Anda di halaman 1dari 5

I.

TUJUAN
1.1. Mempelajari pengaruh keadaan bahan baku obat (polimorfisme, hidrat,
solvat) terhadap kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi
bentuk sediaannya.

II. PRINSIP
2.1 Persamaan Noyes-Whitney

Persamaan Noyes-Whitney persamaan di bawah ini :

dc/dt = K.S (Cs - C)

Keterangan :

dc/dt = Kecepatan disolusi obat

S = Luas permukaan bahan obat yang terdisolusi

K = Tetapan kecepatan disolusi

Cs = Larutan bahan obat jenuh

C = Kadar dalam obat yang terlarut dan cairan medium

(Martin, 1993).

2.2. Kecepatan disolusi

Kecepatan disolusi merupakan proses kinetik dispersi atau disosiasi solute


ke dalam solven pad atingkat molekular untuk membentuk ssatu dispersi
homogen berupa larutan (Smith, 2015).

III. Teori Dasar

Uji disolusi dan penetapan kadar zat khasiat merupakan faktor penting dalam
pengendalian mutu obat. Pengujian ini dipersyaratkan pada produk farmasi yang
berbentuk tablet. Uji disolusi ini pada industri farmasi merupakan informasi berharga
untuk keseragaman kadar zat khasiat dalam satu produksi obat (batch), perkiraan
bioavailabilitas dari zat khasiat obat dalam suaru formulasi, variabel kontrol proses
dan untuk melihat pengaruh perubahan formulasi. (Raini et.al,2010).

Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) mempersyaratkan uji


disolusi terbanding (Profil disolusi) berdasarkan perbandingan profil disolusi antara
obat inovator dan obat "copy" (generik dan generik bermerek) untuk memastikan
kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor dalam formulasi atau
pembuatan setelah izin pemasaran obat. Sebelum melakukan uji bioekivalensi,
BPOM juga menganjurkan untuk melakukan uji disolusi in vitro yang dilaporkan
dalam bentuk profil disolusi antara obat uji dan pembanding/inovator. (BPOM,2005).

Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam
pelarut menghasilkan suatu larutan secara sederhana. Disolusi merupakan proses
dimana zat padat melarut secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat
dan pelarut. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan kemampuan
penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses integrasi
dan degadrasi. Sediaan merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi
karakteristik disolusi obat dari sediaan. Setelah pemberian secara insitu dapat timbul
endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan
endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian, pemberian sediaan
larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan yang segera. (Alache, 1998)

Sebagian besar metode pelarutan berhubungan dengan produk obat, kadarnya


suatu obat baru dapat diuji untuk pelarut tanpa pengaruh dari bahan tambahan atau
dari proses fabrikasi. Pelarutan dari suatu serbuk obat dengan mempatahkan suatu
luas permukaan yang tetap disebut pelarutan intrinsic. Pelarutan intrinsik biasanya
dinyatakan dalam mg/cm2menit. Dalam salah satu metode “basket” disesuaikan
untuk uji kelarutan serbuk dengan menempatkan serbuk dalam suatu cakram yang
dicetakkan dengan menjepit ke dasar keranjang. Klirens intrinsik digunakan untuk
menggambarkan kemampuan hati untuk menghilangkan obat dalam keadaan tidak
adanya pembatasan aliran sebagai pencemaran aktivitas yang melekat dari mixed
function oxidases. Klirens hepatis berhubungan dengan faktor aliran darah, hati, dan
klirens intrinsik hati. (Shargel, 1988)

Laju disolusi intrinsik merupakan laju dimana suatu padatan melarut di dalam
suatu pelarut dalam batasan kuantitatif. Bila suatu tablet sediaan obat lainnya
dimasukkan ke dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari
bentuk padatnya. Jika obat tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padatan juga
mengalami disintegrasi menjadi granul-granul dan granul yang lain emngalami
pemecahan menjadi partikel-partikel yang halus. Disintegrasi, deagregasi, dan
disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk
dimana oat tersebut diberikan. (Voight, 1999)

Pengujian disolusi sangat bermanfaat karena merupakan faktor pembatas


dalam absorbsi obat. Pengujian disolusi digunakan untuk membuktikan kesesuaian
dengan spesifikasi kampendial dan dapat merupakan persyaratan dalam registrasi
obat. Disolusi digunakan pula selama pengembangan produk dan pengujian stabilitas
sebagai bagian dari spesifikasi produk.

Faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu obat dari sediaan


dikelompokkan menjadi :

1. Faktor terkait pada sifat fisika kimia obat

2. Faktor terkait pada formulasi obat

3. Faktor terkait dengan bentuk sediaan

4. Faktor terkait pada obat uji disolusi

5. Faktor terkait pada parameter pengujian disolusi


(Agoes,2008).

Tablet CTM digunakan sebagai antihistaminikum. Antihistaminikum adalah


obat yang menentang kerja histamin pada H-1 reseptor histamin sehingga berguna
dalam menekan alergi yang disebabkan oleh timbulnya simptom karena histamin.
Antihistamin bekerja dengan menempati tempat pada sel yang ditempati pula oleh
histamin. Dengan demikian, CTM akan menghilangkan kemampuan histamin dalam
menimbulkan reaksi alergi (Harkness, 1989).

Zat antihistamin akan bekerja dengan cara menekan sistem syaraf pusat. Obat

ini menekan atau mengurangi sejumlah fungsi tubuh, seperti koordinasi dan
kewaspadaan, depresi berlebihan, bahkan hilangnya fungsi tubuh dapat terjadi jika
antihistamin digunakan bersama dengan obat yang memiliki efek kerja pada sistem
syaraf pusat lainnya (Harkness, 1989).

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, salah satu pengujian yang dilakukan
untuk mengetahui kualitas tablet adalah uji disolusi. Disolusi merupakan proses
perpindahan molekul obat dari bentuk padat kedalam larutan pada suatu medium
(Depkes RI, 1995).

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan
pada tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari
apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut
dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi
(Ansel, 1989).

Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan
oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media
sekelilingnya (Amir, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Agoes. 2008. Seri Farmasi Industri Sistem Penghantaran Obat Pelepasan


Terkendali. ITB. Bandung
Alache. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasetika, Edisi kedua. Airlangga University
Press. Surabaya
Amir, S., dkk.2007. Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta: Gaya Baru.
Ansel, C.H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta: UI Press.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Indonesia No. HK 00.05.3.1818 Tentang Pedoman Uji
Bioekivalensi, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.
Jakarta: Depkes RI.
Harkness, R., dkk. 1989. Interaksi Obat. Bandung : ITB.
Martin, A. 1993. Farmasi Fisik Jilid I. Jakarta : UI Press.

Raini,et.al. 2010. Uji Disolusi dan Penetapan Kadar Tablet Loratadin Inovator dan
Generik Bermerek. Media Litbang Kesehatan Volume XXNomor 2

Smith, B. T. 2015. Remington Education: Physical Pharmacy. London:


Pharmaceutical Press.

Shargel. 1998. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University


Press. Surabaya
Voight. 1971. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. UGM Press. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai