Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Dalam arti luas, obat adalah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup. Respon biologis tubuh terhadap suatu obat merupakan hasil interaksi antara zat obat dengan molekul-molekul yang penting secara fungsional dalam system hidup yaitu reseptor. Respon disebabkan oleh perubahan dalam proses biologis yang ada sebelum pemberian obat. Besarnya respon yang dihasilkan berhubungan dengan konsentrasi obat yang dicapai pada tempat obat tersebut bekerja. Konsentrasi ini tergantung pada banyaknya dosis obat yang diberikan, besarnya absorbsi dan distribusi ke tempat tersebut, dan laju serta besarnya obat yang dieliminasikan dari tubuh (Ganiswara, 1995). Setiap produk farmasi tertentu merupakan formulasi yang unik tersendiri. Di samping ramuan terapeutik yang aktif, formulasi inipun masih mengandung sejumlah unsur-unsur nonterapeutik. Bila dihubungkan dengan absorpsi dari obat maka setiap obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya diabsorpsi dengan buruk. Tiap obat harus dievaluasi satu-persatu dan diketahui cara pemberian yang paling baik dan dipersiapkan bentuk sediaanya. Suatu obat tunggal mungkin diformula menjadi bentuk sediaan yang banyak memberikan kecepatan absorpsi dan waktu mulai kerja obat (onset) serta puncak dan lamanya kerja obat yang berlainan (Anief, 2000). Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian klinik berhubungan dengan farmakokinetiknya, dan farmakokinetik suatu senyawa dari suatu bentuk sediaan ditentukan oleh ketersediaan hayatinya (bioavailabilitasnya).

Bioavailibilitas adalah persentase zat aktif dalam suatu produk obat yang tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh setelah pemberian obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin (Tjay & Kirana, 2002). Bioavailabilitas suatu senyawa obat dari sediaannya ditentukan/ dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti: kualitas dan sifat fisiko-kimia

bahan baku zat aktif yang dipakai, jenis dan komposisi bahan pembantu, teknik pembuatan, dll. Dengan demikian, sediaan-sediaan obat yang mengandung zat aktif yang sama dalam bentuk sediaan yang sama ("pharmaceutical equivalent") tetapi diproduksi oleh pabrik yang berbeda bisa menghasilkan efektivitas klinik yang berbeda (Tjay & Kirana, 2002). Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sistem sirkulasi sistemik dan menunjukkan kinetik perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan salah satu tujuan dalam merancang suatu bentuk sediaan dan keefektifan obat tersebut. Pengkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi tersebut (Syukri, Y. 2002). Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskuler dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavalabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi sama sekali. Oleh karena faktor-faktor tersebut terlibat di dalam bioavalibilitas obat, khususnya pada absorpsi dalam saluran cerna, maka kadar obat sesudah pemakaian enteral dapat lebih bervariasi dibandingkan kadar obat sesudah pemakaian prentral (Shargel, 1988). B. TUJUAN Tujuan dari makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui tentang studi evaluasi ketersediaan hayati 2. Untuk mengetahui tentang metode evaluasi ketersediaan hayati. 3. Untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati sediaan farmasi. 4. Untuk mengetahui tentang parameter-parameter yang yang digunakan dalam evaluasi ketersediaan hayati.

5. Untuk mengetahui tentang metode penilaian ketersediaan hayati 6. Untuk mengetahui manfaat dilakukannya evaluasi ketersediaan hayati 7. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Biofarmasetika. C. BATASAN MASALAH Makalah yang dibuat mencakup semua hal yang berkaitan dengan studi ketersediaan hayati terutama metode yang digunakan dalam mempelajari dan mengevaluasi ketersediaan hayati serta metode perhitungan yang diaplikasikan pada studi evaluasi ketersediaan hayati. Selain itu juga dipelajari tentang faktorfaktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati dan parameter-parameter yang digunakan.

BAB II ISI

A. STUDI KETERSEDIAAN HAYATI Ketersediaan hayati merupakan karakter suatu obat yang diberikan pada sistem biologis utuh. Secara keseluruhan ketersediaan hayati menunjukkan kinetik dan perbandingan kadar zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan (Ditjen POM, 1979). Istilah ketersediaan hayati zat aktif suatu obat timbul sejak adanya ketidaksetaraan terapetik diantara sediaan bermerek dagang yang mengandung zat aktif sama dan dibuat dalam bentuk sediaan farmasetik yang serupa, serta diberikan dengan dosis yang sama. Beberapa kejadian ( zat aktif menjadi tidak aktif atau toksik ) dapat merupakan sebab ketidaksetaraan tersebut. Dari data kadar zat aktif dalam darah dapat diketahui ketersediaan hayati dan dosis manfaat yang merupakan bagian yang diserap dari dosis yang diberikan. (Ditjen POM, 1979). Studi bioavaibilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh FDA untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bagian terapeutik sebelum dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA dalam

menyetujui suatu produk obat untuk dipasarkan harus yakin bahwa produk obat tersebut aman dan efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian. Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah dipenuhi, FDA menghendaki studi avaibilitas/farmakokinetik dan bila perlu persyaratan bioekivalensi untuk semua produk (Ditjen POM, 1995). Untuk obat - obat yang tidak di pasarkan dan tidak memenuhi NDA (New Drug Aplication) sebagaimana dinyatakan oleh FDA, maka studi bioavaibilitas in vivo harus dilakukan apabila formulasi obat tersebut dimaksudkan untuk dipasarkan. Lebih lanjut, farmakokinetik esensial dari bahan aktif tersebut harus dikarakteristikan. Parameter farmakokinetik esensial meliputi laju dan jumlah absorbsi sistemik, waktu-paruh eliminasi, laju ekreksi

dan metabolism harus ditetapkan setelah pemberian dosis tunggal dan dosis ganda. Data studi bioavaibilitas ini penting untuk menetapkan pengaturan dosis dan membantu pemberian label obat (Ditjen POM, 1995). Studi bioavaibilitas in vivo juga dilakukan terhadap formula - formula baru dari bahan aktif yang telah mendapat persetujuan NDA dan disetujui untuk dipasarkan. Maksud studi ini adalah untuk menenentukan bioavaibilitas dan karakterisasi farmakokinetik formulasi, bentuk sediaan, garam atau ester baru terhadap formulasi pembanding. Setelah bioavaibilitas dan parameter-parameter farmakokinetik dari bahan aktif diektahui, aturan dosis dapat diajukan untuk mendukung pemberian label obat (Ditjen POM, 1979). Sebagai ringkasan studi klinik berguna dalam menentukan keamanan dan efikasi produk obat. Studi bioavaibilitas berguna dalam menetapkan produk obat dalam kaitan pengaruhnya terhadap farmakokinetik obat ; sedangkan studi bioekivalensi berguna dalam membandingkan bioavaibilitas suatu obat dari berbagai produk obat. Apabila produk-produk obat dinyatakan bioekivalen, maka efikasi dari produk-produk obat ini dianggap sama (Ditjen POM, 1979). Kesulitan yang dihadapi adalah kadang kadang tidak mungkin melakukan pengujian yang teliti tentang perubahan efek terapi obat. Pada proses disposisi zat aktif dalam tubuh, ketersediaan hayati merupakan indeks potensial terapetik suatu obat dan menunjukkan suatu karakteristik yang penting (Ditjen POM, 1979). B. EVALUASI KETERSEDIAAN HAYATI Evaluasi ketersediaan hayati memerlukan kerjasama suatu tim pakar, karena : Keragaman reaksi makhluk hidup, kesulitan penetapan kadar runutan senyawa kimia obat dalam cairan biologis, pengaruh subyek hidup dan pengaruh bentuk sediaan farmasi. Pemahaman keberadaan obat di dalam tubuh mendasari pembuatan protokol percobaan. Jadi analisis hasil percobaan memerlukan seseorang pakar farmakokinetik yang dapat bekerja sama.

Penelitian ketersediaan hayati kadang kadang memerlukan biaya yang mahal karena harus menggunakan subyek manusia. Oleh sebab itulah sebelum melakukan penelitian ketersediaan hayati perlu dilakukan serangkaian persiapan yang lengkap dan rinci agar dapat mengolah data yang diperoleh dan melakukan interpretasi yang cermat (Shargel,1988). Evaluasi ketersediaan hayati suatu obat atau berbagi bentuk sediaan farmasi dengan zat aktif yang sama mempunyai tiga tujuan yaitu : Dalam rangka pengembangan obat baru yaitu untuk menentukan cara pemberian dan bentuk sediaan dan cara pemberian suatu obat baru. Setelah keputusan dibuat obat baru : untuk menetapkan mutu suatu obat dan pengaturan kondisi pemakaian suatu obat dan pengaturan kondisi pemakaian obat sebagai fungsi dari keadaan penderita. Berkaitan dengan undang undang ; untuk memastikan kesetaraan mutu obat yang diteliti dengan mutu obat sejenis yang dihasilkan oleh pabrik lain, sehingga memungkinkan penggantian obat ( Aiache, 1993 ) Studi bioavailabilitas atau ketersediaan hayati (BA) dan atau

bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE) memainkan peranan penting dalam suatu periode pengembangan obat baru dan ekivalensi generiknya. Kedua studi itu penting juga untuk menyetujui adanya perubahan dalam

manufacturing/formulasi produk obat (Shargel,1988). Studi bioavailabilitas (BA) dan bioekivalensi (BE) menyediakan informasi penting yang menjamin keamanan dan keefektifan obat bagi pasien. BA dan BE seringkali dinyatakan dalam luas di bawah kurva (area under curve) konsentrasi obat dalam plasma darah - waktu (AUC) dan konsentrasi maksimum obat dalam plasma darah (Cmax). Dari profil tersebut dapat diinterpretasikan tersedianya kadar obat dalam plasma darah yang memadai yang dapat dipertahankan dalam rentang waktu tertentu sehingga obat tersebut dapat menghasilkan efek terapi yang diinginkan (Shargel,1988). Dengan studi BE maka dimungkinkan untuk membandingkan profil pemaparan sistemik (darah) suatu obat yang memiliki bentuk sediaan yang berbeda-beda (tablet, kapsul, sirup, salep, suppositoria, dan sebagainya), dan

diberikan melalui rute pemberian yang berbeda-beda (oral, rektal, transdermal) (Shargel,1988). Bioavailabilitas/ketersediaan hayati (BA) dapat didefinisikan sebagai rate (kecepatan zat aktif dari produk obat diabsorpsi/diserap di dalam tubuh ke sistem peredaran darah) dan extent (besarnya jumlah zat aktif dari produk obat yang dapat masuk ke sistem peredaran darah), sehingga zat aktif/obat tersedia pada tempat kerjanya untuk menimbulkan efek terapi/penyembuhan yang diinginkan (Shargel,1988). Bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE) dapat didefinisikan, tidak adanya perbedaan secara signifikan/bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat yang memiliki kesetaraan farmasetik, misalnya antara tablet A yang merupakan produk obat uji dan tablet B yang merupakan produk obat pembanding (inovator), sehingga menjadi tersedia pada tempat kerja obat ketika keduanya diberikan dalam dosis zat aktif yang sama dan dalam desain studi yang tepat (Shargel,1988). Yang perlu diperhatikan dalam studi BA dan atau BE adalah perbedaan luas di bawah kurva konsentrasi zat aktif/obat dalam plasma - waktu (AUC) yang teramati, yang dinilai sebagai perbedaan efisiensi absorpsi obat karena adanya perbedaan kualitas produk obat yang dipengaruhi formulasi

(Shargel,1988). C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERSEDIAAN

HAYATI SEDIAAN FARMASI Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat antara lain: 1. Sifat Fisikokimia Obat a. Ukuran partikel b. Luas permukaan obat c. Kelarutan obat d. Bentuk kimia obat, yaitu garam, bentuk anhydrous atau hidrous e. Lipofilisitas f. Stabilitas obat g. Universitas (Shargel,1988).

2. Faktor Formulasi Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis harus mempertimbangkan: (1) jenis produk obat; (2) sifat bahan tambahan dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia obat itu sendiri (Shargel,1988). Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya mungkin kurang dari 100% karena : a. Obat diabsorpsi tidak sempurna b. Eliminasi lintas pertama (First-Pass Elimination), Obat diabsorpsi menembus dinding usus, darah vena porta mengirimkan obat ke hati sebelum masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Obat dapat dimetabolisme di dalam dinding usus atau bahkan di dalam darah vena porta. Hati dapat mengekskresikan obat ke dalam empedu. c. Laju absorpsi (Shargel,1988). D. PARAMETER FARMAKOKINETIKA DALAM EVALUASI

KETERSEDIAAN HAYATI Oleh karena konsentrasi obat bergantung pada waktu, dua variabel yaitu konsentrasi obat dan waktu, berturut-turut disebut sebagai variabel tergantung dan bebas, yang secara bersama dikenal sebagai data. Dari data ini dapat diperkirakan model farmakokinetik yang kemudian diuji kebenarannya, dan selanjutnya diperoleh parameter-parameter farmakokinetiknya (Shargel,1988). Tetapan Laju Eliminasi, laju eliminasi untuk sebagian besar obat merupakan suatu proses order ke satu. Tetapan laju eliminasi , K, adalah suatu tetapan laju eliminasi order kesatu dengan satuan waktu-1. Pada umumnya hanya obat induk atau obat yang aktif yang ditentukan dalam kompartemen vaskular. Pemindahan atau eliminasi obat secara total dari kompartemen ini dipengaruhi oleh proses metabolisme (biotransformasi) dan ekskresi

(Shargel,1988). Tubuh dapat dinyatakan sebagai suatu susunan, atau sistem dari kompartemen-kompartemen yang berhubungan secara timbal balik satu dengan yang lain. Suatu kompartemen bukan suatu daerah fisiologik atau anatomik yang

nyata, tetapi dianggap sebagai suatu jaringan atau kelompok jaringan yang mempunyai aliran darah dan afinitas obat yang sama. Secara konsepsual, obat bergerak masuk dan keluar kompartemen secara dinamik. Model merupakan suatu sistem yang terbuka jika obat dieliminasi dari sistem tersebut (Shargel,1988). Volume Distribusi, volume distribusi menyatakan suatu faktor yang harus diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang ditemukan dalam kompartemen cuplikan. Volume distribusi juga dapat dianggap sebagai (Vd) di mana obat terlarut (Shargel,1988). Area di bawah Kurva (AUC), area di bawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu adalah suatu ukuran dari jumlah bioavailabilitas suatu obat. AUC mencerminkan jumlah total obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. AUC adalah area di bawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu dari t = 0 sampai t = i sirkulasi umum dibagi klirens (Shargel,1988). tmaks, waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat. Pada t maks absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Satuan t maks adalah satuan waktu (misal : jam, menit) (Shargel,1988). Cpmaks, konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian obat secara oral. Cp maks memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik dan untuk memberi suatu respon terapetik dan petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik obat. Satuan Cp maks adalah satuan konsentrasi. (misal, mg/ml) (Shargel,1988). Waktu Paruh, waktu paruh (t ) menyatakan waktu yang diperlukan oleh sejumlah obat atau konsentrasi obat untuk berkurang menjadi separuhnya. Perkembangan farmakokinetik memungkinkan analisis parameter aktivitas terapetik yang lebih tepat dan yang dapat menunjukkan perbedaan dengan nyata organ yang memenfaatkan zat aktif tersebut serta analisis proses pre-disposisi zat aktif sediaan obat di dalam tubuh (Aiache,1993).

10

Penyebaran dan peniadaan suatu zat aktif baik karena metabolisme dan atau pengeluaran serta reaksi farmakologik in vivo, dipengaruhi oleh keadaan fisio-patologik organ penerima pada respon yang teramati, dan oleh parameter aktivitas terapetik yang sulit atau bahkan tidak mungkin ditetapkan. Pada penderita yang sama, parameter yang sejenis relative tetap, namun penggunaan suatu obat (atau merek dagang) secara terus-menerus dapat menyebabkan perubahan karakteristik kimia atau farmasetik. Dengan kata lain bila zat aktif masuk ke dalam tubuh maka efek terapetiknya terutama tergantung pada organ penerima (Aiache,1993). Perkembangan farmakokinetik memungkinkan analisis parameter

aktivitas terapetik yang lebih tepat dan yang dapat menunjukkan perbedaan dengan nyata organ yang memenfaatkan zat aktif tersebut serta analisis proses pre-disposisi zat aktif sediaan obat di dalam tubuh. Penyebaran dan peniadaan suatu zat aktif baik karena metabolisme dan atau pengeluaran serta reaksi farmakologik in vivo, dipengaruhi oleh keadaan fisio-patologik organ penerima pada respon yang teramati, dan oleh parameter aktivitas terapetik yang sulit atau bahkan tidak mungkin ditetapkan. Pada penderita yang sama, parameter yang sejenis relative tetap, namun penggunaan suatu obat (atau merek dagang) secara terus-menerus dapat menyebabkan perubahan karakteristik kimia atau

farmasetik. Dengan kata lain bila zat aktif masuk ke dalam tubuh maka efek terapetiknya terutama tergantung pada organ penerima (Aiache,1993). E. PEMILIHAN KEADAAN EVALUASI KETERSEDIAAN HAYATI 1. Pemilihan subjek Subyek a. Manusia sehat, merupakan subyek ideal yang peka terhadap perubahan minimal selama penelitian. b. Manusia sakit. c. Hewan, meliputi untuk percobaan pendahuluan dan obat yang member efek ketergantungan. Masalah yang timbul pada subyek manusia a. Etik b. Resiko terjadi interaksi obat

11

c. Resiko perubahan molekul obat secara intrinsic d. Diperlukan kontrol kesehatan terutama pada fungsi organ subyek Kriteria pemilihan subyek a. Kriteria kelompok (umur, jenis kelamin) yang jelas b. Pemeriksaan klinik lengkap c. Subyek harus memiliki catatan pemeriksaan: - Tidak menanggung resiko khusus pada saat penelitian - Tidak memberikan keragaman hasil penelitian yang luas Cuplikan memenuhi kriteria percobaan biologic 2. Pemilihan cara pemberian Dosis tunggal Keuntungan Kerugiaan : cepat pengerjaannya sehingga lebih nyaman buat

subyek dan jumlah obat sedikit : tidak mewakili waktu pengobatan sebenarnya dan

jumlah data tidak cukup banyak untuk ekstrapolasi sebagai model farmakokinetik, mingkin menimbulkan bisa ekstrapolasi Dosis ganda Keuntungan : subyek sudah terbiasa dengan kondisi

percobaan; cukup data untuk ekstrafolasi fungsi farmakokinetik dengan kesalahan minimal dan analitik lebih mudah karena jumlah analit lebih besar dalam tubuh. Kerugian Posology : : umunnya minimal menjadi pertimbangan mendasar

Rute Pemberian Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut : a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik. b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama. c. Stabilitas obat di dalam lambung dan atau usus. d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute.

12

e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter. f. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral. Rute penggunaan obat dapat dengan cara : a. melalui rute oral : cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya adalah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Obat dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerjasama dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan apabila pasien koma. b. melalui rute parenteral : keuntungan pemberian obat secara suntikan (parentral) adalah efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian per oral, dapat diberikan kepada pasien yang tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah, dan sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya adalah dibutuhkan secara aseptis, menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita, dan tidak ekonomis. c. melalui rute inhalasi : cara inhalasi hanya dapat dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap misalnya diberikan dalam bentuk aerosol. Absorpsi terjadi melalui epitel paru dan mukosa saluran napas. Keuntungannya absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati dan pada penyakit paru obat dapat langsung diberikan pada bronkus. Sayangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metode khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru. d. melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya : cara ini terutama dimaksudkan untuk mendapatkan efek lokal. Misalnya pada mata, biasanya memerlukan absorpsi obat melalui kornea. Absorpsi terjadi lebih cepat bila kornea mengalami infeksi atau trauma. Absorpsi sistemik melaui saluran nasolakrimal sebenarnya tidak diinginkan, absorpsi disini dapat menyebabkan efek sistemik karena obat tidak mengalami metabolisme lintas pertama di hati.

13

e. Melalui rute kulit : tidak banyak obat yang dapat menembus obat kulit utuh. Jumlah obat yang dierap tergantung pada luas permukaan kulit yang terluka serta kelarutan obat dalam lemak karena epidermis bertindak sebagai sawar lemak. (Ganiswara, 1995) Protocol Pemberian Obat Kronologi : Jadwal pemberian obat : jadwal ditetapkan untuk menghindari pengaruh kronobiotik Rentang waktu pemberian obat : pengulangan dosis tunggal diharapkan sudah terjadi clearance secara sempurna Aturan pakai obat Subyek penelitian Menghindari interaksi dengan makanan sehingga perlu puasa 12 jam sebelum diuji, Tidak mengkonsumsi obat lain sebelum uji untuk mencegah interaksi obat. 3. Pemilihan elemen analisis Molekul kimia yang dianalisis (zat aktif tidak berubah atau metabolitnya) Spesimen (darah, ekstraksta, urin) Frekuensi pengambilan specimen 4. Analisis data percobaan F. AVAILABILITAS RELATIF DAN ABSOLUT Area di bawah kurva konsentrasi obat-waktu (AUC) berguna sebagai ukuran dari jumlah total obat yang utuh tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik. AUC tergantung pada jumlah total obat yang tersedia, FD0 dibagi tetapan laju eliminasi, K dan volume total obat yang F adalah fraksi dosis terabsorpsi; setelah pemberian IV, F sama dengan satu, karena seluruh dosis terdapat dalam sirkulasi sistemik dengan segera. Oleh karena itu, obat dianggap tersedia sempurna setelah pemberian IV. Setelah pemberian obat secara oral F dapat berbeda mulai dari harga F sama dengan nol (tidak ada absorpsi obat) sampai F sama dengan satu (absorpsi obat sempurna) (Shargel,1988).

14

Availabilitas Relatif Availabilitas relatif adalah ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui. Fraksi dosis yang tersedia secara sistemik dari suatu produk oral sukar dipastikan. Availabilitas suatu formula obat dibandingkan terhadap availabilitas formula standar, yang biasanya berupa suatu larutan dari obat murni, dievaluasi dalam studi crossover. Availabilitas relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis dan rute pemberian yang sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut : Availabilitas relative =[
[ ] ]

dimana produk obat B sebagai standar pembanding yang telah diketahui. Fraksi tersebut dapat dikalikan 100 untuk memberi prosen availabilitas relatif. Jika dosis yang diberikan berbeda, suatu koreksi untuk dosis dibuat, seperti dalam persamaan berikut: Availabilitas relatif =
[ [ ] ]

Data ekskresi obat lewat urin juga dapat digunakan untuk mengukur availabilitas relatif apabila jumlah total obat utuh yang diekskresi dalam urin dikumpulkan. Prosen availabilitas relatif dengan menggunakan data ekskresi urin dapat ditentukan sebagai berikut: Prosen availabilitas relatif =[ (Du)
[ ] ]

. 100

adalah jumlah total obat yang dieksresi dalam urin.

(Shargel,1988). Availabilitas Absolut Availabilitas absolut obat dapat diukur dengan membandingkan AUC produk yang bersangkutan setelah pemberian oral dan IV. Pengukuran dapat dilakukan sepanjang Vd dan K tidak bergantung pada rute pemberian. Availabilitas absolut dengan menggunakan data plasma dapat ditentukan sebagai berikut : Availabilitas absolut =
[ [ ] ]

15

Availabilitas absolut yang menggunakan data ekskresi obat lewat urin dapat ditentukan sebagai berikut : Availabilitas absolut =
[ [ ] ]

Availabilitas absolut juga sama dengan F, fraksi dosis yang dapat tersedia dalam sistemik. Untuk obat-obat yang diberikan secara vaskular seperti injeksi IV bolus, F =1 oleh karena seluruh obat secara sempurna tersedia dalam sistemik. Untuk semua rute pemberian ekstravaskular, F 1 (Shargel,1988). G. METODE PENILAIAN KETERSEDIAAN HAYATI Penilaian ketersediaan hayati pada sukarelawan dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode dengan menggunakan data darah, data urin dan data farmakologis atau klinis. Data darah atau data urin lazim digunakan untuk menilai ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiatnya telah diketahui cara dan validitasnya. Jika cara dengan validitas analisis belum diketahui, dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul dapat diukur secara kuantitatif (Shargel,1988). Meskipun metode ekskresi urin mempunyai keuntungan diantaranya menghindari gangguan dan bahaya dari pengambilan secara intravena, namun metode ini juga mempunyai kerugian diantaranya tidak semua obat diekskresikan melalui urin sehingga ekskresi urin hanya mewakili sebagian kecil dari fraksi kecil ketersediaan hayati obat (Shargel,1988). Ada beberapa metode langsung dan tidak langsung untuk penilaian

biovaibilitas pada manusia. PPemilihan metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis untuk penetapan kadar obat dan sifat produk obat. Parameterparameter yang berguna dalam penentuan biovaibilitas suatu obat meliputi : 1. Data plasma a. Waktu konsentrasi plasma (darah) mencapai puncak (tmaks) b. Konsentrasi plasma puncak (Cp maks) c. Area dibawah kurva kadar obat dalam plasm-waktu (AUC) 2. Data Urin a. Jumlah kumulatif obat yang diekskresi dalam urin (Du) b. Laju ekskresi obat dalam urin(dDu/dt)

16

c. Waktu untuk terjadi ekskresi obat maksimumdalam urin (t) 3. Efek farmakologik akut 4. Pengamatan klinik Bila obat bebas atau aktif dalam cairan biologic dapat ditentukan secara tepat, maka data plasma dan urin dapat memberi informasi yang paling obyektif tentang biovaibilitas (Shargel,1988). Data Plasma tmaks waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan

dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat. Pada tmaks absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat (liat gambar 7-5). Absorpsi masih berjalan setelah tmaks tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat. Jika membandingkan produk obat, tmaks dapat digunakan sebagai petunjuk untuk memperkirakan laju absorpsi. Harga tmaks menjadi lebih kecil ( berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih cepat. Satuan tmaks adalah satuan waktu (misal : jam, menit) (Shargel,1988). Cp,
maks

konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat

maksimum dalam plasma setelah pemberian obat secara oral (lihat Gambar 7-5). Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma. Cp, maks memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik untuk memberi suatu respons terapetik. Selain itu, Cp,
maks

juga memberi petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi secara


maks

sistemik untuk memberi suatu respons terapetik. Selain itu, Cp

juga
maks

memberi petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik obat. Satuan Cp adalah satuan konsentrasi (misal., g/ml, mg/ml) (Shargel,1988).

Dalam beberapa hal, AUC tidak berbanding langsung dengan dosis yang diberikan. Sebagai contoh, bila dosis obat dinaikkan, salah satu jalur eliminasi obat dapat menjadi jenuh. Eliminasi obat meliputi proses metabolisme dan eksresi. Metabolisme obat adalah proses yang bergantung pada enzim. Untuk beberapa obat (seperti salisilat dan fenitoin) peningkatan dosis dapat menyebabkan penjenuhan salah satu jalur metabolism dan hal ini dapat

17

memperpanjang waktu paruh eliminasi. Dengan demikian kenaikan AUC tidak sebanding dengan kenaikan dosis oleh karena jumlah obat yang dieliminasi lebih kecil (lebih banyak obat yang ditahan). Jika AUC tidak berbanding langsung dengan dosis, bioavailabilitas obat sulit untuk dievaluasi (Shargel,1988). Data Urin Data eksresi obat lewat urin dapat dipakai untuk memperkirakan bioavailabilitas. Agar didapat perkiraan yang sahih, obat harus dieksresikan dalam dalam jumlah yang bermakna di dalam urin dan cuplikan urin harus dikumpulkan secara lengkap (Shargel,1988). Du. Jumlah kumulatif obat yang dieksresikan dalam urin secara langsung berhubungan dengan jumlah total obat terabsorpsi. Di dalam percobaan cuplikan urin dikumpulkan secara berkala setelah pemberian produk obat. Tiap cuplikan urin ditetapkan kadar obat bebas dengan cara yang spesifik. Kemudian dibuat grafik yang menghubungkan kumulatif obat yang dieksresikan terhadap jarak waktu pengumpulan (Shargel,1988). Hubungan antara jumlah kumulatif obat yang dieksresikan dalam urin dan kurva kadar obat dalam plasma-waktu diperlihatkan dalam gambar 8-4. Bila obat dieliminasi secara sempurna (titik C) konsentrasi obat dalam plasma mendekati nol dan diperoleh jumlah maksimum obat yang dieksresikan dalam urin Du (Shargel,1988). dDudt OLeh karena sebagian besar obat dieliminasi dengan proses laju order kesatu, maka laju eksresi obat bergantung pada tetapan laju eliminasi order kesatu (K) dan kadar obat dalam plasma (Cp). Dalam Gambar 8-4 laju ekskresi obat maksimum berada pada titik B, sedangkan laju ekskresi obat dengan waktu akan identik dengan kurva kadar dalam plasma-waktu untuk obat tersebut (gambar 8-5) (Shargel,1988). t. Dalam gembar 8-4 dan 8-5 slop dari bagian kurva A-B dikaitkan dengan laju absorpsi obat, sedangkan titik C dikaitkan dengan waktu total yang diperlukan untuk absorprsi dan ekskresi obat secara sempurna (t = ) setelah pemberian obat. Dengan demikian t merupakan suatu parameter yang berguna dalam studi bioekivalensi yang membandingkan beberapa produk obat, seperti digambarkan dalam bab ini (Shargel,1988).

18

Efek Farmakologi Akut Dalam beberapa hal pengukuran kuantitatif suatu obat tidak dapat dilakukan atau kurang tepat dan/atau tidak memberikan hasil yang sama jika diulang. Efek farmakologik akut seperti efek pada diameter pupil, kecepatan denyut jantung atau tekanan darah dapat digunakan sebagai indeks dari bioavailabilitas obat. Dalam hal ini dibuat suatu kurva efek farmakologik akutwaktu. Untuk mendapatkan suatu perkiraan yang layak dari total area dibawah kurva hendaknya pengukuran efek farmakologik dilakukan dengan frekuensi yang cukup yang tidak kurang dari tiga kali waktu-paruh obat (Shargel,1988). Penggunaan efek farmakologik akut untuk menentukan bioavailabilitas memerlukan adanya kaitan dosis-respons. Dengan demikian bioavailabilitas dapat ditentukan dengan memeriksa kurva dosis-respons maupun total area dari kurva efek farmakologik akut-waktu (Shargel,1988). Respon Klinik Selama beberapa tahun praktisi kesehatan telah mengamati adanya respons yang kurang (kegagalan terapeutik), respon terapeutik yang baik, atau adanya toksisitas pada penderita yang mendapatkan produk obat yang sama. Perbedaan dari respons klinik mungkin disebabkan oleh perbedaan

farmakokinetik atau farmakodinamik obat antar individu. Produk-produk obat yang bioekivalen harus mempunyai bioavailabilitas sistemik yang sama, sehingga respons obat yang sama dapat diprakirakan. Oleh karena itu perubahan respons klinik antar individu yang tidak dikaitkan dengan bioavailabilitas mungkin disebabkan adanya perbedaan dalam farmakodinamik obat. Perbedaan farmakodinamik yang menyangkut hubungan antara obat dan reseptor mungkin disebabkan perbedaan kepekaan reseptor terhadap obat. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku farmakodinamika obat diantaranya adalah umur, toleransi obat, interaksi obat dan faktor-faktor patofisiologik yang tidak diketahui (Shargel,1988). Bioavailabilitas suatu obat dapat diulang dengan hasil yang sama antar individu yang berpuasa pada suatu studi terkendali pada individu yang mendapat obat dengan lambung kosong. Jika obat diberikan pada keaaan sehari-hari, sifat diet dapat mempengaruhi kadar obat dalam plasma sehubungan dengan adanya

19

perubahan absorpsi atau perubahan klirens metabolik obat. Feldmann dan kawan-kawan, melaporkan bahwa penderita dengan diet karbohirat tinggi mempunyai waktu paruh teofilin yang lebih panjang oleh karena terjadi penurunan klirens metabolik obat (t1/2, 18,1 jam) dibandingkan dengan penderita diet normal (t1/2, 6,76 jam). Penyelidikan sebelumnya menunjukkan bahwa produk obat teofilin berada dalam sistemik secara sempurna. Konsentrasi obat dalam plasma yang lebih tinggi akibat diet karbohidrat dapat memberikan resiko keracunan teofilin yang lebih tinggi pada penderita. Pengaruh makanan terhadap availabilitas teofilin dilaporkan oleh FDA, yakni adanya resiko konsentrasi teofilin dalam plasma yang lebih tinggi dari produk obat sustained release -24 jam, bila diberikan bersama makanan. Karena sebagian besar studi bioavailabilitas obat menggunakan sukarelawan berpuasa, diet penderita yang menggunakan obat tersebut dapat menaikkan atau menurunkan bioavailabilitas obat (Shargel,1988). H. MANFAAT EVALUASI KETERSEDIAAN HAYATI Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan : a. Jumlah atau bagian obat yang diabsorpsi dari bentuk sediaan b. Kecepatan obat diabsorpsi c. Masa kerja obat berada dalam cairan biologic atau jaringan, bila dihubungkan dengan respon pasien d. Hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi atau efek toksik M.E.C. = Minimum Effective Concentration = kadar obat minimum dalam darah yang masih berefek. A.U.C. = Area Under the Curve = daerah di bawah kurva. Dalam industri farmasi ketersediaan hayati dapat digunakan sebagai

pertimbangan dalam memilih dan menyusun formula sediaan obat dengan : 1. Membandingkan macam-macam formulasi substansi obat untuk menentukan formula mana yang paling cocok mengenai absorpsi obatnya 2. Membandingkan ketersediaan hayati substansi obat dari bermacam-macam batch sediaan obat yang diproduksi.

20

3. Membandingkan ketersediaan hayati substansi obat dari bermacam-macam sediaan obat seperti tablet, kapsul, eliksir. 4. Membandingkan ketersediaan hayati substansi obat dari sediaan obat yang sama tapi dari lain pabrik. (Anief, 1994)

21

BAB III KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembuatan makalah ini adalah : 1. Ketersediaan hayati merupakan karakter suatu obat yang diberikan pada sistem biologis utuh. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati sediaan farmasi adalah sifat fisikokimia dan formulasi obat. 3. Parameter evaluasi ketersediaan hayati adalah tetapan laju eliminasi, area di bawah kurva (auc), Tmax, Cp max dan waktu paruh. 4. Penilaian ketersediaan hayati pada sukarelawan dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode dengan menggunakan data darah, data urin dan data farmakologis atau klinis. 5. Manfaat evaluasi ketersediaan hayati yaitu untuk menentukan jumlah atau bagian obat yang diabsorpsi dari bentuk sediaan, kecepatan obat diabsorpsi, masa kerja obat berada dalam cairan biologic atau jaringan, bila dihubungkan dengan respon pasien dan hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi atau efek toksik.

22

DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J.M. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi. Edisi Kedua. Airlangga University Press. Surabaya. Anief, M. 2000. Farmasetika. Cetakan Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Penerjemah Faridah Ibrahim. Edisi Keempat. Universitas Indonesia. Jakarta. Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi Keempat. Jakarta. Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia , Edisi Keempat. Jakarta. Ganiswara, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta. Shargel, L. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.Penerjemah Fasich dan Sjamsiah. Edisi Kedua.Universitas Erlangga.Surabaya. Tjay Tan Hoan dan R. Kirana. 2002. Obat-obat Penting Edisi Kelima. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai