Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH FARMASI

ANTIHEMOROID

SUPPOSITORIA

Oleh :
WAYAN SWANDEDY
NPM : 12700083

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Wasir pada dasarnya tidak membutuhkan pengobatan, kecuali menunjukkan
gejala dan menganggu penderita. Meski tidak mematikan seperti penyakit jantung,
kanker atau stroke, penyakit ini berpotensi menurunkan kualitas hidup penderita.
Rasa tidak nyaman akibat bengkak pada anus, bisa menguragi produktivitas.
Karena itu, pemberian terapi pada hemoroid akan sangat membantu meningkatkan
kualitas hidup serta menghindari komplikasi. Untuk derajat tertentu,jika telah
terjadi perdarahan dan prolaps tindakan invasif menjadi pilihan terakhir.
1. Definisi
Hemoroid adalah bagian vena yang berdilatasi dalam kanal anal.
Hemoroid sangat umum terjadi. Pada usia 50an, 50% individu mengalami
berbagai tipe hemoroid berdasarkan luasnya vena yang terkena. Kehamilan
diketahui mengawali atau memperberat adanya hemoroid. (Smeltzer, 2001).
Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam pleksus hemoroidales yang
tidak merupakan keadaan patologik ( Sjamsuhidayat & Jong, 2004 ).
Hemoroid adalah pelebaran varises satu segmen atau lebih vena-vena
hemoroidales (Bacon). Patologi keadaan ini dapat bermacam-macam, yaitu
trombosis, ruptur, radang, ulserasi, dan nekrosis (Mansjoer, 2000).
Untuk itu dapat disimpulkan hemoroid adalah pelebaran vena varicosa
satu segmen atau lebih vena-vena hemoroidales yang berdilatasi dalam anus
dan rectum.

2. Klasifikasi
Hemoroid dapat diklasifikasikan atas hemoroid eksterna dan interna.
a. Hemoroid Interna
Hemoroid interna adalah pleksus vena hemoroidalis superior diatas garis
mukokutan dan ditutupi oleh mukosa (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
Sedangkan menurut Sudoyo (2006), hemoroid interna dibagi berdasarkan
gambaran klinis yaitu derajat 1-4 :
1) Derajat 1: Bila terjadi pembesaran hemoroid yang tidak prolaps ke
luar kanal anus. Hanya dapat dilihat dengan anorektoskop.
2) Derajat 2: Pembesaran hemoroid yang prolaps dan menghilang atau
masuk sendiri ke dalam anus secara spontan.
3) Derajat 3: Pembesaran hemoroid yang prolaps dapat masuk lagi ke
dalam anus dengan bantuan dorongan jari.
4) Derajat 4: Prolaps hemoroid yang permanen. Rentan dan cenderung
untuk mengalami trombosis dan infark.
Lebih jelas gambar 1 mengenai hemoroid interna derajat 1-4.

b. Hemoroid Eksterna
Hemoroid eksterna biasanya perluasan hemoroid interna. Hemoroid
eksterna dapat diklasifikasikan menjadi 2 :
1) Akut
Bentuk akut berupa pembengkakan bulat kebiruaan pada pinggir anus
dan sebenarnya adalah hematom. Tanda dan gejala yang sering timbul
adalah :
a) Sering rasa sakit dan nyeri
b) Rasa gatal pada daerah hemoroid
Kedua tanda dan gejala tersebut disebabkan karena ujung-ujung saraf
pada kulit merupakan reseptor sakit
2) Kronik
Hemoroid eksterna kronik terdiri atas satu lipatan atau lebih dari kulit
anus yang berupa jaringan penyambung dan sedikit pembuluh darah
(Mansjoer, 2000).

3. Penatalaksanaan Medis
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), Sudoyo (2006) dan Mansjoer (2008),
penatalaksanaan medis hemoroid terdiri dari penatalaksanaan non
farmakologis, farmakologis, dan tindakan minimal invasive. Penatalaksanaan
medis hemoroid ditujukan untuk hemoroid interna derajat I sampai dengan III
atau semua derajat hemoroid yang ada kontraindikasi operasi atau pasien
menolak operasi. Sedangkan penatalaksanaan bedah ditujukan untuk hemoroid
interna derajat IV dan eksterna, atau semua derajat hemoroid yang tidak respon
terhadap pengobatan medis.
a. Penatalaksanaan Medis Non Farmakologis
Penatalaksanaan ini berupa perbaikan pola hidup, perbaikan pola
makan dan minum, perbaiki pola/ cara defekasi. Memperbaiki defekasi
merupakan pengobatan yang selalu harus ada dalam setiap bentuk dan
derajat hemoroid. Perbaikan defekasi disebut bowel management program
(BMP) yang terdiri dari diet, cairan, serat tambahan, pelicin feses, dan
perubahan perilaku buang air. Pada posisi jongkok ternyata sudut anorektal
pada orang menjadi lurus ke bawah sehingga hanya diperlukan usaha yang
lebih ringan untuk mendorong tinja ke bawah atau keluar rektum. Posisi
jongkok ini tidak diperlukan mengedan lebih banyak karena mengedan dan
konstipasi akan meningkatkan tekanan vena hemoroid (Sudoyo, 2006).
Gejala hemoroid dan ketidaknyamanan dapat dihilangkan dengan
hygiene personal yang baik dan menghindari mengejan berlebihan selama
defekasi. Diet tinggi serat yang mengandung buah dan sekam mungkin
satu-satunya tindakan yang diperlukan (Smeltzer dan Bare, 2002).
b. Penatalaksanaan Medis Farmakologis
Obat-obat farmakologis hemoroid dapat dibagi atas empat, yaitu pertama :
memperbaiki defekasi, kedua : meredakan keluhan subyektif, ketiga :
menghentikan perdarahan, dan keempat : menekan atau mencegah
timbulnya keluhan dan gejala.
1) Obat memperbaiki defekasi : ada dua obat yang diikutkan dalam BMP
yaitu suplemen serat (fiber suplement) dan pelicin tinja (stool
softener). Suplemen serat komersial yang banyak dipakai antara lain
psyllium atau isphagula Husk (misal Vegeta, Mulax, Metamucil,
Mucofalk). Obat kedua yaitu obat laksan atau pencahar antara lain
Natrium dioktil sulfosuksinat (Laxadine), Dulcolax, Microlac dll.
Natrium dioctyl sulfosuccinat bekerja sebagai anionic surfactant,
merangsang sekresi mukosa usus halus dan meningkatkan penetrasi
cairan kedalam tinja. Dosis 300 mg/hari (Sudoyo, 2006).
2) Obat simtomatik : bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
keluhan rasa gatal, nyeri, atau karena kerusakan kulit di daerah anus.
Obat pengurang keluhan seringkali dicampur pelumas (lubricant),
vasokonstriktor, dan antiseptic lemah. Sediaan penenang keluhan yang
ada di pasar dalam bentuk ointment atau suppositoria antara lain
Anusol, Boraginol N/S, dan Faktu. Bila perlu dapat digunakan
kortikosteroid untuk mengurangi radang daerah hemoroid atau anus
antara lain Ultraproct, Anusol HC, Scheriproct. Sediaan bentuk
suppositoria digunakan untuk hemoroid interna, sedangkan sediaan
ointment/krem digunakan untuk hemoroid eksterna (Sudoyo, 2006).
3) Obat menghentikan perdarahan : perdarahan menandakan adanya luka
pada dinding anus/ pecahnya vena hemoroid yang dindingnya tipis.
Yang digunakan untuk pengobatan hemoroid yaitu campuran diosmin
(90%) dan hesperidin (10%) dalam bentuk Micronized, dengan nama
dagang “Ardium” atau “Datlon”. Psyllium, Citrus bioflavanoida yang
berasal dari jeruk lemon dan paprika berfungsi memperbaiki
permeabilitas dinding pembuluh darah (Sudoyo, 2006).
4) Obat penyembuh dan pencegah serangan hemoroid : pengobatan
dengan Ardium 500 mg menghasilkan penyembuhan keluhan dan
gejala yang lebih cepat pada hemoroid akut bila dibandingkan
plasebo. Pemberian Micronized flavonoid (Diosmin dan Hesperidin)
(Ardium) 2 tablet per hari selama 8 minggu pada pasien hemoroid
kronik. Penelitian ini didapatkan hasil penurunan derajat hemoroid
pada akhir pengobatan dibanding sebelum pengobatan secara
bermakna. Perdarahan juga makin berkurang pada akhir pengobatan
dibanding awal pengobatan (Sudoyo, 2006).
c. Penatalaksanaan Minimal Invasive
Penatalaksanaan hemoroid ini dilakukan bila pengobatan non
farmakologis, farmakologis tidak berhasil. Penatalaksanaan ini antara
lain tindakan skleroterapi hemoroid, ligasi hemoroid, pengobatan
hemoroid dengan terapi laser (Sudoyo, 2006).
Tindakan bedah konservatif hemoroid internal adalah prosedur
ligasi pita-karet. Tindakan ini cepat dan kurang menimbulkan nyeri.
Hemoragi dan abses jarang menjadi komplikasipada periode pasca
operatif (Smeltzer dan Bare, 2002).
d. Penatalaksanaan Bedah
Hemoroidektomi atau eksisi bedah dapat dilakukan untuk mengangkat
semua jaringan sisa yang terlibat dalam proses ini. Teknik operasi
Whitehead dilakukan dengan mengupas seluruh hemoroidales interna,
membebaskan mukosa dari submukosa, dan melakukan reseksi. Lalu
usahakan kontinuitas mukosa kembali. Sedang pada teknik operasi
Langenbeck, vena-vena hemoroidales interna dijepit radier dengan klem.
Lakukan jahitan jelujur dibawah klem dengan chromic gut no. 2/0, eksisi
jaringan diatas klem. Sesudah itu, klem dilepas dan jepitan jelujur
dibawah klem diikat (Mansjoer, 2008).
BAB II
FARMASI - FARMAKOLOGI

A. Formula
Suppositoria Antihemoroid
Nama Produk : Hemoroxcin® Suppositoria
Jumlah Produk : 12 tablet
Nomor Registrasi : DKL 1345600353A1
Nomor Batch : M 13051503
Komposisi : Tiap Suppositoria mengandung :
Lidokain 50 mg
Seng oksida 120 mg
Oleum Cacao Add 24 gram

B. Sifat Fisiko Kimia


1. Sifat Fisiko Suppositoria
Suppositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan.
Biasanya suppositoria rektum panjangnya ± 32 mm (1,5 inchi), dan berbentuk
silinder dan kedua ujungnya tajam. Bentuk suppositoria rektum antara lain
bentuk peluru, torpedo atau jari-jari kecil, tergantung kepada bobot jenis
bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya menurut USP sebesar 2 g
untuk yang menggunakan basis oleum cacao (Ansel, 2005).
2. Sifat Kimia Suppositoria
1. Nama Resmi : LIDOCAINE
Nama Lain : Lidocaine, Lidocaina, Lidocainum, Lidokain,
Lidokainum, lidokainas, lignocaine
Rumus Molekul : C14H22N20
Rumus Struktur :
Berat Molekul : 234,3
Pemerian : kristal bubuk berwarna putih dengan bau khas.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, Praktis tidak larut dalam
air; sangat mudah larut dalam alkohol, dalam
diklorometana, dan dalam kloroform; mudah larut
dalam eter dan dalam benzena, larut dalam minyak.

2. Nama Lain : Seng oksigen


Rumus Molekul : ZnO
Berat Molekul : 81,38
Pemerian : serbuk amorf, sangat halus, putih atau putih
kekuningan, tidak berbau, tidak berasa, lambat laun
menyerap CO2 dari udara.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%),
larut dalam asam mineral encer dan larutan alkali
hidroksida
Stabilitas : Jamur tumbuh saat kelembapan tinggi. Laktosa
berubah menjadi kecoklatan pada penyimpanan,
adanya reaksi yang dipercepat dengan pemanasan,
kondisi basah. Kemurnian dari laktosa yang berbeda
dapat berubah-ubah dan penting untuk dilakukan
evaluasi warna, terutama jika tablet sedang
diformulasi. Stabilitas warna dari berbagai jenis
laktosa juga berbeda.
Penyimpanan : Simpan pada wadah yang tertutup baik, dingin dan
tempat yang kering.
Kegunaan : Astringen atau antiseptikum lokal

3. Oleum Cacao (FI III. 1979 : 453)


Nama Resmi : OLEUM CACAO
Nama Lain : Oleum Cacao, lemak coklat
Pemerian : lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatik,
rasa khas aromatik, rasa khas lemak, agak rapuh.
Kelarutan : sukar larut dalam etanol 95% P mudah larut dalam
kloroform P, dalam eter P dan dalam eter minyak
tanah P
abilitas : Pemanasan dalam oleum cacao lebih dari 36 derajat
selama penyiapan suppositoria dapat mengakibatkan
penurunan titik beku dalam kaitan dengan bentuk
keadaan metastabil. Hal ini merupakan pendorong
kedua berbagai kesulitan dalam pengatutan
suppositoria. Tidak harus dismpan pada suhu lebih
dai 25 derajat
Penyimpanan : Simpan pada wadah tertutup rapat dan baik, dingin,
dan tempat yang kering.
Kegunaan : Basis suppositoria

C. Farmakologi Umum
Suppositoria merupakan suatu bentuk sediaan obat padat yang umumnya
dimaksudkan untuk dimasukkan kedalam rektum, vagina, dan jarang digunakan
untuk uretra. ( Lachman Ed 3 2008 : 1147 ).
Terapi rektal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan
bentuk pemakaian lainnya, misalnya penggunaan peroral dari obat. Dalam hal ini
dapat disebutkan antara lain : tidak merusak lambung, tanpa rasa yang tidak enak
(kemualan), mudah dipakai bahkan pada saat pasien tidak sadarkan diri, sulit
menelan dan sebagainya. Jika injeksi memberikan rasa nyeri pada pasien, minimal
rasa yang tidak menyenangkan, maka pemakaian suppositoria pada umumnya tidak
menimbulkan rasa sakit (R. Voigt. 1995 : 282).
1. Seng oksida
Sediaan pelembut mengandung astringen ringan seperti bismuth
subgallat dan seng oksida dapat meringankan gejala pada homoroid (Dirjen
POM. 2000 : 35).
2. Lidokain
Merupakan obat pilihan utama untuk anestesi permukaan dan infiltrasi.
Zat ini digunakan pada selaput lendir dan kulit untuk nyeri, perasaan terbakar,
dan gatal-gatal. Dibanding prokain, khasiatnya lebih kuat dan lebih cepat
kerjanya, uga bertahan lama. Berhubung tidak mengakibatkan hipersensitivitas,
lidokain banyak digunakan dalam banyak sedian topikal. Dosis dalam
suppositoria 50-100 mg (OOP. 2007 : 412).
Anestetik lokal digunakan untuk meringankan nyeri pada hemoroid dan
gatal-gatal di sekitar anus. Salep lignokain digunakan sebelum pengosongan
usus untuk meringankan nyeri pada fisura anus (Dirjen POM. 2000 : 35).
Lidokain dapat pula digunakan untuk anestesia permukaan. Pruritus di
daerah anogenital atau rasa sakit yang menyertai wasir dihilangkan dengan
suppositoria atau bentuk salep dan krim 5% (Dept. Farmakologi dan
Terapeutik. 2011: 259)
3. Basis
Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai, karena
pada dasarnya oleum cacao termasuk kelompok ini, utama dan kelompok
ketiga merupakan golongan-golongan basis lainnya. Oleum cacao, USP,
didefinisikan sebagai lemak yang diperoleh dari biji Theobroma cacao yang
dipanggang. Merupakan basis suppositoria yang ideal karena dapat melumer
pada suhu tubuh tapi tetap dapat bertahan sebagai bentuk padat pada suhu
kamar (Ansel. 1898 : 582). Minyak coklat merupakan basis suppositoria yang
paling banyak digunakan. Sebagian besar sifat minyak coklat memenuhi syarat
basis ideal, karena minyak ini tidak berbahaya, lunak, dan tidak reaktif, serta
meleleh pada temperatur tubuh (Lachman. 2012 : 1168). Oleum cacao sebagai
bahan dasar adalah yang paling sering secara rektal suppositoria. Diperoleh
dari biji tanaman yang keras dan sejenis lilin/malam pada temperatur biasa
tetapi titik digunakan leburnya 86-95 K atau 30-35 C (scovilles. 1957 : 371).

D. Farmakodinamik
Farmakodinamik Lidokain adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas
dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesia terjadi lebih cepat, lebih kuat,
lebih lama, dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan prokain pada kosentrasi
sebanding. Anestetik ii lebih efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi
kecepatan absorpsi dan toksisitasnya bertambah. Lidokai dapat menyebabkan
kantuk.
1. Indikasi
Lidokain sering digunakan sebagai suntikan untuk anetesi infiltrasi, blokade
saraf, anestesi spinal, anestesi epidural ataupun secara setempat untuk
anestesi selaput lendir
2. Kontra Indikasi
Pasien dengan penyakit hati yang aktif dan pada kehamilan dan menyusui.
Efek samping, biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap Susunan Saraf
Pusat (SSP) misanya mengantuk, pusing, parestesia, kedutan otot, gangguan
mental, koma, dan bangkitan. Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan
kematian akibat fibrilasi ventrikel atau oleh henti jantung.
3. Interaksi Obat
Lidokain hidroklorida telah dilaporkan tidak kompatibel dalam larutan
dengan amfoterisin B, sulfadiazin natrium, methohexital natrium, cefazolin
natrium, atau fenitoin odium.

B. Farmakokinetik
Lidokain adalah anestetik lokal yang juga bermanfaaat untuk terapi
intravena akut pada aritmia ventrikel. Obat ini sekarang digunakan secara luas
untuk mengobati aritmia ventrikel yang terjadi setelah infark miokardium akut atau
kerusakan atau iritasi miokardium lainnya. Obat ini bermanfaat untuk melawan
aritmia yang ditimbulkan oleh toksisitas jantung. Toksisitas lidokain bermanifestasi
sebagai gejala-gejala kardiovaskular berupa hipotensi, bradiaritmia, atau asistol dan
oleh berbagai gejala susunan saraf pusat, termasuk parestesia, kebingungan,
disartia, agitasi, kejang, dan koma.
Konsentrasi teraputik lidokain adalah 1,5 sampai 5µg/mL, dengan
kemungkinan toksisitas diatas rentang tersebut. Di dalam serum, kemungkinan 70%
atau lebih lidokain terikat ke albumin dan glikoproteinalfa-1-asam (AAG). Pasien
yang tidak memperlihatkan respon klinis yang diharapkan terhadap konsentrasi
teraputik lidokain yang normal dan tidak mengalami toksisitas mungkin memiliki
kadar AAG darah yang meningkat yang mengikat dan menginaktifkan lidikain.
Para pasien ini mungkin memerlukan kadar teraputik yang lebih tinggi daripada
biasa untuk memperlihatkan respons. Waktu paruh plasma adalah 1 sampai 2 jam,
dengan metabolisme dan pembersihan oleh hati. Pasien dengan gagal hati mungkin
memperlihatkan pemanjangan waktu paruh lidokain.
Lidokain di absorbsi dengan baik, tetapi megalami metabolisme hepatik
lintas pertama yang ekstensif walaupun bervariasi; oleh karena itu, penggunaan oral
obat ini tidak tepat dan rute intravena yang lebih dipilih. Metabolit lidokain, yaitu
glisin xilidid (GX) dan monoetil GX, merupakan bloker saluran Na+, yang kurang
kuat dibandingkan obat induk. GX dan lidokain tampak saling berkompetisi untuk
memasuki saluran Na+, yang menunjukkan bahwa efikasi lidokain dapat berkurang
akibat akumulasi GX. Pada pemberian infus yang berlangsung lebih dari 24 jam,
bersihan lidokain menurun-suatu efek yang disebabkan oleh kompetisi antara obat
induk dan metabolit untuk mencapai enzim yang memetabolisme obat di hati.
Penurunan awal konsentrasi lidokain dalam plasma setelah pemberian intravena
terjadi dengan cepat (t1/2 ~ 8 menit), dan menggambarkan distribusi dari
kompartemen sentral ke jaringan perifer. Waktu paruh eliminasi akhir, biasanya
100-120 menit, menunjukkan eliminasi obat melalui metabolisme di hati. Efikasi
lidokain tergantung pada pemeliharaan konsentrasi plasma teraputik di dalam
kompartemen sentral. Oleh sebab itu, pemberian dosis bolus tunggal lidokain dapat
menyebabkan supresi aritmia secara temporer yang menghilang dengan cepat jika
obat didistribusikan an konsentrasi pada kompartemen sentral menurun. Untuk
mencegah hilangnya efikasi yang yang berkaitan dengan distribusi ini, digunakan
regimen dosis muatan 3-4mg/kg selama 20-30 meit—misalnya, dosis awal 100mg
kemudian diikuti dengan 50mg setiap 8 menit untuk tiga dosis. Setelah itu,
konsentrasi stabil dapat dipertahankan dalam plasma denga infus 1-4mg/menit,
yang menggantikan obat yang hilang karena metabolisme di hati. Pengukuran rutin
terhadap konsentrasi lidokain dalam plasma pada waktu yang diharapkan
tercapainya keadaan tunak berguna untuk penyesuaian laju infus pemeliharaan
untuk mempertahankan efikasi dan mencegah toksisitas.
Pada gagal jantung, bersihan lidokain berkurang dan dosis muatan total serta
laju infus pemeliharaan juga harus dikurangi. Bersihan lidokain juga berkurang
pada penyakit hati, selama pengobatan dengan simetidin atau β-bloker, dan selama
pemberian infus yang diperpanjang. Pengukuran konsentrasi lidokain dalam plasma
yang sering dilakukan dan penyesuaian dosis diperlukan untuk memastikan bahwa
konsentrasi berada dalam rentang teraputik (1,5-5 µg/mL) untuk meminimalkan
toksisitas. Lidokain terikat pada reaktan fase akut α1-asam glikoprotein. Penyakit
seperti infark miokardial akut berhubungan dengan peningkatan α1-asam
glikoprotein sehingga jumlah obat bebas berkurang. Penemuan ini dapat
menjelaskan mengapa beberapa pasien memerlukan konsentrasi lidokain plasma
total yang lebih tinggi daripada konsentrasi umumnya untuk mempertahankan
efikasi aritmia.
Lidokain menghasilkan anestesia yang lebih cepat, bertahan lebih lama, dan
lebih kuat daripada prokain pada konsentrasi yang sama. Lidokain merupakan
pilihan alternatif pada individu yang sensitif terhadap anestesik lokal jenis ester.
Lidokain diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian parenteral dan dari
saluran GI dan saluran napas. Selain sediaan injeksi ,suatu sistem penghantaran
obat bebas jarum secara iontoforesis untuk larutan lidokain dan epinefrin
(iontocaine) tersedia untuk pemberian dermal dan menghasilkan anestesia pada
kedalaman hingga 10 mm.

A. Toksisitas
Lidokain memblok baik saluran Na+ jantung yang terbuka maupun yang
tidak aktif. Pemulihan dari blok terjadi sangat cepat sehingga lidokain memberikan
efek yang lebih besar pada jaringan yang terdepolarisasi (seperti iskemia) dan/atau
jaringan yang terserang dengan cepat. Lidokain tidak berguna pada aritmia atrium,
mungkin karena potensial aksi atrium sangat singkat sehingga saluran Na+ hanya
sebentar dalam keadaan tidak aktif dibandingkan dengan waktu (pemulihan)
diastolik yang lama. Lidokain dapat menghiperpolariasi serabut Purkinje yang
terdepolarisasi oleh [K]0 yang rendah atau regang; akibatnya, peningkatan
kecepatan konduksi apat menghambat reentry. Lidokain meurunkan otomatisitas
dengan mereduksi kemiringan fase 4 dan mengubah nilai ambang eksitabilitas.
Durasi potensial aksi biasanya tidak terpengaruh atau menurun; peurunan tersebut
mungkin akibat blok beberapa saluran Na+ yang terlambat terinaktifasi selama
potensial aksi jantung. Lidokain biasanya memberikan efek yang tidak signifikan
pada durasi PR atau QRS; QT tidak berubah atau sedikit memendek. Obat ini
memberikan sedikit efek pada fungsi hemodinamik, meskipun pernah dilaporkan
adanya kasus memburuknya gagal jantung akibat lidokain, terutama pada pasien
yang fungsi ventrikel kirinya menurun.
Jika dosis besar lidokain intravena diberikan dengan cepat, dan terjadi
seizure. Jika konsentrasi plasma obat meningkat secara perlahan di atas rentang
teraputik, seperti yang umum terjadi selama terapi pemeliharaan, biasanya terjadi
tremor, disartria, dan perubahan tingkat kesadaran. Nistagmus merupakan tanda
awal toksisitas lidokain.

B. Cara Penulisan Resep

Dr. Swandedy
SIP/STR : 12700083
Dukuh Kupang Timur XX no 18

Surabaya, 12 Agustus 2016

R/ Tabl. Lidocaine 10 mg No. III


S. 1. d.d. tabl. I
H

Pro : Ny. Taylor


Umur : 39 tahun
Alamat : Dukuh Kupang Barat XI/10
BAB III
PEMBAHASAN

Menurut Farmakope Indonesia ed. IV suppositoria adalah sediaan padat dalam


berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya
meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. (FI ed.IV hal 16)
Suppositoria vaginal (ovula) umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan
berbobot lebih kurang 5 g, dibuat dari zat pembawa yang larut dalam air atau yang dapat
bercampur dalam air, seperti polietilen glikol atau gelatin tergliserinasi.
Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai
pembawa zat terapetik yang bersifat lokal atau sistemik. Bahan dasar suppositoria yang
umum digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak nabati
terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai bobot molekul, dan ester asam
lemak polietilen glikol.
Bahan dasar suppositoria yang digunakan sangat berpengaruh pada pelepasan zat
terapetik. Lemak coklat cepat meleleh pada suhu tubuh dan tidak tercampurkan dengan
cairan tubuh, oleh karena itu menghambat difusi obat yang larut dalam lemak pada
tempat diobati. Polietilen glikol adalah bahan dasar yang sesuai untuk beberapa
antiseptik. Jika diharapkan bekerja secara sistemik, lebih baik menggunakan bentuk
ionik dari pada nonionik, agar diperoleh ketersediaan hayati yang maksimum. Meskipun
obat bentuk nonionik dapat dilepas dari bahan dasar yang dapat bercampur dengan air,
seperti gelatin tergliserinasi dan polietilen glikol, bahan dasar ini cenderung sangat
lambat larut sehingga menghambat pelepasan. Bahan pembawa berminyak seperti
lemak coklat jarang digunakan dalam sediaan vagina, karena membentuk residu yang
tidak dapat diserap, Sedangkan gelatin tergliserinasi jarang digunakan melalui rektal
karena disolusinya lambat. Lemak coklat dan penggantinya (lemak keras) lebih baik
untuk menghilangkan iritasi, seperti pada sediaan untuk hemoroid internal.
A. Komponen dan Zat Pambawa Sediaan Suppositoria
1. Zat Aktif
Zat aktif atau bahan obat yang digunakan dalam sediaan suppositoria
bermacam – macam sesuai efek yag diinginkan apakah efek sistemik atau efek
local. Contoh sediaan suppositoria dengan zat aktif sebagai berikut.
Suppositoria aminofilin ( Fornas, HC Ansel,593 ), Suppositoria aspirin
(HC Ansel, 593), Suppositoria bibaza / anusol ( Fornas ), Suppositoria
bisakodil ( BP 2002 hal. 1895; Fornas ), Suppositoria klorpromazin ( BP 2002
hal. 1895), Suppositoria etamifilin ( BP 2001), Suppositoria flurbiprofen ( BP
2002 hal. 1895), Suppositoria gliserol ( BP 2002 hal. 1895), Suppositoria
indometasin ( BP 2002 hal. 1895), Suppositoria metronidazol ( BP 2002 hal.
1895), Suppositoria morfin ( BP 2002 hal. 1895), Suppositoria naproxen ( BP
2002 hal. 1895), Suppositoria parasetamol ( BP 2002 hal. 1895), Suppositoria
Aminofilin (Fornas hal 21). Suppositoria pentazosin ( BP 2002 hal. 1895)
2. Zat Pembawa (Basis)
Basis suppositoria mempunyai peranan penting dalam pelepasan obat
yang dikandungnya. Salah satu syarat utama basis suppositoria adalah selalu
padat dalam suhu ruangan tetapi segera melunak, melebur atau melarut pada
suhu tubuh sehingga obat yang dikandungnya dapat tersedia sepenuhnya,
segera setelah pemakaian (H.C. Ansel, 1990, hal 375).
Menurut Farmakope Indonesia IV, basis suppositoria yang umum
digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak nabati
terhidrogenasi, campuran polietilenglikol (PEG) dengan berbagai bobot
molekul dan ester asam lemak polietilen glikol. Basis suppositoria yang
digunakan sangat berpengaruh pada pelepasan zat terapeutik (FI IV,hlm.16).
Yang perlu diperhatikan untuk basis suppositoria adalah :
1. Asal dan komposisi kimia
2. Jarak lebur/leleh
3. Solid-Fat Index (SFI)
4. Bilangan hidroksil
5. Titik pemadatan
6. Bilangan penyabunan (saponifikasi)
7. Bilangan iodida
8. Bilangan air (jumlah air yang dapat diserap dalam 100 g lemak)
9. Bilangan asam
(Lachman, Teory and Practice of Industrial Pharmacy, 568-569)
Syarat basis yang ideal antara lain :
1. melebur pada temperatur rektal
2. tidak toksik, tidak menimbulkan iritasi dan sensitisasi
3. dapat bercampur (kompatibel) dengan berbagai obat
4. tidak berbentuk metastabil
5. mudah dilepas dari cetakan
6. memiliki sifat pembasahan dan emulsifikasi
7. bilangan airnya tinggi
8. stabil secara fisika dan kimia selama penyimpanan
9. dapat dibentuk dengan tangan, mesin, kompresi atau ekstrusi

Tipe basis suppositoria berdasarkan karakteristik fisik yaitu (H. C. Ansel,


1990) :
1. Basis suppositoria yang meleleh (Basis berlemak)
Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai, terdiri dari
oleum cacao, dan macam-macam asam lemak yang dihidrogenasi dari minyak
nabati seperti minyak palem dan minyak biji kapas.
Menurut USP, oleum cacao merupakan :
a. Lemak yang diperoleh dari biji Theobroma cacao yang dipanggang.
b. Secara kimia adalah trigliserida yang terdiri dari oleapalmitostearin dan oleo
distearin
c. Pada suhu kamar, berwarna kekuning-kuningan sampai putih padat sedikit
redup, beraroma coklat
d. Melebur pada 30-36°C
(H. C. Ansel, 1990 hal 376)
e. Titik leleh :31-34 oC
f. Kelarutan : mudah larut dalam kloroform, eter, petroleum spirit, larut dalam
etanol panas, sedikit larut dalam etanol 95%
g. Stabilitas dan penyimpanan : pemanasan diatas 36 oC menyebabkan
pembentukan kristal metastabil. Oleum cacao disimpan di suhu < 25 °C
(HOPE , ed. IV hal. 639)
h. Bilangan iod 34 – 38
i. Bilangan asam 4
j. Mudah tengik dan meleleh harus disimpan di tempat sejuk dan kering
terhindar dari cahaya. (Lachman,575)
k. Bentuk polimorfisa
 Bentuk α melebur pada 24°C diperoleh dengan pendinginan secara tiba-
tiba sampai 0°C.
 Bentuk β diperoleh dari cairan oleum cacao yang diaduk pada suhu 18-
23 °C titik leburnya 28-31 °C
 Bentuk stabil β diperoleh dari bentuk β’, melebur pada 34-35 °C diikuti
dengan kontraksi volume
 Bentuk γ melebur pada suhu 18°C, diperoleh dengan menuangkan
oleum cacao suhu 20°C sebelum dipadatkan ke dalam wadah yang
didinginkan pada suhu yang sangat dingin.
Pembentukan polimorfisa tergantung dari derajat pemanasan, proses
pendinginan dan selama proses. Pembentukan kristal non stabil dapat
dihindari dengan cara :
 Jika massa tidak melebur sempurna, sisa-sisa krsital mencegah
pembentukan krsital non stabil.
 Sejumlah kristal stabil ditambahkan ke dalam leburan untuk
mempercepat perubahan dari bentuk non stabil ke bentuk stabil.
(istilahnya “seeding”)
 Leburan dijaga pada temperatur 28-32 °C selama 1 jam atau 1 hari.

Hal-hal yang harus diperhatikan pada basis lemak :


 Gunakan panas minimal pada proses peleburan, < 40°C
 Jangan memperlama proses pemanasan
 Jika melekat pada cetakan gunakan lubrikan
 Titik pemadatan oleum cacao terletak 12-13 °C dibawah titik leburnya
sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan suppo (menjaga suppo
tetap cair tanpa berubah menjadi bentuk tidak stabil)
 Penambahan emulgator seperti tween 61 sebanyak 5-10 % akan
meningkatkan absorpsi air sehingga menjaga zat-zat yang tidak larut
tetap terdispersi/tersuspensi dalam oleum cacao
 Kestabilan suspensi dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan-
bahan seperti Al monostearat atau silika yang memberikan leburan
oleum cacao bersifat tiksotropik.
 Untuk obat-obat yang dapat menurunkan titik lebur oleum cacao seperti
minyak atsiri, creosote, fenol,. Kloralhidrat, digunakan campuran
malam atau spermaceti (lemak ikan paus).(Lachman,576)

2. Basis suppositoria larut air dan basis yang bercampur dengan air
Basis yang penting dari kelompok ini adalah basis gelatin tergliserinasi
dan basis polietilen glikol. Basis gelatin tergliserinasi terlalu lunak untuk
dimasukkan dalam rektal sehingga hanya digunakan melalui vagina (umum)
dan uretra. Basis ini melarut dan bercampur dengan cairan tubuh lebih lambat
dibandingkan dengan oleum cacao sehingga cocok untuk sediaan lepas lambat.
Basis ini menyerap air karena gliserin yang higroskopis. Oleh karena itu, saat
akan dipakai, suppo harus dibasahi terlebih dahulu dengan air.
Dalam farmakope belanda terdapat formula suppositoria dengan bahan
dasar gelatin, yaitu:panasi 2 bagian gelatin dengan 4 bagian air dari 5 bagian
gliserin sampai diperoleh masa yang homogen. Tambahkan air panas sampai
diperoleh 11 bagian. Biarkan masa cukup dingindan tuangkan dalam cetakan,
hingga diperolehsupositoria dengan berat 4 g
Obat yang ditambahkan dilarutkan atau digerus dengan sedikit air atau
gliserin yang disisakan dan dicampurkan pada masa yang sudah dingin. Bila
obatnya sedikt dikurangkan pada berat air dan bila obatnya banyakdikurangkan
berat masa bahan dasar.
Polietilen glikol (PEG) merupakan polimer dari etilen oksida dan air,
dibuat menjadi bermacam-macam panjang rantai, berat molekul dan sifat fisik.
Polietilen glikol tersedia dalam berbagai macam berat molekul mulai dari 200
sampai 8000. PEG yang umum digunakan adalah PEG 200, 400, 600, 1000,
1500, 1540, 3350, 4000, 6000 dan 8000. Pemberian nomor menunjukkan berat
molekul rata-rata dari masing-masing polimernya. Polietilen glikol yang
memiliki berat molekul rata-rata 200, 400, 600 berupa cairan bening tidak
berwarna dan yang mempunyai berat molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa
lilin putih, padat dan kekerasannya bertambah dengan bertambahnya berat
molekul.
Basis polietilenglikol dapat dicampur dalam berbagai perbandingan
dengan cara melebur, dengan memakai dua jenis PEG atau lebih untuk
memperoleh basis suppo dengan konsistensi dan karakteristik yang diinginkan.
PEG menyebabkan pelepasan lebih lambat dan memiliki titik leleh lebih tinggi
daripada suhu tubuh. Penyimpanan PEG tidak perlu di kulkas dan dapat dalam
penggunaan dapat dimasukkan secara perlahan tanpa kuatir suppo akan
meleleh di tangan (hal yang umum terjadi pada basis lemak). (Ansel, hal 377).
Contoh formula basis (Lachman, 578)
1. PEG 1000 96%, PEG 4000 4%
2. PEG 1000 75%, PEG 4000 25%

Basis a) memiliki titik leleh rendah, sehingga membutuhkan tempat


dingin untuk penyimpanan, terutama pada musim panas. Basis ini berguna
jika kita ingin disintegrasi yang cepat. Sedangkan basis b) lebih tahan panas
daripada basis a) sehingga dapat disimpan pada suhu yang lebih tinggi. Basis
ini berguna jika kita ingin pelepasan zat yang lambat. (Lachman, 578)
Suppositoria dengan polietilen glikol tidak melebur ketika terkena suhu
tubuh, tetapi perlahan-lahan melarut dalam cairan tubuh. Oleh karena itu
basis ini tidak perlu diformulasi supaya melebur pada suhu tubuh. Jadi boleh
saja dalam pengerjaannya, menyiapkan suppositoria dengan campuran PEG
yang mempunyai titik lebur lebih tinggi daripada suhu tubuh.
Keuntungannya, tidak memungkinkan perlambatan pelepasan obat dari
basis begitu suppo dimasukkan, tetapi juga menyebabkan penyimpanan dapat
dilakukan di luar lemari es dan tidak rusak bila terkena udara panas. Suppo
dengan basis PEG harus dicelupkan ke dalam air untuk mencegah rangsangan
pada membran mukosa dan rasa “menyengat”, terutama pada kadar air dalam
basis yang kurang dari 20%. (Ansel hal 377)
PEG TITIK LELEH (°C)
1000 37 – 40
1500 44 – 48
1540 40 – 48
4000 50 – 58
6000 55 – 63
(HOPE, ed.IV p. 455)

Keuntungan basis PEG :


a. Stabil dan inert
b. Polimer PEG tidak mudah terurai.
c. Mempunyai rentang titik leleh dan kelarutan yang luas shg
memungkinkan formula supo dgn berbagai derajat kestabilan panas dan
laju disolusi yg berbeda
d. Tidak membantu pertumbuhan jamur
(Teori dan Praktek Industri Farmasi, hal 1174)
Kerugian basis PEG:
a. Secara kimia lebih reaktif daripada basis lemak.
b. Dibutuhkan perhatian lebih untuk mencegah kontraksi volume yang
membuat bentuk suppo rusak
c. Kecepatan pelepasan obat larut air menurun dengan meningkatnya
jumlah PEG dgn BM tinggi.
d. Cenderung lebih mengiritasi mukosa drpd basis lemak.
(HOPE, hal 455)
Kombinasi jenis PEG dapat digunakan sebagai basis suppositoria dan
memberikan keuntungan sebagai berikut.:
a. Titik lebur suppositoria dapat meningkat shg lebih tahan thd suhu
ruangan yg hangat.
b. Pelepasan obat tdk tergantung dari titik lelehnya.
c. Stabilitas fisik dalam penyimpanan lebih baik.
d. Sediaan suppositoria akan segera bercampur dengan cairan rektal.
(HOPE, hal 455)
3. Basis surfaktan
Surfaktan tertentu disarankan sebagai basis hidrofilik sehingga dapat
digunakan tanpa penambahan zat tambahan lain. Surfaktan juga dapat
dikombinasikan dengan basis lain. Basis ini dapat digunakan untuk
memformulasi obat yang larut air dan larut lemak.
Beberapa surfaktan nonionik dengan sifat kimia mendekati polietilen
glikol dapat digunakan sebagai bahan pembawa suppositoria. Contoh
surfaktan ini adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan dan
polioksietilen stearat.
Surfaktan ini dapat digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi
dengan pembawa suppositoria lain untuk memperoleh rentang suhu lebur
yang lebar dan konsistensi. Salah satu keuntungan utama pembawa ini adalah
dapat terdispersi dalam air. Tetapi harus hati-hati dalam penggunaan
surfaktan, karena dapat meningkatkan kecepatan absorpsi obat atau dapat
berinteraksi dengan molekul obat yang menyebabkan penurunan aktivitas
terapetik.
Keuntungan :
a. Dapat disimpan pada suhu tinggi
b. Mudah penanganannya
c. Dapat bercampur dengan obat
d. Tidak mendukung pertumbuhan mikroba
e. Nontoksik dan tidak mensensitisasi
(Lachman, Teory and Practice of Industrial Pharmacy, 575, 578)

B. Pendekatan Formulasi Dalam Sediaan Farmasi


1. Suppositoria untuk tujuan sistemik
a. Basis yang digunakan tersedia dan ekonomis.
b. Zat aktif harus terdispersi baik dalam basis dan dapat lepas dengan baik
(pada kecepatan yang diinginkan) dalam cairan tubuh di sekitar
suppositoria.
c. Jika zat aktif larut air, gunakan basis lemak dengan kadar air rendah.
d. Jika zat aktif larut lemak, gunakan basis larut air. Dapat ditambahkan
surfaktan untuk mempertinggi kelarutannya.
e. Untuk meningkatkan homogenitas zat aktif dalam basis sebaiknya
digunakan pelarut yang melarutkan zat aktif atau zat aktif dihaluskan
sebelum dicampur dengan basis yang meleleh.
f. Zat aktif yang larut sedikit dalam air atau pelarut lain yang tercampur dalam
basis, dilarutkan dulu sebelum dicampur dengan basis.
g. Zat aktif yang langsung dapat dicampur dengan basis, terlebih dahulu
digerus halus sehingga 100 % dapat melewati ayakan 100 mesh.

2. Suppositoria untuk efek lokal


a. Untuk hemoroid, anestetika lokal dan antiseptik (tidak untuk diabsorbsi).
b. Basis tidak diabsorpsi, melebur dan melepaskan obat secara perlahan-lahan.
c. Basis harus dapat melepas sejumlah obat yang memadai dalam 1/2 jam, dan
meleleh seluruhnya dengan melepas semua obat antara 4-6 jam agar terjadi
efek lokal dalam kisaran waktu tersebut.
d. Pilih basis untuk efek local
e. Obat harus didistribusikan secara homogen dalam basis suppositoria.
(Lachman, “Theory and Practice of Industrial Pharmacy” 3rd ed, 582-583)

3. Pemilihan Obat / Zat Aktif


Suatu zat aktif dapat dberikan dalam bentuk suppositoria jika:
a. Dapat diabsorpsi dengan cukup melalui mukosa rektal untuk mencapai
kadar terapeutik dalam darah (absorpsi dapat ditingkatkan dengan bahan
pembantu).
b. Absorpsi zat aktif melalui rute oral buruk atau menyebabkan iritasi mukosa
saluran pencernaan, atau zat aktif berupa antibiotik yang dapat mengganggu
keseimbangan flora normal usus.
c. Zat aktif berupa polipeptida kecil yang dapat mengalami proses enzimatis
pada saluran pencernaan bagian atas (sehingga tidak berguna jika diberikan
melalui rute oral).
d. Zat aktif tidak tahan terhadap pH saluran pencernaan bagian atas.
e. Zat aktif digunakan untuk terapi lokal gangguan di rektum atau vagina.

Sifat dari zat aktif yang mempengaruhi pengembangan produk


suppositoria:
1. Sifat fisik
 Zat aktif dapat berupa cairan, pasta atau solida.
 Penurunan ukuran partikel dapat meningkatkan bioavailabilitas
obat (melalui peningkatan luas permukaan) dan meningkatkan
kinetika disolusi pada ampula rektal.
 Penurunan ukuran partikel dapat menyebabkan pengentalan
campuran zat aktif/eksipien, yang menyebabkan aliran menjadi
jelek saat pengisian suppositoria ke cetakan, dan juga
memperlambat resorpsi zat aktif.
 Adanya zat aktif berupa kristal kasar (baik karena kondisi zat aktif
saat ditambahkan ke dalam basis atau karena pembentukan kristal)
dapat menyebabkan iritasi permukaan mukosa rektal yang sensitif.
2. Densitas bulk
Jika terdapat perbedaan yang signifikan antara densitas zat aktif
dengan eksipien,diperlukan perlakuan khusus untuk mencapai
homogenitas produk. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal
ini yaitu dengan menurunkan ukuran partikel atau meningkatkan
viskositas produk. Peningkatan viskositas produk dapat dicapai dengan
penambahan bahan pengental, atau dengan menurunkan suhu campuran
agar mendekati titik solidifikasi sehingga fluiditasnya turun.
3. Kelarutan (solubilitas)
 Peningkatan kelarutan zat aktif dalam basis meningkatkan
homogenitas produk, tetapi menyulitkan/mengurangi pelepasan zat
aktif jika terjadi kecenderungan yang besar dari zat aktif untuk
tetap berada dalam basis.
 Afinitas zat aktif terhadap basis/eksipien dapat diatur dengan
derajat misibilitas dari kedua komponen suppositoria.
4. Pemilihan Basis
Peran utama basis suppositoria:
a. Menjadikan zat aktif tertentu dapat dibuat dalam bentuk suppositoria yang
tepat dengan karakteristik fisikokimia zat aktif dan keinginan formulator.
b. Basis digunakan untuk mengatur penghantaran pengobatan pada tempat
absorpsinya.
Karakteristik basis yang menentukan selama produksi:
1. Kontraksi
Sedikit kontraksi pada saat pendinginan volume suppositoria
diinginkan untuk memudahkan pengeluaran dari cetakan.
2. Ke-inert-an (inertness)
Tidak boleh ada interaksi kimia antara basis dengan bahan aktif.
3. Pemadatan
Interval antara titik leleh dengan titik solidifikasi harus optimal:
jika terlalu pendek maka penuangan lelehan ke dalam cetakan akan
sulit; jika terlalu panjang, waktu pemadatan menjadi lama sehingga laju
produksi suppositoria menurun.
4. Viskositas
Jika viskositas tidak cukup, komponen terdispersi dari campuran
akan membentuk sedimen, mengganggu integritas dari produk akhir.

Karakteristik basis yang menentukan selama penyimpanan:


1. Ketidakmurnian (Impurity)
Kontaminasi bakteri / fungi harus diminimalisir dengan basis
yang non-nutritif dengan kandungan air minimal.
2. Pelunakan (softening)
Suppositoria harus diformulasi agar tidak melunak atau meleleh
selama transportasi atau penyimpanan.
3. Stabilitas
Bahan yang dipilih tidak teroksidasi saat terpapar udara,
kelembapan atau cahaya.
Karakteristik basis yang menentukan selama penggunaan:
1. Pelepasan
Pemilihan basis yang tepat memberikan penghantaran bahan aktif
yang optimal ke tempat target.
2. Toleransi
Suppositoria akhir toksisitasnya harus minimal, dan tidak
menyebabkan iritasi jaringan mukosa rektal yang sensitif.

Kriteria pemilihan basis berdasarkan karakteristik fisikokimianya:


1. Jarak lebur
Spesifikasi suhu lebur basis suppositoria (terutama basis lemak)
dinyatakan dalam jarak lebur daripada suatu titik lebur. Hal ini karena
terdapat suatu rentang suhu antara bentuk stabil dan tidak stabil, suatu
hasil dari polimorfisme bahan tersebut. Penambahan cairan ke dalam
basis umumnya cenderung menurunkan suhu leleh suppositoria,
sehingga disarankan penggunaan basis dengan suhu leleh lebih tinggi.
Sedangkan, penambahan sejumlah besar serbuk fine akan meningkatkan
viskositas produk, sehingga diperlukan basis dengan suhu leleh yang
lebih rendah.
2. Bilangan iodin
Rancidifikasi (oksidasi) basis suppositoria dapat menjadi
massalah. Karena sensitivitas dari jaringan mukosa rektal, dan
potensinya terpapar lelehan basis suppositoria, maka antioksidan
berpotensi mengiritasi tidak dianjurkan digunakan dalam suppositoria.
Untuk mencegah penggunaan antioksidan, sebaiknya digunakan basis
dengan bilangan iodin < 3 (dan lebih diutamakan < 1).
3. Indeks hidroksil
Bahan yang memiliki indeks hidroksil rendah juga memberikan
stabilitas yang lebih baik dalam kasus dimana zat aktif sensitif terhadap
adanya radikal hidroksil.
5. Pemilihan bahan pembantu yang dapat meningkatkan homogenitas
produk, kelarutan, dll
Bahan pembantu digunakan untuk:
a. Meningkatkan penggabungan (inkorporasi) dari serbuk zat aktif
Peningkatan jumlah serbuk zat aktif dapat mengganggu integritas
suppositoria dengan menyebabkan peningkatan viskositas lelehan,
sehingga menghambat alirannya ke dalam cetakan. Ajuvan yang
digunakan untuk mengatasi hal ini yaitu: Mg karbonat, minyak netral
(gliserida asam lemak jenuh C-8 hingga C-12 dengan viskositas rendah)
10% dari bobot suppositoria, dan air (1 – 2 %).
b. Meningkatkan hidrofilisitas
Penambahan bahan peningkat hidrofilisitas digunakan untuk
mempercepat disolusi suppositoria di rektum, sehingga meningkatkan
absorpsi, jika digunakan dengan konsentrasi rendah. Tetapi, jika
digunakan dalam konsentrasi besar, bahan ini malah menurunkan absorpsi.
Bahan peningkat hidrofilisitas juga dapat menyebabkan iritasi lokal.
Contoh bahan ini yaitu:
 Surfaktan anionik, misalnya: garam empedu, Ca oleat, setil stearil
alkohol plus 10 % Na alkil sulfat, Na dioktilsulfosuksinat, Na lauril
sulfat (1 %), Na stearat (1 %), dan trietanol amin stearat (3 – 5 %);
 Surfaktan nonionik dan amfoterik, misalnya: ester asam lemak dari
sorbitan (Span & Arlacel), ester asam lemak dari sorbitan
teretoksilasi (Tween), ester dan eter teretoksilasi (polietilenglikol
400 miristat, Myrj, eter polietilenglikol dari alkohol lemak), minyak
natural termodifikasi (Labrafil M2273, Cremophor EL, lesitin,
kolesterol);
 Gliserida parsial, misalnya: mono- dan digliserida mengandung asam
lemak tergliserolisasi (Atmul 84), mono- dan digliserida (gliserin
monostearat dan gliserin monooleat), monogliserida asam stearat dan
palmitat, mono- dan digliserida dari asam palmitat dan stearat.
c. Meningkatkan viskositas
Pengaturan viskositas dari lelehan suppositoria selama pendinginan
merupakan titik kritis untuk mencegah sedimentasi. Bahan yang
digunakan yaitu: asam lemak dan derivatnya (Al monostearat, gliseril
monostearat, & asam stearat), alkohol lemak (setil, miristat dan stearil
alkohol), serbuk inert (bentonit & silika koloidal).
d. Mengubah suhu leleh
Contoh bahan yang digunakan: asam lemak dan derivatnya
(gliserol stearat dan asam stearat), alkohol lemak (setil alkohol dan setil
stearat alkohol), hidrokarbon (parafin), dan malam (malam lebah, setil
alkohol, dan malam carnauba).
e. Meningkatkan kekuatan mekanis
Pecahnya suppositoria merupakan masalah yang ditemui saat
digunakan basis sintetik. Untuk mengatasinya dapat ditambahkan ajuvan
seperti: polisorbat, minyak jarak (castor oil), monogliserida asam lemak,
gliserin, dan propilenglikol.
f. Mengubah penampilan
Pewarna dapat digunakan untuk berbagai alasan seperti psikologis,
menjamin keseragaman (uniformitas) warna produk dari lot ke lot, untuk
membedakan produk, dan menyembunyikan kerusakan saat pembuatan
seperti eksudasi atau kristalisasi permukaan. Bahan hidrosolubel,
liposolubel dan insolubel serat tidak bersifat mengiritasi mukosa dapat
digunakan untuk mewarnai suppositoria.
g. Melindungi dari degradasi
Agen antifungi dan antimikroba digunakan jka suppositoria
mengandung bahan asal tanaman atau air. Digunakan asam sorbat atau
garamnya jika pH larutan zat aktif kurang dari 6. p hidroksibenzoat atau
garam natriumnya juga dapat digunakan. Tetapi, potensi bahan-bahan ini
menyebabkan iritasi rektal perlu dipertimbangkan.
Antioksidan seperti BHT, BHA, tokoferol dan asam askorbat
digunakan untuk mencegah ketengikan (rancidity) pada formulasi
suppositoria yang menggunakan lemak coklat (cocoa butter).
Sequestering agents seperti asam sitrat dan kombinasi antioksidan
digunakan untuk mengkompleks logam yang mengkatalisis reaksi
redoks. Contohnya: campuran tiga bagian BHT, BHA, dan propilgalat
dengan satu bagian asam sitrat memberikan hasil memuaskan pada
penggunaan 0,01 %.
h. Mengubah absorpsi
Pada kasus di mana absorpsi obat di rektal amat terbatas, perlu
ditambahkan bahan untuk meningkatkan uptake obat tersebut. Sejumlah
bahan telah digunakan untuk meningkatkan bioavailabilitas dari zat
aktif dalam suppositoria. Sebagai contoh, penambahan enzim
depolimerisasi (mukopolisakarase) telah dipelajari untuk meningkatkan
penetrasi beberapa zat aktif.
(Lieberman, “Disperse System”, thn 1989, vol 2, 537-54)
BAB IV
KESIMPULAN

Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang
diberikan melalui rectal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut
pada suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat,
sebagai pembawa zat terapetik yang bersifat local atau sistematik. Bahan dasar
suppositoria yang umum digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak
nabati terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai bobot molekul dan ester asam
lemak polietilen glikol (Anonim, 1995).
Keuntungan penggunaan suppositoria dibanding penggunaan obat per oral
atau melalui saloran pencernaan adalah :
3. Dapat menghindari terjadinya iritasi obat pada lambung.
4. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan
5. Obat dapat masuk langsung dalam saluradarah dan berakibat obat dapat memberi
efek lebih cepat daripada penggunaan obat per oral
6. Baik, bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar (Anief, 2004)

Untuk menghindari resiko dalam pemberian suppositoria sebagai terapi


antihemoroid perlu diperhatikan bahwa :
1. Konsentrasi teraputik lidokain adalah 1,5 sampai 5µg/mL, dengan kemungkinan
toksisitas diatas rentang tersebut.
2. Waktu sampling Lidokain adalah 2 jam setelah pemakaian atau 6-12 jam setelah
inisiasi terapi tanda pemakaian. Memerlukan waktu sekitar 3-3 hari untuk
melaporkan hasilnya.
3. Lidokain hidroklorida telah dilaporkan tidak kompatibel dalam larutan dengan
amfoterisin B, sulfadiazin natrium, methohexital natrium, cefazolin natrium, atau
fenitoin odium
4. Tegakkan diagnosa dengan anamnesa yang akurat untuk ketapatan dalam
pelaksanaan tatalaksana hemoroid terutama dengan suppositoria yang mengandung
likodain.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta : UI-
Press.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2011. Farmakologi dan Terapi. Jakarta:

Dirjen POM. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta : Depkes RI.
Edition Volume 1. USA: PhamaceuTech Inc.
Edition. Great Britain: RPS Publishing.
Edition. Great Britain: RPS Publishing.
FK-UI.

Katzung, Bertram G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba

Lachmann, Leon dkk. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI-Press.
Media Komputindo.Medika.

Pharmaceutical Dosage Form Disperse System Volume 2, Herbert A. Lieberman,


1989,hal. 552

Rowe, Raymond C dkk. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth

Soetopo, dkk. 2002. Ilmu Resep dan Teori. Jakarta : Departemen Kesehatan

Sukandar, Elin Yulinah dkk. 2009. Iso Farmakoterapi. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan.

Swarbick, James.2007. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology Third

Sweetman, Sean C.2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-sixth

Syamsuni .1996. Ilmu Meracik Obat. Jakarta. Erlangga

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja.2010. Obat-obat Penting. Jakarta: Elex

Anda mungkin juga menyukai