Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH BIOFARMASETIKA

BIOPHARMACEUTICAL CLASSIFICATION SYSTEM


(BCS) KELAS 3

Dosen Pembimbing : Dhanang Prawira Nugraha S.Farm,Apt

Disusun oleh
ILVIANI
1413206024

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKES KARYA PUTRA BANGSA TULUNGAGUNG
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulilah atas kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Biopharmaceutical
Classification System (BCS) Kelas 3 ini dengan baik. Tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
BIOFARMASETIKA.

Saya sangat berharap makalah ini dapat menambah


wawasan serta pengetahuan mengenai pentingnya sebagai seorang
farmasis dapat memahami tentang Biopharmaceutical
Classification System (BCS) Kelas 3 serta dapat menangani
masalah yang terkait dengan permeabilitas obat yang buruk.

Makalah ini belum sepenuhnya sempurna dan masih banyak


terdapat kekurangan. Maka dari itu,saya selaku penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat berguna bagi pembaca dan memberikan informasi yang baru
dan menambah pengetahuan bagi kita semua.

Tulungagung, 14 Oktober 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL. ............................................................................. i


KATA PENGANTAR. ........................................................................... ii
DAFTAR ISI. ......................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang. ............................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 5
1.3 Tujuan. ............................................................................................ 6

BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Definisi BCS. .................................................................................... 7
2.2 Tujuan Pembuatan BCS.................................................................... 7
2.3 Klasifikasi BCS ................................................................................ 8
2.4 Kelas BCS ........................................................................................ 9
2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi BCS ........................................ 11
2.6 .......................................................................................................... 13
2.7 .......................................................................................................... 22

BAB III : PENUTUP


3.1 Kesimpulan. ...................................................................................... 24
3.2 Saran. ................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sifat kelarutan dan permeabilitas obat juga merupakan factor


yang mempengaruhi proses absorbsi. Agar suatu obat dapat
diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut
(terdispersi molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan
diabsorpsi. Di dalam banyak kasus, kecepatan disolusi atau waktu
yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan pencernaan
menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses
absorbsi. Hal Ini berlaku untuk obat yang diberikan dalam bentuk
sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau suspensi, seperti
halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam
bentuk granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan
rate-limiting step, maka kecepatan disolusi juga akan
mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat
mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol
keseluruhan bioavailabilitas obat dari suatu sediaan (Hafizh dkk,
2014).
Sistem klasifikasi biofarmasetik (biopharmaceutical
Classification System,BCS) mengelompokkan obat dalam
kelompok yang didasarkan pada: kelarutan, permeabilitas dan
kecepatan disolusi in vitro. Klasifikasi sistem ini dapat digunakan
untuk menjustifikasi persyaratan-persyaratan penelitian in vitro
(sediaan) obat yang melarut secara cepat, mengandung bahan aktif
yang sangat larut dan sangat permeable. Sistem klasifikasi
biofarmasetik diperkenalkan melalui sebuah metode untuk
mengidentifikasi situasi yang mungkin mengikuti uji disolusi in
vitro yang digunakan untuk memastikan bioekivalensi dalam
ketidakhadiran studi bioekivalensi klinik secara nyata. Pada
4
dasarnya pendekatan secara teori menyatakan, kelarutan dan
permeabilitas intestinal diidentifikasi sebagai karakteristik
pengobatan utama yang mengontrol absorpsi. Dalam klasifikasi
biofarmasetik tersebut telah membagi beberapa senyawa menjadi
berguna dalam memprediksi efek transporter penghabisan dan
serapan pada penyerapan lisan maupun di tingkat postabsorption
sistemik setelah pemberian dosis oral dan intravena empat kelas
berdasarkan permeabilitas dan kelarutan. Sistem klasifikasi ini
berguna dalam memprediksi efek transporter penghabisan dan
serapan pada penyerapan lisan maupun di tingkat postabsorption
sistemik setelah pemberian dosis oral dan intravena (Hafizh dkk,
2014).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian BCS
2. Apa Tujuan Pembuatan BCS
3. Apa Klasifikasi BCS
4. Apa Saja Batasan Kelas BCS
5. Apa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi BCS
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian BCS
2. Mengetahui Tujuan Pembuatan BCS
3. Mengetahui Klasifikasi BCS
4. Mengetahui Batasan Kelas BCS
5. Mengetahui Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi BCS

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian BCS


Sistem klasifikasi biofarmasi (BCS) adalah kerangka ilmiah
untuk mengklasifikasikan zat obat berdasarkan kelarutan dan
permeabilitasnya (Siya D. Sinai Kunde et al.,2015).
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem
klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang
mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi
tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat secara oral. Untuk
melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus
memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi
(Bethlehem, 2011).
Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang
dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi.
Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem
dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif
merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi
permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam
saluran cerna (Sutriyo dkk., 2007).

2.2 Tujuan Pembuatan BCS


Menurut (Reddy dkk., 2011), tujuan dari BCS adalah:
1. Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses
peninjauan dengan merekomendasikan strategi untuk
mengidentifikasi uji bioekivalensi.
2. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat dari bentuk
sediaan padat oral yang secara bioekivalensi dapat dinilai
berdasarkan uji disolusi in vitro.

6
3. Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang
sesuai dengan disolusi bentuk sediaan dengan karakteristik
kelarutan dan permeabilitas produk obat.

2.3 Klasifikasi BCS


BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem
klasifikasi biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas,
diantaranya adalah:
1. BCS kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi)
BCS kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi
yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa
Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera,
laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung. Oleh
karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika
setidaknya 85% dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian
disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu data
bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin
perbandingan produk. Contoh obatnya Metoprolol, Diltiazem,
Verapamil, Propranolol (Wagh dkk., 2010).
2. BCS Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)
BCS kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju
disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in vivo maka tingkat
penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah dosis yang sangat tinggi.
Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih lambat dari pada
kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in
vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan
kelas II. Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat
pelarutnya. Oleh karena itu, korelasi antara bioavailabilitas in vivo
dan in vitro dalam solvasi dapat diamati. Contoh obatnya Fenitoin,
Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine (Reddy dkk.,
2011).

7
3. BCS Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)
Pada BCS kelas III permeabilitas obat berpengaruh pada tingkat
penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat
cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat
penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini
disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan
faktor bentuk sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah
permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka kriteria kelas I
dapat diterapkan. Contoh obatnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin
B, Captopril (Reddy dkk., 2011).
4. BCS Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)
Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini
memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak
diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya
sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan
permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung
sangat sulit untuk diformulasikan (Wagh dkk., 2010).

2.4 Kelas yang Digunakan dalam BCS


Batas kelas yang digunakan dalam BCS diantaranya adalah
(Dash dkk., 2011) :
1. Suatu obat dianggap sangat larut ketika kekuatan dosis tertinggi
yang larut dalam 250 ml air pada rentang pH 1 sampai 7,5.
2. Suatu obat dianggap sangat permeabel ketika tingkat penyerapan
pada manusia 90% dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada
keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding
intravena.
3. .Suatu produk obat dianggap cepat melarut ketika 85% dari
jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit

8
menggunakan alat disolusi I atau II dalam volume 900 ml larutan
buffer.

2.5 FaktorFaktor Yang Mempengaruhi BCS


Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah:
1.Laju disolusi
Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat
melarut jika tidak kurang dari 85% dari jumlah berlabel bahan obat
larut dalam waktu 30 menit, menurut US Pharmacopeia (USP) alat
disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50 rpm) dalam
volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau
cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan
buffer pH 6,8 atau cairan usus buatan tanpa enzim (Wagh dkk.,
2010).
2.Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan
kesetimbangan kelarutan suatu obat dalam kondisi pH fisiologis.
Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji harus ditentukan pada
37 1 oC dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH
untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik
ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada di kisaran 3-5,
kelarutan harus ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH =
pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali
percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan dalam USP
dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok
untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat
digunakan. PH larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat
untuk buffer (Wagh dkk., 2010).

9
3.Permeabilitas
Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan
usus suatu obat pada manusia atau tidak langsung pada pengukuran
laju perpindahan massa melintasi membran usus manusia.
Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan
pada manusia adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan,
berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan
dosis pembanding intravena (Reddy dkk., 2011).

10

Anda mungkin juga menyukai