Anda di halaman 1dari 22

BAB I

LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. I
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Arif Rahman Hakim No.22
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
No. Rekam Medis : 637561
Ruangan : Bougenville kelas III Laki-laki
Tanggal Masuk IGD : 31 Agustus 2018, pukul 21.20 WIB
Tanggal Masuk Ruangan : 01 September 2018, pukul 00.30 WIB
Tanggal Keluar RS : 06 September 2018

B. Anamnesa

1. Keluhan Utama :
Kepala pusing dan nyeri pada perut post kecelakaan lalu lintas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien diantar keluarganya ke IGD RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo pada tanggal 31
Agustus 2018, pukul 21.20 WIB dengan Ambulans dari Puskesmas Sumber.
Heteronamnesa, keluarga pasien mengatakan pasien mengalami kecelakaan lalu lintas
motor sekitar pukul 18.30 WIB. Pasien kemudian dibawa ke Puskesmas Sumber.
Kronologi kejadian pasien jatuh sendiri dari saat mengendarai motor dan pada saat itu
pasien menggunakan tidak menggunakan helm. Pasien terjatuh dengan posisi
terselungkup. Pasien juga sempat tidak sadarkan diri setelah kejadian. Saat di IGD dr.
Moh. Saleh pasien mengeluh nyeri kepala, nyeri dileher dan telinga kanan. Pasien masih

1
mengingat kejadian sebelum kecelakaan. Di puskesmas pasien tidak ada muntah. Saat di
rawat di ruang Bougenville pasien masih mengeluh nyeri di leher dan kepala. Makan
minum sedikit, BAK (+), BAB (+), tidak ada muntah hanya merasakan sedikit mual.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mengaku tidak pernah jatuh dengan benturan dikepala seperti ini sebelumnya.
a. Riwayat Kencing Manis : (-)
b. Riwayat Darah Tinggi : (-)
c. Riwayat Penyakit Jantung : (-)
d. Alergi Obat : (-)
e. Alergi Makanan : (-)
f. Riwayat Asma : (-)
g. Riwayat Operasi : (-)
h. Riwayat opname di RS :(-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat Keluarga Serupa : (-)
b. Riwayat Kencing Manis : (-)
c. Riwayat Darah Tinggi : (-)
d. Riwayat Penyakit Jantung : (-)
5. Riwayat Pengobatan
Sebelumnya di puskesmas pasien telah diberi infus dan oksigen
6. Riwayat Alergi
Alergi terhadap makanan (-), alergi terhadap obat (-)
7. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), alkohol (-)

C. Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
Airway : Paten (pasien dapat berbicara), epitaksis (-)
Breathing : Bentuk dada simetris, retraksi (-), gerak nafas tertinggal (-), terdapat jejas
berupa memar pada thorax dextra setinggi Os Costa VIII, fremitus vokal

2
paru kanan dan kiri simetris, fremitus raba kanan dan kiri simetris, sonor
di kedua lapangan paru depan dan belakang, suara nafas vesikuler (+/+),
rhonki (-/-), wheezing (-/-) RR 22x/mnt.
Circulation : Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80x/mnt, suhu 36,8℃, akral hangat,
CRT <2 detik
Disability : GCS 3 5 6
Exposure : Trauma pada daerah fasial edema regio frotalis-orbita sinistra dan dextra,
edema regio oris, hematoma orbita bilateral, vulnus abratio regio frontalis
dextra dan sinistra, vulnus abratio regio maxilla.
2. Secondary Survey
a. Kepala/Leher
Kepala : Deformitas (+), terdapat edema pada regio frontalis dextra dan
sinistra,hematoma orbita dextra dan sinistra, vulnus abrasion regio
frontalis dextra dan sinistra, vulnus abratio regio maxilla.
Mata : Visus +/+,
Palpebra : hematoma (+/+), racoon eyes (+), susah membuka mata sebelah
kiri akibat edema
Konjungtiva : anemis (-/-),
Sklera : hematoma (+/+), icterus (-/-)
Pupil : refeks pupil +/+, isokor
Telinga : dalam batas normal
Hidung : pernafasan cuping hidung (-), epitasis -/-
Mulut : sianosis (-), hematoma (+), edema (+)
Leher : pembesaran KGB (-), jejas (-), nyeri leher (+)

b. Thorax
• Jantung
- Inspeksi : Bentuk dada simetris, retraksi (-), deformitas (-)
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultrasi : S1 dan S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-)

3
• Paru
- Inspeksi : Bentuk dada simetris, retraksi (-), gerak nafas tertinggal (-), massa
(-), jejas (-)
- Palpasi : Gerak dinding dada simetris, fremitus vokal paru kanan dan kiri
simetris, fremitus raba kanan dan kiri simetris, nyeri tekan pada jejas.
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru depan dan belakang
- Auskultrasi : Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
c. Abdomen

• Inspeksi : perut tampak flat, jejas (-)

• Auskultasi : bising usus (+)

• Palpasi : supel, nyeri tekan pada jejas (-), tugor baik (<2 detik), hepar, lien, dan
ginjal tidak teraba

• Perkusi : timpani

d. Ekstremitas :
− − + +
vulnus abration pada tangan dan kaki, oedem , Akral hangat , nadi kuat
− − + +

reguler, CTR ≤ 2 detik, ROM dalam batas normal


3. Status lokalis
Regio facial
Inspeksi : Terdapat deformitas pada wajah sebelah kanan, edema (+), hematoma (+)
Palpasi : Nyeri tekan pada jejas, krepitasi (-)
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 27 Februari 2018, pukul 22.09 WIB
• Hemoglobin : 15.5 g/dL (nilai rujukan 13-18 g/dL)

• Leukosit : 14.000/mm3 (nilai rujukan 4.000-11.000/mm3)

• Trombosit : 226.000/mm3 (nilai rujukan 150.000-350.000/mm3)

• GDA : 119 g/dL (nilai rujukan <180)

4
Pemeriksaan Radiologi tanggal 31 Agustus 2018, pukul 21.20 WIB
1. Foto Skull AP dan Lateral

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala adalah suatu trauma mekanik pada kepala baik secara langsung atau tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial, baik temporer maupun permanen.
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
B. Anatomi Kepala
1. Kulit Kepala
Kulit kepala menutupi tengkorak, terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu: skin
atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponneurosis atau galea
aponeurotika, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.
2. Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka kepala yang disusun menjadi dua bagian, yaitu
kranium atau kalvaria yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah terdiri atas
empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai
kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai dengan
gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan
bawah rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Permukaan ini ditembusi
banyak lubang supaya dapat dilalui serabut saraf dan pembuluh darah.
3. Meningen
Meningen adalah jaringan membran penghubung yang melapisi otak dan medula spinalis.
Ada tiga lapisan meningen yaitu:
a. Durameter (lapisan luar)
Durameter adalah lapisan terluar meningen, merupakan lapisan yang liat, kasar, dan
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam kranium.
Durameter mempunyai dua lapisan membran, yaitu endosteal dan meningeal. Arteri-

6
arteri meningen terletak antara durameter dan permukaan dalam kranium (ruang
epidural). Pada cedera kepala, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut bridging
veins.
b. Selaput arakhnoid (lapisan tengah)
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis, tembus pandang, dan seperti laba-
laba. Selaput ini dipisahkan dari durameter oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari piameter oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh cairan
serebrospinalis.
c. Piameter (lapisan dalam)
Piameter adalah membran vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi
gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam, membran ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam
substansi otak juga diliputi oleh piameter.
4. Otak

Gambar 2.1 Lobus-lobus otak


Otak adalah suatu bagian yang menarik dan kompleks dari anatomi manusia. Otak
bertanggung jawab untuk banyak hal seperti memicu emosi dan sumber informasi.6 Otak
terdiri dari tiga bagian, yaitu:

7
a. Otak besar (cerebrum)
Otak besar mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh korpus kallosum. Setiap
hemisfer terdiri atas empat lobus yaitu:
• Lobus frontal berfungsi sebagai aktivitas motorik, fungsi intelektual, emosi, dan
fungsi fisik. Pada lobus frontal bagian kiri terdapat area yang berfungsi sebagai
pusat motorik bahasa.
• Lobus parental terdapat sensori primer dari korteks, berfungsi sebagai proses
input sensori, sensasi posisi, sensasi raba, tekan, dan suhu ringan.
• Lobus temporal mengandung area auditorus, tempat tujuan yang datang dari
telinga. Berfungsi sebagai input perasa pendengaran, pengecap, penciuman, dan
proses memori.
• Lobus oksipital mengandung area visual otak, berfungsi sebagai penerima
informasi dan menafsirkan warna, refleks visual.
b. Otak kecil (cerebellum)
Otak kecil besarnya kira-kira seperempat otak besar. Di antaranya dibatasi oleh
tentorium serebri. Fungsi utama otak kecil adalah koordinasi aktivitas muskular,
kontrol tonus otot, mempertahankan postur, dan keseimbangan.
c. Batang otak (truncus serebri)
Batang otak terdiri atas otak tengah (mesencephalon), pons, dan medula oblongata.
Batang otak berfungsi dalam pengaturan refleks untuk fungsi vital tubuh. Otak
tengah berfungsi sebagai stimulus pergerakan otot dari dan ke otak. Pons
menghubungkan otak tengah dengan medula oblongata, berfungsi sebagai pusat
refleks pernapasan dan mempengaruhi tingkat karbon dioksida, dan aktivitas
vasomotor. Medula oblongata mengandung pusat refleks pernapasan, bersin,
menelan, batuk, muntah, sekresi saliva, dan vasokonstriksi
5. Cairan Cerebrospinalis
Cairan cerebrospinalis banyak ditemukan dalam ventrikel, di saluran sentral medula
spinalis dan di ruang arachnoid. Cairan ini merupakan penyaringan dari darah, berupa
plasma yang tidak berwarna, jernih, dan normalnya mengandung protein dan glukosa.
Pada orang dewasa rata-rata diproduksi cairan cerebrospinalis sebanyak 400-600 ml/hari.

8
Setelah bersirkulasi di otak dan medula spinalis, cairan cerebrospinalis kemudian kembali
ke otak dan diabsorbsi di vili arachnoid selanjutnya masuk ke sistem vena jugularis ke
vena cava superior dan akhirnya masuk ke sirkulasi sistemik. Fungsi dari cairan
cerebrospinalis adalah untuk mempertahankan fungsi normal saraf seperti untuk nutrisi
dan pengaturan lingkungan kimia susunan saraf pusat.
C. Etiologi Cedera Kepala
Penyebab umum cedera kepala yaitu karena kecelakaan lalu lintas, juga disebabkan karena hal
lain seperti terjatuh, terpukul, serangan fisik, kecelakaan industri, kecelakaan di rumah,
kecelakaan kerja, olahraga, dan saat bermain.
Penyebab terpenting cedera kepala yang serius adalah kecelakaan lalu lintas (60% kematian
yang disebabkan kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera kepala).8 Menurut penelitian
Turner di New York tahun 1996, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48-53 % dari
insidens cedera kepala, 20-28 % karena terjatuh dan 3-9 % lainnya disebabkan tindak
kekerasan, olahraga dan rekreasi.
D. Epidemiologi Cedera Kepala
Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara
15-44 tahun (dengan usia rata-rata sekitar 30 tahun) dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki
dibandingkan dengan perempuan.
Menurut Miller, anak-anak usia <15 tahun beresiko mengalami cedera kepala (33%) dan
berumur >65 tahun 70-88%.8 Angka kematian pasien yang berusia 15-22 tahun yaitu 32,8
kasus per 100.000 orang dan tingkat kematian pada pasien berusia lanjut (>65 tahun) adalah
sekitar 31,4 kasus per 100.000 orang.
Data dari Jasa Marga menyatakan bahwa resiko kecelakaan lalu lintas dipengaruhi oleh umur
dan jenis kelamin. Hampir 50% kematian global terjadi pada golongan dewasa dengan kisaran
umur 14-44 tahun dan menimpa laki-laki hampir tiga kali lebih besar dibandingkan dengan
perempuan.
Berdasarkan penelitian Balitbang Kesehatan bagian terbesar kasus kecelakaan lalu lintas
terjadi antara kendaraan bermotor dan pejalan kaki (47%) dan sebanyak 43% korban
meninggal adalah pejalan kaki.

9
E. Klasifikasi Cedera Kepala
1. Komosio Serebri (geger otak)
Komosio serebri adalah gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan
struktur otak akibat cedera kepala. Gejala-gejala yang terjadi adalah mual, muntah, nyeri
kepala, hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai anamnesia retrogad
yaitu hilangnya ingatan pada kejadiaan-kejadian sebelum terjadinya kecelakaan/cedera.
2. Kontusio Serebri (memar otak)
Kontusio serebri adalah gangguan fungsi neurologik akibat cedera kepala yang disertai
kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh, Otak mengalami memar
dengan memungkinkan adanya daerah yang mengalami perdarahan. Gejala yang timbul
lebih khas yaitu, penderita kehilangan gerakan, kehilangan kesadaran lebih dari 10 menit
3. Hematoma Epidural,
Hematoma epidural adalah suatu hematoma yang cepat terakumulasi di antara tulang
tengkorak dan durameter, biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningen media.13
Gejala yang ditimbulkan yaitu sakit kepala, konfusi, kejang, defisit lokal, koma, dan jika
tidak diatasi akan membawa kematian. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil
mata anisokor (perbedaan besar/bentuk pupil mata), yaitu pupil melebar. Pada
perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada
mulanya positif akan menjadi negatif.
4. Hematoma Subdural
Hematoma subdural kebanyakan sering terjadi di atas konveksitas hemisfer, dimana
kebebasan bergerak dari otak adalah paling besar dan lokasi yang relatif lebih jarang
adalah di daerah fosa posterior, dimana gerak lebih kecil. Kebanyakan hematoma
subdural terjadi di bridging vein yang menghubungkan sistem vena dari otak dengan
sinus venosus yang tertutup dalam durameter. Hematoma subdural bisa akut atau kronik.
a. Hematoma subdural akut
Biasanya ada hubungannya dengan cedera yang jelas dan sering kali disertai laserasi
(robek) atau kontusi (memar) otak. Timbulnya gejala pada umunya tertunda dan
ditandai secara klinis oleh gangguan kesadaran yang fluktuatif.. Hasil dari hematoma
subdural akut tergantung bukan saja hanya dari tindakan bedah tetapi juga dari luka
pada otak di dekatnya.

10
b. Hematoma subdural kronik
Hematoma subdural kronik terlihat paling sering pada pada orang tua dan peminum
alkohol. Pada penderita demikian biasanya didapatkan sedikit atrofi otak yang
berakibat bertambah bebasnya pergerakan otak di dalam ruang tengkorak. Gejala-
gejalanya lebih kurang nyata, pemeriksaan CT scan sangat memudahkan diagnostik.
5. Hematoma Intraserebral
Hematoma intraserebral biasanya terjadi karena cedera kepala berat, ciri khasnya adalah
hilang kesadaran dan nyeri kepala berat setelah sadar kembali. Lebih dari 50% penderita
hematoma intraserebral disertai hematoma epidural dan hematoma subdural. Paling
banyak terjadi di lobus frontalis atau temporalis, dan tidak jarang ditemukan multipel.
Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya hematoma.
6. Fraktur Kranii
Fraktur pada tengkorak dapat terjadi di tempat benturan maupun di tempat yang jauh dari
benturan. Penanggulangan fraktur tulang kepala bergantung pada jenis fraktur. Terdapat
beberapa bentuk fraktur tulang kepala, yakni linear, stelata, komunutif, dan impresi.
Patah tulang impresi ialah fraktur dengan fragmen tulang terdorong ke dalam. Diagnosa
dibuat dengan foto rontgen kepala, termasuk foto tangensial pada tempat yang dicurigai.
Indikasi utamanya adalah gangguan neurologik atau kejang.
Patah tulang tengkorak dasar pada umumnya terjadi pada petrosum, atap orbita, atau pada
basis oksiput. Diagnosis berdasarkan anamnesis dan gejala klinis, seperti perdarahan dari
hidung atau telinga, dan sekitar mastoid atau orbita. Foto rontgen pada waktu akut tidak
diperlukan karena pada umumnya tidak memberikan tambahan informasi berarti, bahkan
dapat membahayakan jiwa penderita. Saraf otak dapat juga cedera.
F. Tingkat Keparahan
Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan
Glasglow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenal oleh Teasdale dan Jennett pada tahun
1974 yang digunakan sebagai standar internasional. Penilaian GCS awal saat penderita datang
ke rumah sakit sangat penting untuk menilai tingkat keparahan cedera kepala. GCS yang
dimaksudkan yaitu:

11
a. Respon membuka mata (E) Nilai
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dirangsang suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tidak membuka mata dengan rangsangan apapun 1
b. Respon verbal (V) Nilai
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada suara dengan rangsangan apapun 1
c. Respon motorik (M) Nilai
Mengikuti perintah 6
Mengetahui tempat rangsangan nyeri 5
Menolak rangsangan nyeri (menarik ke samping) 4
Menghindari rangsangan nyeri (menarik ke belakang) 3
Reaksi ekstensi abnormal, kaku 2
Tidak ada reaksi dengan rangsangan nyeri apapun 1

Berdasarkan nilai GCS maka pembagian tingkat keparahan cedera kepala sebagai berikut:
1. Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)
Dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat kelainan pada CT
scan otak, rawat rumah sakit <48 jam, amnesia pasca trauma (APT) <1 jam, dan biasanya
tidak memerlukan tindakan operasi.
2. Cedera Kepala Sedang (GCS 9-12)
Hilang kesadaran antara 30 menit sampai 22 jam, tidak terdapat kelainan pada CT scan otak,
rawat rumah sakit >48 jam, APT 1-22 jam, dan biasanya tidak memerlukan tindakan operasi.
3. Cedera Kepala Berat (GCS 3-8)
Hilang kesadaran lebih dari 22 jam akibat penurunan kesadaran yang sangat progresif, GCS
menetap dalam 48 jam sesudah cedera, dan APT >7 hari.

12
G. Komplikasi dan Kelainan Cedera Kepala
1. Gangguan Neurologik
Cedera kepala dapat menyebabkan cedera saraf otak yang dapat berupa anosmia (bau),
gangguan visus, strabismus, cedera nervus fasialis, gangguan pendengaran atau
keseimbangan, disartri, dan disfagia. Kadang terdapat afasia dan hemiparesis.
2. Sindrom Pascatrauma
Biasanya sindrom pascatrauma terjadi pada cedera kepala yang tergolong ringan dengan
GCS >12, ataupun pingsan yang tidak lebih dari 20 menit. Sindrom tersebut berupa nyeri
kepala, kepala terasa berat, mudah lupa, daya konsentrasi menurun, cemas, dan mudah
tersinggung. Tidak didapatkan kelainan neurologik. Keluhan tersebut biasanya
berlangsung hingga 2-3 bulan pascatrauma walaupun kadang jauh lebih lama.
3. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Kebocoran Cairan Serebrospinal (CSS) pada cedera kepala terutama menyertai fraktur
basis. Kebocoran CSS dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan antara
rongga subarakhnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya
kecil dan menutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin
mengalami meningitis di kemudian hari. Pada proses penyembuhan luka kebocoran CSS,
umumnya kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter terjepit pada garis
fraktur dan menyebabkan kebocoran terus-menerus, maka perlu tindakan operatif.
4. Sindrom Psikis Pascatrauma
Sindrom psikis pascatrauma yang agak jarang ditemukan, meliputi penurunan inteligensia
baik verbal maupun perilaku, gangguan perilaku, gangguan berpikir, rasa curiga serta
sikap bermusuhan, cemas, menarik diri, dan depresi. Yang paling menonjol adalah
gangguan daya ingat. Faktor utama timbulnya neuropsikiatrik ini adalah beratnya cedera
dan bukan faktor premorbid seperti status sosial, umur atau tingkat pendidikan.
5. Kejang Post Traumatika
Kejang post traumatika setelah cedera kepala banyak menyebabkan morbiditas dan
mortalitas. Kejang post traumatika dapat dibagi menjadi:
a. Kejang post traumatika dini (immediate post traumatic seizuries) merupakan
kejang yang timbul dalam 22 jam pertama setelah cedera kepala.

13
b. Kejang post traumatika awal (early post traumatic seizuries) merupakan kejang
yang terjadi antara hari pertama sampai ketujuh setelah cedera kepala.
c. Kejang post traumatika lanjut (late post traumatic seizuries) merupakan kejang
yang timbul lebih dari 1 minggu setelah cedera kepala.
d. Post traumatic epilepsi merupakan kejang post traumatika lanjutan yang timbul
berulang-ulang dan bukan disebabkan oleh hal lain kecuali cedera kepala.
Sebanyak 60% penderita yang mengalami kejang dini dan kejang awal terjadi
dalam 22 jam pertama, lebih kurang setengahnya terjadi dalam jam pertama
setelah cedera kepala. Dua per tiga keseluruhan penderita akan mengalami kejang
lebih dari satu kali, dan 10% akan mengalami status epileptik.
6. Hidrosefalus
Hidrosefalus yang timbul setelah cedera kepala secara umum dapat dibedakan atas dua
tipe, yaitu:
a. Hidrosefalus non komunikan. Jenis ini dapat timbul akibat penekanan oleh efek
massa perdarahan yang terjadi, terhadap jalur aliran CSS dalam sistem sentrikel.
Sehingga aliran CSS terbendung. Jenis ini biasanya timbul karena adanya
perdarahan di fossa posterior yang menekan ventrikel IV.
b. Hidrosefalus komunikan. Jenis ini timbul karena adanya gangguan penyerapan
CSS pada rongga subarachnoid terutama pada granulasi arachnoid. Gangguan ini
timbul karena adanya darah pada rongga subarachnoid yang mengganggu aliran
maupun penyerapan CSS. Biasanya terjadi pada 2 bulan pertama setelah cedera
kepala. Jenis ini lebih sering ditemukan daripada non komunikan. Secara klinis
harus dipertimbangkan adanya hidrosefalus ini jika setelah cedera kepala,
penderita memperlihatkan perbaikan awal yang cepat namun selanjutnya tidak
ada kemajuan atau bahkan perburukan. Untuk alasan ini idealnya perlu dilakukan
CT scan.
7. Ganggguan Gastrointestinal
Pada cedera kepala berat akan terjadi erosi, pembentukan ulkus dan perdarahan saluran
cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang
mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi.

14
8. Neurogenic Pulmonary Edema
Neurogenic pulmonary edema jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala berat.
Terdapat dua mekanisme yang mungkin bekerja secara sinergis. Pertama peningkatan
Tekanan Tinggi Intra Kranial (TTIK) yang cepat atau cedera langsung pada hipotalamus
menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik sehingga terjadi aliran darah yang
meningkat ke paru-paru dengan peningkatan Pulmonary Capillary Wedge Pressures
(PCWP) dan peningkatan permeabilitas kapiler di paru. Kedua pelepasan katekolamin
yang terjadi akan memengaruhi endotel kapiler sehingga permeabilitas alveolar juga
meningkat.

15
BAB III
ANALISIS KASUS
A. Subjektif
Anamnesis:
P mengalami kecelakaan lalu lintas motor vs motor sekitar pukul 18.30 WIB. Pasien
kemudian dibawa ke Puskesmas Sumber. Kronologi kejadian pasien menabrak motor yang
ada di depannya dan pada saat itu pasien tidak mengunakan helm. Pasien terjatuh dengan
posisi terselungkup. Pasien juga sempat pingsan setelah kejadian. Saat di IGD dr. Moh. Saleh
pasien mengeluh nyeri pada leher, nyeri kepala, nyeri pada luka di wajah dan telinga kanan.
Pasien masih mengingat kejadian sebelum kecelakaan. di puskesmas pasien sempat muntah 1
kali. Saat di rawat di ruang Bougenville pasien masih mengeluh nyeri di leher dan kepala.
Makan minum sedikit, BAK (+), BAB (+), tidak ada muntah hanya merasakan sedikit mual.

Pembahasan:
1. Kehilangan kesadaran, rasa pusing, mual yang dirasakan pasien dapat terjadi akibat
benturan pada otak yang menyebabkan terjadinya komosio cerebri (memar otak).
Komosio serebri adalah gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan
struktur otak akibat cedera kepala. Gejala-gejala yang terjadi adalah mual, muntah, nyeri
kepala, hilangnya kesadaran selama beberapa detik sampai beberapa menit atau tanpa
disertai anamnesia retrogad yaitu hilangnya ingatan pada kejadiaan-kejadian sebelum
terjadinya kecelakaan/cedera. Komosio dipertimbangkan sebagai cedera kepala minor
dan dianggap tanpa sekuele yang berarti.
2. Nyeri pada leher dapat disebabkan adanya fraktur di daerah cervical, tapi pada pasien ini
tidak terdapat fraktur karena pada foto cervical tida di dapatkan fraktur.
3. Nyeri pada jejas dapat terjadi akibat dari proses inflamasi yang terjadi pada luka sehingga
penumpukan cairan atau edema menekan saraf pada daerah jejas sehingga timbulah rasa
nyeri.
B. Objektif
Pemeriksaan :
1. Keadaan umum; pasien tampak mengantuk, ketika diberi rangsangan suara pasien baru
membuka mata tidak lama kemudian mata dipejamkan lagi, saat ditanya nama, dan

16
orientasi lingkugan sekitar pasein dapat menjawab dengan singkat dan suara yang sedikit
tidak jelas akibat adanya trauma pada daerah mulut. Ketika disuruh mengangkat tangan
dan kaki pasien memberi respon yang cukup cepat dan dapat menggerakkan extrimitas
sesuai dengan yang diperintahkan. Setelah pemeriksaan selesai pasien kembali tidur. Dari
hasil pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan nilai kesadaran kuatitatif pasien GCS 356
dengan kesadaran kualitatif somnolen.
2. Vital Sign
Saat tiba di Puskesmas Sumber tekanan darah pasien 100/70 mmHg, nadi 70x/menit,
respiration rate 24x/menit, suhu 36.4 ℃. Pada kasus ini telah dilakukan penanganan awal
yang baik, pasien diberi cairan infus iv untuk mengganti volume cairan yang hilang.
Setibanya di IGD RSUD Moh Saleh Probolinggo, tekanan darah pasien 105/70mmHg,
nadi 78x/menit, RR 22x/menit, dan suhu 36.8℃.
3. Status lokalis regio fasial
Inspeksi tedapat edema pada daerah frontalis, orbita dan mulut, edema ini terjadi akibat
adanya proses inflamasi akibat rusaknya jaringan karena terjadi benturan secara langsung
pada daerah tersebut. Selain edema pada daerah jejas juga dirasakan rasa nyeri dan hangat
akibat proses inflamasi tersebut.
Pada saat palpasi tidak ditemukan adanya krepitas yang berarti tidak adanya fraktur pada
daerah wajah. Rasa nyeri yang dirasakan bisa jadi akibat adanya jejas pada daerah
tersebut.
C. Assessment
Cedera Kepala Ringan
D. Planning
1. Saat pasien baru tiba di IGD segera dilakukan observasi jalan napas, jika jalan nafas
terganggu segera amankan jalan nafas, observasi juga breathing dan sirkulasi pasien,
danm immobilasi cervikal
2. Pasang O2 karena pada trauma kepala jika terjadi hipoksia kondisinya ceat menurut
kerusakan permanen
3. Pasang infus, untuk mengoreksi keseimbangan cairan tubuh

17
4. Periksa ada tidaknya perdarahan intraabdomial dengan FAST jika tidak ada dapat
dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan hematocrit serial. Jika terjadi perdarahan
intraabdomen akan terdapat penurunan jumlah hemoglobin serta penurunan hematocrit.
5. Medikasi rawat luka dan berikan antibiotic profilaksis untuk mencegah infeksi sekunder,
neuroprotector untuk melindungi persarafan di otak yang mengalami trauma akibat
benturan, berikan obat-obatan untuk menguragi perdarahan yang terjadi, dan analgesic
untuk mengurangi rasa nyeri.
Jika kondisi pasien sudah relatif stabil lakukan pemeriksaan penunjang lainnya
1. CT scan untuk mengetahui ada tidaknya perdarahan intracranial, fraktur, dan hematoma
pada daerah kepala.
2. Foto Skull dan cervical AP dan Lateral, pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen
kepala dan kolumna vertebralis servikalis untuk melihat ada tidaknya fraktur pada daerah
wajah dan leher
3. Foto rontgen untuk mengetahui lokasi, jenis dan luas fraktur

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tanggal 27 Februari 2018, pukul 22.09 WIB
o Hemoglobin : 15.5 g/dL (nilai rujukan 13-18 g/dL)

o Leukosit : 14.000/mm3 (nilai rujukan 4.000-11.000/mm3)

o Trombosit : 226.000/mm3 (nilai rujukan 150.000-350.000/mm3)

o GDA : 119 g/dL (nilai rujukan <180)

Leukosit yang tinggi ini mengindikasikan adanya proses infeksi, namun pada gejala klinis pasien
tidak ditemukan adanya gejala infeksi, suhu tertinggi pasien selama pemerikasaan aalah 36,8 ℃.
Selain itu proses infeksi yang terjadi saat trauma tidak mungkin meningkatkan jumlah leukosit
yang begitu banyak hanya dalam beberapa jam. Jadi tingginya kadar leukosit diperkirakan terjadi
sejak sebelum pasien mengalami trauma. Untuk mengetahui akut tidaknya diperlukan hitung
jenis leukosit dimana dalam kasus ini tidak dilakukan.

18
Pemeriksaan Radiologi
Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan CT scan
1. Foto Skull AP dan Lateral

19
BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Tn.I didiagnosa mengalami Cedera Kepala Ringan yang dapat dilihat dari kesadaran pasien dan
pada hasil pemeriksaan penunjang yaitu foto skull AP lateral yang menunjukkan tidak adanya
fraktur pada daerah wajah dan leher. Dari runtutan kejadian dimana pasien mengalami pingsan
dan muntah menunjukan terjadinya trauma kepala, namun kurangnya pemeriksaan penunjang
tidak bisa menentukan apakah terdapat perdarahan intracranial, fraktur, dan hematoma pada
daerah kepala. Penilaian ABCD yang tepat penting untuk menunjang diagnose pasien, dan
penatalaksannan pasien.

20
DAFTAR PUSTAKA

2. PERDOSSI. 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. CV
Prikarsa Utama, Jakarta
3. Irwana, O. 2009. Cedera Kepala. Majalah Kedokteran Universitas Riau
4. Yuri, P dan Israr, YA., 2008. Cedera Kepala. Majalah Kedokteran Universitas Riau.
5. Pearce, EC., Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
6. Tarwoto, dkk., 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. CV Sagung
Seto, Jakarta.
7. Ifani., 2011. Brain Anatomy http://www.thecountymedicalexaminers.com/tag/brain-anatomy-
brain-anatomy/
8. Heller, JL., 2011. Head Injury. University of Maryland Medical Center (UMMC).
9. Ginsberg, L., 2008. Lecture Notes Neurologi. Edisi ke-8. Erlangga, Jakarta.
10. Satyanegara., 2010. Ilmu Bedah Saraf. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
11. 30. Miller, L., 2004. Study Audits The Process of The Management of Patients with Head
Injury Presenting at Accident And Emergency (A&E) Departments and Examines The Impact
Upon Resources of Introducing. NICE Guidelines.
12. Dawodu, ST., 2004. Traumatic Brain Injury (TBI) – Defenisi, Epidemiologi, Patofisiologi.
13. Riyadina, W dan Subik, IP., 2007. Pola Keparahan Cedera pada Korban Kecelakaan Sepeda
Motor di Instalansi Gawat Darurat RSUP Fatmawati. Jurnal Kedokteran Universa Medica
Vol 26 No 2. Jakarta
14. Suganda, SP., 2002. Death Caused by Traffic Injuries. Badan Litbang Kesehatan.
15. 33. Kleiven, S, Peloso PM, dkk., 2000. The Epidemiology of Head Injuries in Sweden from
1987 to 2000.
16. 34. Tagliaferi, F, Compagnone, C, dkk., 2006. A Systematic Review of Brain Injury in Europe.
17. 35. Corondo, VG., 2011. Surveillance for Traumatic Brain Injury-Related Deaths-United
States, 1997-2007.
18. George, D, dkk., 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. EGC,
Jakarta.
19. Rab, T., 1998. Agenda Gawat Darurat (Critical Care) Jilid 3. PT Alumni, Bandung.
20. Robbins, SL., 1995. Buku Ajar Patologi 2 Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

21
21. Sjamsuhidajat, R., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
22. Japardi, I., 2004. Cedera Kepala. PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta

22

Anda mungkin juga menyukai