Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOKINETIK-BIOFARMASI

UJI BIOEKUIVALENSI OBAT

Disusun Oleh:
Kelompok 6
1. Siti Mariyah 170106045
2. Sri Handayani 170706046
3. Tias Kurniawati 170106047
4. Widya Dwi A 170106048
5. Yunita Rahmawati N 170106050
6. Zachra Noval D 170106051

Dosen Pengampu : Titian Daru Asmara T, S.Farm, M.Farm

Dr. Dwintha Lestari, M.Si., Apt

Asisten Laboratorium : Meysi Arsita

PROGRAM STUDI FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG

2020
UJI BIOEKUIVALENSI OBAT

I. TUJUAN

1.1 Menentukan status bioekivalensi dari suatu produk obat yang diuji.
1.2 Merancang penelitian uji bioavailabilitas dan bioekivalensi suatu produk obat.

II. DASAR TEORI

Uji Bioekivalensi (BE) merupakan data ekivalensi untuk melihat


kesetaraan sifat dan kerja obat didalam tubuh suatu obat “copy” di bandingkan
dengan obat innovator sebagai pembanding. Dua produk obat disebut bioekivalen
jika keduanya mempunyai bioekivalensi farmaseutik dan alternatif farmaseutik
dan pada pemberian dengan dosis yang menghasilkan bioavailabilitas yang
sebanding sehingga efek dalam efikasi maupun keamanan yang sama.
Bioavailabilitas (BA) adalah persentasi dan kecepatan zat aktif dalam produk obat
yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif,
setelah pemberian obat diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau
dari ekskresinya dalam urin (BPOM, 2004).

Uji bioavailabilitas dan bioekivalensi (BABE) mensyaratkan pelaksanaan


sesuai dengan pedoman praktek laboratorium yang (Good Laboratory Practice)
dan pedoman cara uji klinik yang baik (Good Clinical Practice). Setiap
laboratorium pengujian, untuk menyusun proposal uji BABE diharuskan
melakukan penelitian dan kajian pustaka, karena dalam pedoman uji bioekivalensi
tidak menentukan produk yang harus diuji maupun inovator atau komparatornya
demikian pula dengan metode yang digunakan (BPOM, 2006).

Bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapetik, aktivitas klinik,


dan aktivitas toksik obat, maka biofarmasetika menjadi sangat penting.
Biofarmasetika bertujuan mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi
sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu.
Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Bioavailabilitas absolut: bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi


sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif
tersebut dengan pemberian intra vena.
2. Bioavailabilitas relatif: bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi
sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain
selain intravena. Bioavailabilitas suatu produk obat dibandingkan dengan
produk standar (Shargel dan Andrew, 2005).
Faktor farmasetik yang mempengaruhi biovailabilitas obat aktif
(Shargel dan Andrew, 2005):
1. Disintegrasi
Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami
disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan obat.
2. Pelarutan
Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat
menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan
kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau
terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi
sistemik obat. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh dikenal sebagai
”stagnant layer”, berdifusi ke pelarut dari daerah konsentrasi tinggi ke
daerah konsentrasi obat yang rendah. Laju pelarutan adalah jumlah obat
yang terlarut per satuan luas per waktu (misal g/cm2.menit).
3. Sifat Fisikokimia Obat
Sifat fisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai
pengaruh yang besar pada kinetika pelarutan. Sifat-sifat ini terdiri atas luas
permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan obat dalam air,
dan bentuk obat yang polimorf.
4. Faktor Formulasi Yang Mempengaruhi Uji Pelarutan Obat
Berbagai bahan tambahan dalam produk obat juga mempengaruhi
kinetika pelarutan obat dengan mengubah media tempat obat melarut atau
bereaksi dengan obat itu sendiri. Misalnya, magnesium stearat (bahan
pelincir tablet) dapat menolak air, dan bila digunakan dalam jumlah besar
dapat menurunkan pelarutan.
Untuk mengetahui perbandingan kualitas obat sediaan generik dengan
sediaan paten perlu diketahui bioekuivalensi antara dua sediaan tersebut.
Masing-masing sediaan diukur bioavailabilitasnya. Perbandingan
bioavailabilitas ini disebut bioekivalansi obat. Dasar untuk menentukan
bioavailabilitas suatu obat terlebih dahulu harus diketahui profil disolusinya.
Disolusi tablet ialah jumlah atau persen zat aktif dari sediaan padat yang larut
pada waktu tertentu dalam kondisi baku. Kondisi yang dimaksud misalnya,
dalam suhu, kecepatan, pengadukan, dan komposisi media tertentu. Uji
disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas secara in vitro, karena hasil uji
disolusi berkorelasi dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh (Stoklosa,
1991). Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai
ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada
pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas
yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun
keamanan (BPOM RI, 2004).
III. ALAT DAN BAHAN
Tabel 1. Alat Dan Bahan yang digunakan
No. Alat Bahan
1. Komputer Suspensi Oral
3. Perangkat Lunak Microsoft Injeksi intravena
Excel
4. Sendok Teh Kapsul Uji
5. Stopwatch Sukarelawan
6. Syringe

IV. PROSEDUR KERJA


Dari percobaan sebelumnya, disusun data AUC dari masing-masing obat yang
telah diuji. Kemudian ditentukan obat yang akan dijadikan sebagai standar. Lalu
dihitung Frel dan Fabs. Disimpulkan status bioekivalensi dari produk yang diuji.

V. HASIL DAN DATA PERHITUNGAN


1. Hitunglah bioavailabilitas (F) suatu sediaan obat berupa Emulsi Oral
(konsentrasi zat aktif 50 mg/ml) apabila dibandingkan dengan sediaan injeksi
intravena (konsentrasi zat aktif 100 mg/ml), dimana dosis yang diberikan
untuk emulsi oral adalah dua sendok teh sedangkan dosis injeksi IV adalah 2
ml. Data kadar obat dalam plasma terhadap waktu adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Kadar Pada Emulsi Oral Dan Injeksi Intravena.
Kadar (µg/ml)
T (Jam)
Emulsi Oral Injeksi Intravena
0.5 2.9 5.46
1 6.39 4.77
1.5 8.65 4.17
2 9.96 3.65
3 7.58 2.8
4 5.75 2.16
6 3.34 1.31
8 2.06 0.81
Tabel 3. Hasil AUC Pada Emulsi Oral.
Kadar
T (µg/ml) AUC
AUC ln
(Jam) Ln
Emulsi
0 0
0,725 0,5 2,9 1,064711 0,266178

2,3225 1 6,39 1,854734 0,729861

3,76 1,5 8,65 2,157559 1,003073

4,6525 2 9,96 2,298577 1,114034

8,77 3 7,58 2,025513 2,162045

6,665 4 5,75 1,7492 1,887357

9,09 6 3,34 1,205971 2,955171

5,4 8 2,06 0,722706 1,928677

T Kadar AUC
ln
AUC (Jam) (µg/ml) ln
Injeksi
intravena
0 0
1,365 0,5 5,46 1,697449 0,424362

2,5575 1 4,77 1,562346 0,814949

2,235 1,5 4,17 1,427916 0,747566

1,955 2 3,65 1,294727 0,680661

3,225 3 2,8 1,029619 1,162173

2,48 4 2,16 0,770108 0,899864

3,47 6 1,31 0,270027 1,040135

2,12 8 0,81 -0,21072 0,059306


Tabel 4. Hasil AUC Sediaan Injeksi Intravena.

Kemudian ditentukan nilai bioavailabilitas relatif, sebagai berikut:

[ AUC uji ] dosis STD


Bioavaibilitas Relatif (Frel) = X x 100 %
[ AUCSTD ] dosisuji

Diketahui dosis emulsi oral (uji) sebanyak 2 sendok teh (10 mL) dengan
keterangan 50 mg/mL. Jadi dosis yang akan digunakan sebanyak 500 mg.
Sedangkan dosis injeksi intravena (standar) debanyak 2 mL.dengan
keterangan 100 mg/mL. Jadi dosis yang digunakan sebanyak 200 mg. Maka
dihasilkan bioavailabilitas relatifnya adalah sebagai berikut:

 Time 0,5
[0,725] 200 mg
F = x x 100 %
[1,365] 500 mg
= 0,531 x 0,4 x 100% = 21,24 %
 Time 1
[2,3225] 200 mg
F = x x 100 %
[2,5575] 500 mg
= 0,908 x 0,4 x 100% = 36,32 %
 Time 1,5
[3,76] 200 mg
F = x x 100 %
[2,235] 500 mg
= 1,68 x 0,4 x 100% = 67,2%
 Time 2
[4,6525] 200 mg
F = x x 100 %
[1,955] 500 mg
= 2,37 x 0,4 x 100% = 94,8 %
 Time 3
[8,77] 200 mg
F = x x 100 %
[3,225] 500 mg
= 2,71 x 0,4 x 100% = 108,4 %
 Time 4
[6,665] 200 mg
F = x x 100 %
[2,48] 500 mg
= 2,6875 x 0,4 x 100% = 107,5 %
 Time 6
[9,09] 200 mg
F = x x 100 %
[3,47] 500 mg
= 2,61 x 0,4 x 100% = 104,4 %
 Time 8
[5,4] 200 mg
F = x x 100 %
[2,12] 500 mg
= 2,54 x 0,4 x 100% = 101,6 %
∑ F 1-8 =
21,24 %+ 36,32% +67,2 %+ 94,8 %+108,4 % +107,5 %+104,4 %+101,6 %
8
641,46 %
= = 80,18%
8
2. Nyatakan status bioekivalensi dari ketiga sediaan tablet uji (A, B, C)
terhadap sediaan standar (STD) dengan data sebagai berikut:

Tabel 4. Data AUC Tablet.

AUC (µg/ml.jam)
Sukarelawan
Tablet A Tablet B Tablet C Tablet STD
1 14.25 19.25 9.75 15.95
2 20.35 20.15 10.75 19.15
3 19.15 17.65 14.75 19.45
4 13.35 20.45 13.25 18.55
5 13.65 17.45 10.55 17.35
6 18.05 17.55 8.45 16.65
7 12.55 17.35 14.65 18.05
8 15.95 17.05 11.55 17.65

[ AUC uji] dosis iv


Bioavaibilitas Relatif (Frel) = X x 100 %
[ AUCiv ] dosis uji

 Kapsul A
14,25 200 mg
1. F = x x 100 % = 35,7 %
15,95 500 mg

20,35 200 mg
2. F = x x 100 % = 42,5 %
19,15 500 mg

19,15 200 mg
3. F = x x 100 % = 39,3 %
19,45 500 mg

13,35 200 mg
4. F = x x 100 % = 28,7 %
18,55 500 mg

13,65 200 mg
5. F = x x 100 % = 31,4 %
17,35 500 mg

18,05 200 mg
6. F = x x 100 % = 43,3 %
16,65 500 mg

12,55 200 mg
7. F = x x 100 % = 27,8 %
18,05 500 mg

15,95 200 mg
8. F = x x 100 % = 36,1%
17,65 500 mg
∑F1-8 =
35,7 %+ 42,5 %+39,3 % +28,7 %+ 31,4 %+ 43,3 %+ 27,8 %+36,1 %
8
284,8 %
= = 35,6%
8

 Kapsul B
19,25 200 mg
1. F = x x 100 % = 48,2 %
15,95 500 mg

20,15 200 mg
2. F = x x 100 % = 42,0 %
19,15 500 mg

17,65 200 mg
3. F = x x 100 % = 36,3 %
19,45 500 mg

20,45 200 mg
4. F = x x 100 % = 44,0 %
18,55 500 mg

17,45 200 mg
5. F = x x 100 % = 40,2 %
17,35 500 mg

17,55 200 mg
6. F = x x 100 % = 42,1 %
16,65 500 mg

17,35 200 mg
7. F = x x 100 % = 38,4 %
18,05 500 mg

17,05 200 mg
8. F = x x 100 % = 38,6 %
17,65 500 mg
∑F1-8 =
48,2 %+ 42 %+36,3 % +44 %+ 40,2% +42,1 % +38,4 % +38,6 %
8
329,8 %
= = 41,2%
8

 Kapsul C

9,75 200 mg
1. F = x x 100 % = 24.4 %
15,95 500 mg
10,75 200 mg
2. F = x x 100 % = 22,4 %
19,15 500 mg

14,75 200 mg
3. F = x x 100 % = 30,3 %
19,45 500 mg

13,25 200 mg
4. F = x x 100 % = 28,5 %
18,55 500 mg

10,55 200 mg
5. F = x x 100 % = 24,3 %
17,35 500 mg

8,45 200 mg
6. F = x x 100 % = 20,3 %
16,65 500 mg

14,65 200 mg
7. F = x x 100 % = 32,4 %
18,05 500 mg

11,55 200 mg
8. F = x x 100 % = 26,0 %
17,65 500 mg
∑F1-8 =
24,4 %+ 22,4 %+ 30,3 %+28,5 %+ 24,3 %+20,3 % +32,4 % +26 %
8
208,6 %
= = 26,1%
8

VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan studi uji bioavailabilitas dan bioekivalensi.
Bioavailabilitas menyatakan jumlah obat dalam persen terhadap dosis, yang
mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif. Gambaran
kecepatan obat yang terabsorbsi pada tempat obat bekerja dilihat dari tinggi
atau rendahnya bioavailabilitas obat. Obat yang terabsorbsi sempurna
dinyatakan memiliki bioavailabilitas yang tinggi. Bioavailabilitas adalah
kecepatan dan jumlah zat aktif yang terkandung dalam suatu sediaan yang
lepas dan mencapai sirkulasi sistemik. Bioavailabilitas merupakan suatu istilah
yang menyatakan jumlah/proporsi (exetent) obat yang diabsorpsi dan
kecepatan (rate) yang diabsorpsi itu terjadi. Extent biasanya dinyatakan dalam
F. Hal ini biasanya diukur dari perkembangan kadar obat (zat aktif) atau
metabolit aktifnya dalam darah dan eksresinya dalam urin terhadap waktu.
Pengujian ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa suatu
obat yang akan beredar di pasar telah melewati serangkaian pengujian antara
lain untuk membuktikan bahwa obat tersebut memiliki khasiat seperti yang di
harapkan, aman digunakan dan tidak menimbulkan efek negatif yang tidak
diinginkan dengan proses produksi yang telah distandarisasi. Biasanya uji
bioekivalensi ini dilakukan untuk pada obat generik agar dapat dipastikan
apabila obat tersebut beredar di masyarakat memenuhi syarat bioekivalen.
Artinya, ketika seseorang mengkonsumsi suatu obat, baik yang berupa produk
orisinil maupun generiknya, maka pasien akan mendapat efek yang sama.
Studi bioekivalensi obat ini penting dilakukan karena pada kenyataannya, obat
tidak hanya terdiri dari zat berkhasiat saja, melainkan ditambahkan dengan
bahan-bahan lain, selain itu adnya perbedaan dalam proses pembuatan juga
akan mempengaruhi suatu obat sehingga pengujian ini harus dilakukan untuk
mengetahui apakah obat yang di buat memiliki khasiat yang sama dengan obat
standarnya.
Bioavailabilitas atau ketersediaan hayati yaitu jumlah dan kecepatan zat
aktif obat tersebut mencapai sirkulasi sistemik, jumlah obat diukur dari kadar
dalam darah atau urin dengan parameter farmakokinetik area under curve
(AUC) yaitu luas di bawah kurva obat terhadap waktu. Bioavailabilitas obat
dapat dinilai dengan menggunakan data darah maupun data urin, tergantung
pada tujuan studi, metode penetapan kadar obat maupun sifat produk obat
yang akan diuji. Istilah bioekuivalensi berhubungan dengan istilah
bioavailabilitas, yaitu suatu respon terapetik yang ditetapkan dari suatu produk
obat terhadap produk obat lainnya. Dua produk obat dikatakan bioekuivalensi
jika keduanya diberikan dengan dosis molar yang sama menghasilkan efek
terapetik yang sama.
Pengujian ini dilakukan dengan adanya objek percobaan yaitu manusia
(sukarelawan) diberikan obat uji dan obat standar dalam waktu yang tidak
bersamaan. Kemudian sampel darahnya di ambil dan di ukur. Selanjutnya,
hasil pengukuran dari kedua sampel yaitu obat uji dan obat standanya di
bandingkan. Apabila hasilnya sama maka obat uji tersebut dapat dinyatakan
bioekivalen dengan obat orisinilnya dan tentunya akan memberikan efek yang
sama saat digunakan.
Pada pengujian pertama dilakukan perhitungan BA absolut (F) suatu
sediaan obat berupa suspense oral (uji) konsentrasi zat aktif 50 mg/mL,
dibandingkan dengan intravena (standar) konsentrasi zat aktif 100 mg/mL
dmn dosis yang diberikan untuk suspense oral adalah 2 sendok teh sedangkan
dosis intravena adalah 2 mL. Pertama dilakukan perhitungan AUC pada
sediaan emulsi oral dan injeksi intravena. Selanjutnya dilakukan perhitungan
ln. dari data yang telah diperoleh dapat diketahui bioavailabilitas relatif
dengan melakukan perhitungan:
[ AUC uji ] dosis STD
Bioavaibilitas Relatif (Frel) = X x 100 %
[ AUCSTD ] dosisuji

Dan didapatkan BA obat yang diujikan adalah 80,18% hasil ini masih
cukup baik karena ketersediaan dalam darah masih tinggi. Persyaratan yang
ditentukan untuk bioavailabilitas relatif sesuai literatur yaitu Frel dapat lebih
dari 100%.
Pengujian selanjutnya dilakukan uji bioekivalensi terhadap 3 kapsul uji
yang dibandingkan dengan standarnya, uji ini dilakukan untuk memastikan
obat yang di ujikan memiliki efek yang sama dengan obat standarnya.
Pengujian ini dilakukan terhadap 8 orang sukarelawan yang di berikan obat uji
dan obat standar pada waktu yang tidak bersamaan kemudian di ambil sampel
nya dan di ukur kadarnya. Analisis dilakukan dengan perhitungan AUC obat
uji dan obat standar dari setiap sukarelawan, kemudian di hitung nilai F nya, F
menyatakan nilai kadar obat yang diabsorpsi dengan melakukan perhitungan:
[ AUC uji] dosis iv
Bioavaibilitas absolut (FABS) = X x 100 %
[ AUCiv ] dosis uji
Nilai FABS yang baik suatu obat adalah berada pada rentang 0-100% ,
didapatkan nilai FABS rata-rata untuk kapsul A adalah 35,6%, kapsul B adalah
41,2% , kapsul C adalah 26,1%. Maka dapat disimpulkan bawa ketiga kapsul
ini memenuhi kriteria FABS yang baik karena hasil ketiganya menunjukan
rentang 0-100%.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati suatu obat
atau diantaranya adalah:
a. Faktor Pengelola Obat
Pengelolaan persediaan merupakan suatu aktivitas
mempertahankan jumlah persediaan pada tingkat yang dikehendaki.
Pengelolaan persediaan yang baik merupakan salah satu faktor
keberhasilan suatu perusahaan untuk melayani kebutuhan konsumen
dalam menghasilkan suatu produk layanan yang berkualitas dan tepat
waktu. Permasalahan tidak tepatnya waktu kedatangan barang yang telah
dijadwalkan dapat membuat suatu kepanikan apabila stok persediaan
habis, sebaliknya kelebihan persediaan menimbulkan biaya tambahan
seperti biaya keamanan, biaya gudang, resiko penyusutan yang kerap kali
kurang diperhatikan pihak manajemen (Dwiningsih, 2007).
Adapun siklus manajemen obat sebagai berikut:
1. Selection (seleksi)
Selection merupakan proses di mana menetapkan jenis sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan sesuai dengan yang ada di e-catalog. Tujuan utama proses
seleksi adalah untuk menghindari obat yang tidak memiliki nilai
terapetik, mengurangi jumlah dan jenis obat serta meningkatkan
efisiensi obat yang tersedia (Quick et all, 2012).
2. Procurement (Perencanaan dan Pengadaan)
Procurement merupakan proses yang terdiri dari perencanaan dan
pengadaan perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan
anggaran dari rumah sakit. Perencanaan digunakan untuk
menentukan jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan
pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat
jumlah, tepat waktu dan efisien (Armen dan Azwar, 2013).
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan harus menjamin
ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang
terjangkau dan sesuai standar mutu. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai antara lain:

- Bahan baku obat harus disertai sertifikat analisa.


