Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak
langsungdapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk
sediaan yang berbeda,maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang
berbeda-beda dan jumlah ketersediaanhayati kemungkinan juga berlainan.
Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhikekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorfi, kelarutandalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi
proses absorpsi. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan
mudah larut dalam lemak.
Faktor Biologis
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan
saluran cerna, waktupengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta
banyaknya pembuluh darah padatempat absorpsi.
Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain
dan adanya penyakit tertentu. Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor
dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua
yang diabsorpsi dari tempat pemberian akanmencapai sirkulasi sistemik. Sebagian
akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus danatau di hati pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas
pertama). Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari atau dikurangi dengan cara
pemberian parenteral, sublingual, rektal, atau memberikannya bersamamakanan.
Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat
mengiritasisaluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa
dilakukan saat pasien koma (Shafwatunnida 2009)..
Menurut Shafwatunnida (2009), pemberian obat secara parenteral
memiliki beberapa keuntungan, yaitu: (1) efeknya timbul lebih cepat dan teratur
dibandingkan dengan pemberian per oral; (2) dapat diberikan padapenderita yang
tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah; dan (3) sangat berguna dalam
keadaan darurat. Kerugiannya antara lain dibutuhkan cara asepsis, menyebabkan
rasa nyeri, sulit dilakukan oleh pasien sendiri, dan kurang ekonomis. Pemberian
intravena (IV) tidak mengalami absorpsi tetapi langsung masuk ke dalam sirkulasi
sistemik, sehingga kadar obat dalam darah diperoleh secara capat, tepat, dan dapat
disesuaikan langsung dengan respon penderita. Kerugiannya adalah mudah
tercapai efek toksik karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan
jaringan, dan obat tidakdapat ditarik kembali.
Injeksi subkutan (SC) atau pemberian obat melalui bawah kulit, hanya
boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsinya
biasanya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama.
Injeksi intramuskular (IM) atau suntikkan melalui otot, kecepatan dan
kelengkapan absorpsinya dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam air. Absorpsi
lebih cepat terjadi di deltoid atau vastus lateralis daripada digluteus maksimus.
Injeksi intraperitoneal atau injeksi pada rongga perut tidak dilakukan untuk
manusia karenaada bahaya infeksi dan adesi yang terlalu besar. Pemberian secara
injeksi intravena menghasilkan efek yang tercepat, karena obat langsungmasuk ke
dalam sirkulasi. Efek lebih lambat diperoleh dengan injeksi intramuskular,
danlebih lambat lagi dengan injeksi subkutan karena obat harus melintasi banyak
membran selsebelum tiba dalam peredaran darah (Shafwatunnida 2009).
Banyak faktor lain yang juga mempengaruhi absorpsi obat salah satunya
adalah faktor patofisiologi tubuh. Selain pemberian topikal untuk mendapatkan
efek lokal pada kulit atau membran mukosa,penggunaan suatu obat hampir selalu
melibatkan transfer obat ke dalam aliran darah. Tetapi, meskipun tempat kerja
obat tersebut berbeda-beda, namun bisa saja terjadi absorpsi ke dalam aliran darah
dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Absorpsi ke dalam darah
dipengaruhi secara bermakna oleh cara pemberian (Katzung 1986).
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah
sebagai berikut:
Cara/ bentuk sediaan parenteral
a. Intravena (IV)
Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, ´onset
ofaction µ cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang
menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus
kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek (Joenoes 2002).
b. Intramuskular (IM)
Onset of action µ bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat
diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam
sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat
tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi : semakin kecil partikel,
semakin cepat proses absorpsi (Joenoes 2002).
c. Subkutan (SC)
Onset of action µ lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari
kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan,
menyebabka konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/
diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu
enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan (Joenoes 2002).
d.Intratekal
Berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak
atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut (Anonim
1995).
e.Intraperitonel (IP)
Tidak dilakukan pada manusia karena berbahaya (Anonim 1995).
Pemberian obat per oral merupakan pemberian obat paling umum
dilakukan karena relatif mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah banyak
faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita,
interaksi dalam absorpsi di saluran cerna) (Ansel 1989). Intinya absorpsi dari obat
mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat diabsorpsi dengan
baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak (Ansel 1989).
DAFTAR PUSTAKA
Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Anonim. 2013. Obat dan Nasib Obat dalam Tubuh.
http://directory.umm.ac.id/Data%20Elmu/pdf/minggu_5_farmako_obat.p
df (10 Mei 2013).
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Depkes RI. Jakarta.
Joenoes ZN. 2002. Ars Prescribendi Jilid 3. Airlangga University Press:
Surabaya.
Katzung BG. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika: Jakarta.
Laode IS. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Obat.
http://ipanksihidi.blogspot.com/2012/04/tugas-makalah-
farmakokinetik.html (10 Mei 2013).
Shafwatunnida L. 2009. Pengaruh Cara Pemberian Terhadap Absorpsi Obat.
http://liew267.wordpress.com/2009/03/05/pengaruh-cara-pemberian-terhadap-
absorpsi-obat/ (10 Mei 2013).
Tarigan SM. 2009. Absorpsi, Distribusi, Mekanisme dan Eliminasi Obat (ADME
Obat). Institut Sains dan Teknologi Nasional. Jakarta.