Kelompok 8 :
D3 FARMASI
2019
KATA PENGANTAR
Makalah ini kami susun sebagai bahan diskusi bagi mahasiswa dan diharapkan
dengan disusunnya makalah ini akan menjadi acuan untuk mendukung proses
pembelajaran Farmasi Industri.
Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen pengampu
kami pada mata kuliah Farmasi Industri yang telah memberi arahan untuk
membuat Makalah ini dan tidak lupa untuk rekan rekan mahasiswa Farmasi kami
ucapkan terima kasih semoga apa yang penyusun susun bermanfaat.
Penyusun
1
Daftar Isi
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………………...1
Daftar Isi......................................................................................................................................................2
BAB I PENDAHUL..AN............................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................................................5
1.3 Tujuan Masalah……….........................................................................................................................5
1.4 Manfaat Masalah……………………………………………….….…................…………………….5
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………..6
1.BIOAVAIBILITAS……………………………..……………………………………………………....6
1.1 Availabilitas Relatif dan Absolut………………….……………………………………...................7
1.2 Availabilitas Relatif………………………………………………………………..…………………7
1.3 Availabilitas Absolut…………………………………………………..…………………..................8
1.4 Parameter yang Berguna untuk Penentuan Bioavailabilitas……………………………………...8
1) Data Plasma…………………………………………………………….…………………………....9
2) Data Urin…………………………………….……………………………………………….……..11
3) Efek Farmakologi Akut………….……………………………………..…………………….……12
4) Respon Klinik………………………………………...………………………………………….….12
2. BIOEKUIVALEN………………………………………………………….…………………………13
I. Dasar Penetapan Bioavaibilitas…………………………………………………………………..13
II. Kriteria Untuk Menetapkan Suatu Persyaratan Bioekivalen :……...……………………......14
3. STABILITAS OBAT………………………………………………………..……...………..............16
A. Jenis Stabilitas Obat……………………………………………....………..…………………….17
4. BATCH RECORD……………………....………………………………………..………………….30
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………..……………….33
KESIMPULAN…………………………………………….……………………………...……………..34
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….………....35
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
kadar obat dalam darah terhadap waktu. Uji ini dilakukan terhadap obat generik
yang merupakan tiruan obat innovator. Tiruan dibuat agar terjangkau karena harga
obat innovator dirasakan mahal. Dibandingkan dengan uji komparatif, uji BA/BE
mempunyai tujuan pengukuran jelas yaitu kadar obat dalam darah. Variasinya
relative rendah, sehingga jumlah contoh yang dibutuhkan lebih sedikit. Karena itu
biayanya menjadi lebih murah. Obat generik yang diuji harus ekivalen secara
terapeutik dangan obat innovator. Desain dan cara uji BA/BE harus memenuhi
prinsip cara uji klinik yang baik (CUKB), protokol studi harus mendapat
persetujuan komisi etik, informed consent harus ditangani dan disimpan sehingga
stabilitas dari bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dan bahan tambahan, proses
3
Stabilitas produk obat dibagi menjadi stabilitas secara kimia dan stabilitas
secara fisika. Faktor-faktor fisika seperti panas, cahaya, dan kelembapan, mungkin
stabilitas kimia, stabilitas fisika juga harus ditentukan (Vadas, 2000). Stabilitas
produk farmasi tersebut meliputi serbuk, tablet, krim, salep, suppositoria, emulsi
dan sirup yang kestabilannya merupakan faktor penting yang tidak dapat
dipisahkan
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. BIOAVAIBILITAS
Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah
disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh
FDA untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bagian terapeutik
sebelum dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA menyetujui produk obat
untuk dipasarkan bila yakin bahwa produk obat tersebut aman dan efektif sesuai
label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus memenuhi seluruh
standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian. FDA
menghendaki studi bioavailabilitas/farmkokinetik dan bioekivalensi dan bila perlu
persyaratan bioekivalensi untuk semua produk obat.
Untuk obat-obat yang tidak terpasarkan, yang tidak memenuhi NDA (New
Drug Application) sebagaimana dinyatakan oleh FDA maka studi bioavailabilitas
in vivo harus dilakukan apabila formulasi obat tersebut dimaksudkan untuk
dipasarkan. Selanjutnya, farmakokinetik esensial dari bahan aktif tersebut juga
harus dikarakterisasikan. Parameter farmakokinetik esensial meliputi laju dan
jumlah absorpsi sistemik, waktu paruh elimnasi, laju ekskresi dan metabolisme
harus ditetapkan setelah pemberian dosis tunggal dan dosis ganda. Data studi
bioavailabiltas ini berguna untuk pengaturan dosis dan membantu pemberian label
obat.
Studi biavailabilitas in vivo juga dilakukan terhadap formula-formula baru
dari bahan obat aktif yan telah mendapat persetujuan NDA dan disetujui untuk
dipasarkan. Studi ini bertujuan untuk menentukan bioavailabilitas dan
karakterisasi farmakokinetik formulasi, bentuk sediaan, garam atau ester baru
terhadap suatu formula pembanding.
5
Setelah bioavaibilitas dan dan parameter- parameter farmakokinetik dari
bahan obat aktif diketahui, aturan dosis dapat diajukan untuk mendukung
pemberian label obat. Studi klinik berguna untuk menentukan keamanan dan
efikasi produk obat. Studi bioavailabiltas berguna dalam menetapkan produk obat
dalam kaitan pengaruh obat terhadap farmakokinetik obat sedangkan studi
bioekivalensi berguna untu membandingkan bioavailabilitas suatu obat dari
berbagai produk obat. Produk-produk obat yang dinyatakan bioekivalen
menunjukan bahwa efikasi produk-produk obat tersebuk dianggap sama.
6
avaibilitas relatif. Jika dosis yang diberikan berbeda, suatu koreksi untuk dosis
dibuat, seperti dalam persamaan berikut :
Availabilitas relatif =
Avaiabilitas relatif juga dapat ditentukan dengan menggunakan data ekskresi urin
sebagai berikut:
Availabilitas absolut =
Availabilitas absolut dengan data ekskresi obat lewat urin dapat ditentukan
sebagai berikut :
Availabilitas absolut =
7
b. Laju ekskresi obat dalam urin (dDu/dt)
c. Waktu untuk terjadi ekskresi obat maksimum dalam urin )
3. Efek farmakologi akut
4. Pengamatan klinik
Data plasma dan data urin dapat memberikan informasi paling objektif
tentang bioavaiabilitas bila obat bebas atau aktif dalam cairan biologik
dapat ditentukan secara tepat.
1) Data Plasma
Waktu konsentrasi plasma mencapai pucak (tmaks) merupakan waktu
yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian
obat. Pada tmaks.absorpsi obatadalah terbesar. Setelah tmaks tercapai, laju
absorpsi menjadi lebih lambat. tmaks digunakan untuk memperkirakan laju
absorpsi produk obat. Harga tmaks menjadi lebih kecil (sedikit waktu yang
diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat
menjadi lebih cepat. Satuan tmaks adalah satuan waktu (misal: jam, menit).
Konsentrasi plasma puncak (Cp, maks) merupakan konsentrasi obat
maksimum dalam plasma setelah pemberian obat secara oral. Cp, maks
menunjukkan bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik untuk memberi suatu
respon terapeutik serta menunjukkan adanya kadar toksik obat. Satuan Cp, maks
adalah satuan konsentrasi (misal., µg/ml, mg/ml).
Area di bawah kurva konsentrasi obat dalam plasma-waktu (AUC) adalah
suatu ukuran jumlah bioavaibilitas suatu obat. AUC menunjukan jumlah total obat
aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. AUC adalah area dibawah kurva kadar
obat dalam plasma-waktu dari t = 0 sampai t = ∞, dan sama dengan jumlah obat
tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik dibagi dengan klirens.
= =
8
AUC tidak bergantung pada rute pemberian dan proses eliminasi obat
selama proses eliminasi obat tidak berubah. AUC dapat ditentukan dengan suatu
prosedur integral numeric, metode rumus trapezium, atau secara langsung dengan
menggunakan planimeter. Satuan AUC ialah konsentrasi-waktu (µg jam/ml).
Untuk beberapa obat AUC berbanding langsung dengan dosis sebagai
contoh , suatu dosis tunggal dari suatu obat dinaikan 250 ke 1000 mg, AUC
juganaik empat kali.(gambar 2-1,2-2)
Gambar 2-1
Gambar 2-1. Kurva kadar obat dalam plasma-waktu setelah pemberian dosis
tunggal (a) 250 mg; (b) 500 mg; (C) 1000 mg.
Gambar 2-2
9
Gambar 2-3
Gambar 2-3. Hubungan antara AUC dan dosis bila metabolisme dapat menjadi
jenuh
Dalam beberapa hal, AUC tidak berbanding langsung dengan dosis yang
diberikan. Sebagai contoh, bila dosis obat dinaikkan, salah satu jalur eliminasi
obat dapat menjadi jenuh. (gambar 2-3). Eliminasi obat meliputi proses
metabolisme dan ekskresi. Metabolisme obat adalah proses yang bergantung pada
enzim. Untuk beberapa obat (seperti salsilat dan fenitoin) peningkatan dosis dapat
menyebabkan penjenuhan salah satu jalur metabolisme dan hal ini dapat
memperpanjang waktu-paruh eliminasi. Dengan demikian kenaikan AUC tidak
sebanding dengan kenaikan dosis oleh karena jumlah obat yang dieliminasi lebih
kecil (lebih banyak obat yang ditahan). Jika AUC tidak berbanding langsung
dengan dosis, bioavailabilitas obat sulit untuk dievaluasi.
2) Data Urin
Obat harus diekskresi dalam jumlah yang bermakna di dalam urin dan
4) Respon Klinik
Perbedaan respon klinik pada tiap individu mungkn disebabkan oleh
perbedaan farmakokinetik atau farmakodinamik obat antar individu. Produk-
produk obat yang bioekivalen harus mempunyai bioavailabilitas sistemik yang
sama, sehingga respon obat yang sama dapat diperkirakan. Oleh karena itu,
perubahan respon klinik antar individu yang tidak dikaitkan dengan
bioavailabilitas mungkin disebabkan adanya perbedaan farmakodinamik obat.
Perbedan farmakodinamik yang menyangkut hubungan antara obat dan reseptor
mungkin disebabkan oleh perbedaan kepekaan reseptor terhadap obat. Faktor-
11
faktor yang mempengaruhi perilaku farmakodinamik obat diantaranya adalah
umur, toleransi obat, interaksi obat, dan faktor-faktor patofisiologik yang tidak
diketahui.
2. BIOEKUIVALEN
Alasan utama dilakukannya studi bioekuivalensi karena produk obat yang
dianggap ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding pada
penderita. Dalam suatu studi bioekuivalen, satu formulasi obat dipilih sebagai
standar pembanding dari formulasi obat lain. Standar pembanding hendaknya
mengandung obat aktif terapetik dalam formulasi yang paling banyak berada
dalam sistemik (yakni larutan atau suspensi) dan dalam jumlah yang sama seperti
formulasi lain yang dibandingkan. Pembanding hendaknya diberikan dengan rute
yang sama seperti formulasi yang dibandingkan kecuali kalau suatu rute lain atau
rute tambahan diperlukan untuk menjawab masalah farmakokinetik tertentu.
Sebagai contoh, jika suatu obat aktif sangat sedikit berada dalam sistemik
setelah pemberian oral, maka obat dapat dibandingkan baik setelah pemberian
oralmaupun intravena. Bila suatu larutan atau suspense obat tidak tersedia, standar
pembanding dapat berupa suatu formulasi yang sedang dipasarkan yang telah
diakui oleh NDA yang secara ilmiah mempunyai data keamanan dan efikasi yang
sudah terbukti. Produk obat pembanding hendaknya merupakan produk yang
diterima olef profesi kesehatan dan mempunyai sejarah penggunaan klinik yang
panjang. Formulasi pembanding biasanya produk “innovator” atau produk dari
pabrik yang pertama memproduksi obat tersebut.
12
2. Teknik analisis statistic yang dipakai hendaknya cukup peka untuk
menemukan perbedaan laju dan jumlah absorbs yang tidak disebabkan
oleh adanya perbedaan subjek.
3. Suatu produk obat yang berbeda dari bahan pembanding dalam hal laju
absorbsi, tetapi tidak berbeda dalam jumlah absorbsi, dapat dianggap
berada dalam sistemik jika perbedaan laju absorbs disengaja dan
dinyatakan dengan tepat dalam tabel dan atau laju absorbsi tidak
mengganggu keamanan dan efektifitas produk obat.
13
c. Ukuran partikel dan / atau area permukaan bahan obat aktif
sangat penting dalam menentukan ketersediaan hayati tersebut.
d. Bentuk struktural tertentu dari bahan obat aktif (misalnya,
bentuk polimorfik, solvates, kompleks, dan modifikasi kristal)
membubarkan buruk, sehingga mempengaruhi penyerapan.
e. produk obat yang memiliki rasio tinggi eksipien untuk
bahan aktif (misalnya, lebih besar dari 5:1).
f. bahan aktif Tertentu (misalnya, hidrofilik atau hidrofobik
eksipien dan pelumas) baik mungkin diperlukan untuk penyerapan
bahan obat aktif atau setengah terapeutik atau dapat mengganggu
penyerapan tersebut.
g. Bahan obat aktif, setengah terapi, atau prekursor diserap
sebagian besar dalam segmen tertentu dari saluran pencernaan atau
diserap dari situs lokal.
h. Tingkat penyerapan bahan aktif obat, setengah terapi, atau
prekursor adalah miskin (misalnya, kurang dari 50%, biasanya
dibandingkan dengan suatu dosis intravena), bahkan bila diberikan
dalam bentuk murni (misalnya, dalam larutan).
i. Ada metabolisme cepat dari separoh terapeutik dalam
dinding usus atau hati selama proses penyerapan (orde pertama
metabolisme), sehingga tingkat penyerapan yang luar biasa penting
dalam efek terapi dan / atau toksisitas dari produk obat.
j. Terikat pada molekul terapi dengan cepat dimetabolisme
atau dikeluarkan, sehingga pembubaran cepat dan penyerapan
dibutuhkan untuk efektivitas.
k. Bahan obat aktif atau setengah terapeutik tidak stabil di
bagian tertentu dari saluran cerna dan membutuhkan pelapis khusus
atau formulasi (misalnya, buffer, pelapis usus, dan coating film)
untuk memastikan penyerapan yang memadai.
14
l. Produk obat pada kinetika tergantung dosis pada atau dekat
rentang terapeutik, dan tingkat dan tingkat penyerapan yang penting
bagi bioekivalensi.
3. STABILITAS OBAT
Stabilitas obat adalah kemampuan suatu produk untuk mempertahankan
sifat dan karateristiknya agar sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat
(identitas, kualitas, kuantitas dan kemurnian) dalam batasan yang ditetapkan
sepanjang periode penyimpanan dan penggunaa (Shelf life). Stabilitas juga di
definisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk bertahan dalam batas yang
ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan, sifat dan
karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat. Faktor
15
lingkungan seperti suhu (temperatur), radiasi, cahaya, udara (terutama oksigen,
karbondioksida dan uap air) serta kelembaban dapat mempengaruhi stabilitas.
16
5. Stabilitas toksikologi, tidak terjadi peningkatan bermakna dalam toksisitas
selama usia guna sediaan.
1. Stabilitas Fisika
Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu
produk yang tergantung waktu (periode penyimpanan). contoh dari perubahan
fisika antara lain : migrasi (perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau,
perubahan tekstur atau penampilan. Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliputi :
pemeriksaan organoleptik, homogenitas, ph dan bobot jenis.
Kriteria stabilitas fisika:
a. Penampilan fisika meliputi; warna, bau, rasa, tekstur, bentuk sediaan
b. Keseragaman bobot
c. Keseragaman kandungan
d. Suhu
e. Disolusi
f. Kekentalan
g. Bobot jenis
h. Visikositas
Sifat fisik meliputi hubungan tertentu antara molekul dengan bentuk energi
yang telah ditentukan dengan baik atau pengukuran perbandingan standar luar
lainnya. Dengan menghubungkan sifat fisik tertentu dengan sifat kimia dari
molekul-molekul yang hubungannya sangat dekat, kesimpulannya adalah :
a. Menggambarkan susunan ruang dari molekul obat.
b. Memberikan keterangan untuk sifat kimia atau fisik relatif dari sebuah molekul.
c. Memberikan metode untuk analisis kualitatif dan kuantitatif untuk suatu zat
farmasi tertentu.
Ketidakstabilan Fisika
Berikut ini akan diuraikan jenis ketidakstabilan yang paling penting, tanpa
memperdulikan kesempurnaan prosesnya.
17
a. Perubahan struktur kristal
Banyak bahan obat menunjkkan perilaku polomorfi, yang disebabkan
oleh perubahan lingkungan, yang tidak terdeteksi secara organoleptis. Akan tetapi
umumnya menyebabkan terjadinya perubahan dalam perilaku pembebasan dan
resorpsi bahan obat.
b. Perubahan kondisi distribusi
Dengan aktifnya daya gravitasi akan terjadi fenomena pemisahan pada
sistem cairan banyak fase, namun dalam stadium lanjut dapat terlihat sebagai
sedimentasi atau pengapungan.
c. Perubahan konsisitensi atau kondisi agregat
Sediaan obat semi padat seperti salep atau pasta selama penyimpanan
dapat mengalami pengerasan.
d. Perubahan perbandingan kelarutan
Pada sistem dispersi molekular (misalnya larutan bahan obat) dapat
terjadi pemisahan bahan terlarut (kristalisasi atau pengedapan) melalui perubahan
konsentrasi akibat penguapan bahan pelarut.
e. Perubahan perbandingan hidratasi
Melalui pengambilan atau pelepasan cairan dapat mempengaruhi
perbandingan hidratasi senyawa sekaligus sifatnya secara nyata.
2. Stabilitas Farmakologi
Aktivitas senyawa bioaktif disebabkan oleh interaksi antara molekul obat
dengan bagian molekul dari obyek biologis yaitu resptor spesifik. Untuk dapat
berinteraksi dengan reseptor spesifik dan menimbulkan aktivitas spesifik,
senyawa bioaktif harus mempunyai stuktur sterik dan distribusi muatan yang
spesifi pula. Dasar dari aktivitas bioogis adalah proses-proses kimia yang
kompleks mulai dari saat obat diberikan sampai terjadinya respons biologis.
18
Fasa ini menentukan ketersediaan farmasetik yaitu ketersediaan senyawa
aktif untuk dapat diabsorpsi oleh sistem biologis. Untuk dapat diabsorpsi senyawa
obat harus dalam bentuk molekul dan mempunyai lipofilitas yang sesuai. Bentuk
molekul senyawa dipengaruhi oleh nilai pKa dan pH lingkungan (lambung pH= 1-
3 dan usus pH = 5-8).
Pada fasa I selain sifat molekul obat, seperti kestabilan terhadap asam
lambung dan larutan dalam air, formulasi farmasetis dan bentuk sediaan yang
digunakan juga penting untuk aktivitas obat.
b. Fasa Farmakokinetik
Meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses absorpsi
molekul obat yang mengahasilkan ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa aktif
dalam cairan darah (Ph = 7,4) yang akan didistribusikan ke jaringan atau organ
tubuh. Fasa III adalah fasa yang melibatkan proses distribusi, metabolisme dan
ekresi obat, yang menentukan kadar senyawa aktif pada kompartemen tempat
reseptor berbeda. Fasa I, II dan III menentukan kadar obat aktif yang dapat
mencapai jaringan target.
c. Fasa Farmakodinmik
Meliputi proses fasa IV dan fasa V. Fasa IV adalah tahap interaksi
molekul senyawa aktif dengan tempat aksi spesifik atau reseptor pada jaringan
target, yang dipengaruhi oleh ikatan kimia yang terlibat. Fasa V adalah induksi
rangsangan, dengan melalui proses biokimia, menyebabkan terjadinya respons
biologis.
3. Stabilitas Kimia
Stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat untuk
mempertahanakan integritas kimia dan potensinya seperti yang tercantum pada
etiket dalam batas waktu yang ditentukan. Pengumpulan dan pengolahan data
merupakan langkah menentukan baik buruknya sediaan yang dihasilkan,
meskipun tidak menutup kemungkinan adanya parameter lain yang harus
19
diperhatikan. Data yang harus dikumpulkan untuk jenis sediaan yang berbeda
tidak sama, begitu juga untuk jenis sediaan sama tetapi cara pemberiannya lain.
Jadi sangat bervariasi tergantung pada jenis sediaan, cara pemberian, stabilitas zat
aktif dan lain-lain.
Data yang paling dibutuhkan adalah data sifat, kimia, kimiafisik, dan
kerja farmakologi zat aktif (data primer), didukung sifat zat pembantu (data
sekunder). Secara reaksi kimia zat aktif dapat terurai karena beberapa faktor
diantaranya ialah, oksigen (oksidasi), air (hidrolisa), suhu (oksidasi), cahaya
(fotolisis), karbondioksida (turunnya pH larutan), sesepora ion logam sebagai
katalisator reaksi oksidasi. Jadi jelasnya faktor luar juga mempengaruhi
ketidakstabilan kimia seperti, suhu, kelembaban udara dan cahaya.
20
pH dan senyawa kimia tertentu (contohnya dextrose dan tembaga dalam kasus
hidrolisa ampisilin).
b. Epimerisasi
Senyawa tetrasiklin paling umum mengalami epimerisasi. Reaksi terjadi
dengan cepat ketika obat dilarutkan dan terpapar dg pH lebih dari 3,
mengakibatkan terjadinya perubahan sterik pd gugus dimetilamin. Bentuk epimer
dari tetrasiklin seperti epitetrasiklin tidak memiliki aktifitas anti bakteri.
c. Dekarboksilasi
Beberapa asam senyawa asam karboksilat terlarut seperti para-amini
salisilic acid dapat kehilangan CO2 dari gugus karboksil ketika dipanaskan.
Produk urainya memiliki potensi farmakologi yang rendah. Beta-keto
dekarboksilasi dpt terjadi pada beberapa antibiotik yg memiliki gugus karbonil
pada beta karbon dari asam karboksilat atau anion karboksilat. Dekarboksilasi
akan terjadi pada beberapa antibiotik : Carbenicillin sodium, Carbenicillin free
acid, Ticarcillin sodium, Ticarcillin free acid.
d. Dehidrasi
Dehidrasi yg dikatalisis oleh asam pd gol tetrasiklin menghasilkan
senyawa epianhidrotetrasiklin, senyawa yg tdk memiliki efek anti bakteri dan
memiliki efek toksisitas
e. Oksidasi
Struktur molekular yang dapat mudah teroksidasi adalah gugus hidroksil
yang terikat langsung pada cincin aromatik (contoh pd katekolamin dan morfin),
gugus dien terkonjugasi (vit A dan asam lemak tak jenuh), cicin heterosiklik
aromatik, gugus turunan nitroso dan nitrit dan aldehid (flavoring). Produk hasil
oksidasi biasanya memiliki efek terapetik lebih rendah. Identifikasi secara visual
bisa terlihat pada perubahan warna contohnya pada kasus efineprin. Oksidasi
dapat dikatalisa oleh pH ion logam contohnya tembaga dan besi, paparan terhadap
oksigen, UV.
21
f. Dekomposisi fotokimia
Paparan pada UV dapat menyebabkan oksidasi (foto oksidasi) dan fotolisis
pada ikatan kovalen. Nipedipin, nitroprusin, ribovlavin, dan fenotiazin sangat
tidak stabil terhadap foto oksidasi.
g. Kekuatan Ion
Efek dari jumlah elektrolit yang terlarut terhadap kecepatan hidrolisis
dipengaruhi oleh kekuatan ion pada interaksi inter ionik. Secara umum konstanta
kecepatan hidrolisis berbanding tebalik dengan kekeuatan ion dan sebaliknya
dengan muatan ion, sebagai contoh obat-obat kation yang diformulasikan dengan
bahan tambahan anion.
h. Perubahan Nilai pH
Degradasi dari banyak senyawa obat dalam larutan dapat dipercepat atau
diperlambat secara ekponensial oleh nilai pH yg naik atau turun dari rentang pH
nya. Nilai pH yang di luar rentang dan paparan terhadap temperatur yang tinggi
adalah faktor yang mudah mengkibatkan efek klinik dari obat secara signifikan,
akibat dari reaksi hidrolisis dan oksidasi. Larutan obat atau suspensi obat dapat
stabil dalam beberapa hari, beberapa minggu, atau bertahun-tahun pada formulasi
aslinya, tetapi ketika dicampurkan dengan larutan lain yg dapat mempengaruhi
nilai pH nya, senyawa aktif dapat terdegradasi dalam hitungan menit.
Sistem pH dapar yang biasanya terdegradasi dari asam atau basa lemah
dan garamnya biasanya ditambahkan ke dalam sediaan cair ditambahkan untuk
mempertahankan pHnya pada rentang dimana terjadinya degradasi obat minimum.
Pengaruh pH pada kestabilan fisik sistem dua fase contohnya emulsi juga penting,
sebagai contoh kestabilan emulsi intravena lemak dirusak oleh pH asam.
i. Interionik
Kelarutan dari muatan ion yg berlawanan tergantung pada jumlah muatan
ionnya dan ukuran molekulnya. Secara umum ion2 polivalen dengan muatan
berlawanan bersifat inkompatibel. Jadi inkompatibilitasnya lebih mudah terjadi
dengan penambahan sejumlah besar ion dengan muatan yang berlawanan.
22
j. Kestabilan bentuk padat
Reaksi pada kondisi padat relatif bersifat lambat, kecepatan degradasinya
dikarakterisasi sesuai dengan kecepatan kinetik orde 1 atau sesuai dengan kurva
signoid. Sehingga obat-obat berbentuk padat dengan titik leleh yang rendah tidak
boleh dikombinasikan dengan bahan kimia lain yang dapat membentuk campuran
uetectic.
Pada kondisi kelembaban yang tinggi, kecepatan dekomposisinya berubah
sesuai dengan kecepatan kinetik orde nol, karena kecepatan dekomposisinya
diatur secara relatif oleh fraksi kecil dari obat yang muncul pada larutan jenuh
yang letaknya pada permukaan atau atau di dalamnya.
k. Temperatur
Secara umum kecepatan reaksi kimia meningkat secara eksponensial
setiap kenaikan 10 derajat suhu. Faktor nyata yg mengakibatkan kenaikan
kecepatan reaksi kimia ini adalah karena aktifasi energi. Waktu simpan obat pd
suhu ruang biasanya akan berkurang ¼ atau 1/25 dari waktu simpan di dalam
refrigrator. Temperatur dingin juga dapat mengakibatkan ketidakstabilan. Sebagai
contoh refrigerator dapat mengkibatkan kenaikan viskositas pada sediaan cair dan
menyebabkan supersaturasi pada kasus lain, dingin atau beku dapat merubah
ukuran droplet pd emulsi, dapat mendenaturasi protein atau pada kasus tertentu
dapat menyebabkan kelarutan beberapa polimerik obat dapat berkurang.
4. Stabilitas Mikrobiologi
Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan di mana tetap
sediaan bebas dari mikroorganisme atau memenuhi syarat batas miroorganisme
hingga batas waktu tertentu.5 Terdapat berbagai macam zat aktif obat, zat
tambahan serta berbagai bentuk sediaan dan cara pemberian obat. Tiap zat, cara
pemberian dan bentuk sediaan memiliki karakteristik fisika-kimia tersendiri dan
umumnya rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme dan/atau memang sudah
mengandung mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mutu sediaan karena
23
berpotensi menyebabkan penyakit, efek yang tidak diharapkan pada terapi atau
penggunaan obat dan kosmetik.
Oleh karena itu farmakope telah mengatur ketentuan mengenai
kandungan mikroorganisme pada sediaan obat maupun kosmetik dalam rangka
memberikan hasil akhir berupa obat dan kosmetika yang efektif dan aman untuk
digunakan atau dikonsumsi manusia. Stabilitas mikrobiologi diperlukan oleh
suatu sediaan farmasi untuk menjaga atau mempertahankan jumlah dan menekan
pertumbuhan mikroorgansme yang terdapat dalam sediaan tersebut hingga jangka
waktu tertentu yang diinginkan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Mikrobiologi
Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan dapat dipengaruhi oleh beberap
factor, antara lain:
Sifat fisika kimia zat aktif maupun zat tambahan dapat mempengaruhi
stabilitas mikrobiologi sediaan. Zat yang bersifat higroskopik atau hidrofilik
rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme. Hal ini berhubungan dengan adanya
air yang merupakan media pertumbuhan bagi mikroorganisme.
24
5. Stabilitas Toksikologi
Stabilitas toksikologi adalah ukuran yang menujukkan ketahanan suatu
senyawa/bahan akan adanya pengaruh kimia, fisika, mikrobiologi dan
farmakologi yang tidak menyebabkan peningkatan toksisitas secara signifikan.
Efek toksik dapat dibedakan, menjadi :
a. Efek toksik akut, mempunyai korelasi langsung dengan absorpsi zat toksik
b. Efek toksik kronis, zat toksik dalam jumlah kecil diabsorpsi sepanjang jangka
waktu lama, terakumulasi, mencapai konsentrasi toksik akhirnya timbul
keracunan.
Toksisitas jangka panjang, efek toksik baru muncul setelah periode waktu
laten yang lama sebagai contoh kerja karsinogenik dan mutagenik. Penggolongan
toksikologi dengan cara lain berdasarkan jenis zat dan keadaan yang
mengakibatkan kerja toksik, yaitu : kerja / efek tidak diinginkan, keracunan akut
pada dosis berlebih, pengujian terhadap toksisitas dan toleransi pada fase
praklinik.
Zat kimia disebut xenobiotik (xeno = asing), dimana setiap zat kimia baru
harus diteliti sifat-sifat toksiknya sebelum diperbolehkan penggunaannya secara
luas. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan toksisitas adalah :
a. Dosis
Dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun. Untuk setiap zat
kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama sekali
atau dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian.
25
meningkatkan stabilitas obat, meningkatkan kelarutan obat, efek terapetik.
Kriteria pemilihan dapar, yaitu :
i) dapar mempunyai kapasitas yang memadai dalam kisaran pH yang dinginkan
(untuk mempertahankan stabilitas obat maka daparnya kecil)
ii) dapar harus aman secara biologis
iii) dapar tidak mempunyai efek merusak stabilitas produk
iv) memperbaiki rasa dan warna yang dapat diterima
b) Pengawet
Kemungkinan kontaminasi selama pembuatan, penyimpanan dan
penggunaan. Sumber kontaminan; berasal dari manusia, bahan obat, bahan
tambahan, lingkungan, alat-alat dan bahan pengemas. Faktor-faktor yang
mempengaruhi aktivitas pengawet:
i) Koefisien distribusi liphoid-air yang dipilih pengawet yang larut
ii) Harga pH karena pengawet yang dapat menimbulkan aktivitas adalah
pengawet yang tidak terdisosiasi atau terdapat dalam bentuk molekul yang
dapat menembus membran
iii) Konsentrasi, ada yang menghambat pertumbuhan dan juga mematikan sel
iv) Suhu, dengan kenaikan suhu berarti terjadi kenaikan aktivitas pengawet
Syarat memilih bahan pengawet, yaitu perlu dipilih bahan yang dapat
tersatukan secara fisiologis, tidak toksik, alergi dan sensibilisasi, yang
kesemuanya tergantunng dosis, dapat tercampur dengan bahan aktif dan bahan
tambahan termasuk wadah dan tutup, tidak berbau dan tidak berasa, efektif
sebagai bakteriostatik atau bakterisid, fungiostatik atau fungisid serta cukup larut
dalam pembawa hingga mencapai konsentarsi yang memadai.
c) Antioksidan
Terjadinya oksidasi karena dipengaruhi oleh:
i) Harga pH semakin tinggi harga pH semakin rendah potensial redoks
sehingga oksidasinya semakin lancar
ii) Cahaya sebab cahaya mengandung energi oton yang dapat meningkatkan
atau mempercepat proses oksidasi, maka molekul-molekul obat semakin
reaktif
iii) O2 atau kandungan O2 akan meningkatkan proses oksidasi
iv) Ion logam berat berfungsi sebagai katalisator proses oksidasi
26
Pertimbangan-pertimbangan dalam memilih antioksidan antara lain adalah
harus efektif pada konsentrasi yang menurun, tidak toksik, tidak merangsang, dan
tidak menimbulkan OTT, larut dalam pembawa dan dapat bercampur dengan
bahan lainnya.
c. Faktor luar
1) cara pembuatan
2) bahan pengemas
Terbagi atas 2, yaitu bahan pengemas primer yaitu bahan pengemas yang
langsung bersentuhan atau kontak dengan sediaan (wadahnya), dan bahan
pengemas sekunder, yaitu bahan pengemas yang tidak bersentuhan langsung
dengan sediaan. Syarat dalam pemilihan bahan pengemas antara lain adalah :
i) melindungi preparat dari keadaan lingkungan
ii) tidak boleh bereaksi dengan produk
iii) tidak boleh memberikan rasa atau bau paa produk
iv) tidak toksik
v) disetujui oleh lembaga kesehatan dunia
vi) harus memenuhi tuntunan tahan banting yang sesuai
vii) mudah mengeluarkan isi
viii) menarik
27
Penyimpanan di bawah kondisi tidak khusus jika tidak ada petunjuk khusus
penyimpanan atau pemabatasan dalam monografi, maka kondisi penyimpanan
termasuk perlindungan terhadap kelembapan, pembekuan dan panas berlebihan.
i) Semua zat di ekspose 30 hari pada kondisi udara suhu 500c dan100 %RH.
ii) Jika pada periode pengujian ini tidah terdeteksi adanya degradasi lanjutkan
denga suhu di naikkan sampai 700C selama 3-7 hari lagi. Uji hasil degradasi
menggunakan TLC, sedangkan zat tidak terurai dengan analisa
semikuantitafif.
i) Untuk produk yang dipasarkan secara global diuji menurut kondisi zona
iklim IV
ii) Real time dengan kondisi sedekat mungkin dengan keadaan sistem distribusi
( minimal 12 bulan )
iii) Uji dipercepat 40oC+-200c/17%RH+-5%/6 bulan atau 3 bulan pada 45o-
50oCdan RH75 %
iv) Zona iklim 2 uji dipercepat 40oC+-20C/75%RH+-5%/3bulan atau
disarankan 6 bulan jika barang aktif kurang stabil atau untuk produk di
mana jumlah data tersedia terbatas. Alternatif tidak lebih dari 150 C diatas
suhu penyimpanan jangka panjang dan kondisi lembab yang relevan.
28
v) Uji stabilitas sediaan cair disarankan pada suhu yang lebih rendah misalnya
> 0 -10 sampai - 200C siklus freeze-thaw dan kondisi pendinginan 2-8 C.
Ekspose terhadap cahaya juga memungkinkan.
vi) Pengujian dilakukan pada 3 batch kecuali jika barang aktif digunakan sangat
stabil.batch harus representative mewakili proses manufaktur dan dibuat
dengan skalapilot atau skala produksi penuh
vii) Bacth produksi harus pula diuji setiap bacth selang tahun untuk skala yang
stabil ; unuk produk yang frofil stabilitasnya sudah diketahui satu batch
setiap 3-5 tahun kecuali perubahan besar dari produk misalnya formula atau
proses / metode manufaktur.
viii) Bacth untuk uji stabilitas harus terinci, nomor bacth, tanggal manufaktur,
ukuran bacth, kemasan dan sebagainya.
29
v) Gagal memenuhi spesifikasi penampilan dan sifat-sifat fisika seperti
warna, pengerasan,dsb
vi) Q1B (PHOTOSTABILITY TESTING)
vii) Pengujian bahan berkhasiat
viii) Pengujian produk formulasi di luar kemasan langsung
ix) Pengujian sediaan jadi dalam kemasan langsung jika ada gejala
fotostabilitas
x) Pengujian sediaan jadi dalam kemasan yang akan dipanaskan.
Pengujian pada uji stabilitas sediaan menurut ICH
i) Bahan aktif : 2 fase yaitu degradasi stess dan uji konfermasi
ii) Sediaan farmasi : produk diexpose penuh, produk dalam kemasan primer,
produk dalam kemasan di pasarkan.
4. BATCH RECORD
Batch atau bets adalah Sejumlah obat yang mempunyai sifat dan mutu yang
seragam yang dihasilkan dalam satu siklus pembuatan atas suatu perintah pembuatan
tertentu.
Nomor Batch atau bets (lot) adalah Penandaan yang terdiri dari angka atau huruf
atau gabungan keduanya, yang merupakan tanda pengenal suatu bets, yang
memungkinkan penelusuran kembali riwayat lengkap pembuatan bets tersebut, termasuk
seluruh tahap produksi, pengawasan dan distribusi (Badan POM, 2006).
30
Registrasi (izin edar) adalah Dokumen legal yang diterbitkan oleh Badan POM
yang menetapkan komposisi dan formulasi rinci dari suatu produk serta spesifikasi
farmakope atau spesifikasi lain yang diakui dari bahan-bahan yang digunakan dalam
produk akhir, termasuk rincian pengemasan dan penandaan serta masa simpan dari produk
tersebut.
Di Industri Farmasi batch record atau sering disebut Batch Manufacturing Record
(BMR), Batch Production Record (BPR), Batch Production and Control Records (BPCR),
Catatan Pengolahan Batch (CPB) adalah dokumen tertulis (dapat hardkopi atau softkopi)
dari batch yang disiapkan selama proses pembuatan produk farmasi.
Dalam batch record tertuang data aktual dari proses pembuatan batch produk,
detail langkah demi langkahnya. Batch record merupakan salah satu dokumen penting
dalam pembuatan obat dan dokumen penting dalam suatu industri farmasi, kalau boleh
saya bilang ini merupakan dokumen utama dalam pembuatan obat di industri farmasi.
Batch record biasanya terdiri dari kolom nomer batch, nama produk, tanda tangan
pengesahan, riwayat dokumen, referensi dokumen dan lain-lain. Batch record yang baik
adalah sebagai berikut:
Batch record yang baik dapat menggambarkan proses pembuatan obat dari awal
sampai akhir. Dengan membaca batch record pembaca dapat menangkap cara pembuatan
obat dan mendapatkan informasi yang relevan dengan pembuatan obat.
Pengalaman saya batch record ini selalu diperiksa oleh auditor BPOM bila
melakukan sidak, biasanya mereka meminta 3 batch secara berurutan. Line clearance
pembuatan obat dapat dicantumkan dalam batch record atau bisa juga terpisah. Ada plus
minus bila line clearance dicantumkan di batch record, kalau pengalaman saya lebih
banyak untungnyaBatch record kadang dijadikan satu dengan batch packaging record atau
catatan pengemasan batch. Lazimnya batch record dan batch packaging record terpisah.
32
Untuk review batch record mungkin akan saya tulis di artikel saya berikutnya.
Sebelumnya bisa membaca tulisan saya Pelulusan batch dari ISPE.
33
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Uji Bioavailabilitas ( Uji Ketersediaan Hayati) ialah jumlah relatif (persentase) obat yang masuk
ke sirkulasi sistemik sesudah pemberian obat dalam sediaan tertentu, serta kecepatan peningkatan
kadar obat dalam sirkulasi sistemik. Uji Bioekivalensi adalah uji untuk menilai dua produk obat yang
mempunyai ekivalensi farmasetik atau merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dosis
molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama
dalam hal efikasi atau keamanan.
Stabilitas obat ialah kemampuan obat untuk mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama
dengan yang dimilikinya pada saat dibuat dalam batasan yang ditetapkan sepanjang periode
penyimpanan dan penggunaan. Uji stabilitas ada 2, yaitu :
1. Stabilitas Dipercepat periode : suhu 40°C + 2°C / RH 75 + 5 % dengan periode 3 bulan dan 6
bulan
2. Stabilitas On going : suhu 30°C + 2°C / RH 75 + 5 % dengan periode : 3, 6, 9, 12, 18, 24,
36,48,60 bulan dst tiap tahun hingga produk tidak memenuhi syarat (Kadaluarsa)
34
DAFTAR PUSTAKA
35
36