DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4 B
AMALIA RAHMATIKA
( 1113102000053 )
BUKHORIA SAFITRI
( 1113102000006 )
( 1113102000071 )
SAGITA PRAJA
( 1113102000031 )
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nasib obat didalam tubuh dikenal dengan istilah farmakokinetika. Fase
farmakokinetik ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan profil
keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan selanjutnya menentukan aktivitas
terapetik obat. Aktivitas suatu obat dalam tubuh tergantung pada lama keberadaan dan
perubahan zat aktif dalam tubuh. Obat yang masuk kedalam tubuh melalui berbagai
cara pemberian umumnya menalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk samapai
ditempat kerja dan menimbulkan efek dan juga mengalami proses metabolisme dan
ekskresi.
Farmakokinetika dapat didefenisikan sebagai setiap proses yang dilakukan
tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Dalam arti
sempit farmakokinetika khususnya mempelajari perubahanperubahan konsentrasi dari
obat dan metabolitnya di dalam darahdan jaringan sebagai fungsi dari waktu. Tubuh
kita dapat dianggap sebagai suatu ruangan besar, yang terdiri dari beberapa
kompartemen yang terpisah oleh membran-membran sel. Sedangkan proses absorpsi,
distribusi danekskresi obat dari dalam tubuh pada hakekatnya berlangsung
denganmekanisme yang sama, karena proses ini tergantung pada lintasan obatmelalui
membran tersebut ( Tjay dan Rahardja, 2002 ).
Konsep dasar dari farmakokinetika adalah salah satunya memahami parameterparameter farmakokinetika, yaitu parameter farmakokinetika primer meliputi Volume
distribusi (Vd", klirens (Cl), dan kecepatan absorbsi(ka), sekunder meliputi kecepatan
eliminasi (Ke ) dan T1/2 dan turunan meliputi AUC dan Css. Dengan konsep-konsep
tersebut dilakukan simulasi in$itro dengan menggunakan suatu model farmakokinetika
untuk mengukur parameter-parameter farmakokinetika dan lebih memahami setiap
parameternya. Setelah dibuat suatu model farmakokinetik dalam praktikum ini dapat
digunakan untuk karakteristirisasi suatu obat dengan meniru suatu perilaku dan nasib
obat dalam sistem biologis jika diberikan dengan suatu pemberian rute utama dan
bentuk dosis tertentu
2
Oleh karena itu dibuatlah suatu model farmakokinetik dalam praktikum ini
sebagai struktur hipotesis yang dapat digunakan untuk karakteristik suatu obat dengan
meniru suatu perilaku dan nasib obat dalam sistem biologik jika diberikan dengan
suatu pemberian oral dan bentuk dosis tertentu. Dengan begitu, mahasiswa dapat lebih
jelas memahami kinerja obat dalam tubuh sesuai dengan teori model farmakokinetik
1.2 Tujuan
1. Dapat menjelaskan proses farmakokinetik obat didalam tubuh setelah pemberian
secara oral dengan simulasi model invitro farmakokinetik obat.
2. Mampu memplot data kadar obat dalam fungsi waktu
3. Mampu mnenetukan berbagai parameter farmakokinetik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Umum
Pengembangan suatu produk obat tidaklah bervariasi, dimana suatu proses
penggulangan sistemik farmasetik farmasetik atau biologis secara sistematis dikacaukan
untuk mendapatkan informasi spesifik yang menyangkut efek yang satu terhadap efek
yang lainnya. Penyampaian optimal dari pusat aktif ke tempat aksi tergantung pada
pengertian dari interaksi spesifik antara variable variable formulasi dan variable
variable biologis (Lachman, 1989).
Sifat sifat fisika kimia dari obat dan bahan bahan penambah menetapkan laju
pelepasan obat dari bentuk sediaan dan transport berikutnya melewati membrane
membrane biologis, sedangkan fisiologis dan kenyataan biokimia menentukan nasibnya
dalam tubuh. Absorbs didefinisikan sebagai jumlah obat yang mencapai sirkulasi umum
dalam lambung meliputi konsumsi makanan dan lemak tinggi, minuman dingin dan
obat obat antikolinergik. Gerakan peristaltic normal dari duodenum sangat membantu
absorbs, karena gerakan ini membawa partikel partikel obat kedalam kontak yang
lebih dekat dengan mukosa sel usus (Lachman, 1989).
Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke
sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu.
Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk,
maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorbs yang sangat cepat dan
lengkap menjadi lambat, kecepatan absorbs yang diperlambat atau bahkan sampai tidak
terjadi absorbs sama sekali. Sewaktu obat mengalami absorbs sistemik berbagai proses
fisiologik normal yang berkaitan dengan distribusi dan eliminasi biasanya tidak
idpengaruhi oleh formulasi obat (Shargel, 1988).
Pada umumnya obat dalam bentuk garam yang dapat terionisasi lebih larut
dalam air dari pada asam atau bsa bebas. Derajat kelarutan obat dalam air juga
mempengaruhi laju pelarutan (Shargel, 1988).
tersebut
dapat
diperoleh
efek
sistemik.
Proses
absorbsinya
sangat
mengalami metabolisme di dalam hati, dikeluarkan dari hati ke empedu atau mencapai
sirkulasi sistemik (Mutschler, 1991).
Sebelum obat mencapai tujuannya dalam tubuh yaitu: tempat kerja dan
menimbulkan efek, obat mengalami banyak proses, secara garis besar prosesproses
tersebut terbagi dalam tiga tingkat yaitu fase biofarmasetika, fase farmakokinetika, dan
fase farmakodinamika (Mutschler, 1991). Dalam tubuh obat mengalami beberapa
proses sebagai berikut :
2.2.1. Absorbsi
Absorbsi merupakan proses pengambilan obat dari permukaan tubuh (di
sini termasuk juga mukosa saluran cerna) atau dari tempat- tempat tertentu
dalam organ dalam ke dalam aliran darah (Mutschler, 1991).
Kecepatan absorbsi terutama tergantung pada bentuk dan cara pemberian
serta sifat fisik kimia dari obat. Obat yang diabsorbsi tidak semua mencapai
sirkulasi sistemik, sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus atau
mengalami metabolisme eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or
elimination). Obat yang demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak
begitu tinggi meskipun absorbsi secara oralnya mungkin hampir sempurna.
Dengan
demikian
istilah
bioavailabilitas
menggambarkan
kecepatan,
seperti
luas
permukaan
dinding
usus,
kecepatan
2.2.2. Distribusi
Distribusi obat ke seluruh tubuh terjadi saat obat mencapai sirkulasi.
Selanjutnya obat harus masuk ke jaringan untuk bekerja ( Neal, 2006 ).
6
kecepatan eliminasi (K); dan waktu paruh (T1/2), serta parameter-parameter turunan.
Model farmakokinetik tersebut mempunyai aplikasi langsung untuk terapi obat
berkenaan dengan menentukan aturan dosis yang sesuai (Aiache, 1993).
Kompartemen adalah suatu kesatuan yang dapat digambarkan dengan suatu
volume tertentu dan suatu konsentrasi. Perilaku obat dalam sistem biologi dapat
digambarkan dengan kompartemen satu atau kompartemen dua. Kadang-kadang perlu
untuk menggunakan multikompartemen, dimulai dengan determinasi apakah data
eksperimen cocok atau pas untuk model kompartemen satu dan jika tidak pas coba
dapat mencoba model yang memuaskan. Sebenarnya tubuh manusia adalah model
kompartemen multimillion (multikompartemen), mengingat konsentrasi obat tiap
organel berbeda-beda. (Hakim, L., 2014).
2.3.1. Model kompartemen satu terbuka
Pada model satu kompartemen terbuka, obat hanya dapat memasuki
darah dan mempunyai volume distribusi kecil, atau juga dapat memasuki cairan
ekstra sel atau bahkan menembus sehingga menghasilkan volume distribusi
yang besar (Gibson, 1991). Pada model satu kompartemen terbuka terlihat
seolah olah tidak ada fase distribusi, hal ini disebabkan distribusinya
berlangsung cepat.
Klirens (Cl)
Klirens adalah volume darah yang dibersihkan dari kandungan obat per
satuan waktu (Neal, 2006).
-Da/dt
Dengan
demikian,
apabila
jumlah
obat
bertambah
dengan
bertambahnya waktu, maka laju reaksi dapat pula dinyatakan sebagai : +dB/dt
Pada umumnya hanya obat induk (obat yang aktif farmakologik) yang
ditentukan dalam percobaan. Sedangkan metabolit obat atau hasil urai obat tidak
dapat atau sangat sukar ditentukan secara kuantitatif. Oleh karena itu, laju reaksi
ditentukan melalui percobaan dengan cara mengukur obat A dalam jarak waktu
yang ditetapkan. Orde reaksi menunjukkan cara bagaimana konsentrasi obat
pereaksi mempengaruhi laju suatu reaksi kimia (Shargel dan Yu, 2005). Tetapan
laju reaksi terdiri atas:
11
12
kolorimetri, karena memberikan warna. Prinsip kerja dari metode ini adalah jumlah
cahaya yang di absorpsi oleh larutan sebanding konsentrasi kontaminan dalam larutan.
Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer
menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer
adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang diabsorpsi.
Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang kontinyu, monokromator, sel
pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat untuk mengukur
pebedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding.
gelombang
(Hobart
H.
Willlard
dkk,
1998)
Monokromator
Digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. Alatnya
dapat berupa prisma ataupun grating. Untuk mengarahkan sinar
monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian ini dapat digunakan
celah. Jika celah posisinya tetap, maka prisma atau gratingnya yang
dirotasikan untuk mendapatkan yang diinginkan.
Sel absorbsi.
Pada pengukuran di daerah tampak kurvet kaca atau kurvet kaca corex
dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah UV kita harus
menggunakan sel kuarasa karena gelas tidak tembus daerah cahaya pada
daerah ini. Umumnya tebal kurvetnya adalah 10 mm, tetapi yang lebih
kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang digunakan
biasanya berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder dapat juga digunakan.
Detektor
Peranan detector penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya
pada berbagai panjang gelombang. Pada spektrofotometer, tabung
14
atau
perubahan-perubahan
panas.
Kebanyakan
detector
Hasil Keluaran
Dalam instrumen manual diperoleh hasil keluaran secara tetap dari
beberapa bentuk yang mana menunjukan transmitansi secara langsung
atau dugunakan sebagai penunjuk nol dalam sirkuit potensiometri.
Potensiometri biasanya dikalibrasi dalam satuan transmitansi dan dalam
satuan absorbansi. Instrumen modern lebih digunakan karena mempunyai
hubungan keluaran digital pada mikroprosesor yang memberikan nilai
absorbansi secara langsung atau dapat dikalibrasi dalam satuan
konsentrasi setelah larutan standar diukur
dengan
detektor.
Hukum
Lambert
Beer
digunakan
untuk
15
Keterangan :
A
= absorbansi
: Acetaminophen
Sinonim
: Paracetamol
RM
: C8H9NO2
BM
: 151,16
Pemerian
Kelarutan
OTT
FD
nyeri
ringan
sampai
sedang.
Parasetamol
16
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.2.1Alat:
Timbangan
Vial
Beker gelas
Labu ukur
Batang pengaduk
Spektrofotometer UV Vis
Alat disintegrasi
Syringe
3.2.2 Bahan:
Paracetamol
NaOH 0,1 N
= 16 gram
b. NaOH 4 gram dilarutkan dalam labu ukur dan di add sampai 4 L.
3. Disiapkan 2 beker gelas yang diisi NaOH sebanyak 200 ml.
4. Dimasukkan ke dalam tabung disintegrasi.
5. Ditimbang paracetamol sebanyak 500 mg, kemudian dilarutkan dalam NaOH 100 ml,
dan dihomogenkan.
6. Diambil larutan paracetamol sebanyak 10 ml, kemudian dimasukkan ke dalam plastic
dialysis bag yang bagian bawahnya telah diikat.
7. Diikat bagian atas plastic dialysis bag, kemudian plastic dialysis bag yang sudah
berisi larutan paracetamol diikatkan pada alat disintegrasi.
17
8. Alat disitegrasi dinyalakan. Pada setiap 1 menit sekali cuplikan diambil 20 ml dan
dibuang , kemudian digantikan dengan 20 ml NaOH. Proses ini dilakukan selama 35
menit. Pada menit ke 10, 20, 25, 30 dan 35, cuplikan diambil 20 ml ( 15 ml dibuang
dan 5 ml di masukkan dalam vial ), dan diganti dengan 20 ml NaOH.
9. Cuplikan yang telah diambil dimasukkan ke dalam vial.
10. Diencerkan 10x ayitu diambil 1 ml kemudian diencerkan sampai 10 ml dalam labu
ukur.
11. Lalu diukur absobansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV Vis pada
panjang gelombang 258nm.
12. Dilihat data hasil pengukuran dan diplot data kadar obat terhadap waktu.
13. Dihitung parameter farmakokinetiknya.
18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.1 Hasil
4.1.1
Cp (g/ml)
Log Cp
10
2,025
0,306425
20
2,612
0,416973
25
2,847
0,454387
30
2,916
0,464788
35
2,821
0,450403
Antilog
Ekstrapolasi
Residu
0,5221
0,215675
3,327361598
1,64314153
0,4931
0,076127
3,112432919
1,191589938
0,4786
0,024213
3,010232221
1,057334816
4.1.2
Ekstrapolasi
Antilog Residu
log Cp
kurva logCP vs t
0,5
0,45
0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
10 20 25 30 35
4
waktu
19
absorpsi
0,25
C res
0,2
0,15
0,1
absorbsi
0,05
0
0
waktu
Axis Title
eleminasi
0,466
0,464
0,462
0,46
0,458
0,456
0,454
0,452
0,45
0,448
Series1
0,5
1,5
Axis Title
20
2,5
Parameter Farmakokinetik
Ka
Ke
b = 2,303
b = 2,303
Ka = 0,029/menit
-0,0029 = 2,303
Ke = 0,006 /menit
Do = 500 mg/100 ml
-0,0129 = 2,303
= 5 mg/ml x 10 ml
0,133 0,02950.000
= 50.000 ppm
800(0,029 0,006)
AUC =
10,48
Vd = 800 ml
=10,48
10,48
= 0,006 - 0,029
= 1746 361,379
= 1384,621
Cp =
Cp10 =
.
.
)
.
=
)
0,006)
= 0,006
= 115,5 menit
( e-0,006x10 e-0,029x10 )
F1450
1450
18,4
0,693
0,693
( e-ket e-kat )
F0,02950.000
T1/2
( e-ket e-kat )
(0,193)
279,85
18,4
21
F = 0,133
Tmax =
2,3 log(
2,3 log(
= 0,029
Cl
0,029
)
0,006
0,006
klirens = Vd x ke
= 800 x 0,006
1,57
= 0,023
= 4,8 ml/menit
= 68,42 menit
4.2 Pembahasan
Jalur pemberian obat secara ekstravaskular berbeda dengan intravaskular,
dimana umumnya obat mengalami absorpsi. Setelah obat masuk ke sirkulasi sistemik
obat akan didistribusikan, sebagian mengalami pengikatan dengan protein plasma dan
sebagian dalam bentuk bebas. Obat bebas selanjutnya didistribusikan sampai ditempat
kerjanya dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi obat
diekskresikan dari dalam tubuh melalui organ-organ ekskresi, terutama ginjal. Seluruh
proses yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi disebut
farmakokinetik dan proses ini berjalan serentak (Zunilda,.dkk,1995).
Pemberian obat secara ekstravaskular berulang, merupakan cara pemberian obat
yang sangat lazim digunakan dalam pengobatan, terutama per oral. Seperti halnya
pemberian secara intravena berulang, obat akan terakumulasi ditubuh jika pemberian
berikutnya dilakukan ketika obat masih tersisa didalam tubuh. Seberapa besar
akumulasinya, tergantung interval pemberian obat, relatuf terhadap waktu paro
eliminasinya. Semakin pendek interval pemberian obat dengan waktu paro eliminasi
obat semakin tinggi akumulasinya, demikian sebaliknya (Hakim,2012).
Pada praktikum kali ini dilakukan simulasi invitro model farmakokinetika rute
oral model kompartemen satu terbuka dengan menggunakan paracetamol yang
22
dianggap sebagai obat. Percobaan ini disimulasikan dengan keadaan yang ada didalam
tubuh dimana obat diberikan secara per oral. Langkah awal dilakukan dengan
menimbang sebesar 500 mg paracetamol kemudian dilarutkan menggunakan NaOH
kedalam labu 100 ml. kemudian diamati/di ukur nilai konsentrasi obat pada menit
ke 10, 20, 25, 30, dan 35 pada 2 wadah yang berbeda didalam alat disintegration tester.
Jumlah NaOH yang terdapat didalam alat sebanyak 800 ml diasumsikan sebagai Vd
(Volume Distribusi) . Masukakan 10 ml paracetamol kedalam masing-masing wadah.
Setelah itu setiap menit larutan dicuplik dan diganti sebanyak 20 ml dianggap sebagai
nilai klirens. Jadi setiap 5 menit laju ekskresinya 100 ml. Dan setiap menit ke 10, 20,
25, 30, dan 35 dari 20 ml yang diambil, 5 ml ditampung didalam vial lalu diukur
menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Setelah dilakukan pengukuran, ternayata kadar yang didapatkan terlalu tinggi
melebihi rentang kadar kurva standar 0,2-0,8 sedangkan hasil yang didapatkan yaitu
0,9. Untuk itu dilakukan pengenceran sebanyak 10 kali pengenceran. Setelah itu diukur
kembali menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Konsentrasi yang dihasilkan pada
menit 10, 20, 25, 30 meingkat dari 2,025; 2,612;2,847;
penurunan pada menit terakhir yaitu menit ke 35 dengan kadar 2,821. Untuk itu pada
fase ke 35 diketahui bahwa obat mengalami fae eliminasi. Pemberian berulang ini
dimaksudkan agar kadar obat didalam darah selalu berada dalam kadar terapetik, yaitu
kadar obat berada didalsm kisaran terapetik yang secara klinik telah dibuktikan
berkolerasi dengan efek terapi obat (Hakim,2012).
Dalam rute ekstravaskular ini terjadi proses absorpsi, distribusi dan
eliminasi(metabolisme dan ekskresi). Jadi , hampir semua obat pada dosis terapi
mengikuti kinetika orde 1, artinya kecepatan proses-proses tersebut sebanding dengan
jumlah obat yang ada (yang tinggal). Jadi jumlah obat yang diabsorpsi, distribusi, dan
eliminasi persatuan waktu makin lama makin sedikit, sebanding dengan jumlah obat
yang masih belum mengalami proses tersebut (Setiawati,2005).
Hasil yang diperoleh sesuai dengan literatur karena ketika obat baru saja
diberikan kepada subjek (pada t=0), kadar obat didalam darah C=0, karena belum ada
proses absorpsi. Kemudian, karena jumlah obat yang diabsorpsi pada waktu awal lebih
besar dari jumlah obat yang dieliminasi. Kadar obat didalam darah terus meningkat,
sampai mencapai kadar puncak (Cmax). Pada kadar puncak ini, kecepatan absorpsi
23
sama dengan kecepatan eliminasi obat. Waktu yang diperlukan untuk mencapai Cmax
adalah Tmax. Begitu mencapai kadar puncak, kadar obat terus menurun, sebab jumlah
obat yang tersedia untuk diabsorpsi makin berkurang, sehingga menyebabkan
penurunan keceepatan absorpsi. Selanjutnya ketika waktu terus berjalan, menyebabkan
jumlah obat ditempat absorpsi sangat kecil. Mulai saat itu penurunan kadar obat
didalam darah mencerminkan eliminasi obat (Shargel dkk.,2005).
24
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Persamaan kurva absorpsi y = -0,0129x + 0,3425 R = 0,9954 dan persamaan kurva
eliminasi y = -0,0029x + 0,5511 R = 1.
2. Hasil dari parameter farmakokinetik nilai Ka = 0,029 / menit, nilai Ke = 0,006
/menit, nilai F = 0,133, nilai T1/2 = 115,5 menit, nilai T max = 68, 42 menit, nilai Cl
= 4,8 mL/menit, nilai Cpmax = 5.512g/ml.
3. Konsentrasi yang dihasilkan dari pengukuran menggunakan spektrofotometer UVVis pada menit ke 10, 20, 25, dan 30 terjadi peningkatan yaitu 2,025; 2,612; 2,847;
2,916. Pada menit ke 35 terjadi penurunan yaitu 2,821.
4. Pada menit ke 35 terjadi penurunan yang berarti obat mengalami fase eliminasi pada
menit ke 35.
5.2 Saran
Pengambilan cuplikan dan pemasukan cairan pengganti dilakukan dengan hatihati.
25
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen POM, (1995), Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta : Depkes RI.
Hakim, L. 2013. Farmakokinetika. Yogyakarta : Bursa Ilmu.
Martin, A., J. Swarbrick, dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik Jilid 2.EdisiKetiga. Jakarta
: Penerbit Universitas Indonesia.
Paradkar, A. dan S. Bakliwal. 2008. Biopharmaceutics & Pharmacokinetics. India: Nirali
Prakashan. Publications, Inc.: Hamilton, Illinois.
Ritschel, W.A. 2004. Handbook of Basic Pharmacokinetics, Drug Intelligence.
Shargel, L. dan A. B. C. Yu. 2005.Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.Edisi
Kedua.Surabaya : Airlangga University Press.
Sweetman
S.C.
2007.
Martindale
26