Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam ilmu farmasi sangat penting mengetahui proses difusi bebas atau

transport aktif suatu zat melalui suatu cairan, zat padat atau melalui membran.

Sehingga dalam bidang farmasi itu sendiri pokok dari fenomena transport massa

adalah disolusi obat dari tablet, serbuk serta granul, liofulisasi, ultrafiltrasi dan

proses mekanik lainnya, termasuk distribusi molekul obat di dalam jaringan.

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk

sediaan padat ke dalam media pelarut. Suatu obat tergantung dari kemampuan zat

aktif melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh oleh

pelarut. Biasanya untuk sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk

padat atau semi padat, seperti salep, kapsul atau tablet.

Sehingga suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus

memiliki daya larut dalam air untuk keefektivitas terapeutiknya. Senyawa-

senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi

yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon

terapeutik yang minimum.

Menurut Farmakope Indonesia edisi V, alat uji disolusi ada dua yaitu; alat

uji disolusi tipe keranjang (basket) dan alat uji disolusi tipe dayung (paddle).

Mengingat pentingnya disolusi obat dalam bidang farmasi, maka sudah

sewajarnya jika mahasiswa farmasi memahami mengenai kecepatan disolusi suatu

obat, termasuk cara-cara dalam menentukan kecepatan disolusi suatu zat,

menggunakan alat kecepatan disolusi suatu zat, dan menerangkan faktor-faktor

yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat.


B. Maksud dan Tujuan Percobaan

1. Maksud Percobaan

Mengetahui dan memahami kadar zat aktif senyawa obat dengan metode

uji disolusi.

2. Tujuan Percobaan

Menentukan kadar zat aktif senyawa obat Isosorbid Dinitrat dengan

metode disolusi.

C. Prinsip Percobaan

Penentuan laju disolusi tablet lepas lambat disesuaikan dengan persyaratan

disolusi yang tertera dalam monografi Tablet Isosorbid Dinitrat.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Umum

Disolusi di definiskan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau

senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Uji disolusi

berguna untuk mengetahui seberapa banyak obat yang melarut dalam medium

asam atau basa ( lambung dan usus halus ) (Ansel. 2014).

Disolusi secara singkat didefinisikan sebagai proses melarutnya suatu

solid. Bentuk sediaan farmasetik padat terdispersi dalam cairan setelah

dikonsumsi seseorang kemudian akan terlepas dan sediaannya dan mengalami

disolusi dalam media biologis. Diikuti dengan absorpsi zat aktif ke dalam sirkulasi

sistemik dan akhirnya menunjukkan respon klinis (Siregar. 2010)

Perbedaan aktivitas biologis dari suatu zat obat mungkin diakibatkan oleh

laju di mana obat menjadi tersedia untuk organism tersebut. Dalam banyak hal,

laju disolusi, atau waktu yang diperlukan bagi obat untuk melarutkan dalam cairan

pada tempat absorpsi, merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses

absorpsi. Laju disolusi dari senyawa kimia umumnya ditentukan dengan dua

metode permukaan konstan yang memberikan laju disolusi instrinsik dari zat

tersebut dan disolusi partikel-partikel kecil di mana suatu suspensu dari zat

tersebut ditambahkan ke sejumlah pelarut tertentu tanpa pengontrolan luas

permukaan yang terpat (Ansel. 2014).

Sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan granul secara in

vitro dapat digunakan metode keranjang dan dayung. Uji hancur pada suatu tablet

didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi partikel-partikel kecil,

sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji
hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah

kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikel-

partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang

seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi

hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang

diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju

larut obat dalam tablet (Martin. 2011).

Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan

obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat

berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas

dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu

tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna,

menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Martin. 2011).

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam

cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara

oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-

partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus.

Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau

medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan

dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel. 2014).

Langkah pertama, larutan berlangsung sangat singkat. Langkah kedua,

difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.


Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut:

Lapisan film (h) dgn


konsentrasi = Cs
Kristal

Massa larutan dengan


konsentrasi = Ct

Difusi layer model (theori film)

Pada waktu suatu partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul

obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu

lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat.

Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-

molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan

membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus

meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang

dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut

(Martin. 2011).

Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap

pembatasan kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada

dalam saluran cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan

kecepatan zat aktif tersebut, yaitu : (Martin. 2008)

1. Zat aktif mula-mula harus larut

2. Zat aktif harus dapat melewati membran saluran cerna

Faktor yang mempengaruhi Disolusi : (Martin. 2008)

1. Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen

dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.

2. Medium

Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa

hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat

ini atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan. Gunanya adalah

untuk membantu kondisi “sink” sehinggan kelarutan obat di dalam medium

bukan merupakan faktor penentu dalam proses disolusi. Untuk mencapai

keadaan “sink” maka perbandingan zat aktif dengan volume medium harus

dijaga tetap pada kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan

bagi suatu larutan jenuh.

3. Kecepatan Perputaran

Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya

kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm

tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil

kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih

dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan

rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya

dihindarkan.

4. Ketepatan Letak Vertikal Poros

Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi

dan ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang

sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan

mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana.


5. Goyangnya poros

Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat

menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya

digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap

percobaan karena masalah yang timbul karena adanya poros yang goyang akan

dapat lebih mudah dideteksi.

6. Vibrasi

Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua

masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya

penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus

hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan harus dicek.

7. Kalibrasi alat disolusi

Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini

merupakan salah satu faktor yang paling penting. Tanpa melakukannya tidak

dapat kita melihat adanya kelainan pada alat. Untuk mencek alat disolusi

digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet prednisolon 50 mg dari

USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau

keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal

setiap enam bulan sekali.

Laju dimana suatu padatan melarut di dalam suatu pelarut setelah

diajukan dalam batasan-batasan kuantitatif. Oleh Noyes dan Whitney pada tahun

1897 dan telah dikerjakan dengan teliti oleh peneliti-peneliti lain, persamaan

tersebut bisa dituliskan sebagai berikut (Martin,2011):


dm Ds
= (c3-t)
dt h
Atau:
dt Ds
= (C3-C)
h Vh
Dimana M adalah massa terlarut yang dilarutkan pada waktu t. dm
dt
adalah koefisien laju disolusi dari massa tersebut (massa/waktu) D adalah
koefisien difusi dari zat terlarut dalam larutan. h ketebalan lapis difusi, C3
kelarutan dari zat padat, yakni konsentrasi larutan jenuh dari senyawa tersebut
pada temperature percobaan. Dan C adalah konsentrasi zat terlarut pada waktu t.
dc
Besarnya adalah laju disolusi dan K adalah volume larutan.
dt
Alat Uji Disolusi ada 2 yaitu alat 1 (tipe keranjang) dan alat 2 (tipe
dayung) : (Dirjen POM.2014)

1. Alat 1 (Tipe Keranjang)


Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan

transparan lain yang inert; sebuah motor, suatu batang logam yang digerakkan

oleh motor; dan keranjang berbetuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam

suatu tangas air yang sesuai, berukuran sedemikian sehingga dapat

mempertahankan suhu di dalam wadah 37o±0.5o C selama pengujian berlangsung

dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap.

2. Alat 2 (Tipe Dayung)

Sama seperti Alat 1, kecuali pada alat ini digunakan dayung yang terdiri

dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian

sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertical

wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berat.


B. Uraian Bahan

1. Aquadest (Dirjen POM. 2014 : 63)

Nama Resmi : AQUA DESTILLATA

Nama Lain : Aquadest, Air Suling, Air Murni, Air Batering

Rumus Molekul : H2O

Berat Molekul : 18,02

Rumus Struktur : H-O-H

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak

mempunyai rasa

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan : Sebagai media disolusi

2. Asam Klorida (Dirjen POM. 2014 : 156)

Nama Resmi : ACIDUM HYDROCHLORIDUM

Nama Lain : Asam Klorida, Hydrochloric Acid

Rumus Molekul : HCl

Berat Molekul : 36,46

Rumus Struktur : H-Cl

Pemerian : Cairan tidak berwarna,berasap, bau merangsang,

qjika diencerkan dengan 2 bagian air asap dan bau

qhilang

Kelarutan : Larutan yang sangat encer masih bereaksi dengan

asam kuat terhadap kertas lakmus

Kegunaan : Sebagai pelarut

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.


3. Klorfeniramin Maleat (Dirjen POM. 2014 : 699)

Nama Resmi : KLORFENIRAMIN MALEAT

Nama Lain : Chlorpheniramine Maleate

Rumus Molekul : C16H19CIN2.C4H4O4

Berat Molekul : 390,87 g/mol

Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, larutan

qmempunyai ph antara 4 dan 5.

Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam etanol dan dalam

qkloroform, sukar larut dalam eter dan dalam

qbenzene.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya

Kegunaan : Sebagai sampel


BAB III

METODE KERJA

A. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat yang digunakan yaitu batang pengaduk, Erlenmeyer, gelas kimia

gelas arloji, kuvet, labu tentukur, neraca analitik, pipet tetes, pipet skala dan

spektrofotometri uv-vis.

2. Bahan

Bahan yang digunakan yaitu Aquadest, asam klorida 0.1 N , tablet isorbit

dinitrat BPFI dan Tablet Isorbit dinitrat.

B. Cara Kerja

1. Penyiapan sampel

a. Ditimbang 50 mg ISDN BPFI

b. Ditambahkan 50 ml media disolusi (HCl 0.1 N)

c. Diambil 10 ml larutan

d. Diencerkan dengan 50 ml medium disolusi (70, 80, 90 dan 100 ppm)

2. Kurva baku

a. Dimasukan Aquadest kedalam wsaterbath

b. Dimasukkan chanber kedalam waterbath lalu di isi dengan medium

disolusi

c. Dimasukan tablet ISDN disetiap Chanber

d. Dinyalakn alat disolusi dan atur kecepatan putaran yaitu 50 rpm

e. Dicuplik 5 ml disetiap 20, 40 dan 60 menit

f. Dimasukan kedalam labu tentu ukur 25 ml dan di tambahkan ke vial

g. Dihitungkadar zat aktifnya di spektrofotometri uv-vis.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tabel Pengamatan
1. Pengukuran Absorbansi

Waktu (Menit) Absorbansi

10 1.543

20 1.633

40 1.761

60 1.812

2. Pengukuran Kurva Baku

Konsentrasi (Ppm) Absorbansi

70 0,082

20 0,155

40 0,186

60 0,241

B. Kurva Baku

Kurva Baku
0.3
y = 0.0051x - 0.2658
ABSORBANSI

0.25
R² = 0.9774
0.2
0.15
Absorbansi
0.1
0.05 Linear (Absorbansi)
0
0 50 100 150

Konsentrasi (PPM)
C. Perhitungan

1. Penentuan kurva baku

Regresi antara konsentrasi dan absorban yaitu a = 0.2658, b = 0.0051

y = bx + a

y= 0.0051x + 0,2658
2. Konsentrasi (Wt)
Diketahui:

a = 0.2658

b = 0.0051
Penyelesaian :
y = a + bx
y-a
X=
b
a. Konsentrasi pada menit Ke-10
1.543 – 0.2658
Wt10 =
0,0051
= 354,67 ppm
b. Konsentrasi Pada menit Ke-20
1.633 – 0.2658
Wt20 =
0.0051
= 372,31 ppm
c. Konsentrasi Pada menit Ke-40

1.761 – 0.2658
Wt40 =
0.0051
= 397,41 ppm
d. Konsentrasi Pada menit Ke-60

1.812 – 0.2658
Wt60 =
0.0051
= 407,41 ppm
3. Konsentrasi Larutan Baku
mg
Xppm =
L
50 mg
Xppm =
0.05 L
X = 1000 ppm
4. % Kadar Sampel (Obat Terlarut) (%Wt)

Wt
%Wt = x 100 %
X
X = 1000 Ppm

a. % Obat Terlarut pada menit Ke-10

354.67
%Wt10 = x 100 %
1000
= 35.467 %

b. % Obat Terlarut pada menit Ke-20


372.31
%Wt 20 = x 100 %
1000
= 37.231 %

c. % Obat Terlarut pada menit Ke-40

397.41
%Wt 40 = x 100 %
1000
= 39.741 %

d. % Obat Terlarut pada menit Ke-60

407.41
%Wt 60 = x 100 %
1000
= 40.741 %

D. Pembahasan

Uji disolusi merupakan parameter yang menunjukkan kecepatan pelarutan

obat dari tablet. Pada dasarnya laju disolusi diukur dari jumlah zat aktif yang

terlarut pada waktu tertentu ke dalam medium cair yang diketahui volumenya

pada suatu waktu tertentu pada suhu yang relatif konstan (Ansel, 2014)

Tablet lepas lambat adalah tablet yang dibuat sedemikian rupa sehingga

zat aktif akan tersedia dalam jangka waktu tertentu setelah obat diberikan. Istilah

lepas lambat digunakan untuk tujuan farmakope dan persyaratan pelepasan obat

dijelaskan dalam masing-masing monografi (Dirjen POM, 2014).


Pada percobaan ini dilakukan tujuannya untuk mengetahui seberapa cepat

kelarutan suatu tablet ketika kontak dengan cairan tubuh, sehingga dapat diketahui

seberapa cepat keefektifan obat yang diberikan tersebut.

Selanjutnya dilakukan uji disolusi. Mula-mula 1000 ml aquadest

dipanaskan hingga mencapai suhu 40oC dan sebelum digunakan suhu air harus

dipertahankan pada suhu ± 37oC sesuai suhu tubuh. Selanjutnya 900 ml dari air

tersebut dimasukkan ke dalam wadah gelas yang terdapat di dalam alat disolusi.

Alat disolusi yang digunakan diisi dengan aquadest sebanyak ¾ bagian saja. Hal

ini dilakukan untuk menganalogkannya dengan jumlah cairan tubuh. Selanjutnya

sampel tablet dimasukkan ke dalam keranjang saringan yang kecil yang ada di

dalam alat disolusi. Sampel tablet yang diuji adalah sebanyak 3 tablet. Sampel

yang digunakan di sini yaitu tablet ISDN. Setelah itu, keranjang dicelupkan ke

dalam pelarut. Alat disolusi lalu dinyalakan dan kecepatan diatur pada 100 rpm

dan suhu 37oC. Suhu 37oC digunakan agar sama dengan suhu tubuh manusia.

Pada saat tablet dimasukkan ke dalam alat disolusi, stopwatch mulai

dijalankan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu pada menit ke-

10, 20, 40, dan 60. Setelah 5 menit sampel diambil sebanyak 5 ml

menggunakan syringe yang berselang, dan dimasukkan kedalam botol vial,

kemudian kedalam alat disolusi yang berisi tablet ISDN yang telah diambil

sampel larutannya sebanyak 5 ml, ditambahkan aquadest sebanyak 5 ml juga.

Tujuannya untuk mengembalikan jumlah pelarut seperti semula karena pelarut

dianalogikan sebagai cairan tubuh. Diulangi prosedur tersebut pada menit ke 20,

40, dan 60. Pengambilan pelarut diambil sekitar 1 cm keranjang tempat tablet. Hal

ini dilakukan karena pada bagian tersebut dianggap merupakan bagian yang

diabsorpsi oleh darah.


Adapun hasil dan pengambilan sampel pada waktu tertentu yaitu menit ke-

10, 20, 40 dan 60 menit. Yang diambil tiap 5 menit maka hasil absorbansi yang

terbaca dalam spektrofotometri yaitu menit ke-10= 1,543; ke-20= 1,633; ke-40=

1,761 dan ke-60= 1,812 dari data yang diperoleh hasilnya yang didapat dan sering

waktu yang meningkat hasil absorbansinya pun ikut meningkat.

Selanjutnya dilakukan dalam percobaan yaitu pengukuran kurva baku,

maka diperoleh dari ke-4 sampel pengenceran yang di analisis yaitu konsentrasi

70 ppm: 0,082; 80 ppm: 0,155; 90 ppm: 0,186; dan 100 ppm: 0, 241 dari hasil

absorbansi yang didapat hasilnya berada pada rentang 0,2 hingga 0,8 sesuai

hukum Lambert-beer.

Setelah diketahui hasilnya, dibuat kurva baku yang berisi perbandingan

antara konsentrasi dengan absorbansi dan dibuat persamaan garisnya

menggunakan metode regresi linear, dan didapat persamaannya y= 0,0051x -

0,2658. Dengan nilai r adalah 0,9774. Nilai r yang didapat baik, karena nilainya

mendekati 1. Persamaan garis yang diperoleh nantinya akan digunakan untuk

menghitung kadar ISDN pada uji disolusi.

Pada perhitungan persamaan regresi didapatkan konsentrasi dan kadar

sampel berurut sesuai dengan menit pencuplikan adalah menit ke-10

konsentrasinya yaitu 354,67 ppm dengan % kadar yaitu 35,467%; ke-20

konsentrasinya yaitu 372,31 ppm dengan % kadar yaitu 37,231%; ke-40

konsentrasinya yaitu 397,41 ppm dan % kadar yaitu 39,74% dan ke-60

konsentrasinya yaitu 407,41 ppm dan % kadar yaitu 40,741%.

Maka menurut perbandingan literatur (Dirjen POM, 2014) Isosorbid

dinitrat mengandung tidak kurang dari 90 % dan tidak lebih dari 110 % dari

jumlah yang tertera pada etiket.


Dan dari hasil percobaan tersebut terlihat bahwa absorbansi yang

dihasilkan sudah tepat karena seiring peningkatan waktu absorbansinya

meningkat. Dan hasil absorbansi yang dihasilkan pada uji ini baik karena

memenuhi hukum lambert-beer yaitu 0,2-0,8.

Kemudian adapun alasan perlakuan yaitu alasan mengganti sejumlah

volume alikot yang diambil dengan sejumlah volume media disolusi adalah untuk

mengembalikan jumlah pelarut seperti semula karena pelarut dianalogikan sebagai

cairan tubuh, penyentuhan bagian kuvet tidak boleh sampai bagian bening/licin

dari kuvet, karena jika jari tangan menyentuh bagian tersebut, maka protein akan

menempel pada bagian licin daripada kuvet, sehingga mengakibat hasil analisis

menjadi tidak akurat.

Selanjutnya mekanisme disolusi suatu sediaan dalam bentuk tablet yaitu

tablet yang ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam lambung akan

dipecah, mengalami disintegrasi menjadi granul-granul yang kecil yang terdiri

dari zat-zat aktif dan zat-zat tambahan yang lain. Granul selanjutnya dipecah

menjadi serbuk dan zat-zat aktifnya akan larut dalam cairan lambung atau usus,

tergantung di mana tablet tersebut harus bekerja.

Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki

daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang

relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak

sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang

minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin

dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan

ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.

Ada tiga kegunaan uji disolusi yaitu menjamin keseragaman satu batch,

menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan Uji
disolusi diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru. Obat yang telah

memenuhi persyaratan keseragaman bobot, kekerasan, kerenyahan, waktu hancur

dan penetapan kadar zat berkhasiat belum dapat menjamin bahwa suatu obat

memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi

tablet.

Adapun Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang

diperoleh antara lain: Suhu larutan disolusi yang tidak konstan, ketidaktepatan

jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml, terjadi kesalahan

pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan pipet volume,

terdapat kontaminasi pada larutan sampel dan suhu yang dipakai tidak tepat.

Hubungan praktikum dengan farmasi adalah dengan pengujian disolusi

diharapkan dapat menjamin mutu dari sediaan farmasi dari pembuatan/produksi

hingga digunakan oleh konsumen.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kandungan zat

aktif yang terdeteksi tidak sesuai dengan monografi dalam farmakope persentasi

kadar yang sesuai yaitu tidak kurang dari 90 % dan tidak lebih dari 110 % dan

sesuai dengan etiket tertera. Sedangkan ¼ kali cuplikan didapatkan hanya ¼ range

yang memenuhi secara berurut menit ke-10= 35.467; ke-20= 37.231 %; ke-40=

39.74 % dan menit ke-60= 40.741%.

B. Saran

1. Laboratorium
Alat dan bajam sebaiknya dilengkapi, agar tercapai praktikum yang baik

2. Asisten

Cara asiten membimbing sudah baik, meskipun hanya dijelaskan dalam

bentuk video

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI-Press : Jakarta. 2014

Dirjen POM. Farmakope Indonesia Edisi V. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.


2014

Martin, A., et.all. Farmasi Fisika Edisi III. Universitas Indonesia Press : Jakarta.
2011

Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. Farmasi Fisik 2. Universitas


Indonesia Press : Jakarta. 2008

Siregar, C.J.P. Wikarsa. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar-Dasar Praktis.


EGC : Jakarta. 2010

Anda mungkin juga menyukai