Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PEMANTAUAN TERAPI OBAT DI

RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO


PERIODE 04 DESEMBER 2018 - 31 JANUARI 2019

DISUSUN OLEH:

Syifa Khairunnisa, S.Farm 1804026109

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN TUGAS KHUSUS PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)
PASIEN CKD, HIPERKALEMIA DAN HIPERTENSI
RUMAH SAKIT TNI AL Dr. MINTOHARDJO

PERIODE 04 DESEMBER 2018 - 31 JANUARI 2019

Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna


memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA

Disetujui Oleh :

Pembimbing Lapangan

KATA
PENGANTAR

Nishpi Amallia, S.Farm., Apt.

ii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah
SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas
Pemantau Terapi Obat ini tepat pada waktunya. Penulisan tugas
Pemantauan Terapi Obat ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas pada saat
melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di RS TNI AL Dr.
Mintohardjo periode 04 Desember 2018 – 31 Januari 2019.
Praktek Kerja Profesi Apoteker ini merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. DR.
HAMKA (UHAMKA).
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan pemantauan terapi obat ini
tidak lepas dari bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar –
besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Hadi Sunaryo, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas
Farmasi dan Sains UHAMKA, Jakarta.
2. Ibu Ani Pahriyani, M. Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker FFS UHAMKA.
3. Ibu Nishpi Amallia, S.Farm., Apt., selaku pembimbing lapangan yang
telah membimbing kami selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi
Apoteker hingga terselesainya laporan ini.
4. Bapak Zainul Islam, M.Farm., Apt selaku pembimbing PKPA Rumah
Sakit di Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.
5. Seluruh staf dan pegawai di Departemen Farmasi Rumah Sakit TNI AL
Dr. Mintohardjo yang telah memberikan pengarahan dan bantuan
selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
6. Seluruh Perawat di ruangan rawat inap serta seluruh staff/ pegawai
administrasi medis
7. Rekan – rekan mahasiswa program profesi apoteker UHAMKA atas
segala bantuan yang telah diberikan
8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan laporan
ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini tidak luput dari kekurangan. Oleh
karena itu, penulis menerima segala bentuk kritik dan saran yang dapat
membangun dari pihak yang membaca. Penulis berharap agar laporan PKPA ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Jakarta, Maret 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
C. Manfaat 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
A. CKD (Chronic Kidney Disease) 3
1. Definisi 3
2. Patofisiologi 3
3. Manifestasi Klinis 4
4. Terapi 4
B. Hiperkalemia 6
1. Definisi 6
2. Patofisiologi 6
3. Manifestasi Klinis 7
4. Terapi 7
C. Hipertensi 8
1. Definisi 8
2. Patofisiologi 8
3. Manifestasi Klinis 9
4. Terapi 10
BAB III TINJAUAN KASUS & PEMBAHASAN 11
A. Subjek 11
B. Data Subjek 11
C. Data Objek 12
D. Pengobatan Pasien 13
E. Dosis Lazim 14
F. SOAP CKD 15
G. SOAP Hiperkalemia 20
H. SOAP Hipertensi 23
I. DRP (Drug Related Problem) 24
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 26
A. Kesimpulan 26
B. Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 27

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal sering mendapat obat-obatan


yang berisiko terhadap ginjal dan digunakan dalam bentuk kombinasi. Hal ini
memungkinkan terjadinya masalah terkait obat. Apoteker berperan
mengidentifikasi dan mencegah terjadinya masalah terkait obat. Banyaknya obat
yang diberikan dan adanya faktor risiko secara signifikan mempengaruhi risiko
terjadinya masalah terkait obat. Masalah terkait obat didefinisikan sebagai setiap
kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial akan
mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Adapun jenis masalah terkait obat
yang diidentifikasi adalah efektivitas terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki,
biaya pengobatan, dan masalah lainnya (Indriani dkk, 2013).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua
kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang.1 Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka
waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal),
jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak
dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai (Yulanda G dan
Rika L., 2017).
Saat ini hipertensi merupakan tantangan besar di Indonesia karena merupakan
kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer. Berdasarkan
survey riset dasar kesehatan nasional (Riskesdas) pada tahun 2013 hipertensi
memiliki prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%.5 Komplikasi hipertensi
yang utama adalah penyakit kardiovaskular, yang dapat berupa penyakit jantung
koroner, gagal jantung, stroke, penyakit ginjal kronik, kerusakan retina mata,
maupun penyakit vaskuar perifer (Yulanda G dan Rika L., 2017).
Kadar kalium yang kurang dari 3,5 mEq/L disebut sebagai hipokalemia dan
kadar kalium lebih dari 5,3 mEq/L disebut sebagai hiperkalemia. Salah satu
penyebab hiperkalemi adalah berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal yang
terjadi pada hiperaldosteronisme, gagal ginjal, pemakaian siklosporin atau akibat

1
koreksi ion kalium berlebihan dan pada kasuskasus yang mendapat terapi
angiotensin converting enzyme inhibitor dan potassium sparing diuretic (Sandala
GA. dkk., 2016).
Ginjal yang sehat memiliki kapasitas yang besar untuk mempertahankan
homeostasis kalium dalam menghadapi kalium yang berlebih. Prevalensi
hiperkalemia pada pasien penyakit ginjal kronik diperkirakan jauh lebih tinggi
daripada populasi umum. Sebuah tinjauan baru-baru ini melaporkan bahwa
frekuensi hiperkalemia pada penyakit ginjal kronik sekitar 40-50% dibandingkan
pada populasi umum yang hanya 2-3%. Mereka yang berisiko lebih tinggi ialah
pasien dengan diabetes dan penyakit ginjal kronik tingkat lanjut. 6 Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
gambaran kadar kalium serum pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 non
dialysis (Sandala GA. dkk., 2016).

B. Tujuan
Untuk memastikan pasien menggunakan obat yang rasional, aman dan efektif.

C. Manfaat
Pasien mendapatkan terapi yang rasional, aman dan efektif.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Chronic Kidney Disease (CKD)


1. Definisi

Penyakit ginjal kronis (CKD) didefinisikan sebagai kelainan pada struktur atau
fungsi ginjal, timbul selama 3 bulan atau lebih, dengan implikasi bagi kesehatan.
Kelainan struktural termasuk albuminuria lebih dari 30 mg / hari, adanya
hematuria atau adanya sel darah merah dalam sedimen urin, elektrolit dan
kelainan lain karena kelainan tubular, kelainan yang dideteksi secara histologi,
kelainan struktural yang terdeteksi oleh gambar, atau riwayat transplantasi ginjal.

CKD stadium 5, yang sebelumnya disebut penyakit ginjal stadium akhir


(ESRD), terjadi ketika GFR turun di bawah 15 ml/menit/1,73 m 2 (<0,14ml/s/m2)
atau pada pasien yang menerima terapi penggantian ginjal (RRT). ESRD merujuk
secara khusus pada pasien yang menerima dialisis kronis (Wells GB et.al., 2015).

2. Patofisiologi

Faktor kerentanan meningkatkan risiko penyakit ginjal tetapi tidak secara


langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Mereka termasuk usia lanjut, massa
ginjal berkurang dan berat badan saat lahir rendah, ras atau etnis minoritas,
riwayat keluarga, berpenghasilan rendah atau pendidikan, peradangan sistemik,
dan dislipidemia.

Faktor inisiasi secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal dan dapat


dimodifikasi dengan terapi obat. Mereka termasuk diabetes mellitus,
hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, Wegener
granulomatosis, penyakit pembuluh darah, dan nefropati human
immunodeficiency virus (HIV).

Faktor perkembangan mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah inisiasi


kerusakan ginjal. Mereka termasuk glikemia pada penderita diabetes,
hipertensi, proteinuria, hiperlipidemia, obesitas, dan merokok.

3
Kebanyakan nefropati progresif memiliki jalur akhir yang sama menuju
kerusakan parenkim ginjal yang tidak dapat diperbaiki dan ESRD. Elemen
jalur utama termasuk kehilangan massa nefron, hipertensi kapiler glomerulus,
dan proteinuria (Wells GB et.al., 2015).

3. Manifestasi Klinis

Pasien dengan stadium 1 atau 2 CKD biasanya tidak memiliki gejala atau
gangguan metabolisme yang terlihat dengan stadium 3 sampai 5, seperti
anemia, hiperparatiroidisme sekunder, penyakit kardiovaskular (CVD),
malnutrisi, dan kelainan cairan dan elektrolit yang lebih umum sebagai fungsi
ginjal memburuk.

Gejala uremik (kelelahan, lemah, sesak napas, kebingungan mental, mual,


muntah, perdarahan, dan anoreksia) umumnya tidak ada pada tahap 1 dan 2,
minimal selama tahap 3 dan 4, dan umum pada pasien dengan stadium 5 CKD
yang mungkin juga mengalami gatal-gatal, intoleransi dingin, penambahan
berat badan, dan neuropati perifer. Tanda dan gejala uremia merupakan hal
mendasar dalam keputusan untuk menerapkan RRT (Wells GB et.al., 2015).

4. Terapi

Pengukuran CrCl dapat berguna dalam situasi klinis berikut: pasien


memulai dialisis; dengan adanya perubahan akut pada fungsi ginjal pada pasien
rawat inap (mis., cedera ginjal akut, gagal ginjal akut) atau mereka yang
memiliki kondisi medis penyerta; selama evaluasi asupan makanan; pasien
dengan massa otot ekstrem; penggemar kesehatan mengambil suplemen
creatine; vegetarian; pasien dengan quadriplegia atau paraplegia; dan pasien
yang telah menjalani amputasi

Menafsirkan Nilai CrCl dengan Parameter Ginjal Lainnya Seperti


disebutkan sebelumnya, kegunaan klinis yang paling umum untuk CrCl dan
SCr adalah di bawah ini:

a. Menilai fungsi ginjal pada pasien dengan PGK

4
b. Memantau efek terapi obat pada memperlambat perkembangan penyakit
ginjal
c. Memantau pasien dengan obat nefrotoksik
d. Menentukan penyesuaian dosis untuk obat yang dieliminasi secara renial
(Lee M, 2017).

Gambar 1. Perhitungan GFR

Gambar 2. Tingkat GFR (Wells GB et.al., 2015)

Terapi non farmakologi dapat dilakukan:

a. Batasi protein hingga 0,8 g/ kg/ hari jika GFR kurang dari 30 ml/ menit/
1,73 m2.
b. Dorong penghentian merokok untuk memperlambat perkembangan CKD
dan mengurangi risiko CVD.

5
c. Anjurkan berolahraga setidaknya 30 menit lima kali seminggu dan
pencapaian indeks massa tubuh (BMI) 20 hingga 25 kg/ m2 (Wells GB
et.al., 2015).

Bagan 1. Alogaritma Pengobatan CKD (Wells GB et.al., 2015).


B. Hiperkalemia
1. Definisi

Hiperkalemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalium serum >5 mEq/L (>


5 mmol/ L). Seperti halnya dengan hipokalemia, hiperkalemia dapat
mengindikasikan ketidakseimbangan kalium yang nyata atau jelas, walaupun
tanda dan gejalanya tidak dapat dibedakan. Untuk menginterpretasikan nilai
kalium serum yang tinggi, dokter harus menentukan apakah hiperkalemia
disebabkan oleh kelebihan yang disebabkan oleh pergeseran kalium
ekstraseluler atau benar. Kelebihan kalium dalam tubuh disebabkan oleh
peningkatan asupan dengan ekskresi berkurang (Lee M, 2017).

2. Patofisiologi

Karena ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi kalium, gagal ginjal
adalah penyebab paling umum dari hiperkalemia. Namun, penanganan kalium
oleh nefron relatif terjaga dengan baik sampai GFR turun ke <10% dari
normal. Oleh karena itu, banyak pasien dengan gangguan ginjal dapat
mempertahankan konsentrasi kalium serum mendekati normal. Mereka masih
rentan terhadap hiperkalemia jika dikonsumsi dengan kalium yang berlebihan

6
dan ketika fungsi ginjal memburuk. Asupan kalium yang meningkat jarang
menyebabkan masalah pada subjek tanpa adanya kerusakan ginjal yang
signifikan (Lee M, 2017).

Hiperkalemia berkembang ketika asupan kalium melebihi ekskresi atau


ketika distribusi transselular kalium terganggu. Penyebab utama hiperkalemia
sejati meliputi peningkatan asupan kalium, penurunan ekskresi kalium, tubular
tidak responsive terhadap aldosteron, dan redistribusi kalium ke ruang
ekstraseluler (Wells GB et.al., 2015).

3. Manifestasi Klinis

Hiperkalemia sering tanpa gejala; pasien mungkin mengeluh jantung


berdebar-debar atau melewatkan detak jantung.

Perubahan EKG awal (kalium serum 5,5-6 mEq / L; 5,5-6 mmol / L) adalah
gelombang T yang memuncak. Urutan perubahan dengan peningkatan lebih
lanjut dalam konsentrasi kalium serum adalah pelebaran interval PR,
kehilangan gelombang P, pelebaran kompleks QRS, dan penggabungan
kompleks QRS dengan gelombang T yang menghasilkan pola gelombang sinus
(Wells GB et.al., 2015).

4. Terapi

Bagan 2. Alogaritma Pengobatan Hiperkalemia (Yelena Mushiyakh, 2011)

Tabel 1. Pengobatan Hiperkalemia (Wells GB et.al., 2015).

7
C. Hipertensi
1. Definisi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah arteri (BP) yang terus


meningkat. Hipertensi sistolik terisolasi adalah nilai tekanan darah diastolik
(DBP) kurang dari 90 mm Hg dan nilai tekanan darah sistolik (SBP) 140 mm Hg
atau lebih. Krisis hipertensi (BP> 180/120 mm Hg) dapat dikategorikan sebagai
darurat hipertensi (peningkatan TD ekstrem dengan kerusakan organ target akut
atau progresif) atau urgensi hipertensi (peningkatan TD tinggi tanpa cedera organ
target akut atau progresif) (Wells GB et.al., 2015).

2. Patofisiologi

Hipertensi dapat disebabkan oleh penyebab spesifik (hipertensi sekunder) atau


dari penyebab yang tidak diketahui (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi
sekunder (<10% kasus) biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal kronis (CKD)
atau penyakit renovaskular. Kondisi lain adalah cushing syndrome, coarctation of
the aorta, obstructive sleep apnea, hiperparatiroid, pheochromocytoma, primary
aldosteronism, dan hipertiroid. Beberapa obat yang dapat meningkatkan BP
termasuk kortikosteroid, estrogen, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID),
amfetamin, sibutramine, sikosporin, tacrolimus, erythropoietin, dan venlafaxine.

8
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pengembangan hipertensi primer
meliputi:

a. Kelainan humoral yang melibatkan sistem renin-angiotensin-aldosteron


(RAAS), hormon natriuretik, atau resistensi insulin dan hiperinsulinemia
b. Gangguan pada SSP, serabut saraf otonom, reseptor adrenergik, atau
baroreseptor
c. Kelainan pada proses autoregulasi ginjal atau jaringan untuk ekskresi natrium,
volume plasma, dan penyempitan arteriol
d. Kekurangan sintesis zat vasodilatasi dalam endotelium vaskular (prostasiklin,
bradikinin, dan nitrat oksida) atau zat vasokonstrik yang berlebih (angiotensin
II, endothelin I)
e. Asupan natrium tinggi atau kekurangan kalsium dalam makanan.

Penyebab utama kematian adalah kecelakaan serebrovaskular, kejadian


kardiovaskular (CV), dan gagal ginjal. Probabilitas kematian dini berkorelasi
dengan tingkat keparahan peningkatan BP (Wells GB et.al., 2015).

3. Manifestasi Klinis

Pasien dengan hipertensi primer tanpa komplikasi biasanya tidak menunjukkan


gejala pada awalnya. Pasien dengan hipertensi sekunder mungkin memiliki gejala
kelainan yang mendasarinya. Pasien dengan pheochromocytoma mungkin
mengalami sakit kepala, berkeringat, takikardia, jantung berdebar, dan hipotensi
ortostatik. Pada aldosteronisme primer, gejala hipokalemik dari kram otot dan
kelemahan mungkin ada. Pasien dengan sindrom Cushing mungkin mengalami
kenaikan berat badan, poliuria, edema, ketidakteraturan menstruasi, jerawat
berulang, atau kelemahan otot di samping fitur klasik (wajah bulan, punuk kerbau,
dan hirsutisme) (Wells GB et.al., 2015).

9
4. Terapi

Bagan 3. Alogaritma Pengobatan Hipertensi dengan CKD (Wells GB et.al.,


2015).

10
BAB III
TINJAUAN KASUS & PEMBAHASAN

A. Subjek
1. Nama pasien : Ny. M***
2. No. RM : 21****
3. Tgl. Lahir : 1-7-1960
4. Usia : 58 tahun
5. Berat badan : 80 kg
6. Tinggi : 155 cm
7. Pekerjaan : IRT
8. Agama : Islam
9. Status : Menikah
10. Alamat : Jl. Raya Kembangan Selatan, Jakarta Barat
11. Tgl. masuk : 12-1-2019
12. Tgl. pulang : 18-1-2019
13. Jenis kelamin : Perempuan
14. Ruang rawat : Numfor
15. Riwayat P. Sekarang : Pasien rujukan dari RSUD kembangan dengan
CKD dan hiperkalemia, pasien mengeluh nyeri ulu hati (+), lemas (+),
mual(+), muntah (-), pusing (-), BAB BAK normal, sesak (-)
16. Riwayat P. Terdahulu : hipertensi (+), ginjal (+)
17. Riwayat keluarga : hipertensi (+)
18. Diagnosa : CKD, Hiperkalemia, HT

B. Data Subjek

Tabel 2. Data Subjek Pasien


Tanggal Subjek Pasien
12/1/2019 Nyeri ulu hati, lemas, mual
13/1/2019 Perut tidak enak, mual, kaki kaku
14/1/2019 Perut sakit, mual, pusing
Lemas, mual, pusing, nafsu makan
15/1/2019
menurun
Lemas, meriang, mual, muntah, sering
16/1/2019
BAK
17/1/2019 Lemas, sering BAK
18/1/2019 Lemas

11
C. Data Objek

Tabel 3. Pemeriksaan Fisik Pasien


Pemeriksaan Rujukan 12/1/19 13/1/1 15/1/1 16/1/1 17/1/1 18/1/1
9 9 9 9 9
TD 110/70 110/70 130/90 140/90 140/10 140/80
(MmHg) 0
RR 16 - 20 20 20 20 20
(x/menit)
Suhu (⁰C) 36 -37 36,5 36,5 36,2 36,7 36,6 36,6
Nadi 60 - 70 69 70 88* 82* 80* 82*
(x/menit)

Tabel 4. Pemeriksaan Laboratorium Pasien


Jenis Rujukan 12/1/19 14/1/19 15/1/1 16/1/19 18/1/19
pemeriksaan 9
HEMATOLOGI
Darah Rutin
- Leukosit 5.000- 10.100*
10.000
- Eritrosit 5.4 - 0.2 3,65
- Hemoglobin 14 – 16 10,1*
- Hematokrit 42 – 45 32*
- Trombosit 150.000 – 281.000
450.000
KIMIA KLINIK
- Glukosa Darah <200 151 132 107 91 114
Sewaktu
- Glukosa Darah 70-100
Puasa
Fungsi Ginjal
- Ureum 17 – 43 70*
- Kreatinin 0.7 – 1.3 1,7*
- Asam urat 3.5 – 7.2
Elektrolit
- Natrium (Na) 134 – 146 119* 116* 119* 126*
- Kalium (K) 3.4 – 4.5 6,10* 6,18* 4,65* 4,57*
- Clorida (Cl) 96 – 108 92* 87* 85* 89*

12
D. Pengobatan Pasien

Tabel 5. Profil Pengobatan


Tanggal Pemberian Obat
Dosi Regi-
Obat 12/1/ 13/1 14/1 15/1 16/1 17/1 18/1/
s men
19 /19 /19 /19 /19 /19 19
Novorapid 10 ui √
Furosemid 2x1 √ √ √ √ √ √

inj 4x1 4x1 4x1 4x1 4x2 4x2
Ca- amp 3x1
√ √ √ √ √ √ √
Gluconas

Ondansen 8 mg 2x1
√ √ √ √ √ √
t-ron inj
Amlodipin 5mg 1x1 √ √ √ √ √ √ √
Kalitake 5g 1x1 √ √ √ √ √
√ √
3x1 3x1 3x1 3x1 3x1
As. Folat 3x1 √ √ √ √ √ √ √
Ceftriaxon 2x1
√ √
e
Bicnat 3x1 √ √ √ √ √ √
Apidra 2 √ √
ui/ja 3 4
√ √
m ui/ja ui/ja
m m
Cefixime 200 2x1
√ √ √ √
mg
CaCO3 3x1 √ √ √
Allupurin 300 1x1
√ √
ol mg
Humalog 2
ui/ja √
m

E. Dosis Lazim

13
Tabel 6. Dosis Lazim
Obat yg Regimen Dosis Lazim Keterangan Indikasi
digunakan Terapi
Novorapid 10 ui 10 – 20 unit Tepat dosis Hiperkalemia
Furosemid 2 x 10 mg 20 – 40 mg Tepatdosis Hipertensi &
inj Hiperkalemia
ringan
Ca- 3x1 500 mg– 2 g/ Tepat dosis Hiperkalemia
Gluconas hari
Ondansen- 2 x 8 mg 8 mg – 32 mg Tepat dosis Mual akibat
tron inj Uremia
Amlodipin 1 x 5 mg 2,5 – 5 mg/ Tepat dosis Hipertensi
hari
Kalitake 3x1 15 – 30 g / hari Tepat dosis Hiperkalemia
As. Folat 3x1 0,4 mg– 1 mg Tepat dosis CKD
/ hari
Ceftriaxone 2x1 1 – 2 g/ hari Tepat dosis Infeksi ginjal
Bicnat 3x1 1 - 2g / hari Tepat dosis CKD
Apidra 2 ui/jam 0,2 – 1 unit/kg/ Tepat dosis Hiperkalemia
hari
Cefixime 2 x 200 mg 200-400 mg / Tepat dosis Infeksi pada
hari ginjal
CaCO3 3x1 1 – 2 g / hari Tepat dosis CKD, antasid
Allupurinol 1 x 300 mg 200 – 600 mg Tepat dosis CKD
Humalog 2 ui/jam 0,5 – 1 Tepat dosis Hiperkalemia
unit/kg/hari

F. SOAP CKD

Tabel 7. SOAP CKD


Subject Rujukan dengan CKD

14
Object  Kreatinin : 1,7
 Ureum : 70
Assesment CKD stage 3
Plan  As. Folat
 Ondansentron
 Ceftriaxone
 Cefixime
 Allupurinol
 Bicnat
 CaCO3

(140−58 ) ×80
GFR= ×0,85=45,5560 (Stage 3)
72 ×1,7

Terapi asam folat mengurangi risiko pengembangan CKD dan laju penurunan
laju filtrasi glomerulus. Pasien dengan CKD mendapat manfaat lebih banyak dari
terapi, dengan penurunan 56% dan 44% dalam risiko pengembangan CKD dan
tingkat penurunan GFR (Xu X, et.al., 2016). Pasien dengan perhitungan GFR
mendapatkan hasil bahwa ia termasuk kedalam stage 3. Pemeriksaan ureum dan
kreatinin hanya dilakukan diawal pasien masuk.

Gambar 3. Pengobatan Asam Folat (Xu X, et.al., 2016)

Gejala tidak nyeri juga berkontribusi terhadap penurunan kualitas hidup pada
pasien dengan gagal ginjal. Kurang energi dan pruritus dilaporkan oleh hingga 75
persen pasien dengan tahap 5 penyakit ginjal kronis. Lebih dari setengahnya

15
pasien mengalami kantuk, dispnea, atau edema, gejala termasuk mulut kering,
kram otot, gelisah sindrom kaki, kurang nafsu makan, kurang konsentrasi, tidur
gangguan, dan sembelit. Pruritus dapat dikelola dengan pengikat fosfat, emolien,
antihistamin, ondansetron (Zofran), dan naltrexone (Revia) .Kelelahan dapat
dikelola dengan mengobati anemia, mendorong fisik aktivitas, dan mengevaluasi
depresi. Ondansetron, metoclopramide (Reglan), dan haloperidol efektif
antiemetik untuk mual terkait uremia (O’Connor RN. et.al., 2012). Pasien dalam
terapinya tepat, karena pasien memiliki gejala yang sama. Akan tetapi dalam
perkembangannya pasien masih merasakan mual. Sehingga kemungkinan
pengobatan dengan ondansentron tidak dapat mengatasi.

Gambar 3. Pengobatan Ondansentron (O’Connor RN. et.al., 2012)

Ceftriaxone dapat menyebabkan beberapa efek samping potensial, termasuk


neurotoksisitas. Pasien dengan penyakit ginjal kronis mengalami perubahan
kesadaran selama pengobatan ceftriaxone untuk infeksi saluran kemih dan gejala
neurologis menghilang setelah penarikan seftriakson. Kemungkinan
neurotoksisitas yang diinduksi ceftriaxone harus dipertimbangkan pada pasien
yang mengalami gangguan neurologis selama penggunaan ceftriaxone, dan
penghentian obat dapat menyebabkan perbaikan neurologis yang lengkap (Kim
BK, et.al., 2012). Pasien diberikan ceftriaxone hanya 2 hari, pada tanggal 13 dan
14. Dilihat dari jurnal bahwa pemberian ceftriaxone dapat menginduksi efek

16
samping yaitu neurotoksik dan tidak baik bagi pasien penderita ginjal kronis.
Penghentian pengobatan menjadi pilihan baik.

Gambar 4. Pengobatan Seftriaxon (Kim BK, et.al., 2012)

Cefixim telah dibuktikan menjadi sangat efektif dalam infeksi. Mengingat


spektrum luas dari agen ini dan dosisnya yang nyaman, oleh karena itu agen ini
penting digunakan secara klinis dalam pengobatan infeksi saluran yang terjadi
pada pasien penyakit gangguan ginjal (Olurishe CO, et.al., 2013). Pengganti
ceftriaxone sebagai antibiotik yang diberikan pada pasien berdasarkan literatur
yang telah dicari bahwa cefixim merupakan efektif tanpa menimbulkan resiko
reaksi jika penggunaan seftriaxone.

Gambar 5. Pengobatan Cefixime (Olurishe CO, et.al., 2013)

Allopurinol digunakan untuk menunda perkembangan penyakit ginjal yang


diukur dengan menggunakan kreatinin serum dan laju filtrasi glomerulus (GFR).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi ginjal menurun tanpa terapi
allopurinol kecuali pasien juga menggunakan inhibitor angiotensinconverting
enzyme (ACE) atau angiotensin receptor blockers (ARBs) (Kabul S. and Brian S,

17
2012). Perhituanga GFR pada pasien hanya dilakukan di awal pasien masuk,
sehingga tidak diketahui apa terjadi perubahan pada nilai GFR nya.

Gambar 6. Pengobatan Allupurinol (Kabul S. and Brian S, 2012)

Bicnat yang diberikan pada pasien gagal ginjal berfungsi meningkatkan


ketidakmampuan ginjal mengeluarkan muatan asam yang berlebihan, sehingga
tidak terjadi keasaman dalam darah. Bicnat juga untuk gejala osteodistrofi ginjal,
di mana pasien CKD pada tubuh biasanya tidak berespon terhadap peningkatan
sekresi parathormon sehingga kalsium dalam tulang berkurang sehingga ada
perubahan pada tulang dan penyakit tulang (osteodistrofi ginjal). Tujuan CaCO3
pada pasien adalah sama dengan pengikat fosfat dengan antihiperfosfatemia. Ini
karena GFR menurun dimana jika GFR menurunkan kadar fosfat tinggi. Maka
diperlukan obat untuk menurunkan kadar fosfat (Pardamean FM and Rangki A,
2015).

18
Gambar 9. Pengobatan CaCO3 dan Bicnat (Pardamean FM and Rangki A,
2015)

G. SOAP Hiperkalemia

Tabel 8. SOAP Hiperkalemia


Subject Rujukan dengan hiperkalemia

19
Object  Kalium : 6,10
Assesment Hiperkalemia
Plan  Novorapid
 Furosemid
 Ca Glukonas
 Kalitake
 Apidra
 Humalog

Insulin adalah obat yang efektif yang menyebabkannyapotasium bergeser ke


dalam sel dengan meningkatkan aktivitas Na-K-ATPase . Tingkat kalium serum
mulai turun dalam 10-20 menit pemberian insulin dan glukosa. Pasien dengan
hiperglikemia dapat diberikan insulin saja untuk menghindari perburukan
hiperkalemia oleh keadaan hiperosmolar.

Kadar gula darah harus dimonitor untuk menghindari hipoglikemia. Tujuannya


terapi adalah untuk menstabilkan membran kardiomiosit dan mencegah aritmia,
menggeser potasium ke dalam sel, dan meningkatkan eliminasi kalium dari tubuh.
Terapi jangka panjang hiperkalemia termasuk diet dan modifikasi obat.
Seharusnya diet rendah kalium didiskusikan dengan pasien, setelah masalah akut
teratasi (Harel Z and Kamel SK, 2016).

Pada pasien terjadi peningkatan kadar kalium, sehingga terapi dianggap tepat
untuk mengatasinya, akan tetapi efek dari penggunaan obat tersebut juga
menurunkan kadar gula dalam darahnya, dan pasien juga diberikan insulin sebagai
obatna sehingga GD nya menurun. Akantetapi hipoglikemi yang dialami pasien
masih dalam rentang normal sehingga cukup dengan pemantauan atau dengan
infus dextrose untuk mengatasinya.

20
Gambar 7. Pengobatan dengan Insulin (Harel Z and Kamel SK, 2016)

Penggunaan furosemide dalam kombinasi dengan garam infus untuk


memastikan pengiriman natrium ke nefron bagian distal dapat menyebabkan
ginjal ekskresi kalium pada pasien dengan ginjal yang normal. Terapi diuretik
kronis dapat digunakan dalam pasien dengan CKD dan hiperkalemia ringan
(Mushiyakh Y, et.al., 2012).

Gambar 8. Penggunaan Furosemide (Mushiyakh Y, et.al., 2012)

21
Semua pasien dengan hiperkalemia yang dikonfirmasi harus segera dinilai
dengan EKG untuk menyingkirkan aritmia jantung yang serius. Kalsium glukonat
harus digunakan sebagai agen lini pertama pada pasien dengan perubahan EKG
atau hiperkalemia berat untuk melindungi kardiomiosit (Mushiyakh Y, et.al.,
2012).

Gambar 10. Pengobatan Ca-glukonas (Mushiyakh Y, et.al., 2012)

Kalitake digunakan untuk menstabilkan kadar kalium dari pasien yang


berkurang akibat berbagai faktor, misalnya akibat penggunaan diuretic kuat
seperti furosemide (Prasetya NPR dkk., 2007).

Gambar 11. Pengobatan Kalitake (Prasetya NPR dkk., 2007)

22
H. SOAP Hipertensi

Tabel 9. SOAP Hipertensi


Subject Riwayat Hipertensi
Object  TD : 140/90 MmHg
 Nadi : ≥ 80
Assesment Hipertensi stage 2
Plan  Amlodipin

Baik inhibitor ACE atau ARB adalah terapi lini pertama untuk mengendalikan
TD dan mempertahankannya fungsi ginjal di CKD. Rawat pasien dengan
peningkatan albuminuria sedang atau berat ke sasaran BP 130/80 mm Hg. Karena
pasien ini biasanya memerlukan terapi beberapa obat, diuretik dan obat
anihipertensi ketiga (B-blocker atau CCB) sering diperlukan (Wells GB et.al.,
2015). Pasien mengalami peningkatan TD hamper mencapai 140/110 mmHg.
Pada pengobatannya kurang mengalami penurunan TD, sehingga mungkin
membutuhkan obat pengganti dengan golongan yang sama.

Gambar 12. Pengobatan HT dengan CKD (Wells GB et.al., 2015).

23
I. DRP (Drug Related Problem)

Tabel 11. Drug Related Problem


DRP Ya Tida Keterangan
k
Ada Indikasi, Tidak ada terapi - - -
Obat tanpa indikasi - - -
Obat tidak tepat - - -
Dosis berlebih - - -
Dosis kurang √ - Kalitake, Bicnat
Tidak menggunakan obat - - -
(kepatuhan, ekonomi)
Ada efek samping dan alergi - - -
Interaksi obat √ - Ceftriaxon- ca
gluconas

Ceftriaxone dengan larutan yang mengandung kalsium, dapat menyebabkan


pengendapan garam ceftriaxone-kalsium. Ada beberapa kasus reaksi fatal yang
melibatkan keberadaan endapan ini di paru-paru dan ginjal baik neonatus
prematur dan prematur serta bayi hingga usia 1 tahun. Belum ada laporan sampai
saat ini endapan intravaskular atau paru pada pasien yang lebih tua. Ceftriaxone
tidak boleh dicampur atau diberikan bersamaan dengan larutan yang mengandung
kalsium intravena (mis., Larutan Ringer atau Hartmann; nutrisi parenteral yang
mengandung kalsium pada pasien mana pun tanpa memandang usia. Penggunaan
bersamaan ceftriaxone dan produk yang mengandung kalsium intravena (atau
dalam waktu 48 jam satu sama lain) dianggap kontraindikasi pada neonatus yang
berusia 28 hari atau lebih muda, bahkan ketika diberikan melalui saluran infus
berbeda di lokasi yang berbeda. Ceftriaxone tidak boleh digunakan pada neonatus
jika mereka menerima, atau diharapkan menerima, produk intravena yang
mengandung kalsium. Tidak ada data atau rekomendasi yang tersedia untuk
penggunaan bersamaan ceftriaxone intravena dan produk yang mengandung
kalsium oral atau ceftriaxone intramuskuler dan produk yang mengandung
kalsium (IV atau oral) (Drugs.com). Pada pasien tidak diketahui mengalami efek
samping tersebut, akan tetapi dalam keluhan pasien masih mengalami hal yang
sama saat pertama kali masuk.

24
Gambar 13. Interaksi Cefixime-Ca glukonas (Drugs.com)

25
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengobatan yang didapatkan pasien sudah rasional dan sesuai alogaritma yang
seharusnya

B. Saran

Peran apoteker diharapkan dapat selalu memantau penggunaan obat pasien,


sehingga efek samping yang dikhawatirkan dapat dihindari dan disarankan
melakukan pemeriksaan rutin kadar ureum dan kreatinin.

26
Daftar Pustaka

Drugs.com. Diakses Pada Tanggal 6 Maret 2019.

Harel and Kamel SK. 2015. Optimal Dose And Method Of Administration Of
Intravenous Insulin In The Management Of Emergency Hyperkalemia: A
Systematic Review. PLOS ONE.

Indriani L, Anton B dan Retnosari A. 2013. Evaluasi Maslah Terkait Obat Pada
Pasien Rawat Inap Pasien Ginjal Kronik Di RSUP Fatmawati Jakarta. Jurnal
Manajemen dan Pelayanan Farmasi

Kabul S and Brian S. 2012. A Review Investigating The Effect Of Allopurinol On


The Progression Of Kidney Disease In Hyperurucemic Patients With Chronic
Kidney Disease. Clinical Therapeutics Vol.34

Kim BK, Sun MK, Woori P, Ji SK, Soon KK, and Hye-Young K. 2012.
Ceftriaxone-Induced Neurotoxicity: Case Repor. Pharmacokinetic
Consideration And Literrature Review The Korean Academy Of Medical
Sciences.

Lee M. 2017. Basic Skill In Interpreting Laboratory Data Sixth Edition. American
Society Of Health-System Pharmacists.

Mushiyakh Y, Harsh D, Shahbaz Q, Noorjahan A, Jhon P and David T. 2012.


Tratment And Pathogenesis Of Acute Hyperkalemia. Lutheran Medical Center.

O’Connor RN and Amy MC. 2012. End-Stage Renal Disease Symptom


Management And Advance Care Planning. American Academy Of Family
Physicians.

Olurishe CO, Salawu OA, Olurishe TO, and Bisalla M. 2013. Metformin-
Cefixime Co-Administration Affect Glucose Regulation and Reno-Pancreatic
Histology In Alloxan-Induced Hyperglycemic Rats. Journal Of Pharma
SciTech.

Pardamean FM and Rangki A. 2015. Treatment In Patients Chronic Kidney


Disease (CKD) Pro HD and Stroke Non Hemorraghic In RS Dr. Montohardjo.
UTA’45

Prasetya NPR, Raka K dan Dewa AS. 2007. Kajian Interaksi Obat Pada
Pengobatan Pasien Gagal Ginjal Kronis Hipertensi Di RSUP Sanglah Denpasar
Tahun 2007. Universitas Udayana.

Sandal GA, Arthur EM dan Maya FM. 2016. Gambaran Kadar Kalium Serum
Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 Non Dialisis Di Manado. Jurnal
E-Biomedik Vol.4

27
Wells GB, Joseph TD, Terry LS, and Cecily VD. 2015. Pharmacoterapy
Handbook Ninth Edition. Mc Graw-Hill Education.

Xu X, Xianhul Q, Youbau L, Danhua S, Jun W, Min L, Binyan W, Yong H, and


Fan FH. 2016. Efficacy Of Folic Acid Therapy On The Progression Of Chronic
Kidney Disease. American Medical Association.

Yulanda G dan Rikal. 2017. Penatalaksanaan Hipertensi Primer. Majority Vol.6

28

Anda mungkin juga menyukai