Skizofrenia merupakan penyakit psikiatrik yang menunjukkan sindrom
heterogen yang bersifat kronis, antara lain pikiran aneh dan tidak teratur, delusi, halusinasi, dan kegagalan fungsi psikososial [6]. Skizofrenia dapat ditandai oleh gejala-gejala yang meliputi kelainan kepribadian, cara berpikir, emosi, tingkah laku, dan hubungan dengan orang lain serta terdapat kecenderungan untuk menarik diri dari realitaske dalam dunianya sendiri [2]. Sementara itu gangguan skizofrenia dikarakteristikkan dengan gejala positif (delusi dan halusinasi), gejala negatif (apatis, menarik diri, penurunan daya pikir, dan penurunan afek), dan gangguan kognitif (memori, perhatian, pemecahan masalah, dan sosial) [2, 10]. Terdapat beberapa tipe dari skizofrenia (Paranoid, hiberfrenik, katatonik, undifferentiated, dan residual) [9]. Di Indonesia diperkirakan 1-2% penduduk atau sekitar 22-4 juta jiwa terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari 1-2 juta yang terjangkit penyakit skizofrenia atau sekitar 700 ribu hingga 1.4 juta jiwa, kini sedang menjalani perawatan di rumah sakit jiwa [11]. Sedangkan menurut World Health Organization, pada tahun 2014 angka penderita skizofrenia lebih dari 21 jiwa [21]. Selain itu prevalensi skizofrenia sebesar 1,7 per mil secara nasional. Berdasarkan slah satu penelitian baru-baru ini prevalensi kekambuhan pada penderita skizofrenia berada dalam rentang 50-92% secara global [20].
Skizofrenia menyebabka seseorang menjadi disfungsional secara fisiologis
untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Penyakit ini sering muncul pada awal usia 20 tahun hingga usia paruh baya atau sekitar usia 40 tahun sehingga bagi banyak orang penyakit ini akan mengurangi produktivitas kehidupan secara mendadak [17]. Rentang usia tersebut merupakan rentang usia yang produktif yang dipenuhi dengan banyak faktor pencetus stress dan memiliki beban tanggungjawab yang besar. Faktor pencetus stress tersebut diantaranya mencakup masalah dengan keluarga maupun teman kerja, pekerjaan yang terlalu berat hingga masalah ekonomi yang dapat mempengaruhi perkembangan emosional [7, 9]. Orang yang mengidap skizofrenia tidak akan mampu berkomunikasi secara normal dengan orang lain, salah satunya adalah karena menganggap bahwa orang lain ingin mencelakakannya [18]. Gejala yang banyak muncul pada pasien skizofrenia adalah disfungsi sosial dan pekerjaan yang mempengaruhi perilaku pada pasien skizofrenia menyebabkan depresi pada pasien yang mengganggu konsep diri pasien sehingga menjadikan kurangnya penerimaan pasien di lingkungan keluarga dan masyarakat terhadap kondisi yang dialami pasien yang mengakibatkan pasien cenderung menyendiri [19]. Skizofrenia biasanya muncul pada masa remaja atau belum menikah, sehingga pasien perlu pengobatan dalam jangka waktu lama karena skizofrenia bersifat kronis sehingga kemampuannya membangun relasi dengan baik (misalnya menikah) cenderung terganggu [2].
Penanganan pasien skizofrenia meliputi terapi farmakologi dan non
farmakologi. Terapi farmakologi salah satunya adalah dengan menggunakan antipsikotik. Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan utama yang efektif mengobati skizofrenia [8]. Obat antipsikotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu antipsikotik golongan pertama (antipsikotik tipikal) dan antipsikotik golongan kedua (antipsikotik atipikal). Umumnya antipsikotik tipikal potensi rendah (klorpromazin dan tiondazin) lebih kecil kemungkinannya untuk menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada antipsikotik tipikal potensi tinggi (trifluoperazin, flufenazin, haloperidol, dan pimozid) [3]. Terapi skizofrenia dengan antipsikotika dianjurkan hanya menggunakan satu jenis obat antipsikotika saja (terapi tunggal). Tujuan penggunaan terapi tunggal adalah untuk mengetahui kemampuan sebuah antipsikotika dalam mengatasi gejala skizofrenia. Akhir-akhir ini, di berbagai negara ditemukan kecenderungan peresepan antipsikotika secara kombinasi yang disebabkan kurangnya kesuksesan sebuah antipsikotika dalam mengatasi gejala pada pasien skizofrenia. Antipsikotik yang digunakan dapat meliputi antipsikotika topikal yang digunakan bersama antipsikotika tipikal lainnya atau yang digunakan bersama dengan antipsikotika atipikal . Pemilihan terapi pada pasien skizofrenia akan berpengaruh terhadap lamanya pasien menjalani perawatan [4, 13, 14].
Masalah skizofrenia juga tidak hanya terbatas dibidang kesehatan. Beban
ekonomi yang harus ditanggung oleh penyandang skizofrenia dan keluarganya ternyata cukup besar. Hal ini antara lain karena 50% penyandang skizofrenia tidak mampu bekerja, biaya pengobatan dan perawatan memerlukan waktu jangka panjang, serta waktu anggota keluarga yang tersita untuk merawat penyandang skizofrenia ternyata mempengaruhi beban ekonomi keluarga [15, 19]. Oleh karena itu, penanganan yang tepat pada kasus skizofrenia sangatlah penting, dimana pengobatan skizofrenia ini memerlukan pemantauan efektivitas pengobatan serta pertimbangan biaya karena dilakukan dalam jangka waktu yang panjang.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Adakah hubungan perbedaan terapi antipsikotik tunggal dan kombinasi
terhadap lama pengobatan dan biaya yang dikeluarkan pada pasien skizofrenia ?
1.3 Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbandingan penggunaan antipsikotik tunggal dan
kombinasi dengan lamanya pengobatan pada pasien umum skizofrenia dan biaya yang diperlukan.
2. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui terapi pada pasien skizofrenia
b) Untuk mengetahui lama pengobatan pada pasien skizofrenia yang menggunakan antipsikotik tunggal. c) Untuk mengetahui lama pengobatan pada pasien skizofrenia yang menggunakan antipsikotik kombinasi. d) Untuk mengetahui biaya pengobatan yang diperlukan pada pasien skizofrenia.