Anda di halaman 1dari 54

PORTOFOLIO

FORMULASI SEDIAAN GEL ASAM SALISILAT (ANTISEPTIK)

NAMA KELOMPOK :

1. CATRINE DHARMAYU PRASETIA


2. DIONISIUS DANGGAR
3. FRIDOLINA SOI
4. LUDGERUS RIKARDUS NGGUDI
5. MARIA TRIVONIA FLORIBELA
6. RIZKY FATMA SOFYANI
7. TAUCHITUL ALFIAH
8. WINDY FEBRIANTI RA

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


AKADEMI FARMASI PUTRA INDONESIA MALANG
JUNI 2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK), perkembangan di dunia farmasi juga tidak ketinggalan. Hal ini
berbanding lurus dengan perkembangan penyakit di kalangan masyarakat.
Semakin hari semakin banyak ragam dan jenis penyakit yang muncul . Misalnya
gangguan kesehatan pada kulit, gangauan ini terjadi karena adanya
mikroorganisme, jamur, bakteri, virus dan kuman ,salah satunya yaitu luka. Luka
adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit menurut
(Taylor, 1997). Menurut (Kozier, 1995), Luka adalah kerusakan
kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh
lain.
Luka pada kulit bisa terinfeksi akibat adanya mikroorganisme dan kuman.
Untuk meminimalisir terjadinya infeksi pada kulit, maka seorang ahli farmasi
harus bisa menyediakan penawar atau obatnya. Perkembangan metode
pengobatan juga terus di kembangkan. Begitupun sediaan obat, berbagai macam
bentuk sediaan obat, baik itu liquid, solid dan semisolid telah dikembangkan oleh
ahli farmasi dan industry farmasi.
Banyak sekali sediaan semisolid yang kita jumpai dewasa ini di masyarakat.
Sediaan semisolid digunakan untuk pemakaian luar seperti krim, salep, gel, pasta
dan suppositoria yang digunakan melalui rektum. Kelebihan dari sediaan
semisolid yaitu praktis, mudah dibawa, mudah dipakai, mudah pada
pengabsorbsiannya. Juga untuk memberikan perlindungan pengobatan terhadap
kulit. Berbagai macam bentuk sediaan semisolid memiliki kekurangan, salah
satu diantaranya yaitu mudah di tumbuhi mikroba. Untuk meminimalisir
kekurangan tersebut, para ahli farmasis harus bisa memformulasikan dan
memproduksi sediaan secara tepat.
Dengan demikian, untuk mencapai tujuan itu kami harus mengetahui
langkah-langkah yang tepat untuk meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan.
Dengan cara melakukan evaluasi, menentukan formulasi dan memperhatikan
konsentrasi serta karakteristik bahan yang digunakan dan dikombinasikan dengan
baik dan benar. Hal ini dilakukan untuk lebih meningkatkan kinerja kerja dari
obat yang di berikan kepada masyrakat agar lebih cepat mendapatkan efek terapi.
Praktikum kali ini kami akan membuat sediaan gel dengan bahan dasar Asam
Salisilat yang berkhasiat sebagai antiseptik. Telah diiketahui bahwa penggunaan
Asam salisilat pada konsentrasi tertentu dapat memberikan efek Bakteriostatik dan
efek Fungistatik. Pada efek bakteriostatik lemah, Asam salisilat dapat mematikan
bakteri-bakteri terutama terhadap golongan (Streptococcus spp., Staphylococcus
spp., Escherechia coli, dan Pseudomonas aeruginosa). Selain itu pada efek
Fungistatik ringan, Kepustakaan menyebutkan bahwa Asam salisilat dapat
mematikan atau membasmi jamur pada pemakaian topikal yang dapat diamati pada
(Trichophyton spp. dan Candida spp.) Efek ini diamati pada konsentrasi rendah
2-3g/l (<1%). Sehingga kami mengambil Asam salisilat sebagai bahan dasar
pembuatan sediaan gel yang memiliki khasiat utama yaitu sebagai Antiseptik.
Penggunaan sediaan ini yaitu pemakaian luar atau secara topikal pada jaringan
tubuh yang mengalami kerusakan yaitu luka. Pemakaian ini bertujuan untuk
menghambat atau membunuh perkembangan bakteri, mikroorganisme patogen,
virus maupun jamur pada jaringan tubuh yang terluka

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
1. Mengetahui langkah-langkah cara pembuatan sediaan gel yang baik
dan benar
2. Mengetahui uji bahan aktif dan evaluasi bahan
3. Mengetahui kriteria gel yang baik
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mampu menentukan bahan -bahan yang di gunakan untuk membuat
formulasi gel
2. Mampu mengetahui karakteristik sifat formulasi gel
3. Mampu menguji bahan aktif dan evaluasi bahan
1.3 Manfaat

1.3.1Bagi Konsumen
1. Gel yang telah dibuat dapat digunakan oleh masyarakat sebagai
pengobatan, kususnya luka.
2. Konsumen dapat memperoleh sediaan asam salisilat yang
memenuhi standart
1.3.2 Bagi Industri
Industri dapat memproduksi sediaan dengan prosedur/persyaratan yang
berlaku
1.3.3 Bagi Praktikan
Mahasiswa dapat membuat sediaan asam salisilat yang sesuai dengan
standart
1.3.4 Bagi Institusi Pendidikan
1. Sebagai wadah bagi mahasiswa dalam pembuatan sediaan gel
2. Institusi mampu memperoleh gel dengan zat aktif asam salisilat yang
sesuai dengan standart
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Penyakit


2.1.1 Pengertian Luka
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit
(Taylor,1997). Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa
membran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozier, 1995). Ketika luka
timbul, beberapa efek akan muncul :
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel
2.1.2 Jenis-Jenis Luka
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan
luka itu dan menunjukkan derajat luka (Taylor, 1997).
1. Berdasarkan tingkat kontaminasi
a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak
terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem
pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih
biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan
drainase tertutup (misal; Jackson Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi
luka sekitar 1% - 5%.
b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan
luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau
perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi,
kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.
c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka,
fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar
dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini
juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.
Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu
terdapatnya mikroorganisme pada luka.
2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a. Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) yaitu luka
yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b. Stadium II : Luka Partial Thickness yaitu hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial
dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
c. Stadium III : Luka Full Thickness yaitu hilangnya kulit
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat
meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya.
Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak
mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam
dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d. Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
3 Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a. Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan
konsep penyembuhan yang telah disepakati.

Gambat luka akut


b. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses
penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
Gambat luka kronis
2.1.3 Mekanisme terjadinya luka :
1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen
atau benda yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih
(aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang
luka diikat (Ligasi).
2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan
dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan
benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru
atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh
kaca atau oleh kawat.
6. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus
organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil
tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
7. Luka Bakar (Combustio)
2.1.4 Penyembuhan Luka
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan
memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,
membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian
dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa
bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung
proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari
kotoran dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan
penyembuhan jaringan (Taylor, 1997).
1. Prinsip Penyembuhan Luka
Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka menurut Taylor (1997) yaitu:
(a) Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan
dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan
tiap orang,
(b) Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga,
(c) Respon tubuh secara sistemik pada trauma,
(d) Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka,
(e) Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis
pertama untuk mempertahankan diri dari mikroorganisme, dan
(f) Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda
asing tubuh termasuk bakteri.
2. Fase Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah suatu kualitas dari kehidupan jaringan
hal ini juga berhubungan dengan regenerasi jaringan. Fase penyembuhan luka
digambarkan seperti yang terjadi pada luka pembedahan (Kozier,1995).
Menurut Kozier, 1995
a. Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 4 hari. Dua proses utama
terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan pagositosis. Hemostasis
(penghentian
perdarahan) akibat fase konstriksi pembuluh darah besar di daerah
luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan)
dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh
platelet yang menyiapkan matrik fibrin yang menjadi kerangka bagi
pengambilan sel. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka.
Bekuan dan jaringan mati, scab membantu
hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh
mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel
berpindah dari luka ke tepi. Epitelial sel
membantu sebagai barier antara tubuh
dengan lingkungan dan mencegah masuknya
mikroorganisme.
Fase inflamatori juga memerlukan
pembuluh darah dan respon seluler digunakan untuk mengangkat
benda-benda asing dan jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke
jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang diperlukan pada
proses penyembuhan. Pada akhirnya
daerah luka tampak merah dan sedikit
bengkak. Selama sel berpindah lekosit
(terutama neutropil) berpindah ke daerah
interstitial. Tempat ini ditempati oleh
makrofag yang keluar dari monosit
selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka.
Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel
debris melalui proses yang disebut
pagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF)
yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah.
Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan.
Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan
b. Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah
pembedahan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah
ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali dengan
mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari
setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah
tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah
kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka.
Selama waktu itu sebuah lapisan penyembuhan nampak dibawah garis irisan
luka.
Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang
memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.
Fibroblast berpindah dari pembuluh darah ke luka membawa fibrin.
Seiring perkembangan kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah.
Jaringan ini disebut granulasi jaringan yang lunak dan mudah pecah.
c. Fase Maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah
pembedahan. Fibroblast terus mensintesis kolagen. Kolagen menjalin
dirinya, menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka
menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih.
Menurut Taylor (1997):
a. Fase Inflamatory
Fase inflammatory dimulai setelah pembedahan dan berakhir hari
ke 34 pasca operasi. Dua tahap dalam fase ini adalah Hemostasis dan
Pagositosis. Sebagai tekanan yang besar, luka
menimbulkan lokal adaptasi sindrom. Sebagai hasil
adanya suatu konstriksi pembuluh darah, berakibat
pembekuan darah untuk menutupi luka. Diikuti
vasodilatasi menyebabkan peningkatan aliran
darah ke daerah luka yang dibatasi oleh sel darah
putih untuk menyerang luka dan menghancurkan
bakteri dan debris. Lebih kurang 24 jam
setelah luka sebagian besar sel fagosit (
makrofag) masuk ke daerah luka dan mengeluarkan faktor angiogenesis
yang merangsang pembentukan anak epitel pada akhir pembuluh luka sehingga
pembentukan kembali dapat terjadi.
b. Fase Proliferative
Dimulai pada hari ke 3 atau 4 dan berakhir pada hari ke-21. Fibroblast secara
cepat mensintesis kolagen dan substansi dasar. Dua substansi ini membentuk
lapis-lapis perbaikan luka. Sebuah lapisan tipis dari sel epitel terbentuk melintasi
luka dan aliran darah ada didalamnya, sekarang pembuluh kapiler melintasi luka
(kapilarisasi tumbuh). Jaringan baru ini disebut granulasi jaringan,
adanya pembuluh darah, kemerahan dan mudah berdarah.
c. Fase Maturasi
Fase akhir dari penyembuhan, dimulai hari ke-21 dan dapat berlanjut selama
12 tahun setelah luka. Kollagen yang ditimbun dalam luka diubah,
membuat penyembuhan luka lebih kuat dan lebih mirip jaringan.
Kollagen baru menyatu, menekan pembuluh darah dalam penyembuhan
luka, sehingga bekas luka menjadi rata, tipis dan garis putih.
Menurut Potter (1998):
a. Devensive / Tahap Inflamatory
Dimulai ketika sejak integritas kulit rusak/terganggu dan berlanjut hingga 4-6
hari. Tahap ini terbagi atas Homeostasis, Respon inflamatori, Tibanya
sel darah putih di luka. Hemostasis adalah kondisi dimana terjadi konstriksi
pembuluh darah, membawa platelet menghentikan perdarahan. Bekuan
membentuk sebuah matriks fibrin yang mencegah masuknya organisme
infeksius. Respon inflammatory adalah saat terjadi peningkatan aliran darah
pada luka dan permeabilitas vaskuler plasma menyebabkan kemerahan dan
bengkak pada lokasi luka. Sampainya sel darah putih di luka melalui suatu
proses, neutrophils membunuh bakteri dan debris yang kemudian mati
dalam beberapa hari dan meninggalkan eksudat yang menyerang bakteri
dan membantu perbaikan jaringan. Monosit menjadi makrofag, selanjutnya
makrofag membersihkan sel dari debris oleh pagositosis, Meningkatkan
perbaikan luka dengan mengembalikan asam amino normal dan glukose . Epitelial
sel bergerak dari dalam ke tepi luka selama lebih kurang 48 jam.
b. Reconstruksion / Tahap Prolifrasi
Penutupan dimulai hari ke-3 atau ke-4 dari tahap defensive dan berlanjut
selama 23 minggu. Fibroblast berfungsi membantu sintesis vitamin B dan C, dan
asam amino pada jaringan kollagen. Kollagen menyiapkan struktur, kekuatan dan
integritas luka. Epitelial sel memisahkan sel-sel yang rusak.
c. Tahap Maturasi
Tahap akhir penyembuhan luka berlanjut selama 1 tahun atau
lebih hingga bekas luka merekat kuat.

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Luka


1. Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang
tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati
dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.
2. Nutrisi

Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien


memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A,
dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu
untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika
mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan
penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat.
3. Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.
4. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka.
Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang
memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan
luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah
infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada
orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer,
hipertensi atau diabetes millitus.
Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan
pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan
mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan
nutrisi untuk penyembuhan luka.
5. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara
bertahap
diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang
besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh,
sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
6. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan
terbentuknya
suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari
serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang
membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (Pus).
7. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah
pada
bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat
terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi
akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu
sendiri.
8. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula
darah,
nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi
penurunan protein-kalori tubuh.
9. Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas
penyembuhan
luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.
10. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti
neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik
yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.
a. Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap
cedera
b. Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
c. Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk
bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka
pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.

2.1.6 Komplikasi Penyembuhan Luka


Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehiscence dan
eviscerasi.
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan
atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 27
hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent,
peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka,
peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit
membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah
oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada
tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus
sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam
setelah itu.Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan
balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan
intervensi pembedahan mungkin diperlukan.
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling
serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi
adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor
meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk
menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi
resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 5 hari
setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka. Ketika
dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan
balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien
disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.
2.1.7 Perkembangan Perawatan Luka
Profesional perawat percaya bahwa penyembuhan luka yang
terbaik adalah dengan membuat lingkungan luka tetap kering (Potter.P, 1998).
Perkembangan perawatan luka sejak tahun 1940 hingga tahun 1970, tiga peneliti
telah memulai tentang perawatan luka. Hasilnya menunjukkan bahwa lingkungan
yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Winter (1962) mengatakan
bahwa laju epitelisasi luka yang ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat dari pada
luka yang dibiarkan kering. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
migrasi epidermal pada luka superficial lebih cepat pada suasana
lembab daripada kering, dan ini merangsang perkembangan balutan luka
modern ( Potter. P, 1998). Perawatan luka lembab tidak meningkatkan infeksi.
Pada kenyataannya tingkat infeksi pada semua jenis balutan le:mbab
adalah 2,5 %, lebih baik dibanding 9 % pada balutan kering (Thompson. J, 2000).
Rowel (1970) menunjukkan bahwa lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel
epitel ke pusat luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat
sembuh. Konsep penyembuhan luka dengan teknik lembab ini merubah
penatalaksanaan luka dan memberikan rangsangan bagi perkembangan balutan
lembab ( Potter. P, 1998).
Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan tidak hanya berdasarkan
kebiasaan, melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis
luka. Penggunaan antiseptik hanya untuk yang memerlukan saja karena
efek toksinnya terhadap sel sehat. Untuk membersihkan luka hanya
memakai normal saline (Dewi, 1999). Citotoxic agent seperti
povidine iodine, asam asetat, seharusnya tidak secara sering digunakan untuk
membersihkan luka karena dapat menghambat penyembuhan dan
mencegah reepitelisasi. Luka dengan sedikit debris dipermukaannya dapat
dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan sodium klorida dan tidak terlalu
banyak manipulasi gerakan. (Walker. D, 1996) Tepi luka seharusnya bersih,
berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi luka. Tepi luka ditandai dengan
kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu minggu. Kulit menjadi
tertutup hingga normal dan tepi luka menyatu.
Perawat dapat menduga tanda dari penyembuhan luka bedah insisi :
1. Tidak ada perdarahan dan munculnya tepi bekuan di tepi luka.
2. Tepi luka akan didekatkan dan dijepit oleh fibrin dalam bekuan
selama satu atau beberapa jam setelah pembedahan ditutup.
3. Inflamasi (kemerahan dan bengkak) pada tepi luka selama 1 3 hari.
4. Penurunan inflamasi ketika bekuan mengecil.
5. Jaringan granulasi mulai mempertemukan daerah luka. Luka bertemu
dan menutup selama 7 10 hari. Peningkatan inflamasi digabungkan
dengan panas dan drainase mengindikasikan infeksi luka. Tepi luka tampak
meradang dan bengkak.
6. Pembentukan bekas luka.
7. Pembentukan kollagen mulai 4 hari setelah perlukan dan berlanjut sampai 6
bulan atau lebih.
8. Pengecilan ukuran bekas luka lebih satu periode atau setahun. Peningkatan
ukuran bekas luka menunjukkan pembentukan kelloid.
2.1.8 Tujuan Perawatan Luka
1. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
2. Absorbsi drainase
3. Menekan dan imobilisasi luka
4. Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
5. Mencegah luka dari kontaminasi bakteri
6. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
7. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien

2.1.9 Bahan yang Digunakan dalam Perawatan Luka


1. Sodium Klorida 0,9 %
Sodium klorida adalah larutan fisiologis yang ada di seluruh tubuh karena
alasan ini tidak ada reaksi hipersensitivitas dari sodium klorida. Normal saline
aman digunakan untuk kondisi apapun (Lilley & Aucker, 1999). Sodium
klorida atau natrium klorida mempunyai Na dan Cl yang sama seperti
plasma. Larutan ini tidak mempengaruhi sel darah merah (Handerson, 1992).
Sodium klorida tersedia dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering
adalah sodium klorida 0,9 %. Ini adalah konsentrasi normal dari
sodium klorida dan untuk alasan ini sodium klorida disebut juga normal saline
(Lilley & Aucker, 1999). Merupakan larutan isotonis aman untuk tubuh, tidak
iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga kelembaban
sekitar luka dan membantu luka menjalani proses penyembuhan serta mudah
didapat dan harga relatif lebih murah (http://rpromise.com/woundcare/)
2. Larutan povodine-iodine.
Iodine adalah element non metalik yang tersedia dalam bentuk
garam yang dikombinasi dengan bahan lain Walaupun iodine bahan
non metalik iodine berwarna hitam kebiru-biruan, kilau metalik dan bau yang
khas. Iodine hanya larut sedikit di air, tetapi dapat larut secara keseluruhan
dalam alkohol dan larutan sodium iodide encer. Iodide tinture dan
solution keduanya aktif melawan spora tergantung konsentrasi dan
waktu pelaksanaan (Lilley & Aucker, 1999).
Larutan ini akan melepaskan iodium anorganik bila kontak dengan kulit
atau selaput lendir sehingga cocok untuk luka kotor dan terinfeksi bakteri
gram positif dan negatif, spora, jamur, dan protozoa. Bahan ini agak
iritan dan alergen serta meninggalkan residu (Sodikin, 2002). Studi
menunjukan bahwa antiseptik seperti povodine iodine toxic terhadap sel
(Thompson. J, 2000). Iodine dengan konsentrasi > 3 % dapat memberi
rasa panas pada kulit. Rasa terbakar akan nampak dengan iodine ketika
daerah yang dirawat ditutup dengan balutan oklusif kulit dapat ternoda dan
menyebabkan iritasi dan nyeri pada sisi luka. (Lilley & Aucker, 1999).

2.2 Tinjauan zat aktif


Asam salisilat telah digunakan sebagai bahan terapi topikal sejak lebih dari
2000 tahun yang lalu. Dalam bidang dermatologi, asam salisilat telah lama dikenal
dengan khasiat utama sebagai bahan keratolitik. Hingga saat ini asam salisilat
masih digunakan dalam terapi veruka, kalus, psoriasis, der-matitis seboroik pada
kulit kepala, dan iktiosis. Penggu-naannya semakin berkembang sebagai bahan
peeling dalam terapi penuaan kulit, melasma, hiperpigmentasi pasca-inflamasi,
dan akne. Di Amerika Serikat, berbagai sediaan mengandung preparat asam
salisilat dalam konsentrasi 1-40%. Penggu-naan asam salisilat topikal relatif aman.
Efek samping lokal yang sering dijumpai pada penggunaan asam salisilat adalah
dermatitis kontak. Beberapa kepustakaan melaporkan adanya toksisitas sistemik
akibat absorpsi perkutan. Toksi-sitas asam salisilat, meskipun jarang, dapat
menimbulkan komplikasi yang serius. Farmakologi Asam Salisilat Topikal
2.2.1 Sifat Kimia
Asam salisilat, dikenal juga dengan 2-hydroxy-benzoic acid atau
orthohydrobenzoic acid, memiliki struktur kimia C7H6O3. Asam salisilat
memiliki pKa. Asam salisilat dapat diekstraksi dari pohon willow bark, daun
wintergreen, spearmint, dan sweet birch. Saat ini asam salisilat telah dapat
diproduksi secara sintetik. Bentuk makroskopik asam salisilat berupa bubuk kristal
putih dengan rasa manis, tidak berbau, dan stabil pada udara bebas. Bubuk asam
salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah larut dalam lemak. Sifat lipofilik
asam salisilat membuat efek klinisnya terbatas pada lapisan epidermis.
2.2.2 Manfaat dan Mekanisme Kerja Asam Salisilat Topikal
a. Efek Keratolitik dan Desmolitik
Asam salisilat telah digunakan secara luas dalam terapi topikal sebagai bahan
keratolitik. Zat ini merupakan bahan keratolitik tertua yang digunakan sejak 1874.
Berbagai penelitian menyimpulkan terdapat tiga faktor yang berperan penting pada
mekanisme keratolitik asam salisilat, yaitu menurunkan ikatan korneosit,
melarutkan semen interselular, dan melonggarkan serta mendisintegrasi korneosit.
Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organik dan meng-hilangkan ikatan
kovalen lipid interselular yang berikatan dengan cornified envelope di sekitar
keratinosit. Meka-nisme kerja zat ini adalah pemecahan struktur desmosom yang
menyebabkan disintegrasi ikatan antar sel korneosit. Terminologi desmolitik lebih
menggambarkan mekanisme kerja asam salisilat topikal. Efek desmolitik asam
salisilat meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi. Asam salisilat topikal
dalam konsentrasi yang lebih besar (20-60%), menimbulkan destruksi pada
jaringan sehingga kerap digunakan pada terapi veruka dan kalus. Pengelupasan
secara mekanik dapat meningkatkan efektivitas kerja asam salisilat topikal.
Pasien dapat diedukasi untuk mengusap kulit dengan spon halus atau handuk basah
saat mandi. Pada terapi kalus, pengelupasan dapat pula dilakukan dengan bantuan
sikat.Bantuan mekanik ini akan menyebabkan pengelupasan yang adekuat setelah
kulitdiberikan asam salisilat topikal selama beberapa hari.
b. Efek Keratoplastik
Pada konsentrasi 0,5-2%, asam salisilat memiliki stabi-lisasi stratum korneum
yang menyebabkan efek kerato-plastik. Mekanisme belum diketahui secara pasti,
namun hal tersebut diduga merupakan fenomena adaptasi homeo-patik, yaitu asam
salisilat menyebabkan rangsangan kera-tolitik lemah yang menyebabkan
peningkatan keratinisasi.
c. Efek Anti-Pruritus
Asam salisilat memiliki efek anti-pruritus ringan. Efek ini dapat diamati pada
konsentrasi 1-2%. Mekanisme kerja asam salisilat sebagai antipruritus belum
diketahui secara pasti.
d. Efek Anti-Inflamasi
Sediaan asam salisilat telah lama diketahui memiliki khasiat anti-inflamasi.
Sebagaimana diketahui, aspirin (asam asetil salisilat) telah digunakan secara luas
sebagai analgesik, anti-piretik, dan anti-inflamasi sistemik. Asam salisilat
menghambat biosistesis prostaglandin11 dan memiliki efek anti-inflamasi pada
sediaan topikal dengan konsentrasi 0,5-5%.
e. Efek Analgetik
Asam salisilat digunakan pula sebagai bahan analge-sia. Metil salisilat topikal
(sebagai contoh: minyak gandapura) memiliki sifat sebagai counter irritant ringan.
Zat ini kerap dikombinasikan dengan mentol sebagai sediaan topikal yang
digunakan dalam pengobatan nyeri pada otot dan persen-dian.
f. Efek Bakteriostatik dan Disinfektan
Efek bakteriostatik lemah. Asam salisilat tampak terutama terhadap golongan
Streptococcus spp., Staphylococcus spp., Escherechia coli, dan Pseudomonas
aeruginosa. Solusio asam salisilat 1:1000 dapat digunakan sebagai kompres pada
luka. Solusio asam salisilat 1:1000 lebih nyaman digunakan dari solusio
permanganas kalikus maupun rivanol, karena tidak mengotori pakaian atau
mewarnai kulit.
g. Efek Fungistatik
Kepustakaan menyebutkan efek fungistatik ringan. Asam salisilat topikal
dapat diamati terhadap Trichophyton spp. dan Candida spp. Efek ini diamati pada
konsentrasi rendah 2-3g/l (<1%). Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan
kemungkinan efek desmolitik asam salisilat yang membantu penyembuhan infeksi
jamur superfisial, bukan efek fungis-tatik langsung.
h. Efek Tabir Surya
Asam salisilat dan turunannya dapat bekerja sebagai tabir surya. Mekanisme
efek tabir surya kimiawi tersebut melalui transformasi cincin benzen aromatik
pada pajaran ul-traviolet (UV). Selain itu, asam salisilat juga memiliki efek
absorpsi sinar ultraviolet B (UVB) terutama pada gelombang 300-310 nm. Pada
psoriasis, penggunaan asam salisilat topikal yang tidak dibersihkan sebelum
fototerapi dapat mempe-ngaruhi hasil terapi. Sebagai tabir surya kimiawi, asam
salisilat diklasifikasikan dalam golongan non-PABA (para amino benzoic acid).
Daya proteksi asam salisilat sebagai tabir surya lebih rendah 40% bila
dibandingkan golongan PABA.
2.2.3 Penggunaan Klinis Asam Salisilat Topikal
a. Psoriasis
Asam salisilat merupakan bahan tradisional yang digunakan pada terapi
psoriasis. Zat tersebut kerap dikom-binasikan dengan ter maupun sulfur dalam
vehikulum vaselin. Asam salisilat sering dikombinasikan dengan sediaan antralin
untuk mencegah oksidasi. Efek desmolitik asam salisilat terbukti meningkatkan
penetrasi kortikosteroid topikal. Pengobatan bertahap dilakukan menggunakan
mometason furoat 0,1% dan asam salisilat 5% selama 7 hari, dilanjutkan dengan
mometason furoat 0,1% saja selama 14 hari. Pende-katan pertama lebih efektif
mengeliminasi lesi psoriasi dibandingkan dengan aplikasi mometason furoat 0,1%
saja. Penggunaan kombinasi asam salisilat dan betametason dipropionat sama
efektif dengan salap kalsipotriol dalam mengobati psoriasis kuku selama 3 bulan
terapi.
b. Dermatitis Seboroik dan Psoriasis pada Skalp
Gatal dan skuama pada kepala dapat ditemukan sebagai manifestasi klinis
pada pasien dermatitis seboroik dan pso-riasis. Berbagai sampo terapeutik
mengandung asam salisilat 2-3%, serta kombinasi sulfur dan ter. Sampo tersebut
cukup efektif dalam mengatasi psoriasis pada skalp dan dermatitis seboroik yang
bermanifestasi sebagai seborrhea capitis sicca dan cradle cap.
c. Iktiosis
Iktiosis merupakan penyakit gangguan keratinisasi akibat kelainan genetik
yang bermanifestasi kulit kering dengan skuama yang berlebihan. Tata laksana
iktiosis kerap kali kurang memuaskan. Terapi bertujuan mengurangi manifestasi
klinis penyakit ini melalui efek hidrasi, lubrikasi, dan keratolitik.28 Preparat asam
salisilat 3-6% dalam vehikulum salap bermanfaat untuk mengeliminasi skuama
tebal pada iktiosis vulgaris, x-linked ichthyosis, iktiosis lamelar, dan
hiperkeratosis epidermolitik. Oklusi meningkatkan efektivitas terapi untuk
mencegah kejadian absorpsi dan toksisitas sistemik.
d. Hiperkeratosis Lokalisata dan Kalus
Asam salisilat 50% dalam sediaan plester maupun salap (10-50%)
dengan oklusi dapat digunakan untuk terapi kalus .3,9Asam salisilat 6% dalam
sediaan gel (1x/hari selama 2 minggu) terbukti cukup efektif mengatasi
hiperkeratosis lokalisata pada tumit, jari tangan, dan siku.
e. Veruka
Asam salisilat merupakan bahan terapi veruka yang terbukti efektif dan relatif
aman. Asam salisilat topikal merupakan terapi lini pertama pada veruka.
Efektivitas asam salisilat dalam terapi veruka berkaitan erat dengan efek
desmolitiknya. Selain itu, asam salisilat menyebabkan iritasi ringan pada kulit,
sehingga mampu menginduksi respons imun yang membantu mengeliminasi virus.
Sediaan asam salisilat topikal untuk terapi veruka bervariasi antara 10-60%.
Terdapat pula sediaan kombinasi dengan asam laktat maupun podofilin. Masa
terapi bervariasi sekitar 6-12 minggu. Bruggink melakukan uji klinis efektivitas
bedah beku N2 dibandingkan dengan preparat asam salisilat topikal 40% dalam gel
dan mendapatkan hasil terapi yang sama efektif antar keduanya
Uji klinis terapi veruka vulgaris antara kombinasi asam salisilat/ asam laktat
(setiap hari selama 3 minggu) dengan bedah beku (1x/minggu, selama 3 minggu),
memberikan hasil yang tidak berbeda secara bermakna dalam efektifitas
pengobatan. Uji kinis lainnya memperlihatkan kombinasi terapi bedah beku
ditambah terapi topikal asam salisilat dan asam laktat lebih baik daripada bedah
beku saja.
f. Moluskum Kontagiosum
Leslie meneliti penggunaan asam salisilat gel 12% (2x/ minggu) sebagai
terapi moluskum kontagiosum pada anak dan mendapatkan bahwa sediaan ini
cukup efektif diban-dingkan plasebo (alkohol 70%). Ohkuma meneliti penggunaan
povidon iodine 10% dilanjutkan dengan plester asam salisilat 50% (1x/hari) untuk
terapi moluskum kontagiosum. Kesembuhan total lesi dicapai dalam rata-rata 26
hari.
g. Dermatomikosis Superfisialis
Salap Whitfield yang mengandung asam salisilat 6% dan asam benzoat 12%
telah lama digunakan sebagai preparat terapi tinea. Konsentrasi asam salisilat dan
asam benzoat dapat diturunkan menjadi 3% dan 6% untuk mengurangi kejadian
iritasi, namun kini penggunaannya sudah digantikan oleh preparat yang lebih
efektif.3,9
h. Akne Vulgaris
Asam salisilat memiliki efek komedolitik ringan. Zat ini telah digunakan sejak
tahun 1950 dalam berbagai preparat terapi akne yang meliputi krim, pembersih
wajah, astringen, medicated pads, dan sabun.1,9 Di Amerika Serikat, konsentrasi
maksimal yang diperbolehkan dalam obat bebas adalah 2% dan digunakan paling
banyak pada pembersih wajah. Penggunaan asam salisilat topikal 30% sebagai
bahan peel-ing dalam terapi akne vulgaris semakin berkembang di Asia. Zat yang
bersifat lipofilik ini mampu berpenetrasi ke dalam unit pilosebaseus dan
memberikan efek komedolitik, meskipun tidak sekuat retinoid. Asam salisilat
topikal di-anggap cukup aman dan efektif dalam terapi akne. Zat ini kerap
digunakan sebagai terapi topikal alternatif pada pasien yang tidak dapat
menggunakan retinoid maupun benzoil peroksida, atau sebagai terapi tambahan
terhadap modalitas terapi lain yang lebih efektif.
i. Photoaging
Asam salisilat 14% merupakan salah satu bahan aktif dalam solusio Jessner
yang digunakan sebagai bahan peel-ing untuk mengatasi melasma, akne,
hiperpigmentasi, dan kerusakan kulit akibat sinar UV. Mekanisme asam salisilat
sebagai agen peeling kimiawi berkaitan dengan trauma pada epidermis yang
selanjutnya akan mengaktivasi sel basal epi-dermis dan fibroblas. Hal tersebut
menyebabkan efek regenerasi pada kulit yang rusak akibat sinar UV. Pada
konsentrasi yang lebih rendah, asam salisilat digunakan sebagai bahan eksfoliatif
untuk meningkatkan deskuamasi dan memperbaiki tampilan kulit menua.
2.2.4 Efek Samping Asam Salisilat Topikal
2.2.4.1 Absorpsi Sistemik
Secara umum penggunaan terapi topikal relatif lebih aman dan memiliki
efek samping minimal bila dibandingkan dengan rute pemberian sistemik, namun
terapi topikal memiliki potensi toksisitas sistemik, efek teratogenik, dan interaksi
obat akibat absorpsi sistemik yang harus diwaspadai. Penggunaan asam salisilat
pada area yang luas dapat men-capai sirkulasi sistemik dalam jumlah yang
signifikan. Asam salisilat diabsorpsi secara cepat karena sifatnya yang cenderung
lipofilik, terutama bila diberikan dalam vehikulum minyak atau salap dengan atau
tanpa oklusi. Bioavailibilitas absopsi asam salisilat melalui kulit bervariasi antara
11,8%-30,7%. Asam salisilat yang diberikan secara topikal tidak melalui
metabolisme awal di hati, sehingga tidak mengalami penurunan signifikan jumlah
zat aktif sebelum bekerja. Hal inilah yang menyebabkan asam salisilat relatif aman
bila diberikan secara oral, namun dapat memberikan manifestasi gejala kelainan
saraf pusat akibat toksisitas pada pemberian secara topikal dalam dosis yang sama.
Batas maksimal pemberian asam salisilat adalah 2g/24 jam. Kerusakan sawar yang
terjadi pada iktiosis menyebabkan klinisi harus berhati-hati dalam memberikan
asam salisilat pada area yang luas, terutama pada anak. Pemberian asam salisilat
sebaiknya diprioritaskan pada area yang tebal.
2.3 Tinjauan Sediaan
2.3.1 Definisi Gel
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, gel kadang-kadang disebut jeli,
merupakan sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel
anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu
cairan.
Menurut Formularium Nasional, gel adalah sediaan bermassa lembek, berupa
suspensi yang dibuat dari zarah kecil senyawa anorganik atau makromolekul
senyawa organik, masing-masing terbungkus dan saling terserap oleh cairan.
Menurut Ansel, gel didefinisikan sebagai suatu system setengah padat yang terdiri
dari suatu disperse yang tersusun baik dari partikel anorganik yang terkecil atau
molekul organic yang besar dan saling diresapi cairan.

2.3.2 Penggolongan Gel


Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV penggolongan sediaan gel dibagi
menjadi dua yaitu:
1. Gel sistem dua fase
Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar ,
massa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai magma misalnya magma bentonit.
Baik gel maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semipadat jika
dibiarkan dan menjadi cair pada pengocokan.Sediaan harus dikocok dahulu
sebelum digunakan untuk menjamin homogenitas.
2. Gel sistem fase tunggal
Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar sama dalam
suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro
yang terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul
sintetik misalnya karboner atau dari gom alam misanya tragakan.
2.3.3 Keuntungan dan Kekurangan Gel
Keuntungan dan kerugian menurut Lachman, 1994 :
1. Keuntungan sediaan gel
Untuk hidrogel: efek pendinginan pada kulit saat digunakan, penampilan
sediaan yang jernih dan elegan, pada pemakaian di kulit setelah kering
meninggalkan film tembus pandang, elastis, mudah dicuci dengan air, pelepasan
obatnya baik, kemampuan penyebarannya pada kulit baik.
2. Kekurangan sediaan gel
Untuk hidrogel: harus menggunakan zat aktif yang larut di dalam air sehingga
diperlukan penggunaan peningkat kelarutan seperti surfaktan agar gel tetap jernih
pada berbagai perubahan temperatur, tetapi gel tersebut sangat mudah dicuci atau
hilang ketika berkeringat, kandungan surfaktan yang tinggi dapat menyebabkan
iritasi dan harga lebih mahal.
2.3.4 Kegunaan Gel
Kegunaan sediaan gel secara garis besar di bagi menjadi empat seperti:
1. Gel merupakan suatu sistem yang dapat diterima untuk pemberian oral, dalam
bentuk sediaan yang tepat, atau sebagai kulit kapsul yang dibuat dari gelatin dan
untuk bentuk sediaan obat longacting yang diinjeksikan secara intramuskular.
2. Gelling agent biasa digunakan sebagai bahan pengikat pada granulasi tablet,
bahan pelindung koloid pada suspensi, bahan pengental pada sediaan cairan oral,
dan basis suppositoria.
3. Untuk kosmetik, gel telah digunakan dalam berbagai produk kosmetik,
termasuk pada shampo, parfum, pasta gigi, kulit dan sediaan perawatan rambut.
4. Gel dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara topikal (non streril) atau
dimasukkan ke dalam lubang tubuh atau mata (gel steril).

2.3.5 Sifat dan Karakteristik Gel


2.3.5.1 Menurut Lachman, dkk. 1994 sediaan gel memiliki sifat sebagai berikut:
1. Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan farmasi dan kosmetik ialah
inert, aman dan tidak bereaksi dengan komponen lain.
2. Pemilihan bahan pembentuk gel harus dapat memberikan bentuk
padatan yang baik selama penyimpanan tapi dapat rusak segera ketika sediaan
diberikan kekuatan atau daya yang disebabkan oleh pengocokan dalam botol,
pemerasan tube, atau selama penggunaan topical.
3. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan sediaan
yang diharapkan.
4. Penggunaan bahan pembentuk gel yang konsentrasinya sangat tinggi
atau BM besar dapat menghasilkan gel yang sulit untuk dikeluarkan atau
digunakan.
5. Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur, tapi dapat juga
pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Contoh polimer
seperti MC, HPMC dapat terlarut hanya pada air yang dingin yang akan
membentuk larutan yang kental dan pada peningkatan suhu larutan tersebut akan
membentuk gel.
6. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh
pemanasan disebut thermogelation.
2.3.5.2 Sediaan gel umumnya memiliki karakteristik tertentu, yakni (disperse
system, vol 2 hal 497):
1. Swelling
Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorbsi
larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan berpenetrasi diantara
matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel. Pengembangan gel
kurang sempurna bila terjadi ikatan silang antar polimer di dalam matriks gel yang
dapat menyebabkan kelarutan komponen gel berkurang.
2. Sineresis
Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel. Cairan
yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu
pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang
tegar.
Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase relaksasi akibat
adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada
ketegaran gel akan mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga
memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada
hidrogel maupun organogel.
3. Efek suhu
Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui penurunan
temperatur tapi dapat juga pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu
tertentu. Polimer seperti MC, HPMC, terlarut hanya pada air yang dingin
membentuk larutan yang kental. Pada peningkatan suhu larutan tersebut
membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan
oleh pemanasan disebut thermogelation.
4. Efek elektrolit
Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada gel hidrofilik
dimana ion berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut yang ada
dan koloid digaramkan (melarut). Gel yang tidak terlalu hidrofilik dengan
konsentrasi elektrolit kecil akan meningkatkan rigiditas gel dan mengurangi waktu
untuk menyusun diri sesudah pemberian tekanan geser.
Gel Na-alginat akan segera mengeras dengan adanya sejumlah konsentrasi ion
kalsium yang disebabkan karena terjadinya pengendapan parsial dari alginat
sebagai kalsium alginat yang tidak larut.
5. Elastisitas dan rigiditas
Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa, selama
transformasi dari bentuk sol menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas dengan
peningkatan konsentrasi pembentuk gel. Bentuk struktur gel resisten terhadap
perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskoelastik. Struktur gel dapat
bermacam-macam tergantung dari komponen pembentuk gel.
6. Rheologi
Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang terflokulasi
memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas, dan menunjukkan jalan aliran
nonnewton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan peningkatan laju
aliran.

2.4 Studi praformulasi


2.4.1 Pengertian studi praformulasi

Studi praformulasi adalah tahap pertama dalam pengembangan bentuk


sediaan obat yang rasional, serta investigasi sifat-sifat fisik dan kimia zat aktif
tunggal atau di gabung dengan eksipien dengan sasaran pemilihan formulasi
sediaan dalam komposisi yang optimal. Tujuannya adalah untuk menghasilkan
informasi bagi formulator dalam mengembangkan bentuk sediaan yang stabil dan
ketersediaan hayati yang dapat diproduksi dalam skala besar, serta untuk
menetapkan formula akhir yang sebenarnya dan arah kerja untuk pembuatan
produk.
Studi praformulasi merupakan langkah awal pengembangan bentuk suatu
sediaan dari suatu bahan obat secara rasional dengan memanfaatkan data-data
fisikokimia, fisikomekanik dan biofarmakokinetik dari obat sendiri maupun
kombinasinya dengan bahan pembantu, data-data ini dapat digunakan untuk
mendisain suatu sediaan yang stabil, manjur, ketersediaan hayati terpenuhi, tidak
toksik dan dapat diproduksi secara masal.

2.4.2 Tujuan studi praformulasi

Menggambarkan proses optimasi suatu obat melalui penentuan atau


definisi sifat-sifat fisika dan kimia yang dianggap penting dalam menyusun
formulasi sediaan yang stabil, efektif, dan aman.
Data preformulasi akan sangat membantu dalam memberikan arah yang
lebih sesuai untuk membuat suatu rencana bentuk sediaan.