- Bahan berbahaya harus menyertakan material safety data sheet
(MSDS).
- Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
harus mempunyai nomor izin edar.
- Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai tertentu
(vaksin, reagensia, dan lain-lain) (Permenkes, 2014).
3. Distribution (Distribusi)
Tahap distribusi yang diutamakan adalah obat sampai ke pengguna
tepat waktu, tepat indikasi dan harga terjangkau. Tahap distiribusi
merupakan tahapan dari siklus manajemen obat yang sangat penting
dan kompleks, bahkan pada proses penyimpanan dan distribusi dapat
menghabiskan komponen biaya yang signifikan dalam anggaran
kesehatan. Oleh karena itu dalam memilih sistem distribusi harus
dipilih dan disesuaikan dengan kondisi yang ada sehingga pelayanan
obat dapat dilaksanakan secara tepat guna dan berhasil guna (Quick
et al, 2012).
4. Use (Penggunaan)
Penggunaan obat adalah suatu tahap lanjut distribusi yang
mencakup masalah pemakaian obat. Dalam penggunaan obat,
masalah yang sering muncul adalah penggunaan obat yang tidak
rasional. Penggunaan obat yang tidak rasional adalah penggunaan
obat yang tidak memenuhi kriteria tepat indikasi, tepat penderita,
tepat obat, tepat dosis dan waspada terhadap efek samping obat. Pada
penggunaan obat tidak rasional ini akan mengakibatkan dampak yang
negatif baik secara medis, ekonomis maupun sosial (Depkes, 2008).
b. Faktor Dokter
Menurut Prawitasari (2001), Jumlah obat yang terbatas/tidak
mencukupi, obat-obat kadaluarsa dan tersedianya obat yang tidak tepat/
sesuai. Inefeisensi dalam sistem tersebut menimbulkan ketidak percayaan
oleh dokter dan pasien. Padahal pasien membutuhkan pengobatan dan
dokter harus memberikan obat apa yang tersedia, walaupun obat yang
tersedia tersebut tidak tepat indikasi. Faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi dokter dalam menuliskan resep. Pengetahuan dokter
tentang obat dapat mempengaruhi penulisan resep, dimana pengetahuan
didapat dari pendidikan dasar yang membetuk sikap. Faktor eksternal
seperti jumlah pasien yang banyak, atau tekanan untuk menuliskan resep
dari pasien atau salesmen obat/pabrik obat. Pemberian informasi
mengenai obat khususnya kepada dokter mempengaruhi penulisan resep,
hal ini berkaitan dengan pendidikan. Informasi dapat diberikan secara
aktif melalui pelayanan informasi obat atau pasif misalnya melalui
bulletin atau newsletter.
c. Faktor Pasien
Pengatahuan, kepercayaan pasien/masyarakat terhadapa mutu dari
suatu obat dapat mempengaruhi pasien dalam menggunakan obat dan
karena adanya interaksi pasien dengan dokter juga akan mempengaruhi
dokter dalam menuliskan resep (Prawitasari, 2001). Menurut Quick et al
(1997), antara lain supplier tidak dapat mengirimkan permintaan obat,
keterlambatan pengiriman obat ke rumah sakit, harga obat yang terlalu
mahal, praktisi medis memberikan/meresepkan obat yang tidak
diperlukan pasien atau pemberian beberapa obat untuk mengatasi masalah
medis yang seharusnya bisa diterapi oleh satu obat saja, dan pasien
meminta obat untuk keperluan lain atau tidak sesuai dengan kondisi medis
saat itu.

VII. KESIMPULAN
VII.1 Nilai Fabs rata-rata untuk kapsul A adalah 35,6%, kapsul B adalah
41,2% dan kapsul C adalah 26,1%. Ketiga kapsul ini memenuhi kriteria
Fabs yang baik karena hasil dari ketiganya menunjukan rentang 0-100%.
BA sediaan obat yang diujikan dengan standar didapatkan hasil yang
cukup baik karena ketersediaan dalam darah masih tinggi yaitu 80,18%.
VII.2 Uji bioavaibilitas dan bioekivalensi dapat dirancang untuk
memastikan suatu obat memiliki kualitas yang baik dan memiliki efek
yang sama sesuai dengan obat standarnya bila diberikan pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Armen, F., Azwar, V. 2013. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan Rumah Sakit.


Goyes Publishing: Yogyakarta.
BPOM RI. 2004. Pedoman Uji Bioekivalensi cetakan I. Badan pengawas obat dan
makan RI: Jakarta.
BPOM RI. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Badan Pengawas
Obat dan Makanan: Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Pebekalan Farmasi di Rumah Sakit.
Direktorat Jedral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Dwiningsih, N. 2007. Manajemen Persediaan. STEKPI: Jakarta

Permenkes RI. 2014. Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesia Case Base Goups
(INA-CBGs), Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27
tahun 2014. Menteri Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Prawitasari, D. 2001. Pengaruh Ketersediaan Obat terhadap Pola Penggunaan
Obat pada Lima Penyakit di Puskesmas Kota Palangkaraya. Universitas
Gajah Mada: Yogyakarta.
Shargel, L. dan B.C. Andrew. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan.
Airlangga University Press: Surabaya.
Stoklosa MJ, Ansel HC, 1991. Pharmaceutical Calcutations 9th. Lea & Febiger:
London.
Quick JD. Hume, M.L, Raukin J.R., Laing, RO., O’Conner RW. 1997. Managing
Drug Supply the Selection, Procurement, Distribution, and Use of
Pharmaceutical. Second edition. Revised and Expaded. Kumarian Press:
West Hartford.
Quick, JD. Hume, M.L, Raukin J.R., Laing, RO., O’Connor, R.W. 2012.
Managing Drug Supply, 2nd, Revised and Expanded. Kumarin Press: West
Hartford.

Anda mungkin juga menyukai