Anda di halaman 1dari 33

MODUL II

FARMAKOKINETIKA SEDIAAN INTRAVENA (MONO

KOMPARTEMEN DAN MULTI KOMPARTEMEN)

I. Tujuan

1. Mengetahui prinsip dan perhitungan parameter-parameter farmakokinetik

model mono kompartemen dan multi kompartemen dari sediaan intavena

II. Prinsip

menentukan parameter farmakokinetik model mono kompartemen

dan multi kompartemen suatu obat menggunakan data dari sampel darah

dengan melihat kurva kadar plasma terhadap waktu setelah pemberian

injeksi IV obat Griseofulvin dan Alumunium pada seorang pasien.

III. Teori Dasar

3.1. Farmakokinetika

Distribusi dan eliminasi obat dalam tubuh berbeda untuk setiap

orang, tetapi dapat dikarakterisasi menggunakan model matematika dan

statistika. Farmakokinetika adalah ilmu dari kinetika absorbsi, distribusi,

dan eliminasi (yakni eksresi dan metabolisme obat). Adapun

farmakokinetika klasik suatu studi model teoritis yang memfokuskan pada

pengembangan dan parameterisasi model. Deskripsi distribusi dan eliminasi

obat sering disebut disposisi obat. Studi farmakokinetika mencakup

eksperimental dan teoritis (Shargel, L., et al. 2012:3).

3.2. Pemodelan Farmakokinetika


Suatu model merupakan suatu hipotesis dengan menggunakan istilah

matematika untuk menggambarkan hubungan kuantitatif secara ringkas.

Kemampuan prediktif dari suatu model terletak pada ketepatan pemilihan

dan pengembangan fungsi-fungsi matematika yang menjadi parameter

faktor-faktor penting dalam menentukan proses kinetika. Parameter-

parameter kunci dalam suatu proses biasanya diestimasi melalui pencocokan

model ke data percobaan disebut variabel. Model farmakokinetika

digunakan untuk (Shargel, L., et al. 2012:10-11)

1. Memprediksi kadar obat dalam plasma, jaringan, dan urin berbagai

pengaturan dosis.

2. Menghitung pengaturan dosis optimum untuk tiap pasien secara

individual.

3. Memperkirakan kemungkinan akumulasi obat dan atau metabolit-

metabolit.

4. Menghubungkan konsentrasi obat dengan aktivitas

farmakologi/toksikologi.

5. Menilai perubahan laju atau tingkat availabilitas antar formulasi

(biokivalensi).

6. Menggambarkan perubahan faal atau penyakit yang mempengaruhi

absorbsi, distribusi atau eliminasi obat.

7. Menjelaskan interaksi obat.

Salah satu pemodelan farmakokinetika yang disebut dengan model

kompartemen adalah model farmakokinetika klasik yang meniru proses


kinetika absorbsi, distribusi, dan proses eliminasi obat dengan sedikit rincian

fisiologi. (Shargel, L., et al. 2012:73). Dengan menganggap suatu obat

diberikan dengan injeksi intravena dan obat melarut (didistribusi) secara cepat

dalam cairan tubuh. Suatu kompartemen hanya dianggap sebagai suatu jaringan

atau kelompok jaringan yang mempunyai aliran darah dan afinitas obat serupa.

Dalam masing-masing kompartemen obat dianggap terdistribusi merata. Model

merupakan suatu sistem terbuka karena obat dapat dieliminasi dari sistem dan

didasarkan atas anggapan linier yang menggunakan persamaan diferensial

linier (Shargel, L., et al. 2012:12-13). Dalam farmakokinetika, model

kompartemen dibedakan menjadi dua tipe yaitu :

a. Model satu kompartemen terbuka (mono kompartemen)

Model ini merupakan suatu penyederhanaan dari disposisi obat

dalam tubuh, yang mana kenyataannya lebih kompleks dari suatu

kompartemen tunggal. Dengan menganggap bahwa obat diinjeksikan

sekaligus dalam suatu kotak/kompartemen, dan obat berdistribusi secara

serentak dan homogen kedalam kompartemen. Eliminasi obat terjadi dari

kompartemen segera setelah injeksi (Shargel, L., et al. 2012:51). Model

kompartemen satu terbuka tidak memprediksi kadar obat dalam jaringan

sesungguhnya. Akan tetapi, menganggap bahwa perubahan kadar obat

dalam plasma akan menghasilkan perubahan kadar obat dalam jaringan

yang proposional. Oleh karena profil kinetikanya konstistennya dengan

inklusi kompartemen vaskuler dan konsentrasi obat dalam komparetemen

berkesetimbangan (Shargel, L., et al. 2012:52).


b. Model kompartemen dua terbuka (multik kompartemen)

Model ini merupakan model yang menjelaskan dan memprediksi

konsentrasi obat dalam plasma dan jaringan obat-obat ini. Pada model ini,

obat terdistribusi ke dalam dua kompartemen, yaitu kompartemen sentral

(mewakili darah, cairan ekstraseluler, dan jaringan dengan perfusi tinggi)

dan jaringan atau kompartemen perifer (terdiri dari jaringan-jaringan yang

mana obat berkesetimbangan dengan lebih lambat). Transfer obat antar dua

kompartemen dianggap terjadi melalui proses orde ke satu (Shargel, L., et

al. 2012:75-76).

Obat dalam jaringan yang mempunyai perfusi darah tinggi akan

berkesetimbangan cepat dalam plasma. Jaringan perfusi tinggi dan darah

menyusun kompartemen sentral. Pada saat distribusi obat awal terjadi, maka

secara bersamaan obat dihantarkan ke satu atau lebih kompartemen perifer

yang tersusun dari kelompok jaringan dengan perfusi darah yang lebih

rendah dan afinitas obat yang berbeda (Shargel, L., et al. 2012:74). Selain

itu model ini menjelaskan juga pengamatan dimana setelah suatu injeksi

intravena cepat, kurva kadar dalam plasma-waktu tidak menurun secara

linear sebagai proses tunggal, laju orde ke satu. Kurvaya mencerminkan

eliminasi obat orde ke satu dari tuhu, hanya setelah kesetimbangan

distribusi, atau kesetimbangan obat dalam plasma dengan jaringan perifer

terjadi (Shargel, L., et al. 2012:73-74).

3.3. Parameter-parameter Farmakokinetika


Parameter farmakokinetika merupakan suatu tetapan untuk obat

yang diestimasi dari data percobaan. Suatu fungsi farmakokinetika

menghubungkan satu variabel bebas (independen) ke satu variabel

bergantung (dependen), sering melalui parameter-parameter (Shargel, L., et

al. 2012:10). Parameter dalam farmakokinetika adalah sebagai berikut

(Shargel, L., et al. 2012:52-57) :

1. Waktu paruh eliminasi (T1/2) dan tetapan laju eliminasi (K)

Waktu paruh eliminasi merupakan jangka waktu sampai kadar obat

dalam darah menurun menjadi separuh dari harga asalnya. Sedangkan

tetapan laju eliminasi adalah parameter yang menentukan laju penurunan

konsentrasi obat dalam tubuh selama waktu tertentu dan merupakan proses

orde ke satu dengan satuan waktu-1 (jam-1) (Shargel, L., et al. 2012:52).

2. Volume distribusi (Vd)

Volume distribusi adalah parameter farmakokinetika yang

menyatakan suatu volume yang harus diperhitungkan dalam

memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang

ditemukan dalam kompartemen sampel. Berguna untuk mengkaitkan

konsentrasi obat dalam plasma dan jumlah obat dalam tubuh dan

dinyatakn dalam Liter (L) (Shargel, L., et al. 2012:53,59).

3. Klirens (Cl)

Klirens adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa

mengidentifikasi mekanisme atau prosesnya, dengan menganggap

keseluruhan tubuh sebagai suatu sistem eliminasi obat dimana berbagai


proses eliminasi terjadi dan dinyatakan sebagai volume per waktu

(Shargel, L., et al. 2012:57,59).

4. Kadar puncak dalam plasma/AUC (Area Under Curve)

Kadar puncak dalam plasma adalah waktu untuk mencapai kadar

puncak dalam plasma dan area dibawah kurva. Sedangkan waktu kadar

puncak dalam plasma adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai

konsentrasi obat maksimum dalam plasma secara kasar menunjukkan laju

absorbsi obat rata-rata. Kadar puncak dalam plasma (konsentrasi

maksimum obat) biasanya dikaitkan dengan dosis dan tetapan laju

absorbsi dan eliminasi obat. Sedangkan waktu AUC dikaitkan dengan

jumlah obat yang terabsobsi secara sistemik (Shargel, L., et al. 2012:7).

3.4. OBAT-OBATAN

3.4.1. Griseofulvin

Griseofulvin diisolasi dari berbagai jamur bermiselium misalnya

Penicillium griseofulvin. Senyawa ini hanya berhasiat terhadap

Dermatophyta (misalnya jenis Trichophyton, Microsporon,

Epidermophyton) dan tidak terhadap jamur patogen pada manusia lainnya

(misalnya Candida albicans) (Mutschler, 1986: 660).

Griseofulvin merupakan obat fungsitatik yang sangat tida larut dan

berasal dari spesies penisilium. Obat ini hanya digunakan pada terapi

sistemis dermatofitosis. (Bertram G. Katzung,2007: 812).

Mekanisme kerjanya tidak diketahui dengan pasti, yang dianggap berperan

pada kerjanya, di samping gangguan sintesis RNA dan hambatan pada


sintesis protein, ialah perusakan pada kumparan mitosis pada saat

pembelahan sel (Mutschler, 1986: 660). Tipe kerjanya adalah fungistatik.

Setelah pemakaian jangka panjang, griseofulvin akan tersimpan secara

selektif dalam lapisan keratogen epidermis, rambut dan kuku dan disana

bekerja fungsitatik (Mutschler, 1986: 660).

Griseofulvin diberikan dalam bentuk mikrokristalin pada dosis 1

g/hari. Absorbsinya meningkat ketika diberikan bersama dengan makanan

berlemak. Karena fungsinya adalah mencegah infeksi pada struktur kulit

yang baru terbentuk ini, griseofulvin harus diberikan selama 2-6 minggu

untuk infeksi kulit dan rambut untuk memungkinkan penggantian kreatini

yang terinfeksi dengan sttruktur baru yang resisten (Bertram G.

Katzung,2007: 812). Pemberian griseofulvin yang secara oral

termikronisasi sebanyak 1 g, obat dapat dideteksi dalam stratum corneum

4-8 jam kemudian. Memperkecil ukuran partikel obat menyebabkan

peningkatan penyerapan obat. Sediaan yang mengandung ukuran partikel

terkecil dilabel “terultramikronisasi”. Griseofulvin trultramikronisasi

mencapai kadar plasma yang bioekuivalen dengan kadar separuh dosis

obat termikronisasi. Selain itu, tindakan melarutkan griseofulvin dalam

polietilenglikol meningkatkan penyerapan lebih lanjut (Bertram G.

Katzung,2007: 1034).

Absorbsi zat yang sukar larut ini sangat tergantung kepada ukuran

partikel. Dengan mikronisasi atau larutan padat maka pada preparat

sekarang jumlah yang diabsorbsi dapat ditingkatkan. Waktu paruh plasma


berkisar antara 20 jam. Hal yag berarti juga secara farmakokinetik adalah

bahwa griseofulvin terikat pada keratin yang baru dibentuk, lalu secara

perlahan dari lapisan kulit yang dalam dalam menuju lapisan luar. Dengan

demikian sel-sel yang mengandung griseofulvin akan terlindungi dari

masuknya jamur, sedangkan sel-sel yang terinfeksi akan lepas. Daerah

indikasi griseofulvin mencakup semua dermatomikosis, yang disebabkan

jamur tersebut di atas dan tak hanya dapat ditanggulangi secara lokal.

(Mutschler, 1986: 660).

Dosis harian rata-rata untuk dewasa 0,5 g. Lamanya terapi

bergantung pada lokalisasi infeksi jamur. Untuk serangan pada kulit rata-

rata 3-6 minggu, serangan pada kuku 4-5 bulan. Sebagai tambahan harus

dilakukan juga penanganan loka dengan antimitotika (Mutschler, 1986:

660). Efek samping, pada pemakaian jangka panjang atau pendek, umunya

sedikit. Dapat terjadi gangguan saraf pusat dan saluran cerna serta reaksi

alergi. Kadang-kadang terlihat juga adanya leukopenia, yang reversibel

setelah penggunaan zat dihentikan. (Mutschler, 1986: 660).

Kontraindikasi untuk pemakaian griseofulvin yaitu gangguan pada

fungsi hati yang parah dan pofiria hepatik akut. Pada hewan percobaan

tampak adanya kerja embriotoksik dan mutagenik, oleh karena itu tidak

digunakan pada hamil muda atau pada orang yang ingin punya anak.

(Mutschler, 1986: 660).

3.4.2. Aluminium
Berdasarkan pada jurnal penelitian De Oliveira SR, Bohrer D,

Garcia SC.,dkk. pada tahun 2010 yaitu Aluminum Content in Intravenous

Solutions for Administration to Neonates: Role of Product Preparation and

Administration Methods, muatan aluminium dapat mancapai level toksik

tergantung pada pengambilan, rute, dan durasi pemaparan serta faktor

spesifik pada pasien. Misalnya, pada pasien bayi premature beresiko lebih

tinggi terkena toksisitas aluminium karena kurangnya kapasitas/

kamampuan urinari aluminium yang telah tereliminasi. Terhitung apabila

Al masuk melalui jalur oral atau saluran gastrointestinal hanya <0,5 %

aluminium diabsorbsi. Sebaliknya, aluminium yang dimasukkan langsung

ke dalam darah yang tidak ada bariernya, terdistribusi dalam tubuh. Pada

pasien uremia, aluminium berkaitan dengan osteomalacia, demensia dan

encephalophaty. Pasien dengan pemberian Parenteral Nutrition (PN)

dalam jangka waktu lama menunjukkan penyakit tulang dan anemia

hiprokomik microcytic. Bayi prematur degan pemberian asupan melalui

intravena beresiko mengalami kerusakan neurologi yang diberikaan pada

sistem syarafnya yang belum matang.

Permasalahan mengenai kontaminasi Al dalam produk PN dan

toksisitasnya pertama kali dilaporkan pada awal tahun 1980. Semnjak itu

FDA telah mengeluarkan sejumlah peraturan dan peringatan mengenai

kontaminasi Al dalam produk-produk parenteral. Aturan FDA yang

dikeluarkan pada tahun 2010, mensyaratkan produk-produk parenteral

dengan volume besar (seperti asam amino, dextrose, emulsi lipid, dan air
steril) yang digunakan dalamPN tidak boleh mengandung Al sebesar >25

mcg mcg/L. produk parenteral dengan volume kecil ( seperti larutan

elektrolit, dan vitamn) harus dilabeli dengan batas kadaluarsa kandungan

Al. Efek toksis Al muncul dalam jumlah mikrogram. FDA telah

menetapkan batas minium keamanan Al untuk pemberian secara

parenteral, yaitu pada 5 mcg/kg/d. meskipun begitu, muatan Al masih

timbul pada evel ini karena secara praktisnya semua formulasi yang

digunakan dalam PN terkontaminasi oleh Al. 

IV. Prosedur

4.1. Tahapan Untuk Menentukan Mono dan Multi Kompartemen

Ln Cp ditentukan dengan menggunakan rumus excel (=ln(kolom angka yang

ingin di ln kan).

Model kempartemen ditentukan dengan grafik yang dibuat dari regresi antara

waktu dan ln Cp, kemudian dilihat nilai R.

4.2. Tahapan Untuk Mono Kompartemen

Obat sudah diketahui termasuk mono kompartemen. Selanjutnya didapatkan

persamaan regresi y = b.x + a, rumus umumnya menjadi ln Ct = k.e + ln Co.

Parameter-parameter farmakokinetik ditentukan. Parameter-parameter

farmakokinetik yang ditentukan antara lain : Ke, t ½, ln Co, Co, dosis

intravena, Volume distribusi (Vd), Clearence (Cl), AUCo.


4.3. Tahapan Untuk Multi Kompartemen

Obat sudah diketahui termasuk multi kompartemen. Selanjutnya kurva

kalibrasi post distribusi dibuat. Kurva kalibrasi post distribusi diperoleh dari

regresi antara waktu dengan ln Cp (

Dari kurva post distribusi diperoleh persamaan regresi y = b.x + a, rumus

umumnya menjadi ln Ct = β + ln B.

3 angka waktu teratas dimasukkan dari fase distribusi ke persamaan regresi

dari post distribusi sebagai (x) sehingga diperoleh ln C’ (ln C ekstrapolasi).

Ln C’ diubah menjadi C’ dengan rumus excel (=EXP(kolom ln)).

Cr dicari dengan cara [Cp distribusi (Cp) – Cp ekstrapolasi (C’)] dengan

rumus excel (=ABS(kolom Cp – kolom C’)).

Cr diubah menjadi ln Cr dengan rumus excel (=ln(kolom Cr)).

Kurva kalibrasi dibuat dengan menggunakan 3 waktu teratas sebagai (x) dan

3 angka teratas ln Cr sebagai (y).


Dari kurva kalibrasi diperoleh persamaan regresi y = b.x + a, rumus

umumnya menjadi ln Ct = α + ln A.

Parameter-parameter farmakokinetik ditentukan. Parameter-parameter

farmakokinetik yang ditentukan antara lain : K, K12, K21, t ½, Volume

distribusi (Vd), Clearence (Cl), AUCo.

V. Data Pengamatan

V.1 Pengamatan Mono Kompartemen (Alumunium)

5.1.1. Tabel Data Mono Kompartemen

Waktu (jam) Konsentrasi (ng/mL) Ln Konsentrasi

0,4 19000 9,852194258


0,6 18000 9,798127037
1,4 15000 9,61580548
1,6 14500 9,581903928
2,3 12500 9,433483923
3 10500 9,259130536
4 8500 9,047821442
5 6500 8,779557456
6 5000 8,517193191
8 3250 8,086410275
10 2000 7,60090246
12 1250 7,13089883
5.1.2. Kurva Kalibrasi Mono Kompartemen (Alumunium)

Alumunium
12

10
f(x) = − 0.24 x + 9.96
R² = 1
8
Ln Konsentrasi

Alumunium
6
Linear (Alumunium)
4

0
0 2 4 6 8 10 12 14
Waktu (jam)

5.1.3. Tabel Parameter Farmakokinetik Mono Kompartemen

(Alumunium)

Parameter
Hasil
Farmakokinetik

Ke (/jam) 0,235
t1/2 (jam) 2,94893617
LnC0 (ng/mL) 9,9555
C0 (ng/mL) 21067,7771
Dosis iv (ng) 375000
Vd (mL) 17,7996947
Cl (ml/jam) 4,18292825
AUC0 (ng/mL jam) 89650,1153

5.2. Perhitungan Mono Kompartemen (Alumunium)


5.2.1. Regresi Mono Kompartemen

Dilakukan Regresi Linear antara lnCp dengan t didapatkan persamaan :

y = bx + a  y = -0,235x + 9,9555

r = -0,9998

bila dimasukan kedalam persamaan farmkokinetika :

Ct = Cp0. e-Kt  Ln Cp = Ln C0 -k.t

Ln Cp = 9,9555 – 0,235x

C0 = anti Ln C0

= anti Ln 9,9555

= 21067,77709 ng/mL

Didapatkan nilai : Ln C0= 9,9555 ng/mL dan Ke = 0,235 /jam

Persamaan Farmakokinetik : Cp = C0.e-kt

Cp = 21067, 77709 . e-0,235 t

Kesimpulan : Alumunium mengikuti model 1 kompartemen karena

grafiknya linier dan nilai R2 mendekati 1.

5.2.2. Parameter Farmakokinetik


1) Ke (Kecepatan Eliminasi) = b = 0,235 /jam

2) Ln C0 = 9,9555 ng/mL

ln 2 0,693
3) t ½ (Waktu Paruh) = = =2,9489/ jam
Ke 0,235 / jam

4) C0= anti Ln 9,9555 ng/ml = 21067,77709 ng/mL

5) Dosis = 1 mg/kg x 0,375 kg  0,375 mg = 375000 ng

Dosis 375000ng
6) Vd (Volume Distribusi ) = = =17,7997 mL
C0 21067,77709 ng/mL

7) Cl (Klirens) = Vd x Ke=17,7997 mL x 0,235/ jam=4,1829 mL/ jam

Dosis 375000 ng
8) AUCO~ = = =8 9650,72079 ng /mL . jam
Ke x Vd 0,235/ jam x 17,7997 ml

5.3. Pengamatan Multi Kompartemen (Griseofulvin)

5.3.1. Tabel Data Multi Kompartemen

Waktu (jam) Konsentrasi (mcg/mL) Ln Konsentrasi Ln C' C' Cr Ln Cr

1 1,67 0,512823626 -0,0542 0,94724 0,72276 -0,324682


2 1,22 0,198850859 -0,1285 0,87941 0,34059 -1,077086
3 0,97 -0,030459207 -0,2028 0,81644 0,15356 -1,873674
4 0,83 -0,186329578 -0,2771 0,75798 0,07202 -2,630793
6 0,66 -0,415515444 -0,4257 0,65331 0,00669 -5,007486
8 0,56 -0,579818495 - - - -
12 0,42 -0,867500568 - - - -
18 0,27 -1,30933332 - - - -
24 0,17 -1,771956842 - - - -
30 0,11 -2,207274913 - - - -
5.3.2. Kurva Kalibrasi Multi Kompartemen (Griseofulvin)

Griseofulvin
1
0
f(x)
f(x) == −−50.09
0.93 xx ++ 0.26
0.79
-1 0 R² = 0.97 10= − 0.07 15
f(x) x + 0.02 20 25 30 35
R² = 0.99
-2 R² = 1
Griseofulvin
-3 Linear (Griseofulvin)
-4 Fase Eliminasi
-5 Linear (Fase
Eliminasi)
-6 Fase Distribusi
Waktu (jam) Linear (Fase
Distribusi)

5.3.3. Tabel Distribusi dan Eliminasi

Parameter
Hasil
Farmakokinetik

α 0,9287
Ln A 0,7889
A 2,200974023
β 0,0743
Ln B 0,0201
B 1,020303365
5.3.4. Tabel Parameter Farmakokinetik

Parameter
Hasil
Farmakokinetik

K (/jam) 0,2
k12 (/jam) 0,458025959
k21 (/jam) 0,344922
t1/2 (jam) 9,327052
Vp (mL) 44081,89
AUC0 (mcg/mL jam) 16,10216
Cl (ml/jam) 8818,69059

5.4. Perhitungan Multi Kompartemen (Griseofulvin)

5.4.1. Persamaan regresi Multi Kompartemen Griseofulvin antara waktu

dengan Ln Cp dimulai dari 1-30 jam:

y = -0,0858x + 0,2612

R² = -0,9846  Tidak mendekati 1 (MultiKompartemen)

Persamaan Farmakokinetik : Cp = A.e-at + B.e-bt


Cp = 2,2009 e-0,9287 t + 1,0203 e-0,0743 t

Kesimpulan : Griseofulvin mengikuti model multi kompartemen karena

grafiknya tidak linier dan nilai R2 tidak sama dengan 1.

5.4.2. Persamaan regresi untuk eliminasi antara waktu dengan LnCp

dimulai dari waktu 8-30 jam:

y = -0,0743x + 0,02

R² = -0,9999  Post Distribusi atau Fase Eleminasi

5.4.3. LnC’ atau C ektrapolasi

Didapat dari persamaan y = -0,0743x + 0,02

dimana nilai x sebagai nilai waktu 1,2,3,4 dan 6 sehingga didapatkan

nilai LnC’ dan C’ persamaan sebagai berikut :

lnC’ = -0,0743 (1) + 0,02 = -0,0543  C’ = AntiLn -0,0543 = 0,9471

lnC’ = -0,0743 (2) + 0,02 = -0,1286  C’ = AntiLn -0,1286 = 0,8793

lnC’ = -0,0743 (3) + 0,02 = -0,2029  C’ = AntiLn -0,2029 = 0,8163

lnC’ = -0,0743 (4) + 0,02 = -0,2772  C’ = AntiLn -0,2772 = 0,7579

lnC’ = -0,0743 (6) + 0,02 = -0,4258  C’ = AntiLn -0,4248 = 0,6539

5.4.4. Cr dan Ln Cr (C Residual)

Cresidual = C Distribusi / C Observasi – Cp Extrapolasi (C’)

Cr(t=1) = 1,67 mcg/mL – 0,9471= 0,7229 mcg/mL  Ln Cr = -0,3244

Cr(t=2) = 1,22 mcg/mL – 0,8793= 0,3407 mcg/mL  Ln Cr = -1,0767

Cr(t=3) = 0,97 mcg/mL – 0,8163= 0,1537 mcg/mL  Ln Cr = -1,8727


Cr(t=4) = 0,83 mcg/mL – 0,7579= 0,0721 mcg/mL  Ln Cr = -2,6297

Cr(t=6) = 0,66 mcg/mL – 0,6539= 0,0061 mcg/mL  Ln Cr = -5,0994

5.4.5. Persamaan regresi untuk distribusi antara waktu dengan Ln Cr

dimulai dari waktu ke 1-6 jam:

y = -0,9286x + 0,7890

R2 = 0,9927  Fase Distribusi

5.4.6. Fase Distribusi dan Fase Eliminasi

a. Fase Distribusi ( α )

y = -0,9286x + 0,7890

R2 = 0,9927  Fase Distribusi

α = b = 0,9286

Ln A = a = 0,7890

A = anti Ln A = 2,2011

b. Fase Eliminasi ( β )

y = -0,0743x + 0,0201

R² = 0,9999

β = b = 0,0743

Ln B = a = 0,0201

B = antiLn B = 1,0203
c. Dosis

142 mg x 1000 = 142000 mcg

5.4.7. Parameter Farmakokinetika

αβ (A + B) 0,9286 .0,0743 ( 2,2011+1,0203 )


1) K (/jam) = =
( Aβ+ Bα ) ( 2,2011.0,0743+ 1,0203.0,9286 )

0,2222
¿ =0,2/ jam
1,1109

2) K12 (/jam) =

AB ( β−α )2 2,2011 x 1,0203 ( 0,0743−0,9286 )2


=
( A +B )( Aβ+ Bα ) ( 2,2011+1,0203 ) ( 2,2011.0,0743+1,0203.0,9286 )

2,2457 ( 0,7298 )
¿
( 3,2214 x 1,1109 )

1,6389
¿ =0,4579/ jam
3,5786

Aβ+ Bα ( 2,2011 x 0,0743+1,0203 x 0,9286 )


3) K21 (/jam) ¿ =
A+ B ( 2,2011+ 1,0203 )

1,1109
¿ =0,3448/ jam
3,2214

0,693 0,693
4) t ½ eliminasi (Jam) = = =9,3270 jam
β 0,0743

Dosis 142000 mcg


5) Vp (mL) ¿ =
( A +B ) ( 2,2011+1,0203 )

142000
¿ =44080,2135 mL
3,2214
Dosis 142000 mc g
¿ =
6) AUC0 ~
K x Vp 0,2
x 44080,2135 mL
jam

mcg
¿ 16,1070 . jam
mL

0,2
7) Cl ( mL/jam) = Vp x K =44080,2135 mL x
jam

¿ 8816,0427 mL/ jam

VI. Pembahasan

Tujuan dan Prinsip dasar dari farmakokinetika adalah untuk

memastikan nasib obat dalam tubuh yang meliputi proses absorpsi dan

disposisi obat dalam tubuh. Aplikasi klinik dari farmakokinetika adalah

berguna untuk penentuan nilai konsentrasi efektif minimum (KEM) dan

konsentrasi toksik minimum (KTM). Informasi ini penting diketahui pada

masing-masing obat guna mengetahui rentang terapetik dari suatu obat.

Informasi mengenai rentang terapi obat dapat digunakan sebagai acuan

dalam pemberian regimen dosis obat yang tepat di dalam aplikasi klinik

nantinya ( Shargel et al.,2005).

Pada percobaan ini yaitu farmakokinetika sediaan intravena dengan

model kompartemen satu terbuka dan multikompartemen terbuka. Tujuan

dari pemberian secara injeksi intravena banyak memberikan keuntungan

diantaranya efek yang timbul akan lebih cepat dibanding pemberian dengan

per oral. Selain itu administrasi ini sangat cocok diberikan pada kondisi

darurat dan terutama pada pasien yang kurang kooperatif (kondisi tidak
sadar). Selain memberikan keuntungan terdapat kekurangan yang dimiliki

pada pemberian secara intravena diantaranya adalah diperlukannya tenaga

kesehatan dalam pengadministrasiannya (sukar dilakukan sendiri oleh

pasien). Selain itu proses penginjeksiannya harus secara aseptis agar

terhindar dari kemungkinan kontaminasi (Ganiswara, 1995).

Jenis model kompartemen terbagi menjadi kompartemen

mamilary,catenary dan fisiologis (model perfusi). Pada percobaan ini jenis

model farmakokinetika masuk ke dalam kompartemen mamilary

( monokompartemen dan multikompartemen) dimana terdiri atas satu atau

lebih kompartemen perifer yang dihubungkan ke suatu kompartemen

sentral. Kompartemen sentral mewakili plasma dan jaringan-jaringan yang

perfusinya tinggi dan secara cepat berkesetimbangan dengan obat. Model

mamillary dapat dianggap sebagai suatu sistem yang berhubungan secara

erat, karena jumlah obat dalam setiap kompartemen dalam setiap sistem

dapat diperkirakan setelah obat dimasukkan ke dalam suatu kompartemen

tertentu (Shargel dan Yu, 2005).