2.4.3 Sifat-sifat yang perlu diperhatikan dalam preformulasi

1. Stabilitas kimia
Menyangkut bentuk larutan dan keadaan padat, pengaruh pH dalam
pengembangan.
2. Kelarutan atau solubilitas
Menyangkut obat yang diberikan secara oral harus larut dalam cairan
saluran pencernaan.
3. Kecepatan disolusi
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu
bentuk sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan
itu sendiri.
4. Koefisien partisi
Koefisien partisi merupakan rasio konsentrasi dari suatu senyawa
dalam dua tahap, dari dua campuran yang tidak saling larut dalam
pelarut pada kesetimbangan.
5. Kristalinitas
Kristalinitas merupakan sifat penting pada polimer yang
dipengaruhi oleh bentuk struktur dan ikatan yang terjadi
6. Higroskopis
Higroskopi adalah kemampuan suatu zat untuk menyerap molekul air
dari lingkungannya baik melalui absorbsi atau adsorpsi.
7. Ukuran partikel
Ukuran diameter rata-rata
2.4.4 Uji Studi Praformulasi Sediaan gel

Agar system pengawasan mutu dapat berfungsi dengan efektif, harus


dibuatkan kebijaksanaan dan peraturan yang mendasari dan ini harus selalu
ditaati. Pertama, tujuan pemeriksaan semata-mata adalah demi mutu obat yang
baik. Kedua, setia pelaksanaan harus berpegang teguh pada standar atau
spesifikasi dan harus berupaya meningkatkan standard an spesifikasi yang telah
ada.
1. Organoleptis
Evalusai organoleptis menggunakan panca indra, mulai dari bau,
warna, tekstur sedian, konsistensi pelaksanaan menggunakan subyek
responden ( dengan kriteria tertentu ) dengan menetapkan kriterianya
pengujianya ( macam dan item ), menghitung prosentase masing- masing
kriteria yang di peroleh, pengambilan keputusan dengan analisa statistik.
2. Evaluasi pH
Evaluasi pH menggunakan alat pH meter, dengan cara perbandingan
60 g : 200 ml air yang di gunakan untuk mengencerkan kemudian aduk
hingga homogen, dan diamkan agar mengendap, dan airnya yang di ukur
dengan pH meter, catat hasil yang tertera pada alat pH meter.
3. Evaluasi daya sebar
Dengan cara sejumlah zat tertentu di letakkan di atas kaca yang
berskala. Kemudian bagian atasnya di beri kaca yang sama, dan di
tingkatkan bebanya, dan di beri rentang waktu 1 2 menit. kemudian
diameter penyebaran diukur pada setiap penambahan beban, saat sediaan
berhenti menyebar ( dengan waktu tertentu secara teratur ).
4. Evaluasi penentuan ukuran droplet
Untuk menentukan ukuran droplet suatu sediaan krim ataupun
sediaan emulgel, dengan cara menggunakan mikroskop sediaan diletakkan
pada objek glass, kemudian diperiksa adanya tetesan tetesan fase dalam
ukuran dan penyebarannya.
5. Uji aseptabilitas sediaan.
Dilakukan pada kulit, dengan berbagai orang yang di kasih suatu
quisioner di buat suatu kriteria , kemudahan dioleskan, kelembutan, sensasi
yang di timbulkan, kemudahan pencucian. Kemudian dari data tersebut di
buat skoring untuk masing- masing kriteria. Misal untuk kelembutan agak
lembut, lembut, sangat lembut

2.4.1 Praformulasi sediaan


1. ASAM SALISILAT
a. Sinonim :Asam 2-hidroksibenzoat, Acidum salicycum
c. Rumus Molekul : C7H6O3
d. Pemerian : Hablur ringan tidak berwarna atau serbuk
berwarna putih; hampir tidak berbau; rasa agak manis dan tajam.
e. Kelarutan : Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian
ethanol (95%) P; mudah larut dalam kloroform P dan dalam eter P; larut
dalam larutsan ammonium acetat P, dinatrium hydrogen fosfat P; kalium
sitrat P dan natrium sitrat P.
f. Suhu Lebur : 158,5C dan 161C.
i. Keasaman (pKa) : 2,97
g. Incompatibilitas
Bereaksi dengan alkali dan karbonat hydroxids membentuk garam
yang larut dalam air. Inkompatibel dengan larutan besi klorida,
memberikan warna ungu. Dan dengan nitro ether kuat.
h. Dosis (USP)
Untuk pemakaian topikal 1-2% dalam larutan alkohol atau salep.
Sebagai agen antiseptik, antiparasit dan keratolitik 2-5% dalam sediaan
serbuk atau salep.Sebagai keratolitik kuat hingga 20%.
i. Efek Farmakologi Zat Aktif
Sebagai antiseptik, sangat mengiritasi selaput lendir dan agak
korosif. untuk obat luar digunakan dalam pengobatan pruritus, urtikaria
bromidrosis, dan eksim. Dalam bentuk salep dan koloidon digunakan untuk
melunakkan dan menghilangkan kutil. Kondisi hyperkeratosis
(pertumbuhan jaringan keratin kulit yang berlebihan)
j. Kontradiksi
1. Kulit yang terbuka, meradang atau pada anak dibawah dua tahun.
2. Perhatian : dapat menimbulkan gangguan saraf tepi, pada pasien
diabetes rentan terhadap ulkus neuropati, hindari kontak dengan
mata, mulut , area kelamin dan anus, dan selaput lendir, hindari
penggunaan pada area yang luas.
2. NIPAGIN
Nipagin merupakan senyawa fenolik, stabil di udara, sensitif
terhadap pemaparan cahaya, tahan terhadap panas dan dingin termasuk
uap sterilisasi, stabilitas menurun dengan meningkatnya pH yang
menyebabkan hidrolisis. Mekanisme kerja senyawa fenolik adalah
dengan menghilangkan peremeabelitas membran sehingga isi sitoplasma
keluar dan menghambat sistem transport elektrolit yang lebih efektif
untuyk bakteri gram positif.
preformulasi nipagin:
a. Nama Senyawa : Methyl Paraben
b. BM : 152,15
c. Rumus Empiris : C8H8O3
d. Organoleptis : Kristal transparan/bubuk Kristal putih, rasa
membakar
e. pH : 4- 8
f. Nipagin efektif dengan kadar : 0,1-0,2% (bila digunakan tunggal)
jika dikombinasi dengan propil paraben umumnya digunakan pada
formulasi sediaan parenteral (0.18%-0.22%)
g. Titik Leleh : 125 -1280C
h. Inkompatibel : dengan bentonit, magnesium trisilicate,talk,
tragacanth, natrium alginat, minyak esensial, sorbitol, dan atropine
3. CARBOXYMETHYLCELLULOSUM NATRIUM (CMC-Na)
a. Pemerian: serbuk atau granul, putih sampai cream, higroskopik
b.Kelarutan: mudah terdispersi dalam air membentuk larutan koloidal,
tidak larut dalam etanol, dalam eter dan dalam pelarut
organic lain.
c. Khasiat: suspending agent
d. Konsentrasi: 0,1-1%
2.5 formulasi
2.5.1 eksipien gel
1. Gelling Agent
Sejumlah polimer digunakan dalam pembentukan struktur yaitu gum arab,
turunan selulosa, dan karbomer. Kebanyakan dari sistem tersebut berfungsi dalam
media air, selain itu ada yang membentuk gel dalam cairan nonpolar. Beberapa
partikel padat koloidal dapat berperilaku sebagai pembentuk gel karena terjadinya
flokulasi partikel. Konsentrasi yang tinggi dari beberapa surfaktan nonionik dapat
digunakan untuk menghasilkan gel yang jernih di dalam sistem yang mengandung
sampai 15% minyak mineral.
2. Polietilen (gelling oil)
Digunakan dalam gel hidrofobik menghasilkan gel yang lembut, mudah
tersebar, dan membentuk lapisan/film yang tahan air pada permukaan kulit. Untuk
membentuk gel, polimer harus didispersikan dalam minyak pada suhu tinggi (di
atas 800C) kemudian langsung didinginkan dengan cepat untuk mengendapkan
kristal yang merupakan pembentukan matriks.
3. Koloid padat terdispersi
Mikrokristalin selulosa dapat berfungsi sebagai gellant dengan cara
pembentukan jaringan karena gaya tarik-menarik antar partikel seperti ikatan
hidrogen.
4. Surfaktan
Gel yang jernih dapat dihasilkan oleh kombinasi antara minyak mineral, air,
dan konsentrasi yang tinggi (20-40%) dari surfaktan anionik. Kombinasi tersebut
membentuk mikroemulsi. Bentuk komersial yang paling banyak untuk jenis gel ini
adalah produk pembersih rambut.
5. Wax
Banyak wax yang digunakan sebagai gellants untuk media nonpolar seperti
beeswax, carnauba wax, setil ester wax.
6. Polivinil alkohol
Untuk membuat gel yang dapat mengering secara cepat. Film yang terbentuk
sangat kuat dan plastis sehingga memberikan kontak yang baik antara obat dan
kulit. Tersedia dalam beberapa grade yang berbeda dalam viskositas dan angka
penyabunan.
7. Pengawet
Meskipun beberapa basis gel resisten terhadap serangan mikroba, tetapi semua
gel mengandung banyak air sehingga membutuhkan pengawet sebagai
antimikroba. Dalam pemilihan pengawet harus memperhatikan
inkompatibilitasnya dengan gelling agent. Beberapa contoh pengawet yang biasa
digunakan dengan gelling agent :
a. Tragakan : metil hidroksi benzoat 0,2 % w/v dgn propil hidroksi benzoat
0,05 % w/v
b. Na alginate : metil hidroksi benzoat 0,1- 0,2 % w/v, atau klorokresol 0,1 %
w/v atau asam benzoat 0,2 % w/v
c. Pektin : asam benzoat 0,2 % w/v atau metil hidroksi benzoat 0,12 %
w/v atau klorokresol 0,1-0,2 % w/v
d. Starch glyserin : metil hidroksi benzoat 0,1-0,2 % w/v atau asam
benzoat 0,2 % w/v
e. MC : fenil merkuri nitrat 0,001 % w/v atau benzalkonium klorida 0,02% w/v
f. Na CMC : metil hidroksi benzoat 0,2 % w/v dgn propil hidroksi benzoat
0,02 % w/v
g. Polivinil alkohol : klorheksidin asetat 0,02 % w/v
8. Chelating agent
Bertujuan untuk mencegah basis dan zat yang sensitive terhadap logam berat.
Contohnya EDTA
2.6 produksi
2.6.1 Pengertian Produksi
Proses produksi tablet meliputi pengolahan bahan awal sampai terbentuknya
obat jadi. Produksi harus dilaksanakan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan
sehingga menjamin obat yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi yang telah
ditentukan.Sebelum melaksanakan suatu produksi dilakukan perencanaan.
Perencanaan produksi dibuat sesuai dengan kebutuhan obat yang akan
didistribusikan dari bagian pemasaran. Perencanaan produksi bertujuan untuk
menghindari kegagalan pelaksanaan produksi yang terjadi karena sesuatu
hambatan yang dapat diantisipasi sebelumnya, misalnya jumlah bahan baku yang
dibutuhkan, jumlah bahan pengemas, serta kesiapan peralatan dan hal-hal
penunjang lainnya.

2.6.2 Tujuan Produksi


1. Untuk menghasilkan jenis obat yang sesuai dengan persyaratan dan
ketentuan yang berlaku.
2. Meningkatkan mutu dan jumlah produksi.
Produsen selalu berusaha memuaskan keinginan konsumen. Dengan
berproduksi, produsen mendapat kesempatan melakukan uji coba
(eksperimen) untuk meningkatkan mutu sekaligus jumlah produksinya
agar lebih baik dari produksi sebelumnya.
2.6.3 Komponen yang diperlukan dalam proses produksi

Komponenkomponen yang diperlukan dalam proses produksi antara lain


adalah bangunan dan ruangan untuk proses produksi, prinsip dalam produksi
tablet, serta alat yang dibutuhkan dalam produksi. Berikut akan diuraikan tentang
komponen-komponen tersebut:

2.6.3.1 Personalia
Personalia hendaklah mempunyai pengetahuan, pengalaman, ketrampilan
dan kemampuan yang sesuai dengan tugas dan fungsinya, dan tersedia dalam
jumlah yang cukup. Mereka hendaklah dalam keadaan sehat dan mampu
menangani tugas yang dibebankan kepadanya.
Adapun syarat-syarat personalia dalam suatu industri antara lain:
a. Personalia hendaklah menjalani pemeriksaan kesehatan baik sebelum
diterima menjadi karyawan maupun selama menjadi karyawan yang
dilakukan secara berkala.

b. Personalia hendaklah menerapkan higiene perorangan dengan baik.


Mereka hendaklah dilatih mengenai penerapan higiene perorangan.
c. Personalia yang mengidap penyakit atau menderita luka terbuka yang
dapat menurunkan kualitas produk, dilarang menangani bahan baku,
bahan yang sedang dalam proses, bahan pengemas dan produk
jadi,sampai dia sembuh kembali.
d. Personalia hendaklah mencuci tangan dengan sabun atau detergent lain
sebelum memasuki ruang pembuatan. Untuk tujuan itu perlu dipasang
tanda peringatan.
e. Personalia hendaklah melaporkan kepada atasan langsung setiap
keadaan pabrik, peralatan atau personalia yang menurut penilaian
mereka dapat menurunkan kualitas produk.
f. Personalia hendaklah mengenakan pakaian kerja, penutup rambut,
masker,sarung tangan dan lain sebagainya yang bersih sesuai dengan
tugas yang dilaksanakan. Untuk tujuan itu disediakan tempat khusus
untuk ganti pakaian.
g. Dilarang merokok, makan dan minum serta perbuatan lain yang dapat
mencemari mutu produk di dalam ruang pembuatan dan ruang
penyimpanan. Untuk tujuan ini perlu dipasang peringatan.

2.6.3.1 Ruangan dan Bangunan


Syarat Umum :
1) Bangunan
a. Bangunan industri harus didirikan di lokasi yang terhindar dari
pencemaran dan tidak mencemari lingkungan
b. Bangunan industri harus memenuhi persyaratan hygiene dan
sanitasi
c. Bangunan industri harus memiliki ruang-ruang pembuatan yang
rancang bangun dan luasnya sesuai dengan bentuk, sifat dan
jumlah obat yang dibuat. Jenis dan jumlah alat yang digunakan,
jumlah karyawan yang bekerja serta fungsi ruangan.
d. Memungkinkan kegiatan produksi dilakukan diarea yang saling
berhubungan antara satu ruangan dengan ruangan yang lain
mengikuti urutan tahap produksi
e. Bangunan industri di dirikan atas sifat yang kokoh, dengan tujuan
agar bisa terhindar dari bencana seperti gempa dan banjir.
2) Ruangan
a. Penataan ruangan-ruangan pembuatan, termasuk ruangan
penyimpanan harus sesuai dengan urutan proses pembuatan,
sehingga tidak menimbulkan lalu lintas kerja yang simpang siur
dan tidak menimbulkan terjadi pencemaran silang.
b. Dinding lantai dan langit-langit setiap ruangan pembuatan,
termasuk ruangan penyimpanan harus rata, bebas dari keretakan
dan mudah di bersihkan
c. Dinding setinggi sekurang-kurangnya 150 cm dan lantai setiap
ruangan pembuatan termasuk ruangan penyimpanan harus kedap
air. Dinding ruangan pembuatan selain kedap air, harus licin
d. Ruangan pembuatan dan ruang penunjang seperti ruang
administrasi dan jamban harus bersih, tidak mengganggu dan
tidak mencemari proses pembuatan
e. Penyimpanan dari ketentuan pada butir 2 dan butir 3 harus
memperoleh izin tertulis dari direktur jendral atau kepalah kantor
wilayah.
Deskripsi Bangunan :
a. Lantai
Lantai ruangan produksi tablet terbuat dari semen yang di lapisi
epoksi sehingga lantai mempunyai permukaan yang rata, mudah di
bersihkan, tidak menahan partikel, tahan terhadap detergen dan
disinfektan.
b. Dinding
Dinding ruangan terbuat dari tembok yang dilapisi epoksi sehingga
permukaan dinding menjadi licin dan rata, kedap air, mudah di
bersihkan, tahan terhadap detergen, disinfektan, tidak menahan
partikel dan tidak menjadi tempat bersarangnya binatang kecil.
c. Langit-langit
Langit-langit ruangan terbuat dari beton yang dilapisi epoksi
sehingga permukaan langit-langit menjadi licin dan rata, air, mudah
di bersihkan, tahan terhadap detergen, disinfektan, tidak menahan
partikel.
d. Pengaturan udara
Sirkulasi dan pengaturan udara harus baik.Terdapat tempat
sirkulasi udara dengan sirkulasi udara yang baik sesuai dengan
ruangan.
e. Lokasi area
Lokasi area bangunan harus tahan terhadap gempa dan banjir.
Pembagian area :

1. Black area
Black area merupakan ruangan, dimana pada ruangan ini seluruh
produk obat sudah dalam keadaan tertutup dalam kemasan
primer.Dan pada daerah ini tidak perlu penanganan khusus baik
udara maupun konstruksi bangunan. Contoh area ini adalah kantor,
loker, gudang bahan baku, gudang obat jadi, gudang bahan
pengemas primer dan sekunder, ruang administrasi gudang, ruang
pengemasan sekunder, dan ruang laboratorium kimia fisika.
2. Grey area
Grey area merupakan area produksi, dimana proses produksi
berlangsung. Pada area ini kebebasan telah dikurangi, yaitu barang
atau karyawan tidak bebas memasuki area ini.Dilakukan
penanganan khusus terhadap udara, rancang bangun dan konstruksi
ruangan, seperti lantai dan langit langit tidak boleh bercelah dan
tahan terhadap bahan kimia, dinding harus terbuat dari beton dan
dicat dengan cat yang tahan dicuci, serta pintu dan peralatan lainnya
tidak boleh terbuat dari kayu. Sebelum memasuki grey area,
karyawan harus terlebih dahulu mencuci tangan dan kaki serta
menggunakan pakaian khusus dan bersih. Contoh area ini yaitu
ruang penimbangan bahan baku, ruang pengolahan, ruang
pencetakan, ruang pengemasan primer, dan ruang In Process
Control.
3. White Area
White area merupakan area produksi untuk sediaan steril. Untuk
memasuki white area, karyawan harus mencuci tangan dan kaki
serta mengganti pakaian dari grey area dengan pakaian khusus yang
steril. Peralatan yang digunakan harus disterilkan terlebih dahulu,
demikian juga ruangan harus dibersihkan dengan
desinfektan.Contoh area ini yaitu seluruh ruangan pada pembuatan
obat steril.
Perbedaan dari masing-masing area :
a. Black area
1. Ruangannya tidak perlu steril
2. Jumlah karyawan yang berada di area tersebut
3. Ruangan dan alat tidak membutuhkan penangan yang
khusus baik udara maupun kontruksi bangunan
4. Fungsi dari pembangunan area ini adalah sebagai tempat
penyimpanan bahan baku obat, serta tempat dimana para
karyawan bisa dengan leluasa melakukan tugas mereka
tanpa adanya penangan khusus
b. Grey area
1. Untuk memasuki area ini personal harus mencuci tangan
dan kaki serta pakaian nya pun harus bersih
2. Desain ruangan di butuhkan perlakuan khusus. Seperti
penanganan khusus terhadap udara, rancang bangun dan
kontruksi ruangan, seperti lantai dan langit-langit tidak
boleh bercelah dan tahan terhadap bahan kimia. Dinding
harus terbuat dari beton dan di cat dengan cat yang tahan
dicuci, seperti pintu dan peralatan lainnya tidak boleh
terbuat dari kayu
3. Kebebasan personal untuk masuk area ini sudah di kurangi
4. Fungsi dari pembangunan area ini adalah sebagai tempat
produksi obat-obatan,di mna tempat ini sangat penting dari
semua area yang ada, karena proses intinya ada di ruangan
ini
c. White Area
1. Ruangan harus steril
2. Peralatan dan pakaian yang digunakan harus steril
3. Karyawan yang akan memasuki area harus bersih dan
steril.
4. Ruangan mempunyai rancangan khusus, seperti tembok
dengan cat yang tahan dicuci, pintu dan peralatan lainnya
tidak boleh terbuat dari kayu.
5. Udara dari luar tidak boleh memasuki ruangan.
Menggunakan sanitasi udara
6. Fungsi dari white area adalah sebgai tempat produksi
sediaan-sediaan steril,yaitu tempat yang bebas dari bahaya
mikroba ataupun virus.

2.6.3.2 Alat-alat yang digunakan pada produksi salep :


a. Spatula
Spatula biasanya digunakan untuk memindahkan bahan padat seperti
serbuk, salep, atau krim. Mereka juga digunakan untuk mencampur bahan
bersama-sama menjadi campuran homogen.Spatula tersedia dalam stainless steel,
plastik dan hard rubber. Jenis spatula yang digunakan tergantung pada apa yang
sedang dipindahkan atau dicampur (Madinah, 2008).

Gambar 2. Spatula
b. Mortardan Stamper
Mortar dan stamper digunakan untuk menggiling partikel ke dalam bubuk
halus (triturasi). Penggabungan cairan (levigasi) dapat mengurangi ukuran
partikel lebih lanjut. Mortar dan stamper terbuat dari kaca, porselin, wedgwood
atau marmer. Kaca lebih baik digunakan untuk pencampuran bentuk sediaan
cairan dan semi padat (Madinah, 2008).

Gambar 3. Mortar dan stamper

c. OintmentSlab
Sama halnya dengan mortar, stamper, dan spatula, ointment slab
merupakan andalan di pengaturan farmasi. Ointment slab memberikan
permukaan yang keras dan bersih untuk pencampuran senyawa. Sebagian besar
ointment slab berupa plat kaca yang permukaannya non-absorbable. Untuk
beberapa peracikan, apotek banyak membeli kertas perkamen yang melayani
tujuan yang sama ketika ditempatkan di atas slab salep, tapi mudah dibuang
setelah digunakan tanpa pembersihan yang diperlukan termasuk antara campuran
(Madinah, 2008).
Gambar 4.Ointment slab

d. Blender
Blender dilengkapi dengan pengadukan pisau, melalui pengadukan
dengan kecepatan tinggi akan memberikan energi kinetik yang dapat
menggerakkan cairan dalam wadah sehingga dapat mendispersikan fase dispersi
ke dalam medium dispersinya. Selain itu blender juga dapat menghomogenkan
campuran dan memperkecil ukuran partikel. Dengan adanya pengadukan
mengakibatkan terjadinya tumbukan antarpartikel dispers. Bila tumbukan terjadi
terus-menerus maka terjadi transfer massa sehingga ukuran partikel menjadi
semakin kecil. Ukuran partikel yang kecil biasanya sukar homogen karena gaya
kohesivitasnya tinggi sehingga cendrung memisah. Namun kelemahan alat ini
adalah muah terbentuk buih/busa yang dapat menggangu pengamatan
selanjutnya. Penggunaan emulgator hidrokarbon akan membuat makromolekul
dari hidrokarbon terpotong-potong sehingga dapat mempengaruhi kestabilan
emulsi yang terbentuk (Lieberman HA & Lachmann, 1994).

Gambar 5. Blender

e. Homogenizer
Homogenizer paling efektif dalam memperkecil ukuran fase dispers
kemudian meningkatkan luas permukaan fase minyak dan akhirnya
meningkatkan viskositas emulsi sehingga mengurangi kemungkinan
terjadinya creaming. Homogenizer bekerja dengan cara menekan cairan
dimana cairan tersebut dipaksa melalui suatu celah yang sangat sempit lalu
dibenturkan ke suatu dinding atau ditumbuhkan pada peniti-peniti metal yang ada
di dalam celah tersebut. Homogenizer umumnya terdiri dari pompa yang
menaikkan tekanan dispersi pada kisaran 500-5000 psi, dan suatu lubang yang
dilalui cairan dan mengenai katup penghomogenan yang terdapat pada tempat
katup dengan suatu spiral yang kuat. Ketika tekanan meningkat, spiral ditekan
dan sebagian dispersi tersebut bebas di antara katup dan tempat (dudukan) katup.
Pada titik ini, energi yang tersimpan dalam cairan sebagian tekanan dilepaskan
secara spontan sehingga produk menghasilkan turbulensi yang kuat dan shear
hidrolik. Cara kerja homogenizer ini cukup efektif sehingga bisa didapatkan
diameter partikel rata-rata kurang dari 1 mikron tetapi homogenizer dapat
menaikkan temperatur emulsi sehingga dibutuhkan pendinginan (Lieberman HA
& Lachmann, 1994).

Gambar 6. Homogenizer

e. Mixer
Mixer memiliki sifat menghomogenkan sekaligus memperkecil ukuran
partikel tapi efek menghomogenkan lebih dominan. Mixer biasanya digunakan
untuk membuat emulsi tipe batch. Terdapat berbagai macam mixer yang dapat
digunakan dalam pembuatan sediaan semi padat. Dalam hal ini sangat penting
untuk merancang dan memilih mixer sesuai dengan jenis produk yang diproduksi
atau sedang dicampur. Sebagai contoh: salah satu aspek desain mixer yang
penting adalah seberapa baik/tahan dinding internal dari mixer. Hal ini karena
terdapat beberapa permasalahan dengan baja tahan karat dari mixer sebab mata
pisau pengikis harus fleksibel cukup untuk memindahkan/mengaduk bagian
dalam dinding mixer. Atau dengan kata lain, mata pisau atau pengaduk harus
mampu mengaduk atau memindahkan bahan yang melekat pada dinding mixer
tanpa merusak dinding mixer. Jika proses pengadukan tidak berjalan dengan baik
(masih banyak bahan yang menempel/tersisa pada dinding mixer), maka hasil
pencampurannya tidak akan homogen. Oleh karena mixer mempunyai aksi
planetary mixing maka kemampuannya untuk mencampur fase air, fase minyak
dan emulgator sangat tergantung pada macam pengaduk yang digunakan. Selain
spesifikasi untuk tiap alatnya, harus diperhatikan pula agar tidak terlalu banyak
udara yang ikut terdispersi ke dalam cairan karena akan membentuk buih atau
bisa yang menggangu saat melakukan pembacaan volume sedimentasi
(Lieberman HA & Lachmann, 1994).

Gambar 7.Mixer

f. Agitator Mixers
Secara prinsip mirip dengan mixer pengaduk yang digunakan untuk cairan
dan untuk serbuk, memang mixer gerakan planetary sering digunakan untuk semi
padat. Mixers dirancang khusus untuk semi padat yang biasanya memiliki bentuk
lebih berat untuk menangani bahan dengan konsistensi lebih besar. Lengan
pengaduk dirancang untuk menarik, meremas, membentuk dan bergerak
sedemikian rupa sehingga bahan dibersihkan dari semua sisi dan sudut tempat
pencampuran (Bhatt & Agrawal, 2007).
Salah satu bentuk umum yang digunakan untuk menangani konsistensi
plastik semi padat dikenal sebagai mixer lengan sigma, karena mixer
menggunakan dua bilah mixer, dengan bentuk yang menyerupai huruf Yunani,
sigma (). Kedua bilah berputar terhadap satu sama lain dan beroperasi di sebuah
tempat pencampuran yang memiliki bentuk bak double, masing-masing bilah
menyesuaikan bak. Dua bilah berputar pada kecepatan yang berbeda, yang satu
biasanya sekitar dua kali kecepatan yang lain, menghasilkan penarikan lateral
bahan dan terbagi ke dalam kedua bak. Bentuk bilah dan perbedaan kecepatan
menyebabkan gerakan end-to-end. Dengan bentuk yang kokoh dan daya yang
lebih tinggi, bentuk mixer ini dapat menangani bahkan bahan plastik terberat, dan
produk-produk seperti massa pil, massa tablet granul, dan salep yang telah siap
dicampur. Salah satu masalah yang dihadapi dalam pencampuran semi padat
adalah masuknya udara. Mixer lengan sigma dapat ditutup dan dioperasikan pada
tekanan rendah, yang merupakan metode terbaik untuk menghindari masuknya
udara dan dapat membantu dalam meminimalkan dekomposisi bahan oxidisable,
tetapi harus digunakan dengan hati-hati jika campuran mengandung bahan yang
mudah menguap (Bhatt & Agrawal, 2007).

Gambar 8. Agitator mixer

g. Shear Mixers
Mesin yang dirancang untuk pengurangan ukuran ini dapat digunakan
untuk mencampur. Tetapi meskipun gaya gesernya baik, efisiensi pencampuran
umumnya buruk. Bentuk rotary mungkin digunakan dan colloid mill memiliki
stator dan rotor dengan permukaan kerja kerucut. Rotor bekerja pada kecepatan
antara 3.000-15.000 rpm dan pembersihan dapat diatur antara 50-500 mikrometer.
Suspensi campuran kasar atau dispersi dimasukkan melalui corong dan
dikeluarkan antara permukaan kerja dengan gaya sentrifugal (Bhatt & Agrawal,
2007).
Gambar 9.Shear mixer

h. Planatory Mixer
Planatory mixer digunakan untuk pencampuran dan mengaduk bahan
kental dan seperti bubur, planatory mixer tersebut masih sering digunakan untuk
operasi dasar pencampuran dalam industri farmasi. Planatory mixer digunakan
dengan kecepatan rendah untuk pencampuran kering dan kecepatan lebih cepat
untuk peremasan yang diperlukan dalam granulasi basah (Bhatt & Agrawal,
2007).
Keuntungan: planatory mixer bekerja pada berbagai kecepatan. Hal ini lebih
berguna untuk granulasi basah dan lebih menguntungkan dibandingkan sigma
mixers.
Kerugian:

Planatory mixer membutuhkan daya tinggi.


Panas mekanik dibangun dalam campuran bubuk.
Penggunaan terbatas hanya pada pekerjaan batch (Bhatt & Agrawal, 2007)

i. Double Planetary Mixers


Double planetary mixers mencakup dua bilah yang berputar pada sumbu
mereka sendiri, sementara mereka mengorbit tempat mencampur pada sumbu
umum. Bilah terus maju di sepanjang pinggiran tempat, menghapus bahan dari
dinding tempat dan membawanya ke bagian interior. Berlawanan dengan
conventional planetary mixer, negosiasi kedua konsfigurasi bilah menyapu
dinding tempat searah jarum jam dan memutar dalam arah yang berlawanan pada
sekitar tiga kali kecepatan perjalanan. Shear blades menggantikan bahan dari
dinding tempat dan oleh aksi tumpang tindih mereka pusat membawa partikel ke
arah agitator shafts, sehingga menghasilkan gaya geser yang luas. Dengan
menggunakan bahan ini bahkan bahan yang sangat kental dan kohesif dapat
dicampur secara efisien (Bhatt & Agrawal, 2007).

Gambar 11. Double planetary mixers

j. Sigma mixer
Sigma mixer berisi pencampuran elemen (blades) dari dua tipe sigma dalam
jumlah yang kontra berputar ke dalam untuk mencapai sirkulasi ujung ke ujung
serta menyeluruh dan pencampuran yang seragam di pembersihan dekat atau
tertentu dengan wadah. Produk campuran dapat dengan mudah diberhentikan
dengan memiringkan wadah dengan tuas tangan secara manual baik dengan sistem
roda gigi yang dioperasikan secara manual atau bermotor. Mixer yang lengkap
dipasang pada baja dibuat dari kekuatan yang sesuai untuk menahan getaran dan
memberikan performance (Bhatt & Agrawal, 2007).
Gambar 12. Sigma mixer

k. Sigma mixer
Digunakan untuk proses granulasi basah dalam pembuatan tablet,
massa pil dan salep. Hal ini terutama digunakan untuk pencampuran padat-cair
meskipun bisa digunakan untuk campuran padat-padat juga.
Keuntungan:
a. Bilah sigma mixer menciptakan jarak kematian minimal selama
pencampuran.
b. Ada toleransi dekat antara bilah dan dinding samping maupun
bawah mixer shell.
Kerugian: Sigma mixer bekerja dengan kecepatan tetap (Bhatt & Agrawal,
2007).
l. Ultrasonic Mixers
Metode yang efektif untuk menangani bentuk-bentuk tertentu dari
masalah pencampuran adalah untuk permasalahan bahan terhadap getaran
ultrasonik. Hal ini memiliki aplikasi khusus dalam pencampuran dalam preparasi
emulsi (Bhatt & Agrawal, 2007).

Gambar 13. Ultrasonic mixer

m. Colloid Mill
Colloid mill berguna untuk penggilingan, dispersi, homogenisasi dan
merusak aglomerat dalam pembuatan pasta makanan, emulsi, coating, salep, krim,
pulp, minyak, dll. Fungsi utama dari colloid mill adalah untuk memastikan
kerusakan aglomerat atau dalam kasus emulsi untuk menghasilkan tetesan halus
yang berukuran sekitar 1 mikron. Bahan yang diproses diisi oleh gravitasi untuk
dipompa sehingga lewat di antara elemen rotor dan stator dimana ia mengalami
gaya geser dan hidrolik tinggi. Bahan dibuang melalui gerbong dimana ia dapat
diresirkulasi untuk perlewatan kedua, biasanya untuk bahan yang memiliki
kepadatan lebih tinggi dan isi serat cakram beralur berbentuk kerucut. Terkadang
pengaturan pendinginan dan pemanasan juga ditentukan dalam penggilingan ini
yang tergantung pada jenis bahan yang diproses. Kecepatan rotasi rotor bervariasi
dari 3.000-20.000 rpm dengan jarak kemampuan penyesuaian yang sangat halus
antara rotor dan stator bervariasi dari 0.001-0.005 inci tergantung pada ukuran alat.
Colloid mills memerlukan pengisian air yang banyak, cairan dipaksa melalui celah
sempit dengan aksi sentrifugal dan jalur spiral. Dalam penggilingan ini hampir
semua energi yang diberikan diubah menjadi panas dan gaya geser terlalu dapat
meningkatkan suhu produk. Oleh karena itu, sebagian besar colloid mills
dilengkapi dengan jaket air dan itu adalah juga diperlukan untuk mendinginkan
bahan sebelum dan setelah melewati penggilingan (Bhatt & Agrawal, 2007).

Gambar 14. Colloid mills


2.7 Metode pembuatan

1. Metode Pelelehan/peleburan
zat pembawa dan zat berkhasiat dilelehkan bersama dan diaduk sampai
membentuk fasa yang homogen
2. Metode Triturasi
zat yang tidak larut dicampur dengan sedikit basis yang akan dipakai atau
dengan salah satu zat pembantu, kemudian dilanjutkan dengan
penambahan sisa basis
2.8 Evaluasi

2.8.1 Definisi
Suatu pemeriksaan terhadap pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan
dan yang akan digunakan untuk memperhitungkan dan mngendalikan
pelaksanaan kegiatan kedepannya agar jauh lebih baik. Evaluasi lebih bersifat
melihat kedepan dari pada melihat kesalahan-kesalahan dan ditujukan untuk
peningkatan kesempatan demi keberhasilan kegiatan. Dengan demikian evaluasi
adalah perbaikan atau penyempurnaan di masa mendatang atas suatu kegiatan.

2.8.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya evaluasi pada sediaan adalah sebagai berikut:


a. Pemastian mutu sediaan
Evaluasi bertujuan untuk memastikan mutu dari sediaan yang
diproduksi, baik itu dimulai dari pemilihan bahan sampai dengan
hasil jadi sediaan tersebut. Dengan melakukan evaluasi kita dapat
mengetahui kualitas mutu dari sediaan yang kita buat. Jika kita
memiliki sediaan yang memiliki kualitas baik, maka kita
kemungkinan besar sediaan kita akan diterima dengan baik dipasaran.
b. Estimasi efek terapi bisa diketahui
Dengan melakukan evaluasi, biasanya ddengan melakukan evaluasi
sediaan yang sudah diprosuksi, kita akan mengetahui seberapa besar
efek terapi yang akan dihasilkan oleh sediaan kita terhadap tubuh
pasien. Kita akan mengetahui bahwa sediaan kita sudah memenuhi
dosis yang tepat atau belum. Jika kita tidak melakukan evaluasi
terhadap sediaan, dikhawatirkan obat akan memberikan efek samping
yang berbahaya akibat ketidaktahuan akan efek terapi yang diberikan.
c. Dasar tindakan reformulasi
Dengan dilakukan evaluasi, kita akn mengetahui
kekurangan-kekurangan sediaan yang kita buat. Sehingga kita akan
bisa melakuka reformulasi untuk memperbaiki sediaan kita. Jika kita
tidak melakukan evaluasi, kita tidak akan tahu letak kesalahan kita
dan kita tidak tahu solusi untuk memperbaiki sediaan kita.
d. Dasar pengembangan produk
Bukan hanya kekrangan yang akan kita ketahui saat melakukan
evaluasi, kelebihan dari suatu sediaan pun akan kita ketahui. Dengan
mengetahui kelebihan dari sediaan kita, misalnya saat pemilihan
bahan, kita bisa mengaplikasikan kelebihan itu kepada sediaan
lainnya, sehingga kita dapat melakukan pengembangan produk
farmasi menjadi lebih baik lagi.
2.8.3 Evaluasi Sediaan Gel Asam Salisilat
1. Uji Daya Lekat
Uji daya lekat berfungsi untuk mengetahui lamanya salep melekat pada
kulit
2. Uji Daya Sebar
Uji daya sebar bertujuan untuk mengetahui kulunakan massa salep
pada waktu dioleskan pada kulit yang diobati
3. Uji konsistensi
Uji konsistensi dilakukan untuk mengetahui stabilitas sediaan
gel yang dibuat dengan cara mengamati perubahan
konsistensi sediaan setelah disentrifugasi.

4.Uji pH
Uji pH dilakukan untuk melihat tingkat keasaman sediaan gel untuk
menjamin sediaan gel tidak menyebabkan iritasi pada kulit. pH sediaan
gel diukur dengan menggunakan stik pH universal.

5. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah sediaan yang telah
dibuat homogen atau tidak.
6.Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan untuk melihat tampilan fisik
7. Uji kejernihan
Uji kejernihan dilakukan untuk mengetahui apakah adaa gumpalan
maupun benda asing yang ikut terbawa daalaam gel.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Formulasi Gel


Formulasi Asam Salisilat (antiseptik)
R/ Asam Salisilat 2%
CMC-Na 3%
Nipagin 0,1%
Aquadest ad 20gr
3.2 Perhitungan Bahan
Gel yang dibuat 20 g
Asam Salisilat = 400 mg
CMC-Na = 1,5 g

Aqua CMC-Na = 1.5 X 2 = 3ml


Nipagin = 0,05 g
Sisa Aquadest = 20-( 1+1,5+3+0,05 )
= 14,45 ml
3.3 Alat dan Bahan
3.3.1 alat:
1. lumpang dan alu
2. pipet
3. beker
4. cawan penguap
5. spatel
6. batang pengaduk
7. hot plate
8. gelas ukur
9. sudip timbangan pot
3.3.2 Bahan
1. as. salisilat
2. nipagin
3. CMC-Na
4. Aquadest
3.4 Cara pembuatan:
1. Siapkan alat dan bahan
2. ditimbang CMC-Na sebanyak 1,5 g
3. Campur CMC-Na dengan air panas sebanyak 15 ml sampai terbentuk massa
seperti lendir
4. ditimbang nipagin 50 mg dan larutkan dengan sisa air pana ad larut
5. Campur CMC-Na dan nipagin sampaai homogen
7. ditimbang asam salisilat sebanyak 1 g
8. tetesi asam salisilat dengan atanol lalu gerus ad larut
9.campur campuran CMC-Na dan nipagin dengan asam asam salisilat dan gerus
sampai terbentuk massa gel
3.5 Prosedur Evaluasi
1.Uji Organoleptik
Prosedur evaluasi
a. Ambil sediaan gel
b. Amati bentuk, warna dan bau dari sediaan
2.Uji Homogenitas
Prosedur evaluasi
a. Oleskan gel pada kaca transparan
b. Ambil 3 bagian sediaan gel yaitu atas, tengah dan bawah.
b. Homogenitas ditunjukkan dengan tidak adanya butiran kasar
(Ditjen POM, 2000).
3.Uji pH
Prosedur pengujian
a. Encerkan Sediaaan
b. Siapkan Stik ukur pH universal
c. Celupkan Stik pH universal kedalam sampel gel yang telah diencerkan
d. Diamkan beberapa menit
e. Catat hasil yang didapat
pH sediaan yang memenuhi kriteria pH kulit yaitu dalam interval 4,5 6,5
(Tranggono dan Latifa, 2007).
4.Uji Daya Sebar
prosedur peengujian
a. Timbang gel sebanyak 1 g
b. Ambil kaca bulat berskala
c. Letakan gel ditengah kaca bulat berskala, tutup dengan penutup kaca
transparan berikan pemberat sehingga berat total 100 g.
d. Diamkan 1 menit, kemudian catat hasilnya
Daya sebar = diameter awal diameter akhir
Daya sebar gel yang baik antara 5-7 cm (Garget al, 2002).
5.Uji Konsistensi
Prosedur evaluasi
a. Ambil sediaan gel letakan didalam sentrifugasi.
b. sediaan disentrifugasi pada kecepatan 3800 rpm selama 5 jam.
c. Amati apakah terjadi pemisahan atau bleeding antara bahan pembentuk gel
dan pembawanya yaitu air .
6. Uji daya lekat
Prosedur evaluasi
a. ambil sampel gel dan letakkan diatas kaca preparat
b. berikan tali dibagian atas kaca preparat yang lain
c tutup kaca preparat yang berisi sampel dengan kaca preparat yang sudah
bertali lalu angkat dan tunggu selama 10 detik
d. amati periswa yang terjadi
7. Kejernihan
Prosedur evaluasi
a.amati sediaan gel yang sudah jadi dibawah lampu
b. amati apakah gel ada gumpalan maupun benda asing
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Praktikum

1. Gel

Organoleptis
Warna : putih keruh
Bentuk : semi padat
Bau : tidak ada bau
PH :4
Homogenitas : homogen
Kejernihan : jernih

4.2 Pembahasan

Anda mungkin juga menyukai