrasi 1.000 ppm
4. Digerus parasetamol hingga halus dan homogen
5. Ditimbang parasetamol menggunakan sebanyak 0,01 gram
6. Dimasukkan parasetamol ke dalam gelas kimia
7. Dilarutkan parasetamol dengan alkohol 96% sebanyak 10 mL untuk
membuat larutan dengan konsentrasi 1000 ppm
3.3.2 Pembuatan Larutan Stok
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Dipipet larutan induk sebanyak 1 mL dan dimasukkan dalam vial
4. Ditambahkan alkohol 96% dan cukupkan hingga 10 mL untuk membuat
larutan stok 100 ppm

11
3.3.3 Pembuatan Larutan Sampel
1. Untuk Konsentrasi 10 ppm
Diambil 1 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%
2. Untuk Konsentrasi 20 ppm
Diambil 2 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%
3. Untuk Konsentrasi 30 ppm
Diambil 3 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%
4. Untuk Konsentrasi 40 ppm
Diambil 4 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%
3.3.4 Perhitungan Nilai Absorbansi Parasetamol Murni
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Dimasukkan larutan sampel yang berkonsentrasi 10 ppm ke dalam
spektrofotometer UV-Vis untuk dilihat absorbansinya
4. Dicatat hasil yang didapat
5. Diulangi langkah 2, 3, dan 4 untuk konsentrasi 20 ppm, 30 ppm, dan 40
ppm
3.3.5 Pengaruh Suhu Terhadap Stabilitas Obat
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Ditimbang parasetamol sebanyak 0,01 gram
4. Dilarutkan dalam 10 mL etanol 96%
5. Dimasukkan dalam oven dengan variasi suhu 40°C, 50°C, dan 60°C
dengan waktu pada masing-masing suhu selama 10 menit, 20 menit, 30
menit, dan 40 menit
6. Diukur absorbansi di spektrofotometer UV-Vis

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
a. Tabel konsentrasi absorbansi
Konsentrasi (ppm) Absorbansi (nm)

10 0,1945
20 0,2981
30 0,3862
40 0,4917
b. Tabel hubungan waktu dan suhu
Waktu Absorbansi
Awal 0,6158

Absorbansi
Waktu (menit)
Suhu 40°C Suhu 50°C Suhu 60°C
10 0,5954 0,5842 0,5752
20 0,5699 0,5569 0,5477
30 0,5464 0,5314 0,5140
40 0,5245 0,5089 0,4895
4.2 Perhitungan
4.2.1 Larutan Induk 1000 ppm  10 mL
ppm = massa zat (mg)
volume larutan (L)
1000 = mg
0,01
mg = 0,01 1000
= 10 mg = 0,01 g
4.2.2 Larutan stok 100 ppm  10 mL
M1 . V1 = M2 . V2
1000. V1 = 100 . 10

13
1000. V1 = 1000

V1 =

V1 = 1 mL  ad 10 mL
4.2.3 Larutan sampel (10, 20, 30, 40 ppm) 10 mL
a. 100 ppm  10 ppm 10 mL
M1 . V1 = M2 . V2
100. V1 = 10 . 10
100. V1 = 100

V1 =

V1 = 1 mL  ad 10 mL  9 mL alkohol
b. 100 ppm  20 ppm  10 mL
M1 . V1 = M2 . V2
100. V1 = 20 . 10
100. V1 = 200

V1 =

V1 = 2 mL  ad 10 mL  8 mL alkohol
c. 100 ppm  30 ppm  10 mL
M1 . V1 = M2 . V2
100. V1 = 30 . 10
100. V1 = 300

V1 =

V1 = 3 mL  ad 10 mL  7 mL alkohol
d. 100 ppm  40 ppm  10 mL
M1 . V1 = M2 . V2
100. V1 = 40 . 10
100. V1 = 400

V1 =

V1 = 4 mL  ad 10 mL  6 mL alkohol

14
4.2.4 Kurva Baku

Konsetrasi(ppm) Absorbansi(nin)
10 0,1945
20 0,2981
30 0,3862
40 0,4917

a = 0,0977
b = 0,0097
R2 = 0,9994

4.2.5 Perhitungan konsentrasi Paracetamol


Tabel konsentrasi paracetamol
Absorbansi
Waktu (menit)
Suhu 40°C Suhu 50°C Suhu 60°C
10 0,5954 0,5842 0,5752
20 0,5699 0,5569 0,5477
30 0,5464 0,5314 0,5140
40 0,5245 0,5089 0,4895
y = bx + a
a. Untuk suhu 40°C
1. Waktu 10 menit
0,5954 = 0,0097x + 0,0977
x = 0,5954x + 0,0977
0,0097

15
x = 51,30927 mg/mL
2. Waktu 20 menit
0,5699 = 0,0097x + 0,0977
x = 0,5699x + 0,0977
0,0097
x = 48,68041 mg/mL
3. Waktu 30 menit
0,5464 = 0,0097x + 0,0977
x = 0,5464x + 0,0977
0,0097
x = 46,25773 mg/mL
4. Waktu 40 menit
0,5245x = 0,0097x + 0,0977
x = 0,5245x + 0,0977
0,0097
x = 45,85567 mg/mL
b. Untuk suhu 50°C
1. Waktu 10 menit
0,5842 = 0,0097x + 0,0977
x = 0,5842x + 0,0977
0,0097
x = 50,15463 mg/mL
2. Waktu 20 menit
0,5569 = 0,0097x + 0,0977
x = 0,5569x + 0,0977
0,0097
x = 47,34020 mg/mL
3. Waktu 30 menit
0,5314 = 0,0097x + 0,0977
x = 0,5314x + 0,0977
0,0097

16
x = 44,71134 mg/mL
4. Waktu 40 menit
0,5089 = 0,0097x + 0,0977
x = 0,5089x + 0,0977
0,0097
x = 42,39175 mg/mL
c. Untuk suhu 60°C
1. Waktu 10 menit
0,5752 = 0,0097x + 0,0977
x = 0,5752x + 0,0977
0,0097
x = 49,22680 mg/mL
2. Waktu 20 menit
0,5477 = 0,0097x + 0,0977
x = 0,5477x + 0,0977
0,0097
x = 46,39175 mg/mL
3. Waktu 30 menit
0,5140 = 0,0097x + 0,0977
x = 0,5140x + 0,0977
0,0097
x = 42,91752 mg/mL
4. Waktu 40 menit
0,4895 = 0,0097x + 0,0977
x = 0,4895x + 0,0977
0,0097
x = 40,39175 mg/mL

17
4.2.6 Perhitungan Koefisien Korelasi
Suhu
Waktu (menit)
Suhu 40°C Suhu 50°C Suhu 60°C
10 51,30 mg/mL 50,15 mg/mL 49,22 mg/mL
20 48,68 mg/mL 47,34 mg/mL 46,39 mg/mL
30 46,25 mg/mL 44,71 mg/mL 42,91mg/mL
40 45,85 mg/mL 42,39 mg/mL 40,39 mg/mL
a. Untuk suhu 40°C

Waktu (menit) Konsentrasi Ln(C) 1/C

10 51,309 mg/mL 3,97 0,019


20 48,68 mg/mL 3,88 0,020
30 46,25 mg/mL 3,83 0,0216
40 45,85 mg/mL 3,82 0,0218
b. Untuk suhu 50°C

Waktu (menit) Konsentrasi Ln(C) 1/C

10 50,15 mg/mL 3,91 0,01


20 47,34 mg/mL 3,85 0,021
30 44,71 mg/mL 3,80 0,022
40 42,91 mg/mL 3,74 0,023
c. Untuk suhu 60°C
Waktu (menit) Konsentrasi Ln(C) 1/C
10 49,22 mg/mL 3,89 0,020
20 46,39 mg/mL 3,83 0,021
30 42,91 mg/mL 3,75 0,023
40 40,39 mg/mL 3,69 0,024

18
4.2.7 Penentuan Orde Reaksi
1. Suhu 40°C
Orde Regresi Hasil
A 53
0 b 0,187
r 0,946
a 3,967
1 b -0,003
r 0,93
a 0,018
2 b 8,030
r 0,934
2. Suhu 50°C
Orde Regresi Hasil
a 52,62
0 b 0,259
r 0,989
a 2,721
1 b 0,019
r 0,041
a 0,0187
2 b 0,00012
r 0,979
3. Suhu 60°C
Orde Regresi Hasil
a 52,22
0 b 0,29
r 0,99
a 3,96
1 b -0,006

19
r 0,99
a 0,018
2 b 0,0001
r 0,996

Perhitungan konsentrasi awal


Waktu Absorbansi
Awal 0,6158
y = bx + a
y = 0,0097x + 0,0977
0,6158 = 0,0097x + 0,0977

x =

x = 53,4123 mg/mL
4.2.8 Penentuan nilai K pada Suhu 25°C dan usia simpan
Suhu (°C) Suhu (k) 1/T(x) K ln K
40°C 313 0,0031 0,187 -1,672
50°C 323 0,0030 0,259 -1,35
60°C 333 0,0030 0,29 -1,237
Regresi kan nilai Log K dan 1/kelvin (x)
a = 2,0588
b =-584,23
r = -0,9902

ln K = ln A - .

=a–b.x

= 2,0588– (3584,23) .

ln K = 4,019
K = 55,66

20
4.2.9 Perhitungan paruh waktu
Pada hasil didapatkan mengikuti orde 0. Jadi didapatkan hasil untuk paruh
waktu pada suhu 25oC sebagai berikut:
T1/2 = 0,5 [A0]
K
= 0,5 . 53,4123
55,66
= 0,479 menit
Perhitungan waktu Kadaluarsa
T90 = 0,9 [A0]
K
= 0,1 . 53,4123
55,66
= 0,863 menit
4.2 Pembahasan
Stabilitas obat adalah kemampuan suatu obat atau produk untuk
mempertahankan sifat dan katakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya
pada saat dibuat atau diproduksi. Identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian
dalam batasan yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan
(Joshita, 2008).
Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu
sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah besar dan memerlukan waktu yang
lama untuk sampai ke tangan pasien yang membutuhkan. Obat yang disimpan
dalam jangka waktu lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan dosis
yang diterima pasien berkurang. Adanya hasil uraian zat tersebut bersifat toksik
sehingga dapat membahayakan jiwa pasien (Depkes, 2004).
Tujuan praktikum stabilitas obat yakni untuk menguji dan memonitor
perubahan fisik, kimia, dan mikrobiologis yang terjadi pada produk obat selama
penyimpanan. Sedangkan tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa

21
produk obat tetap aman, efektif, dan sesuai dengan spesifikasi selama masa
pakainya. .
Pada percobaan kali ini hal pertama yang harus dilakukan adalah
menyiapkan alat dan bahan yang akn digunakan, kemudian dibersihkan alat yang
akan digunakan dengan menggunakan alkohol 70% agar terbebas dari kotoran dan
zat-zat sisa yang menempel pada alat. Menurut Menurut Noviansari dkk (2013),
alkohol memiliki aktifitas sebagai antifungi dan dapat mendenaturasi protein serta
memiliki sifat bakterisida.
Sampel obat yang akan digunakan pada percobaan kali adalah obat
paracetamol. Menurut Souri dkk (2002), paracetamol memiliki sifat kimia yang
relatif stabil dalam berbagai kondisi penyimpanan, termasuk suhu ruangan dan
kelembaban yang berbeda-beda. Oleh karena itu, uji stabilitas pada parasetamol
memberikan informasi yang bermanfaat tentang sejauh mana obat tersebut tetap
efektif dalam berbagai kondisi penyimpanan.
Digerus sampel obat paracetamol menggunakan lumpang dan alu. Hal ini
mempermudah pengujian pada sampel yang masih berbentuk tablet. Menurut Cou
(2018), Penggerusan obat dengan menggunakan mortir dinilai sudah sesuai
dengan prosedur dan dapat terjaga stabilitas obatnya.
Dihitung dan ditimbang obat parasetamol yang sudah digerus sebanyak 0,1
gram menggunakan neraca analitik. Menurut literature Skoog (2013), salah satu
keunggulan neraca analitik adalah menimbang bahan dalam jumlah yang sangat
kecil dengan akurasi dan resolusi yang tinggi.
Dimasukkan 0,01 g paracetamol kedalam gelas kimia lalu, dilarutkan
menggunakan alkohol 96% sebanyak 10 mL untuk membuat konsentrasi 1000
ppm pada pembuatan larutan induk. Menurut AL Wardhani (2004), parasetamol
(asetaminofen) adalah senyawa yang cukup larut dalam alkohol. Parasetamol
biasanya lebih larut dalam alkohol 96% daripada dalam air murni. Larutan induk
menurut USP (2007), merupakan larutan obat yang disiapkan dalam konsentrasi
tertentu dan digunakan sebagai acuan atau referensi dalam pengujian stabilitas
obat. Sedangkan tujuan digunakan konsentrasi 1000 ppm karena 1000 ppm
merupakan salah satu konsentrasi yang relevan untuk menguji stabilitas obat

22
tertentu, terutama jika konsentrasi obat dalam formulasi tertentu rendah atau jika
perubahan obat yang diharapkan selama penyimpanan sangat kecil.
Dilakukan pembuatan larutan stock dengan metode pengenceran larutan
stock merupakan larutan yang berisi satu atau lebih komponen media yang
konsentrasinya lebih tinggi dari konsentrasi komponen tersebut dalam formulasi
media yang akan dibuat. Larutan stok bisa dibuat dengan konsentrasi 10, 100, atau
1.000 kali lebih pekat. Jika larutan stok sudah dibuat, pembuatan media dapat
dilakukan dengan mengambil sejumlah larutan stok, sehingga konsentrasinya
menjadi sesuai dengan yang terdapat dalam formulasi media yang dikehendaki
(Shanti, 2014).
Dilakukan pembuatan larutan sampel untuk konsentrasi 10 ppm dengan
diambil 1 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%. Untuk kosentrasi
20 ppm diambil 2 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%. Untuk
kosentrasi 30 ppm diambil 3 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%.
Dan untuk kosentrasi 40 ppm diambil 4 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan
alkohol 96%. Berdasarkan literature Ashar (2016), dalam pengujian stabilitas
obat, berbagai konsentrasi obat digunakan untuk memonitor perubahan fisik dan
kimia pada obat selama penyimpanan pada berbagai kondisi
Dilakukan perhitungan nilai absorbansi parasetamol murni dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Berdasarkan literatur Suhartati T (2013),
spektrofotometri UV-Vis dapat digunakan untuk mengidentifikasi produk
degradasi obat. Ketika obat mengalami degradasi, misalnya perubahan kimia
karena paparan cahaya, suhu, atau kelembaban, senyawa-senyawa hasil degradasi
tersebut dapat memiliki spektrum absorpsi yang berbeda dari obat asli. Dengan
membandingkan spektrum obat yang tidak terdegradasi dengan spektrum produk
degradasi, peneliti dapat mengidentifikasi produk degradasi secara kualitatif.
Berdasarkan data hasil pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer,
hasil kosentrasi yang didapatkan pada suhu 40°C pada waktu 10 menit yaitu
51.309, waktu 20 menit yaitu 48.68, waktu 30 menit yaitu 46.257, dan waktu 40
menit yaitu 45.855. Pada suhu 50°C pada waktu 10 menit 50.154 , waktu 20 menit
yaitu 47.34, waktu 30 menit yaitu 44.711, dan pada waktu 40 menit yaitu 42.391.

23
Sedangkan, pada suhu 60°C didapatkan hasil pada waktu 10 menit yaitu 49.226,
pada waktu 20 menit yaitu 46.391, pada waktu 30 menit yaitu 42.917 dan pada
waktu 40 menit yaitu 40.391. Menurut Iskandar (2014), Hasil uji stabilitas
dipercepat menunjukkan bahwa setiap peningkatan suhu maka nilai rata-rata kadar
parasetamol semakin menurun dengan laju peruraian parasetamol yang
meningkat. Untuk menentukan laju penguraian parasetamol dalam sirup maka
terlebih dahulu ditentukan orde reaksi dari penguraian parasetamol.
Hasil akhir dari pengujian stabilitas obat dapat diketahui bahwa stabilitas
obat paracetamol berada pada orde 0. Menurut Novia, dkk (2015), Orde reaksi
yang dihasilkan obat paracetamol adalah orde nol karena nilai regresi yang
mendekati satu berada pada orde nol. t1/2 dan t90 obat paracetamol diperoleh
bahwa nilai t½ yaitu 0,4797 menit dan t90 adalah 0,8636 menit. Menurut Iskandar
(2014), Waktu paruh (t1/2) adalah waktu yang diperlukan untuk separuh
degradasi, sedangkan reaktan mengalami waktu kadaluwarsa (t90) adalah waktu
yang diperlukan untuk reaktan mengalami degradasi 10 %.
Adapun kemungkinan kesalahan yang dilakukan pada praktikum yaitu
kesalahan dalam menimbang sampel, kesalahan dalam mengukur dan mencampur
larutan sehingga konsentrasinya tidak sesuai

24
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Stabilitas obat adalah kemampuan obat atau produk untuk mempertahankan
sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya pada saat
dibuat atau diproduksi.
2. Adapun hasil kosentrasi yang didapatkan pada suhu 40°C pada waktu 10
menit yaitu 51.309, waktu 20 menit yaitu 48.68, waktu 30 menit yaitu
46.257, dan waktu 40 menit yaitu 45.855. Pada suhu 50°C pada waktu 10
menit 50.154 , waktu 20 menit yaitu 47.34, waktu 30 menit yaitu 44.711,
dan pada waktu 40 menit yaitu 42.391. Sedangkan, pada suhu 60°C
didapatkan hasil pada waktu 10 menit yaitu 49.226, pada waktu 20 menit
yaitu 46.391, pada waktu 30 menit yaitu 42.917 dan pada waktu 40 menit
yaitu 40.391.
3. Dari pengujian ini diketahui laju reaksi dari paracetamol berjalan pada orde
nol. Berdasarkan pengujian yang dilakukan didapatkan waktu paruh dari
parasetamol adalah 0,4797 menit dan waktu kadaluwarsa dari parasetamol
adalah 0,8636 menit.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Untuk Jurusan
Diharapkan agar dapat melengkapi fasilitasnya berupa alat-alat dan bahan-
bahan yang menunjang dalam proses praktikum, agar praktikum yang
dilaksanakan dapat berjalan dengan lancar.
5.2.2 Saran untuk laboratorium
Agar kiranya dapat memberi dukungan dalam hal kelengkapan alat alat
laboratorium agar praktikan dapat melaksanakan praktikum dengan maksimal.
5.2.3 Saran Untuk Asisten
Diharapkan agar kerja sama antara asisten dengan praktikan lebih
ditingkatkan dengan banyak memberi wawasan tentang ilmu farmasi fisika.

5.2.4 Saran kepada Praktikan

25
Praktikan diharapkan di praktikum selanjutnya bisa melaksanakan
praktikum lebih baik lagi dan tidak melakukan kesalahan yang dapat
menyebabkan terganggunya aktivitas praktikum seperti merusak alat-alat maupun
bahan yang ada di laboratorium dan juga didalam praktikum keseriusan
diutamakan.

26

Anda mungkin juga menyukai