Anda di halaman 1dari 11

I.

DASAR TEORI
Studi biofarmasetika memerlukan penyelidikan berbagai faktor yang mempengaruhi laju dan
jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini berarti, biofarmasetika melibatkan faktor – faktor
yang mempengaruhi pelepasan obat dari suatu produk obat, laju pelarutan dan akhirnya bioavailabilitas
obat tersebut. Farmakokinetika mempelajari kinetika absorbsi obat, distribusi dan eliminasi (yakni
ekskresi dan metabolisme) uraian distribusi dan eliminasi obat sering diistilahkan sebagai disposisi obat
(Shargel, 2012).
Farmakokinetik didefinisikan sebagai perubahan-perubahan kuantitatif dan tergantung kepada
waktu dari konsentrasi obat dalam plasma dan jumlah total obat di dalam tubuh yang terjadi setelah
pemberian obat dengan cara yang bermacam-macam (dua cara pemberian yang paling biasa adalah
infusintravena dan regimen oral dengan dosis interval yang tetap, misalnya suatu tablet setiap 4 jam.
Kemaknaan identifikasi farmakokinetik suatu obat tidak hanya terletak dalam menentukan faktor-faktor
yang mempengaruhi kadar dan keberadaannya dalam tubuh, tetapi juga dalam menentukan kegunaan
terapeuti obat-obat yang mempunyai potensi toksik yang tinggi (Mycek, 2004).
Farmakokinetika adalah ilmu dari kinetika absorbsi, distribusi dan eliminasi (yakni ekskresi dan
metabolisme) obat. Deskripsi distribusi dan eliminasi obat sering disebut disposisi obat. Karakterisasi
disposisi obat merupakan suatu persyaratan pentinguntuk penentuan atau modifikasi aturan pendosisan
untuk individual (Shargel, 2012).
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat.
Farmakokinetik mencakup 4 proses, yakni absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (Ganiswara,
2007).
Mekanisme interaksi obat secara umum dibagi menjadi interaksi farmakokinetika dan
farmakodinamika. Beberapa jenis obat belum diketahui mekanisme interaksinya secara tepat (unknown).
Interaksi farmakokinetik terjadi jika salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme,
atau eksresi obat kedua sehingga kadar plasma kedua obat meningkat atau menurun. Akibatnya terjadi
peningkatan toksisitas atau penurunan efektifitas obat tersebut (Ganiswara, 2007)
Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya merupakan akibat interaksi obat dengan reseptornya ;
maka secara teoritis intensitas efek obat, baik efek terapi maupun efek toksik, tergantung dari kadar obat
di temapt reseptor atau tempat kerjanya. Oleh karena itu kadar obat di temapt kerja belum dapat diukur,
maka sebagai penggantinga diambil serum / plasma yang umumnya dalam keseimbangan dengan
kadarnya ditempat kerja. Telah dibuktikan bahwa untuk kebanyakan obat terdapat hubungan linier
antara efek farmakologik obat dengan kadarnya dalam plasma atau serum ; tetapi tidak demikian halnya
antara efek dengan dosis obat. Hal ini disebabkan karena kadar obart dalam plasma ditentukan tidak
hanya oleh dosis obat tetapi juga olef factor – factor farmakokinetik yang ternyata sanagt bervariasi
antar individu (Ganiswarna, 2005).
Pelepasan obat dari sediaan dalam perkembangan pengetahuan biofarmasi sekarang sudah dapat
dikontrol, demikian juga absorbsi obat sudah dapat dipertimbangkan dengan seksama faktor – faktor
yang mempengaruhinya. Kecepatan eliminai obat dari tubh sangat ditentukan oleh parameter
farmakokinetik obat tersebut. Dalam mengatur kecepatan pelepasan obat, diharapkan kita akan dapat
suatu blood level yang terkontrol (Syukri, 2002).
Absorbsi adalah transfer suatu obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah. Kecepatan dan
efisiensi absorbsi tergantung pada cara pemberian. Untuk intra vena, absorbsi sempurna yaitu dosis total
obat seluruhnya mencapai sirkulasi sistemik. Pemberian obat dengan sirkulasi lain hanya bisa
menghasilkan absorbsi yang parsial dan karena itu merendahkan ketersediaan hayati. Tergantung pada
sifat-sifat kimianya, obat-obat bisa diabsorbsi dari saluran cerna secara difusi pasif atau transpor aktif
(Mycek, 2004)
Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular. Pada pemberian secara
intravaskular, obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik tanpa mengalami absorpsi, sedangkan
pada pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorpsi (Zunilda dkk, 1995).
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan prosentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu
produk obatyang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian
produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam
urin. Dua produk obat disebut bioekivalen, jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau
merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama
akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi
maupun keamanan (Dirjen POM, 2004 ).
Bioavailabilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah obat yang aktif terapetik yang
mencapai sirkulasi umum. Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah
disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapetik yang belum disetujui FDA (Food Drug
Administration) untuk dipasarkan. Bioavailabilitas digunakan untuk menggambarkan fraksi dari dosis
obat yang mencapai sirkulasi sistemik yang merupakan salah satu bagian dari aspek farmakokinetik
obat. Definisi tersebut diartikan bahwa obat yang di berikan secara intravena bioavalibilitasnya 100%.
Namun, jika obat diberikan melalui rute pemberian lain (seperti melalui oral) bioavalibilitasnya
berkurang (karena absorpsi yang tidak sempurna dan metabolisme lintas pertama) (Shargel Leon, 2005).
Studi bioavailabilitas in vivo harus dilakukan bila formulasi obat tersebut dimaksudkan untuk
dipasarkan. Parameter farmakokinetik essensial meliputi laju dan jumlah absorbs sistemik, T ½
eliminasi, Ke, dan Km harus ditetapkan setelah pemberian dosis tunggal dan dosis ganda. Setelah
bioavailabilitas diketahui dan juga parameter farmakokinetik diketahui maka aturan dosis dapat
ditentukan untuk mendukung penulisan label obat ( Shargel Leon, 2005).
Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Bioavailabilitas absolut
Bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemi dari suatu sediaan
obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif tersebut dengan pemberian intra vena

Gambar 1. AUC dari Bioavalibilitas Absolute


2. Bioavailabilitas relatif
Bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat
dibandingkan dengan bentuk sediaan lain selain intra vena. Bioavailabilitas suatu produk obat
dibandingkan dengan produk standar.
Gambar 2. AUC dari Bioavalibilitas Relative
ebagai produk standar dapat digunakan:
1. Produk larutan oral
2. Produk innovator/originator : yaitu produk yang dibuat oleh pabrik penemunya yang dianggap
mempunyai bioavailabilitas terbaik yang sudah teruji secara klinik dengan hasilterapi yang baik
(biasanya ditentukan oleh lembaga resmi, misalnya FDA) (Ringoringo.1985:50).
Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur pemberian
tertentu masuk ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi
bioavailabilitas:
1. Obat: sifat fisiko-kimia zat aktif, formulasi, dan teknik pembuatan.
2. Subjek: karakteristik subjek (umur, bobot badan), kondisipatologis, posisi, dan aktivitas tubuh
(pada subjek yang sama).
3. Rute pemberian
4. Interaksi obat atau makanan
Penilaian ketersediaan hayati pada sukeralawan dapat dilakukan dengan beberapa metode:
1. Metode menggunakan data darah
2. Data urin
3. Data efek farmakologis
4. Data respon klinis
Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis utntuk penetapan kadar obat dan
sifat produk obat. Data darah dan data urin lazim digunakan untuk menilai ketersediaan hayati sedian
obat yang metode analisis zat berkhasiatnya telah diketahui cara dan validitasnya. Jika cara validitas
analisi belum diketahui dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologik yang timbul
dapat diukur secara kuntitatif, seperti efek pada kecepatan denytu jantung atau tekanan darah yang dapat
digunakan sebagai indeks dari ketersediaan hayati obat. Untuk evaluasi ketersediaan hayati
menggunakan data respons klinik dapat mengalami perbedaan antar individu akibat farmakokinetika dan
farmakodinamik obat yang berbeda. Faktor farmakodinamik yang mempengaruhi meliputi: umur,
toleransi obat, interaksi obat, dan faktor- faktor patofisiologik yang tidak diketahui. (Rowland, 1980).
Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008). Jalur Enternal
Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), seperti pemberian obat melalui
sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melalui oral merupakanjalur pemberianobat paling banyak
digunakankarena paling murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian dari pemberian melalui jalur
enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidakdapat
menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas jugaalasan kepraktisan dan
tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obatdapat diberikan melalui jalur ini dan untuk
kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalahtransdermal (topikal),
injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakeamenggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi.
Pemberian obat melalui jalur ini dapatmenimbulkan efek sistemik atau lokal. Bioavailabilitas adalah
jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik
(Batubara, 2008). Untuk suatu dosis intravena dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan satu
(Holford, 1998), atau dianggap 100% masuk ke dalam tubuh (Batubara, 2008). Untuk obat yang
diberikan peroral, bioavailabilitas dapat berkurang 100% karena absorpsi yang tidak lengkap dan
eliminasi first-pass (Holford, 1998).
Menurut (Mutschler, 1999), konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada
tahun 1945, yaitu pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai
pertama kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah
bioavailabilitas. Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada tahun 1960 istilah bioavailabilitas
masuk ke dalam arena promosi obat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya produk obat yang
sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya keluhan dari pasien dan dokter di man obat
yang sama memberikan efek terapeutik yang berbeda, kemudian dengan adanya ketentuan tidak
diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang tertulis dalam resep dengan obat merek lainnya. Sebagai
cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang bioavailabilitas dalam berbagai
literatur. Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi
sistemik. Ada 2 unsur penting dalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1) kecepatan absorpsi obat
2) jumlah obat yang diabsorpsi
Kedua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan dengan
toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan bagaimana seharusnya definisi
tentang bioavailabilitas. Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang relative lebih sesuai dengan
kedua faktor di atas adalah:
1. Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat
tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
2. Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat
tersebut yang diabsorpsi.
Menurut (Shargel, 2005), parameter yang harus diperhatikan ketika menggunakan data darah
adalah sebagai berikut:
1. T maks
Waktu kadar plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan obat untuk
mencapat kadar maksimum. Pada T maks absorbsi adalah terbesar dan laju absorbsi sama dengan
laju eliminasi obat.
2. Cp maks
Kadar plasma puncak menunjukan kadar obat maksimum dalam darah setelah pemberian obat
secara oral. Cp maks memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsoorbsi secara sistemik untuk
memberikan respon terapetik.
3. AUC
AUC adalah kadar obat dalam plasma terhadap waktu, yaitu suatu ukuran dari jumlah
bioavailabilitas suatu obat.
1. Model Kompartemen Satu Pemberian Intravena
Pemberian obat melalui intravena juga dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
melalui injeksi dan infusi. Jika obat diberikan melalui intravena (IV) dengan cara injeksi, maka
seluruh dosis obat diasumsikan akan langsung masuk ke dalam sistem peredaran darah dan laju
absorbsi. obat dapat diabaikan dalam perhitungan. Setelah itu, obat akan mengalami proses
eliminasi. Eliminasi yang terjadi diasumsikan berlangsung menurut proses order satu, yaitu
banyaknya obat yang tereliminasi sebanding dengan banyaknya obat yang ada dalam tubuh.
Gambaran tentang model kompartemen satu pemberian intravena dapat diilustrasikan dalam
gambar berikut : (Shargel, 2005)

Gambar 3. Model farmakokinetik satu kompartemen pemberian intravena. Db = Jumlah obat


dalam tubuh ; Vd = Volume distribusi obat
Jika suatu obat sibrikan secara intravena bolus dosis tunggal dan obat tersebut
terdistribusi sangat cepat dalam tubuh menurut model kompartemen 1. (Gambar 1), serta
dieleminasi dengan proses orde pertama, hilangnya obat dalam tubuh per satuan waktu
diterangkan sebagai berikut : (Shargel, 2005)

dDb/dt = -k. Db

Db adalah jumlah obat yang berada di dalam tubuh pada waktu (t) setelah pemberian
intravena, k adalah tetapan kecepatan eleminasi orde pertama obat melalui metabolism urine,
empedu, dan proses lainnya.
Selanjutnya untuk menerangkan perubahan jumlah obat dalam tubuh pada setiap waktu,
persamaan dapat diintegralkan menjadi : (Shargel, 2005)

Db = D . e
t iv
-k.t

Dimana Db adalah perubahan jumlah obat dalam tubuh pada tiap waktu, D (dosis
t iv

intravena) adalah jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh pada waktu t = 0, dan e adalah dasar
logaritma natural. Berdasarkan persamaan dapat dirubah menjadi persamaan yang kemudian
akan dapat menerangkan kadar obat dalam darah terhadap waktu dalam persamaan berikut :
(Shargel, 2005)
Ct = Co . e -k.t

Dimana Ct adalah perubahan konsentrasi obat dalam tubuh tiap waktu, Co adalah
konsentrasi obat yang ada dalam tubuh pada saat waktu t = 0, k adalah konstanta laju eleminasi
dan e adalah dasar logaritma natural. (Shargel, 2005)
2. Model Kompartemen Satu Pemberian Oral
Jika obat diberikan melalui oral, maka obat tersebut akan mengalami proses absorbsi
lebih dahulu dengan laju yang tetap sebelum masuk ke dalam sistem peredaran darah. Oleh
karena itu, laju absorbsi tidak dapat diabaikan. Ilustrasi dari model farmakokinetik satu
kompartemen dapat dilihat pada Gambar berikut: (Shargel, 2005)

Gambar 4. Model farmakokinetik satu kompartemen pemberian intravena. Dev = Jumlah obat
dalam tubuh ; Ka = Laju 18bsorbs obat
Untuk obat-obat yang kinetikanya diterangkan dengan model 1-kompartemen terbuka
dengan kecepatan absorbs dan eleminasi orde pertama berlaku persamaan difrensial sebagai
berikut :
dDb/dt = ka. Dab – k.Db
Dimana dDb/dt adalah perubahan jumlah obat dalam tubuh setiap saat, Dab adalah
jumlah obat di tempat absorbs, ka dan k berturut-turut adalah tetapan kecepatan absorbs dan
eleminasi (ordepertama) obat dari tubuh.
Selanjutnya dengan rekayasa matematis, dari persamaan diturunkan rumus baru yang
digunakan untuk menerangkan perubahan konsentrasi obat di dalam tubuh sebagai fungsi waktu :
(Shargel, 2005)

Menurut Ditjen BKAK (2014), monografi dari Fenobarbital adalah sebagai berikut:

 Rumus struktur:
Gambar 5. Rumus Struktur Fenobarbital

 Rumus molekul: C12H12N2O3


 Nama kimia: asam 5-etil-5 fenilbarbiturat
 Bobot molekul: 232.24
 Pemerian: Hablur alau serbuk hablur, putih tidak berbau, rasa agak pahit
 Kelarutan: Sangat sukar larut dalam air; agak sukar larut dalam kloroform; larut dalam etanol
 Sifat farmakologi: Fenobarbital merupakan obat golongan barbiturat yang berkhasiat sebagai
hipnotik sedatif yang berefek utama depresi susunan saraf pusat. Hipnotika adalah zat-zat yang
dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan tidur dan mempermudah atau
menyebabkan tidur. Lazimnya obat ini diberikan pada malam hari. Bilamana zat-zat ini diberikan
pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan maka dinamakan sedatif
(obat-obat pereda). Hipnotika/sedativa termasuk dalam kelompok psikoleptika yang mencakup
obat-obat yang menekan atau menghambat fungsi-fungsi susunan saraf pusat. (Ditjen BKAK, 2014)

Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2018). Jalur
Enternal Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), seperti
pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melalui oral
merupakanjalur pemberianobat paling banyak digunakankarena paling murah, paling mudah, dan
paling aman. Kerugian dari pemberian melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak
dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidakdapat menelan. Kebanyakan obat
diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas jugaalasan kepraktisan dan tidak menimbulkan
rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obatdapat diberikan melalui jalur ini dan untuk kepentingan
emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.
1. Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalahtransdermal
(topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakeamenggunakan endotrakeal
tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini dapatmenimbulkan efek sistemik atau
lokal.
Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur
pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2018). Untuk suatu dosis intravena
dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan satu (Holford, 2019), atau dianggap 100% masuk
ke dalam tubuh (Batubara, 2018). Untuk obat yang diberikan peroral, bioavailabilitas dapat
berkurang 100% karena absorpsi yang tidak lengkap dan eliminasi first-pass (Holford, 2019).
Menurut (Mutschler, 2019), konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh
Osser pada tahun 1945, yaitu pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin.
Istilah yang dipakai pertama kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas
pengertiannya dengan istilah bioavailabilitas. Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada
tahun 1960 istilah bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi obat. Hal ini disebabkan oleh
semakin banyaknya produk obat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya
keluhan dari pasien dan dokter di man obat yang sama memberikan efek terapeutik yang
berbeda, kemudian dengan adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek mengganti obat
yang tertulis dalam resep dengan obat merek lainnya. Sebagai cabang ilmu yang relatif baru,
ditemukan berbagai definisi tentang bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang
esensial dalam konsep bioavailabilitas adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2
unsur penting dalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan, yaitu :
1) kecepatan absorpsi obat
2) jumlah obat yang diabsorpsi
Ke dua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan dengan
toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan bagaimana seharusnya
definisi tentang bioavailabilitas. Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang relative lebih
sesuai dengan kedua faktor di atas adalah:
Definisi 1: Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan
jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi
sistemik.
Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan
jumlah obat tersebut yang diabsorpsi.
Menurut (Shargel, 2017), parameter yang harus diperhatikan ketika menggunakan data
darah adalah sebagai berikut:
1. T maks
Waktu kadar plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan obat
untuk mencapat kadar maksimum. Pada T maks absorbsi adalah terbesar dan laju absorbsi
sama dengan laju eliminasi obat.
2. Cp maks
Kadar plasma puncak menunjukan kadar obat maksimum dalam darah setelah pemberian obat
secara oral. Cp maks memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsoorbsi secara sistemik
untuk memberikan respon terapetik.
3. AUC
AUC adalah kadar obat dalam plasma terhadap waktu, yaitu suatu ukuran dari jumlah
bioavailabilitas suatu obat.
Untuk mendapatkan data yang benar dari parameter tersebut, maka data darah yang
dipakai harus memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu:
- Pengambilan darah harus kontinyu selama paling sedikit tiga atau lebih baik lima kali dari
waktu paruh biologiknya
- Waktu pengambilan sampel harus menggambarkan tiga titik fase absorbsi, fase puncak dan
fase distribusi (untuk kompartemen dua), serta fase eliminasi.

Anda mungkin juga menyukai