PRAKTIKUM FARMAKOKINETIK
“BIOAVAILABILITAS DAN BIOEKUIVALENSI”
OLEH:
KELOMPOK IV
STIFA A 2020
RUMUS:
Gambar. 1 Rumus ………. (cttn kaki).
Bioavailabilitas absolut sama dengan F. Di mana F adalah fraksi obat
yang terabsorpsi. Oleh karena tidak semua zat aktif tersedia dalam
pemberian i.v., maka timbulah pengertian bioavailabilitas relatif.
Bioavailabilitas relatif merupakan rasio ketersediaan dalam sistemik suatu
produk obat dibandingkan dengan standar dengan jenis zat aktif dan rute
pemberian yang sama. Bioavailabilitas relatif jika diberikan pada dosis yang
berbeda membutuhkan suatu koreksi, sehingga persamaan adalah sebagai
berikut: (Shargel, 2010).
RUMUS:
Nilai FABS antara 0-100%, sedangkan FREL dapat lebih dari 100 %
(Sunoko,2020).
Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Bioavailabilitas absolut
Bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu
sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif diukur dengan
membandingkan AUC produk yang diberikan secara oral dengan
intravena.
2. Bioavailabilitas relatif
Bioavailabilitas zat aktif diukur dengan membandingkan AUC suatu
sediaan obat terhadap standar yang diketahui yang mencapai sirkulasi
sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain
selain intravena (Hakim, 2002)
Faktor farmasetik yang mempengaruhi biovailabilitas obat aktif (Shargel dan
Andrew, 2005):
1. Disintegrasi
Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami
disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan obat.
2. Pelarutan
Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi
terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan
dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau
terdisintegrasi dalam saluran cema sering mengendalikan laju absorbsi
sistemik obat. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh dikenal sebagai
"stagnant layer", berdifusi ke pelarut dari daerah konsentrasi tinggi ke
daerah konsentrasi obat yang rendah. Laju pelarutan adalah jumlah obat
yang terlarut per satuan luas per waktu (misal g/cm².menit). Laju pelarutan
dipengaruhi pula oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, pelarut, suhu media
dan kecepatan pengadukan
3. Sifat Fisikokimia Obat
Sifat fisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai pengaruh
yang besar pada kinetika pelarutan. Sifat-sifat ini terdiri atas: luas
permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan obat dalam air,
dan bentuk obat yang polimorf.
4. Faktor Formulasi Yang Mempengaruhi Uji Pelarutan Obat Berbagai bahan
tambahan dalam produk obat juga mempengaruhi kinetika pelarutan obat
dengan mengubah media tempat obat melarut atau bereaksi dengan obat
itu sendiri. Misalnya, magnesium stearat (bahan pelincir tablet) dapat
menolak air, dan bila digunakan dalam jumlah besar dapat menurunkan
pelarutan. Natrium bikarbonat dapat mengubah pH media. Untuk obat
asam seperti aspirin dengan media alkali akan menyebabkan obat
tersebut melarut cepat. Serta, bahan tambahan yang berinteraksi dengan
obat dapat membentuk kompleks yang larut atau tidak larut dalam air,
contoh tetrasiklina dan kalsium karbonat membentuk kalsium tetrasiklina
yang tidak larut air.
II.I.2 Defenisi Bioekuivalensi
Bioekuivalensi merupakan istilah yang lebih relatif yang
membandingkan satu produk obat dengan yang lain atau dengan satu produk
standar yang sudah dikembangkan. Bioekivalensi mengindikasikan bahwa
suatu obat dalam dua atau lebih bentuk dosis yang sama mencapai sirkulasi
umum pada tingkat relatif yang sama dan keberadaan relatif yang sama.
Studi bioekivalensi produk obat pada umumnya dengan maksud
membandingkan. bioavailabilitas antara suatu formulasi baru obat standar
dibandingkan terhadap formulasi asli/lama, atau suatu bentuk pemakaian
baru obat dibandingkan terhadap formulasi yang diperdagangkan. Tujuan uji
bioekivalensi baik di pedoman WHO maupun di Indonesia adalah sama yaitu
untuk menjamin bahwa obat copy yang beredar mempunyai standar yang
sama dengan produk inovatornya (FDA, 2003)
Dua sediaan obat yang ber-ekivalensi kimia tetapi tidak ber-ekivalensi
biologik dikatakan memperlihatkan bioinekivalensi. Terutama terjadi pada
obat-obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran
cema dan obat yang mengalami metabolisme selama absorpsinya. Jika
sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam
efek kliniknya artinya memperlihatkan ekivalensi terapi. Jika lebih dari 10%
dapat menimbulkan inekivalensi terapi (Aiache, 1993)
Uji bioekivalensi adalah uji bioavailabilitas komparatif yang dirancang
untuk menunjukkan bioekivalensi antar produk uji dengan produk obat
pembanding (BPOM, 2004). Uji ini diperlukan karena metode fabrikasi dan
formulasi dapat mempengaruhi bioavailabilitas produk produk obat tersebut
(Abdou, 1989)
Obat yang harus diuji bioekivalensinya adalah obat oral dengan
pelepasan segera, yaitu:
1. Non-linier farmakokinetik.
2. Obat oral yang diberikan untuk kondisi segera.
3. Obat oral dengan indeks terapi sempit.
4. Obat oral dengan sifat fisikokimia tidak menguntungkan (Amril, 2006)
Obat-obat yang tidak memerlukan pengujian bioekuivalensi
1. Produk obat copy untuk penggunaan intravena.
2.produk obat copy untuk penggunaan parenteral lain (intramuskular,
subkutan).
3. Produk obat copy berupa larutan untuk penggunaan oral (sirup, eliksir,
atau larutan bukan suspensi).
4. Produk obat copy berupa bubuk unturk dilarutkan dan sebagai larutan
5. Produk obat copy berupa gas.
6. Produk obat copy larutan untuk tetes mata / telinga (Amril, 2006)
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji bioavailabilitas dan bioekivalensi
1. Adanya pemahaman terhadap farmakokinetik obat (adsorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi).
2. Pemilihan metode analisis yang tepat hal ini diperlukan untuk mengetahui
efek samping, efek toksik, dan penanganan terhadap efek efek tersebut.
3. Stabilitas obat dalam sampel.
4. Penyusunan percobaan protocol yang tepat sebelum dilakukan uji
sebaiknya mendapat persetujuan dari BPOM dan dilakukan kajian etik
terlebih dahulu. Protokol harus lulus kajian ilmiah (Aiache, 1993)
Paracetamol adalah obat untuk meredakan demam dan nyeri, termasuk
nyeri haid atau sakit gigi. Paracetamol atau acetaminophen tersedia dalam
bentuk tablet, sirop, tetes, suppositoria, dan infus sedangkan sanmol
merupakan obat dengan kandungan Paracetamol 500 mg. Obat ini
digunakan untuk meringankan rasa sakit pada keadaan sakit kepala, sakit
gigi dan menurunkan demam. Digunakan paracetamol dan sanmol untuk
mengatahui perbedaan berbagai produk paracetamol yang sudah beredar
dipasaran dan mebandingkan kemiripan (similar) dari bioekuivalensi/BE
antara berbagai produk paracetamol dengan paracetamol generik.
Melalui uji klinis, telah terbukti bahwa makanan dapat menurunkan
tingkat absorpsi parasetamol. Pada keadaan puasa secara nyata dapat
meningkatkan kecepatan absorpsi parasetamol walaupun tidak
mempengaruhi jumlah total yang diabsorpsi (McGilveray and Mattok, 1972).
Menurut Lacy, Armstrong, Goldman, dan Lance (2003), parasetamol cepat
diabsorpsi dan hampir sempurna, namun apabila parasetamol dikonsumsi
diikuti dengan makanan berkarbohidrat tinggi akan terjadi penundaan
absorpsi yang berarti menunjukkan penurunan kecepatan absorpsi. Menurut
Proudfoot (1990), makanan akan menurunkan laju pengosongan lambung
sehingga akan menunda onset parasetamol. Parasetamol akan
dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian parasetamol (80%)
dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan
asam sulfat. Selain itu, parasetamol juga dapat mengalami hidroksilasi.
Metabolit hasil hidroksilasi ini, dapat menimbulkan methemoglobinemia dan
hemolisis eritrosit (Wilmana, 2002). Parasetamol dalam dosis berlebihan
dapat menyebabkan kematian karena akan menghasilkan nekrosis pada hati,
tapi dosis terapi tidak akan menyebabkan hepatotoksik. Dosis kecil dari
parasetamol akan dieliminasi melalui proses konjugasi yang kemudian diikuti
dengan ekskresi, tapi pada dosis yang berlebihan enzim yang berperan
mengalami saturasi maka obat akan mengalami proses metabolisme yang
berbeda, sehingga terbentuk hidroksilamin oleh enzim sitokrom P450.
Hubungan adme dengan bioavaibilitas don bioekuivalensi yaitu uji
bioavaibilitas digunakan untuk menilai formakokinetik atau kinerja kerja
Poduk obat terkait dengan penyerapan, distribusi den eliminasi Obat.
bioekuvalensi menitikbaratkan pada pelepasan bahan aktif (atau sanyawa
aktif) dan produk obat dan penyerapannya ke dalam peredaran sistemik uji
bioavaibilitas fokuskan Pada penentuan bagaimana obat dilepas dari sediaan
dan bergerak ke tempat kerjanya uji bioavaibilitas digunakan untuk menilai
kerja produk obat yang digunakan dalam uji klinis untuk mendapatkan bukti
keamanan dan efikasinya.
Obat generik adalah obat yang telah habis masa patennya, sehingga
bisa diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar hak
paten. Umumnya, obat generik memiliki efektivitas yang sama dengan obat
paten, namun harganya jauh lebih murah ketimbang obat paten. Terdapat
dua jenis obat yang beredar, yakni obat paten dan juga obat generik. Obat
generik pun dibagi lagi menjadi dua jenis, yakni obat generik berlogo dan
obat generik bermerek. Obat generik berlogo (OGB) adalah obat yang
umumnya hanya menampilkan logo “Generik” tanpa mencantumkan nama
farmasi atau perusahaan tempat obat tersebut diproduksi.Obat generik
berlogo tidak memiliki biaya promosi, sehingga memiliki harga jual yang
relatif terjangkau. Sedangkan Obat generik bermerek (branded generic)
adalah jenis obat generik yang mencantumkan nama farmasi atau
perusahaan tempat obat tersebut diproduksi. Obat generik bermerek
biasanya memiliki harga jual yang relatif lebih tinggi, meski kandungan di
dalamnya serupa dengan obat generik berlogo (OGB). Obat paten adalah
obat baru yang diproduksi dan dipasarkan oleh sebuah perusahaan farmasi
yang sudah memiliki hak paten. Obat paten yang dipasarkan pun sudah
melalui serangkaian uji klinis yang dilakukan oleh perusahaan farmasi sesuai
aturan yang telah ditetapkan secara internasional. Obat paten ini tidak boleh
diproduksi dan dipasarkan lagi oleh perusahaan farmasi lain tanpa seizin
pemilik hak paten. Lama kepemilikan hak paten suatu obat sekitar 20 tahun.
Setelah lewat dari periode itu, hak paten bisa diperpanjang. Jika tidak segera
diperpanjang, obat tersebut bisa diproduksi oleh perusahaan farmasi lain,
baik dalam bentuk obat generik berlogo maupun obat generik bermerek.
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah Erlenmeyer,
Labu Ukur, Gelas Ukur dan Spektrofotometer
III.2 Bahan
Adapun bahan yang digunaka dalam percobaan ini adalah Paracetamol
Murni, Sanmol Tablet, Paracetamol (Generik) Tablet, Na2SO4, Dietileter, Fe,
(SO4), K3 [Fe(CN)6], HCL 1 M dan Aquades.
III.3 Cara Kerja
III.3.1 Penyiapan Larutan Baku
1. Ditimbang Paracetamol murni sebanyak 100 untuk menjadi stok I
2. Diambil 2,5 mL dari stok pertama lalu dicelupkan volumenya sampai 100
mL
3. Dipipet 0,25 mL saliva dan masukkan dalam tabung reaksi
4. Ditambahkan 0,1; 0,2; 0,4; 0,8; 1; 1,6; 2 mL campuran stok II kedalam
tabung reaksi yang berbeda, kemudian cukupkan volume campuran dalam
setiap tabung menjadi 2,5 mL dengan menggunakan Aquadest.
5. Diambil 0,25 mL dari tiap campuran dipindahkan ketabung reaksi lainnya
6. Ditambahkan 1 g Na2SO4 dan 10 mL dietil eter. Homogenkan kemudian
diambil bagian lapisan dietil eter dan diuapkan. Sedangkan residu yang
tersisa direkontruksi dengan menggunakan aqudest sampai 2,5 mL
7. Ditambahkan 0,5 mL Larutan HCl 1 M yang diikuti penambahan 1 mL
Fe2(SO4)3 1 mM, Dipanaskan selama 10 menit lalu didinginkan
8. Ditambahkan 1 mL K3[Fe(CNO6], cukupkan denganaquadest 5 mL
9. Disimpan campuran di suhu kamar selama 24 menit, kemudian diukur
absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 700 nm.
10.Diplotkan data konsentrasi paracetamol vs absorbansi
IV.2 Perhitungan
AUC p .o x Di . v
Bioavailabitas Absolut = x 100 %
AUC i. v x Dp . o
189 x 250
= x 100 %
80,6 x 500
47,250
= x 100 %
40,300
= 117,2%
( AUC ) a
Bioavailabitas Relatif = x 100 %
( AUC ) b
189
= x 100 %
182,5
= 104%
IV.3 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan Bioavailabilitas dan
Bioekuivalensi, dimana bioavalaibilitas atau ketersediaan hayati didefinisikan
sebagai jumlah dan kecepatan zat aktif obat tersebut mencapai sirkulasi
sistemik, jumlah obat diukur dari kadar dalam darah atau urin dengan
parameter farmakokinetik area under curve (AUC) yaitu luas di bawah kurva
obat terhadap waktu (Anonim, 2004).
Bioavailabilitas obat dapat dinilai dengan menggunakan data darah
maupun data urin, tergantung pada tujuan studi, metode penetapan kadar
obat maupun sifat produk obat yang akan diuji. Parameter farmakokinetik
data darah yang berguna pada penentuan bioavailabilitas antara lain waktu
kadar puncak (tmax), kadar puncak dalam darah (Cmax) dan AUC. Untuk
penentuan menggunakan data urin, beberapa parameternya adalah jumlah
kumulatif obat yang diekskresi dalam urin (Du), laju ekskresi obat dalam urin
(dDu/dt) dan waktu ekskresi maksimum obat (Shargel,2005).
Bioavailabilitas dibedakan menjadi bioavailabilitas absolut dan relatif.
Bioavailabilitas absolut diukur dengan membandingkan AUC produk yang
diberikan secara oral dengan intravena. Sedangkan bioavailabilitas relatif
diukur dengan membandingkan AUC suatu sediaan obat terhadap standar
yang diketahui. Istilah bioekuivalensi berhubungan dengan istilah
bioavailabilitas, yaitu suatu respon terapetik yang ditetapkan dari suatu
produk obat terhadap produk obat lainnya. Dua produk obat dikatakan
bioekuivalensi jika keduanya diberikan dengan dosis molar yang sama
menghasilkan efek terapetik yang sama (Shargel, 2005).
Pada percobaan ini diperoleh hasil AUC dan produk tablet dengan dosis
500 mg yaitu 189 dan diperoleh simpangan baku yaitu 40,5. Sedangkan pada
produk larutan oral dengan dosis 500 mg, diperoleh AUC sebesar 182,6 dan
simpangan baku yaitu 38,4. Dan pada produk injeksi intravena dengan dosis
250 mg, diperoleh AUC sebesar 80,6 dan diperoleh simpangan baku yaitu
12,6.
Berdasarkan data tersebut, diperoleh Bioavailabilitas relatif tablet
terhadap larutan oral 104%. Dan pada Bioavailabilitas absolut tablet terhadap
larutan inttavena yaitu 117,2%, dimana Bioavailabilitas absolut lebih dari
100%, artinya absolut tablet sempurna. Dimana pada jurnal dijelaskan bahwa
kadar Bioavailabilitas obat Paracetamol untuk oral (Absolut) yaitu yang
terendah 79% maka hasil yang didapatkan sesuai dengan literature.
Sedangkan nilai Bioavailabilitas relatif didapatkan hasil 104%, dimana hasil
ini tidak sesuai dengan literatur yang menjelaskan bahwa kadar untuk
Bioavailabilitas obat Paracetamol intravena yaitu sebesar 100%, sehingga
hasil yang didapatkan masih bisa dimasukkan range karena perbedaan hasil
tidak terlalu jauh dari range ketetapan.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari percobaan ini yaitu Bioavailabilitas yaitu
menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah bahan aktif atau bagian aktif
yang diabsorbsi dari suatu produk obat dan tersedia pada site diksi.
Bioekuivalen yaitu data ekuivalensi untuk melihat suatu kesetaraan sifat dan
kerja obat di dalam tubuh suatu obat “copy” dibandingkan dengan obat
inovator sebagai pembanding. Availabilitas terbagi atas dua yaitu availabilitas
relatif dan absolut.
Adapun diperoleh hasil Bioavailabilitas relatif sebesar 104%. Dari hasil
tersebut tidak sesuai dengan literatur, dimana kadar Bioavailabilitas
Paracetamol intravena sebesar 100%. Sedangkan Bioavailabiltas absolut
diperoleh hasil sebesar 117,2%. Dari hasil tersebut sesuai dengan literatur,
dimana kadar Bioavailabiltas Paracetamol oral yang terendah yaitu 79%.
V.2 Saran
V.2.1 Saran untuk Dosen
Sebaiknya dosen pembimbing dapat hadir dan mendampingi praktikan
dari awal mulainya praktikum sampai selesai agar pembelajaran dapat
terarah dengan baik.
V.2.2 Saran untuk Asisten
Sebaiknya asisten diharapkan untuk mendampingi praktikan dari awal
praktikum hingga akhir dan kiranya dapat hadir mengawasi tiap kelompok
pada saat praktikum.
V.2.3 Saran untuk laboratorium
Sebaiknya Laboran diharapkan untuk lebih melengkapi alat dan bahan
dilaboratorium agar pada saat praktikum berlangsung alat dan bahan yang
diperlukan dapat tersedia dan dapat digunakan.