Manfaat parameter pemodelan farmakokinetika adalah untuk

memperkirakan kadar obat dalam plasma, jaringan, dan urin pada berbagai

pengaturan dosis, menghitung pengaturan dosis optimum untuk tiap

penderita secara individu, memperkirakan kemungkinan akumulasi obat dan

/atau metabolit-metabolit, menghitung konsentrasi obat dengan aktivitas

farmakologik atau toksikologik, menilai perbedaan laju atau tingkat

ketersediaan farmasetika dan hayati antar formulasi, menggambarkan


perubahan faal atau penyakit yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, atau

eliminasi obat, dan menjelaskan interaksi obat.

Pada sampel pertama percobaan ini di gunakan Alumunium pada

tikus dengan diberikan sediaan intravena bolus dengan rata-rata berat ke

empat tikus 375 gram dan dosis yang diberikan Alumunium 1 mg/kg.

Alumunium berupa serbuk amorf, putih; tidak berbau; tidak berasa

(Anonim, 1995). Alumunium hidroksida mempunyai mekanisme sebagai

adstrigens, yakni menciutkan selaput lendir berdasarkan sifat ion-

alumunium yang membentuk kompleks dengan protein. Juga dapat

menutupi tukak lambung dengan suatu lapisan pelindung (Tjay dan

Rahardja, 2007). Aluminium (Al(OH)3 merupakan Antasida non sistemik,

tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis

metabolik. Aluminium fosfat memiliki aktivitas antasid yang lemah.

Penggunaannya bermacam-macam, selain pada tukak lambung-usus, juga

pada indigesti pada refluks oesophagitis ringan, dan pada gastritis (L. Kee

Joyce and R. Hayes Evelyn ,1996 : 537).

Untuk mengetahui apakah Alumunium mengikuti model satu

kompartemen atau model dua kompartemen harus dicari persamaan

regresinya antara waktu terhadap Ln Cp (konsentrasi plasma).

Konsentrasi dari data tersebut kemudian ditentukan Ln Cp dengan

rumus Excel (=Ln( kolom angka yang ingin di Ln kan)) yaitu dari

konsentrasi sampel darah. Kemudian di tentukan model kompartemen

dengan grafik yang dibuat dari regresi antara Ln Cp dan waktu (t). Melalui
data hasil pengukuran kurva tersebut diperoleh persamaan kurva dengan

membuat persamaan garis regresi yaitu Y= -0,235 x + 9,9555 dan r =

0,9997. Hubungan antara Ln Cp dan t ( jam) tersebut bersifat linier yang

ditunjukan dengan koefesien korelasi ( r ) yang mendekati satu yang

menunjukan Alumunium merupakan model kompartemen satu terbuka serta

dapat dilihat pada gambar.

Alumunium
12
10
f(x) = − 0.24 x + 9.96
Ln Konsentrasi

8 R² = 1
Alumunium
6
Linear (Alumunium)
4
2
0
0 2 4 6 8 10 12 14
Waktu (jam)

Kurva yang terbentuk hampir mendekati garis lurus. Sehingga

persamaan kurva baku ini dapat digunakan untuk menghitung kadar

Alumunium dalam plasma dengan X sebagai t ( jam ) dan Y sebagai nilai

kadar konsentrasi dalam plasma. Pada percobaan yang dilakukan ini

Alumunium merupakan model kompartemen satu terbuka. Pada model

kompartemen satu terbuka obat masuk dan keluar tubuh dan tubuh bertindak

seperti kompartemen sentral (Shargel et al.,2005). Obat dapat masuk ke

dalam sirkulasi sistemik dan mempunyai volume distribusi kecil, atau juga

dapat memasuki cairan ekstra sel atau bahkan menembus sehingga


menghasilkan volume distribusi yang besar (Gibson, 1991). Pada model satu

kompartemen terbuka terlihat seolah-olah tidak ada fase distribusi, hal ini

disebabkan distribusinya berlangsung cepat antara darah dan jaringan dan

penurunan kadar tergantung pada ekskresi dan biotransformasi ( Intravena).

Sedangkan istilah terbuka mengacu pada proses eliminasi yang terjadi

(Mutschler, 1991).

Penelusuran profil farmakokinetika dilakukan dengan cara

pemberian secara injeksi intravena pada tikus. Parameter farmakokinetika

yang diamati antara lain tetapan kecepatan eliminasi obat (Kel), waktu

paruh eliminasi (t1/2), Klirens (Cl), volume distribusi (Vd), area under

curve (AUC0-t). Parameter farmakokinetik ditentukan dengan perhitungan

matematika dari data kinetika obat di dalam plasma atau di dalam urin yang

diperoleh setelah pemberian obat melalui berbagai rute pemberian, baik

secara intravaskular atau ekstravaskular (Sukmadjaya, 2006).

Hasil yang diperoleh dari profil farmakokinetika dari Alumunium

yang selanjutnya bisa diketahui bagaimana nasib Alumunium didalam tubuh

yaitu dari mulai obat dilepas, didistribusikan, hingga dieliminasi dari tubuh.

Profil farmakokinetika ini penting dalam rangka menuju ’ketepatan

pengobatan’ pada pasien, yaitu dalam hal tepat dosis obat untuk mencapai

efek farmakologi yang diinginkan dan tepat dalam menentukan frekuensi

penggunaan obat.

Berdasarkan hasil parameter farmakokinetika yang telah dilakukan

diantaranya di dapatkan nilai (Kel) pada Alumunium adalah 0,235 /jam


(nilai b dari persamaan regresi). Apabila diperoleh t ½ dengan penyajian

grafik konsentrasi plasma, maka tetapan laju eliminasi (total) dapat dihitung

menjadi Kel= Ln 2/ t ½. Konstanta kecepatan eliminasi ( Kel ) adalah fraksi

obat yang ada pada suatu waktu yang akan tereliminasi dalam satu satuan

waktu. Tetapan kecepatan eliminasi menunjukkan laju penurunan kadar obat

setelah proses kinetik mencapai keseimbangan (Neal, 2006). (Kel)

ditentukan dengan mengaplikasikan konsep persamaan order reaksi. Dalam

hal ini tubuh dianggap mengikuti model satu kompartemen terbuka, obat

masuk ke dalam sirkulasi darah, tanpa proses absorpsi, distribusi obat

berlangsung dengan cepat dan homogen, eliminasi obat merupakan proses

reaksi order pertama. Dengan demikian kecepatan eliminasi obat berbanding

lurus dengan jumlah obat di dalam tubuh. Cara lain untuk menganalisis data

adalah dengan memplot konsentrasi terhadap waktu di atas kertas grafik

semilog. Kertas grafik semilog merupakan kertas grafik yang mana

pembagian skala sumbu y sudah disesuaikan dengan nilai logaritma.

Pembagian skala sumbu x adalah merata. Jadi istilah semilog bermakna

bahwa hanya satu sumbu yang sudah disesuaikan dengan nilai logaritma.

Bila diplot nilai konsentrasi aktual terhadap waktu di atas kertas grafik ini,

maka akan diperoleh garis lurus. Keunggulan pemanfaatan kertas grafik

semilog dibandingkan dengan kertas grafik biasa adalah lebih efisien waktu

karena tidak diperlukan lagi untuk menghitung nilai logaritma dari masing-

masing konsentrasi sebelum diplot terhadap masing-masing waktu yang

bersangkutan.
Kemudian parameter yang kedua didapatkan nilai t ½ pada

Alumunium adalah 2,948 jam. Hal tersebut dinyatakan dalam jam atau

menit t1/2 = Ln 2 (0,693) di bagi (Kel). Waktu paruh eliminasi (t1/2)

merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat di dalam

tubuh menjadi seperdua selama eliminasi (selama infus yang konstan)

(Katzung, 2001). Kemudian niali Ln Co pada Alumunium adalah 9,9555

(nilai a pada persamaan regresi) dan konsentrasi obat dalam plasma (Co)

adalah 21067,77 mg/ml yang didapatkan dari hasil (Exp a dengan rumus

excel = EXP(kolom Ln Co). Kemudian didapatkan nilai dosis IV adalah

375000 mg/ml. Selanjutnya didapatkan parameter (Vd) dengan nilainya

adalah 17,799 ml yang didapatkan dari hasil (dosis / Co ) sehingga dianggap

obat terpusat dalam kompartemen jaringan. (Vd) menunjukan volume

distribusi obat dalam tubuh. Vd merupakan perbandingan antara jumlah

obat di dalam tubuh dengan konsentrasi di dalam plasma atau darah, volume

plasma atau darah yang dibutuhkan untuk memberi gambaran distribusi obat

di dalam tubuh setelah kesetimbangan dicapai, indikator besarnya distribusi

obat ke dalam cairan tubuh dan jaringan serta gambaran/indikasi obat di

dalam tubuh, jarang berhubungan dengan ukuran tubuh, dan berhubungan

dengan ikatan protein. Obat yang bersifat polar cenderung memiliki volume

distribusi yang kecil. Sebaliknya, obat yang bersifat nonpolar cenderung

mempunyai volume distribusi yang besar. Semakin besar volume distribusi

obat, semakin sedikit jumlah obat yang berada di dalam plasma. Kemudian

data parameter dari (Cl) didapat pada alumunium dengan nilai adalah
4,1829 ml/jam yang didapatkan dari hasil (Vd x Ke). Clearance total (Cl)

merupakan volume obat per satuan waktu (misalnya ml/menit) yang

dikeluarkan oleh tubuh. Clearance tubuh total = Clearance Renal +

Clearance Ekstrarenal. Ginjal (renal) merupakan organ utama pengeliminasi

obat. Sifat obat yang di eliminasi melalui ginjal adalah obat yang tidak

mudah menguap, larut air, BM rendah (<500) dan biotransformasi lambat

oleh hati. Peranan renal dalam proses eliminasi dapat dipisahkan dari

proses-proses ekstrarenal (hepatic metabolisme, biliary excretion) dengan

menganalisis jumlah obat yang muncul di dalam urin pada interval waktu

tertentu. Konstanta kecepatan eliminasi adalah jumlah dari konstanta

kecepatan eliminasi renal dan konstanta kecepatan eliminasi ekstrarenal.

Dan parameter terakhir adalah AUC dengan nilai 89650,11 ug hr/ml

yang didapatkan dari hasil = (dosis) / (Ke dikali Vd). AUC ( Area Under

Curve) luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam sirkulasi sistemik vs

waktu (AUC). Nilai ini menggambarkan derajat absorpsi, yakni berapa

banyak obat diabsorpsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Area dibawah

kurva konsentrasi obat-waktu (AUC) berguna sebagai ukuran dari jumlah

total obat yang utuh tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik

(Shargel dan Yu, 2005).

Pada sampel ke dua yaitu Griseofulvin diketahui diberikan secara

intravena dengan dosis 142 mg, merupakan antifungi yang berfungsi untuk

mengobati infeksi yang disebabkan oleh jamur. Untuk mengetahui apakah

Griseofulvin mengikuti model satu kompartemen atau model dua


kompartemen harus dicari persamaan regresinya antara waktu terhadap Ln

Cp (konsentrasi plasma). Diperoleh r = 0.969, nilai r yang tidak sama

dengan 1 menunjukan bahwa Griseofulvin mengikuti model dua

kompartemen, selain itu kurva yang muncul tidak linier, dengan persamaan

regresinya adalah y = 0,0858x + 0,2612. Model dua kompartemen terbuka

terdiri dari kompartemen pusat dan perifer, biasanya kompartemen pusat

adalah darah dan perifernya jaringan lain. Pengelompokan kompartemen

pusat maupun perifer tergantung pada obat yang bersangkutan (Gibson,

1991).

Dalam model kompartemen ganda, obat didistribusikan dengan laju

reaksi yang tidak sama ke dalam berbagai kelompok jaringan yang berbeda.

Jaringan-jaringan yang mempunyai aliran darah paling tinggi atau jaringan

dengan perfusi tinggi dapat dinyatakan sebagai kompartemen sentral.

Sewaktu distribusi awal terjadi, obat dilepaskan ke satu atau lebih

kompartemen perifer dengan perfusi lebih lambat tetapi memiliki afinitas

yang sama terhadap obat. Perbedaan-perbedaan itu menyebabkan adanya

kurva non-linier. Setelah terjadi kesetimbangan obat dalam jaringan perifer,

maka kurva mengalami eliminasi obat dari tubuh yang mengikuti order

kesatu. Setelah itu dicari nilai Ln C extrapolasi yaitu diperoleh

menggunakan metode residual yaitu dengan cara memasukan 3 angka

teratas dari fase distribusi ke persamaan regresi dari post distribusi sebagai

x. Setelah itu dicari nilai konsentrasi residual dengan cara mencari selisih

antara Cp distribusi dengan Cp ekstrapolasi. Kmudian buat kembali kurva


distribusi 3 waktu teratas dengan 3 angka teratas Ln Cr, dari kurva tersebut

diperoleh pesamaan y = 0,9287x + 0,7889.

Parameter farmakokinetik yang ditentukan dintaranya nilai α

(Konstanta laju reaksi untuk fase distribusi ) yang sama dengan nilai b yaitu

0.9287, Ln A atau nilai a yaitu 0.7889, nilai A (Perpanjangan y-axis

ekstrapolasi fase distribusi) yang merupakan hasil exrapolasi a yaitu 2.2009,

nilai β (Konstanta laju reaksi untuk fase eliminasi ) yang sama dengan nilai

b yaitu 0.0743, Ln A atau nilai a yaitu 2.2009, serta nilai B (Perpanjangan y-

axis ekstrapolasi fase eliminasi ) yang merupakan hasil exrapolasi b yaitu

1,0203. Selain itu, dicari juga nilai K yang merupakan tetapan eliminasi

diperoleh dengan cara perkalian antara hasil kali αβ dengan hasil

penjumlahan A dan B kemudian dibagi penjumlahan Aβ dan Bα diperoleh

hasil 0,2/jam, K12 adalah nilai tetapan kecepatan transfer obat dari

kompartemen 1 ke kompartemen 2, diperoleh dengan cara perkalian antara

hasil kali AB dengan selisih antara β dan α, kemudian dibagi hasil kali

antara penjumlahan A dan B dengan penjumlahan Aβ dan Bα diperoleh

hasil 0.4580/jam, K21 adalah tetapan kecepatan transfer obat dari

kompartemen 2 ke kompartemen 1, merupakan hasil penjumlahan Aβ

dengan Bα dibagi A ditambah B diperoleh hasil 0.3449/jam, t1/2 merupakan

waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat di

dalam tubuh menjadi seperdua selama eliminasi (atau selama infus yang

konstan) (Katzung, 2001), diperoleh dengan cara 0,693 dibagi nilai β yaitu

9,327 jam, Vp adalah volume plasma diperoleh dengan membagi dosis awal
dengan penjumlaan A dan B hasilnya adalah 4408,89 mL, AUC 0 adalah

Nilai ini menggambarkan derajad absorbsi, yakni berapa banyak obat

diabsorbsi dari sejumlah dosis yang diberikan,AUC berguna sebagai ukuran

dari jumlah total obat yang utuh tidak berubah yang mencapai sirkulasi

sistemik (Shargel dan Yu, 2005), diperoleh dengan cara membagi D0 dengan

hasil kali antara K dan Vp yaitu 16,1021 mg/mL.jam serta Cl yang

merupakan Klirens adalah volume darah yang dibersihkan dari kandungan

obat per satuan waktu (Neal, 2006), hasil kali antara Vp dengan K yaitu

sebesar 8818.6905 mL/jam, sedangkan persamaan model 2 kompartemen

yaitu Cp = 2,2009 e -0,9287t + 1,0203 e -0,0743t .

VII. Kesimpulan

1. Pada sediaan Alumiunum yang diberikan secara injeksi IV berdasarkan

hasil pengamatan mengikuti model kompartemen satu terbuka, karena

dilihat dari kurva hubungan antara Ln Cp dan t ( jam) tersebut bersifat

linier yang ditunjukan dengan koefesien korelasi ( r ) dengan nilai r =

0.9997 mendekati satu .

2. Pada sediaan Griseofulvin yang diberikan secara injeksi IV berdasarkan

hasil pengmatan mengikuti model multi komoartemen karena dilihat

dari kurva hubungan antara Ln Cp dan t ( jam) tersebut bersifat tidak

linier dan landau serta menunjukkan oefesien korelasi ( r ) dengan nilai

r = 0,9695 (tidak mendekati satu) .


DAFTAR PUSTAKA

De Oliveira SR., Bohrer D., Garcia SC.,dkk. (2010) . Aluminum Content in

Intravenous Solutions for Administration to Neonates: Role of Product

Preparation and Administration Methods Vol. 34 No.3

Ganiswara, (1995). Farmakologi Dan Terapi edisi IV, UI, Jakarta

Gibson, G. G., and Skett, P., (1991). Introduction too Drug Metabolism,

diterjemahkan oleh Iis Aisyiah,189-191, UI Press, Jakarta

Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly, Jr., J.H., (1991). Organisasi: Perilaku,

Struktur, Proses (Terj.), Penerbit Erlangga, Jakarta.

Katzung, B.G. (2001). Farmakologi Dasar dan Klinik : Reseptor- reseptor Obat

dan Farmakodinamik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp. 23-4.

Katzung, Betram G. 2010. Basic & Clinical Pharmacology, 10th Edition. Jakarta:

EGC
Kee, Joyce L and Evelyn R. Hayes.,1996, Farmakologi : pendekatan proses

keperawatan. Edisi I, diterjemahkan oleh Peter Anugerah ; editor, Yasmin

Asih. Jakarta : EGC. hlm 537

Mutschler, E., (1991). Dinamika Obat : Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi,

Edisi 5,9. di terjemahkan oleh Mathilda B, Widianto dan Anita Setiadi

Ranti, Penerbit ITB. Bandung.

Neal, M.J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta :

Penerbit Erlangga. pp. 85

Shargel, L., Yu, A., and Wu, S., (2005). Biofarmasetika dan Farmakokinetika

Terapan, Edisi kedua, Airlangga University Press, Surabaya. 3,9 -16, 371,

431- 442, 456-458, 167 – 187.

Shargel, L., Wu, S., Yu, A. (2012). Biofarmasetika dan Farmakokinetika

Terapan, Edisi Kelima. Airlangga University Press, Surabaya

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,

Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271, PT.

Elex Media Komputindo, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai