Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PEMANTAUAN TERAPI OBAT DI

RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO


PERIODE 04 DESEMBER 2018 - 31 JANUARI 2019

DISUSUN OLEH:

Nandy Amalia 1804026078

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stroke adalah perubahan neurologi yang disebabkan karena putusnya
aliran darah ke otak dan dikenal dengan brain attack. Stroke dibagi dalam dua
kategori mayor yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik terjadi
karena aliran darah ke otak terhambat akibat aterosklerosis atau bekuan darah.
Stroke hemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah otak sehingga
menghambat aliran darah ke otak, darah merembes ke area otak dan merusaknya
(Kristiyawati dkk 2009). Stroke terjadi karena ketidakmampuan mengendalikan
faktor risiko. Faktor risiko stroke terdiri dari risiko yang tidak dapat dirubah
seperti usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga dan yang dapat dirubah yaitu
hipertensi, diabetes mellitus, merokok, gaya hidup, dislipidemia (Riyadina W &
Rahajeng E 2013).
Angka kejadian stroke di dunia sekitar 200 per 100.000 penduduk dalam
setahun. Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena
serangan stroke dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal sedangkan sisanya
mengalami cacat ringan bahkan bisa menjadi cacat berat. Stroke merupakan
urutan kedua penyakit mematikan setelah penyakit jantung. Serangan stroke lebih
banyak dipicu karena hipertensi yang disebut silent killer. Hipertensi merupakan
penyebab umum terjadinya stroke dan serangan jantung (Hanum dkk 2018).
Hipertensi atau dikenal dengan nama penyakit darah tinggi adalah suatu
keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah diatas ambang batas normal
yaitu 120/80 mmHg (Tarigan dkk 2018). Menurut WHO hipertensi merupakan
peningkatan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan
diastolik sama atau lebih besar 95 mmHg. JNC VII berpendapat hipertensi adalah
tekanan darah diatas 140/90 mmHg. Secara signifikan hipertensi mempengaruhi
kejadian stroke (Kurniasih dkk 2017).
Hipertensi meningkatkan risiko stroke 2-4 kali lipat tanpa tergantung pada
faktor risiko lainnya. Hipertensi kronis dan tidak terkendali akan memacu
kekakuan dinding pembuluh darah kecil. Hipertensi juga memacu munculnya

2
timbunan plak yang akan menyempitkan lumen/diameter pembuluh darah. Plak
yang tidak stabil akan mudah ruptur/pecah dan terlepas. Plak yang terlepas
meningkatkan risiko tersumbatnya pembuluh darah otak yang lebih kecil (Pinzon
& Asanti 2010). Hasil penelitian Santoso dkk 2008, berdasarkan usia prevalensi
terbesar seseorang dapat terkena hipertensi dan stroke adalah kisaran usia 51-69
tahun.
Sudah dijelaskan sebelumnya stroke merupakan urutan kedua penyakit
mematikan setelah penyakit jantung. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantuan
terapi obat pada pasien untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan pengobatan
yang tepat. Sehingga pasien mendapatkan pengobatan yang optimal.

B. Tujuan
Pemantauan terapi obat bertujuan untuk memastikan pasien mendapatkan terapi
penggunaan obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien

C. Manfaat
Penggunaan obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Stroke
1. Definisi
Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika sebagian sel-sel otak mengalami
kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh
darah di otak. Aliran darah yang berhenti membuat suplai oksigen dan zat
makanan ke otak berhenti sehingga sebagian otak tidak dapat berfungsi (Utami P
2009).
2. Etiologi
Stroke iskemik terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri
besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh trombus yang
terbentuk didalam pembuluh otak atau organ distal. Bekuan pada trombus
vaskular distal dapat terlepas dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak
sebagai suatu embolus. Sumbatan pada arteri komunis interna yang mengalami
plak aterosklerotik juga sering menjadi penyebab stroke pada orang dengan usia
lanjut karena mengalami penyempitan atau stenosis. Tempat tersering
terbentuknya aterosklerosis adalah pada percabangan arteri karotis komunis
menjadi arteri karotis interna dan eksterna (Yadanta 2018).
3. Patofisiologi
Stroke adalah manifestasi dari rusaknya struktur jaringan otak sebagai
akibat rusaknya pembuluh darah yang menyuplai darah ke otak dengan berbagai
sebab. Penyebabnya bisa berasal dari pembuluh darah di otak ataupun darah yang
mengalir di dalamnya. Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana
saja didalam arteri-arteri yang membentuk sirkulus Willisi: arteria karotis interna
dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila
aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi
infark atau kematian jaringan (Price & Wilson 2006).
a. Stroke Iskemik
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat
obstruksi atau bekuan disatu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum.

4
Obstruksi dapat sebabkan oleh bekuan (thrombus) yang terbentuk didalam suatu
pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada trombus vascular distal,
bekuan dapat terlepas, atau terbentuk di dalam suatu organ seperti jantung dan
kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus.
Aterosklerosis merupakan penyebab pada sebagian besar stroke trombolitik dan
embolus dari pembuluh besar atau jantung merupakan penyebab stroke embolik
(Price & Lorraine 2005).
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke
dapat lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi pendarahan
ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak (Price &
Lorraine 2006).
4. Klasifikasi (Utami P 2009)
Berdasarkan penyebab stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke
iskemik dan stroke hemoragik. Berikut penjelasan kedua jenis stroke tersebut.
a. Stroke Iskemik
Stroke iskemik terjadi pada sel-sel otak yang mengalami kekurangan
oksigen dan nutrisi yang disebabkan penyempitan atau penyumbatan pada
pembuluh darah. (aterosklerosis). Aterosklerosis terjadi akibat timbunan lemak
pada arteri yang menyebabkan luka pada dinding arteri. Luka ini akan
menimbulkan gumpalan darah (trombus) yang mempersempit arteri. Gumpalan
ini dapat terbawa aliran darah yang lebih kecil dan menyebabkan penyumbatan.
Berikut jenis stroke iskemik berdasarkan mekanisme penyebabnya.
(1) Stroke trombolitik merupakan jenis stroke yang disebabkan terbentuknya
trombus yang membuat penggumpalan.
(2) Stroke embolitik merupakan jenis stroke yang disebabkan tertutupnya
pembuluh arteri oleh bekuan darah
(3) Hipoperfusion sistemik merupakan jenis stroke yang disebabkan
berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya gangguan
denyut jantung.
b. Stroke Hemoragik

5
Stroke hemoragik adalah stroke pendarahan yang terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah di otak. Darah yang keluar dari pembuluh darah yang pecah
mengenai dan merusak sel-sel otak disekitarnya. Selain itu, sel otak akan
mengalami kematian karena aliran darah yang membawa oksigen dan nutrisi
terhenti. Menurut letaknya, stroke hemoragik dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
(1) Hemoragik intraserebral, yakni pendarahan terjadi di dalam jaringan otak.
(2) Hemoragik subaraknoid, yakni pendarahan terjadi di ruang subaraknoid
(ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi
otak).
5. Manifestasi Klinis (Dipiro et al 2015)
a. Pasien mengalami kelemahan pada satu sisi tubuh, ketidakmampuan
berbicara, kehilangan penglihataan, vertigo atau jatuh.
b. Stroke iskemik biasanya tidak menyakitkan, tapi sakit kepala dapat terjadi dan
lebih parah pada stroke hemoragik.
6. Penatalaksanaan
a. Terapi Farmakologi
Menurut pedoman American Heart Association/American Stroke
Association (AHA/ASA) terdapat dua terapi farmakologis untuk manajemen
stroke iskemik akut:
(1) IV jaringan plasminogen aktivator (alteplase) dalam waktu 3 jam onset; dan
(2) Aspirin dalam 48 jam onset.

Gambar 1. Rekomendasi Farmakoterapi Untuk Stroke Iskemik

6
1) Alteplase dimulai dalam 3 jam tdari onset gejala telah terbukti mengurangi
cacat akhir karena stroke iskemik. CT scan kepala harus diperoleh untuk
menyingkirkan perdarahan sebelum memulai terapi. Pasien juga harus
memenuhi kriteria inklusi spesifik dan tidak ada kriteria pengecualian.
Dosisnya 0,9 mg / kg (maksimum 90 mg) diinfus IV lebih dari 1 jam setelah
bolus 10% dari total dosis yang diberikan selama 1 menit. Antikoagulan dan
terapi antiplatelet harus dihindari selama 24 jam, dan pasien harus dipantau
secara ketat untuk perdarahan.

Gambar 2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penggunaan Alteplase

2) Aspirin 50 hingga 325 mg/hari dimulai antara 24 dan 48 jam setelah


selesainya alteplase juga telah terbukti mengurangi kematian dan kecacatan
jangka panjang. Pedoman AHA/ASA merekomendasikan terapi antiplatelet
sebagai landasan terapi antitrombotik untuk pencegahan sekunder stroke
iskemik dan harus digunakan pada stroke non cardioemboli. Aspirin,
clopidogrel, dan dipyridamole ditambah aspirin semuanya dianggap sebagai
agen antiplatelet lini pertama. Kombinasi aspirin dan clopidogrel hanya dapat
direkomendasikan pada pasien dengan stroke iskemik dan riwayat infark
miokard atau pemasangan stent koroner baru-baru ini dan kemudian hanya
dengan aspirin ultra-rendah untuk meminimalkan risiko perdarahan.

7
3) Warfarin adalah agen antitrombotik pilihan pertama untuk pencegahan
sekunder pada pasien dengan fibrilasi atrium dan sumber emboli jantung yang
diduga.
4) Peningkatan tekanan darah umum terjadi setelah stroke iskemik, dan
pengobatannya dikaitkan dengan penurunan risiko kekambuhan stroke. The
Joint National Comittee dan pedoman AHA/ASA merekomendasikan
suatu angiotensin-converting enzyme inhibitor dan diuretik untuk
pengurangan tekanan darah pada pasien dengan stroke atau TIA setelah
periode akut (7 hari pertama). Penghambat reseptor Angiotensin II juga telah
terbukti mengurangi risiko stroke dan harus dipertimbangkan pada pasien
yang tidak dapat mentoleransi angiotensin-converting enzyme inhibitor
setelah stroke iskemik akut.
5) The National Cholesterol Education Program menganggap stroke iskemik
atau TIA sebagai risiko koroner yang setara dan merekomendasikan
penggunaan statin pada pasien stroke iskemik untuk mencapai konsentrasi
kolesterol lipoprotein densitas rendah kurang dari 100 mg/dL.
b. Terapi Non Farmakologi
Pada stroke iskemik akut, intervensi bedah terbatas. Namun, dekompresi
bedah dapat menyelamatkan nyawa dalam kasus pembengkakan signifikan yang
terkait dengan infark serebral. Pendekatan interdisipliner untuk perawatan stroke
yang mencakup rehabilitasi dini sangat efektif dalam mengurangi cacat jangka
panjang. Dalam pencegahan sekunder, endarterektomi karotid efektif dalam
mengurangi insiden stroke dan kekambuhan pada pasien yang tepat. Stenting
karotis dapat efektif dalam mengurangi risiko stroke berulang pada pasien dengan
risiko tinggi komplikasi selama endarterektomi.

B. Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami
tekanan darah sistolik (SBP) ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik (DBP) ≥
90 mmHg. Pada pemeriksaan yang berulang (PERKI 2015).
2. Patofisiologi

8
Hipertensi mungkin akibat dari penyebab tertentu (hipertensi sekunder)
atau dari etiologi yang tidak diketahui (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi
sekunder (<10% kasus) biasanya disebabkan oleh penyakit kronis ginjal (CKD)
atau kondisi disease. Renovaskular adalah Cushing Syndrome, koarktasio aorta,
apnea tidur obstruktif, hiperparatiroidisme, pheochromocytoma, aldosteronisme
primer, dan hipertiroidisme. Beberapa obat yang dapat meningkatkan BP
termasuk kortikosteroid, estrogen, obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID),
amfetamin, sibutramine, cyclosporine, tacrolimus, erythropoietin, dan
venlafaxine.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi primer
meliputi:
a. Kelainan humoral melibatkan renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS),
hormon natriuretik, atau resistensi insulin dan hiperinsulinemia;
b. Gangguan di CNS, serabut saraf otonom, reseptor adrenergik atau
baroreseptor
c. Kelainan pada proses ginjal atau autoregulatory jaringan untuk ekskresi
natrium, volume plasma, dan arteriolar penyempitan;
d. Kekurangan dalam sintesis vasodilatasi zat dalam endotelium vaskular
(prostasiklin, bradikinin, dan oksida nitrat) atau zat berlebih vasoconstricting
(angiotensin II, endotelin I);
e. Asupan natrium tinggi atau kekurangan kalsium diet.
Penyebab utama kematian adalah kecelakaan serebrovaskular, kardiovaskular
(CV) peristiwa dan gagal ginjal (Dipiro et al 2015).
3. Etiologi (Depkes RI 2006)
a. Hipertensi Primer/essensial
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Hipertensi primer disebabkan karena faktor genetik.
b. Hipertensi Sekunder
Kurang dari 10% pasien merupakan penderita hipertensi sekunder yang
biasanya disebabkan karena penyakit lain atau efek samping obat.
4. Klasifikasi

9
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (usia > 18
tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah. Klasifikasi tekanan
darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik
(TDS) < 120 mmHg dan tekanan darah diastolic (TDD) <80 mmHg. Prehipertensi
tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien yang
tekanan darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan
dating. Ada dua tingkat hipertensi dan semua pasien pada kategori ini harus diberi
terapi obat.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Dewasa
Clasification Systolic (mmHg) Diastolic (mmHg)
Normal <120 <80
Prehypertension 120–139 80–89
Stage 1 hypertension 140–159 90–99
Stage 2 hypertension ≥160 ≥100

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh


tekanan darah yang sangat tinggi sehingga memungkinkan dapat menimbulkan
atau telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah
>120/80 mmHg, dikategorikan hipertensi emergensi tekanan darah meningkat
ekstrim disertai dengan kerusakan organ target akut yang bersifat progresif
sehingga tekanan darah harus diturunkan segera untuk mencegah kerusakan organ
target lebih lanjut.
Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai kerusakan
organ target yang progresif. Tekanan darah diturunkan dengan obat antihipertensi
oral kenilai tekanan darah pada tingkat 1 dalam waktu beberapa jam sampai
dengan beberapa hari (Depkes RI 2006).
5. Manifestasi Klinis
Nyeri kepala kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan
tekanan intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan retina, ayunan langkah
tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia (peningkatan urinasi pada
malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema
dependen akibat peningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak
dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi
sebagai paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplagia atau gangguan tajam

10
penglihatan. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah,
telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur dan mata berkunang-kunang
(Nuraini 2015).

6. Penatalaksanaan
Sebagian besar stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg. Penelitian di Indonesia di dapatkan kejadia hipertensi pada
pasien stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5-27,6% diantaranya mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg. Penurunan tekanan darah yang
tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena
kemunggkinan memperburuk keluaran neurologis. Pada sebagaian besar pasien,
tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan
serangan stroke. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan
sekitar 15% (sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan
apabila tekanan darah sistolik (TDS >220 mmHg atau tekanan darah diatrolik
(TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi
tromblolitik (rtPA), tekananan darah diturunkan hingga TDS <185 mmHg dan
TDD <110 mmHg. Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol,
nikardipin, diltiazem.
Pada pasien stroke pendarahan intraserebral akut, apabila TDS >200
mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah
diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intavena secara kontinyu
dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. Apabila TDS >180 mmHg atau
MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan
intrakranial, dilakukan pemantauan takanan intrakranial. Tekanan darah
diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau
intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral >60 mmHg.
Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala
dan tanda peningkatan intrakranial tekanan darah diturunkan secara hati-hati
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermiten
dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau
tekanan darah 160/90 mmHg. Pada pasien stroke pendarahan intraserebral dengan

11
TDS 150-220 mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140
mmHg cukup aman. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan
tekanan darah pada penderita stroke pendarahan intraserebral. Pemakaian obat
antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol, esmolol), penyekat
kanal bloker (nicardipin dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas.
Pada pendarahan subaraknoid (PSA) aneurisme, bersama pemantauan tekanan
perfusi serebral untuk serta pendarahan ulang. Calcium Chanal Blocker
(nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan penatalaksanaan PSA karena
dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila fasospasme serebral telah
terjadi. Pandangan akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait dengan
neuroprotektif dari nimodipin (PERDOSSI 2011).

Gambar 3. Alogaritma Terapi Hipertensi

C. Konstipasi
1. Definisi
Konstipasi adalah periode buang air besar (BAB) kurang dari 3 kali
seminggu untuk wanita dan 5 kali seminggu untuk laki-laki, atau periode lebih

12
dari 3 hari tanpa pergerakan usus, BAB yang dipaksakan lebih dari 25% dari
keseluruhan waktu dan atau 2 kali atau kurang BAB setiap minggu (ISO
Farmakoterapi).
2. Patofisiologi
a. Sembelit dapat bersifat primer (terjadi tanpa penyebab yang dapat
diidentifikasi) atau sekunder (hasil dari obat-obatan sembelit, faktor gaya
hidup, atau gangguan medis). Ini bukan penyakit tetapi gejala penyakit yang
mendasari atau masalah.
b. Konstipasi biasanya terjadi akibat diet rendah serat, asupan cairan yang tidak
memadai, penurunan aktivitas fisik, atau dari penggunaan obat sembelit
seperti opiat. Konstipasi kadang-kadang bisa berasal dari psikogenik.
c. Penyakit atau kondisi yang dapat menyebabkan konstipasi termasuk yang
berikut:
1) Gangguan gastrointestinal (GI): sindrom iritasi usus (IBS), diverticulitis,
penyakit saluran pencernaan atas dan bawah, wasir, fisura anus, proctitis
ulseratif, tumor, hernia, volvulus usus, sifilis, tuberkulosis,
limfogranuloma venereum, dan penyakit Hirschsprung
2) Gangguan metabolik dan endokrin: Diabetes mellitus dengan neuropati,
hipotiroidisme, panhypopituitarism, pheochromocytoma, hypercalcemia,
dan kelebihan glukagon enterik
3) Kehamilan
4) Gangguan jantung (Gagal jantung)
5) Konstipasi neurogenik: Trauma kepala, tumor CNS, cedera medulla
spinalis, kecelakaan serebrospinal, dan penyakit Parkinson
6) Penyebab psikogenik
Penyebab sembelit yang diinduksi obat yaitu analgetik, antikolinergik,
barium sulfat, calcium channel blockers, clonidine, diuretic dan lainnya. Semua
derivatif opiat berhubungan dengan konstipasi, tetapi tingkat efek penghambatan
usus berbeda di antara agen. Opiat oral yang diberikan memiliki efek
penghambatan yang lebih besar daripada yang diberikan secara parenteral; kodein
oral dikenal sebagai antimotilitas kuat.
3. Penatalaksanaan (Tjay & Rahardja 2015)

13
Obat pencahar digolongkan berdasarkan intensitas dari efeknya sesuai
dengan urutan daya kerjanya yang meningkat sebagai berikut: laksansia,
katarktika, purgativa dan drastika. Ketiga kelompok obat terakhir bekerja sangat
drastis dan sekarang sudah tidak digunakan lagi (obsoolet). Lebih tepat dan
rasional bila penggolongan obat pencahar didasarkan atas farmakologi dan sifat
kimiawinya :
a. Laksansia kontak (zat perangsang)
Derivate antrakinon (Rhei, Senna), derivate difenilmetan (bisakodil,
fenolftalein) dan minyak kastor. Zat-zat ini merangsang secara langsung dinding
usus dengan akibat peningkatan peristaltik dan pengeluaran isi usus dengan cepat.
Mekanisme kerjanya yang tepat tidak diketahui, walaupun terdapat perubahan
morfologi dari epitel dinding usus dan perubahan transport dari air dan elektrolit.
b. Laksansia osmotik
Magnesium sulfat/sitrat dan natrium sulfat, gliserol, manitol dan sorbitol,
laktulosa dan laktitol. Garam-garam anorganik dari ion-ion divalent, senyawa
polialkohol dan disakarida ini berkhasiat mencahar berdasarkan lambat
absorbsinya oleh usus, sehingga menarik air dari luar usus melalui dinding ke
dalam usus via proses osmosa. Tinja menjadi lebih lunak dan volumenya
diperbesar yang merupakan suatu rangsangan mekanis atas dinding usus.
Peristaltic diperkuat dengan mempermudah pengeluaran isi usus.
c. Zat-zat pembesar volume
Zat-zat lendir (agar-agar, metilselulosa, CMC) dan zat nabati psyllium dan
katul. Semua senyawa polisakarida ini sukar dipecah dalam usus dan tidak
diserap. Zat-zat ini berdaya menahan air sambil mengembang. Disamping itu pada
perombakan oleh kuman-kuman usus terbentuklah asam-asam organic dan gas-
gas, sedangkan massa bakteri juga meningkat, semua ini turut memperbesar
chymus. Dengan demikian khasiat mencaharnya berdasarkan rangsangan mekanis
dan kimiawi terhadap dinding usus ditambah dengan pelunakan tinja. Selama
penggunaan zat-zat ini penting sekali untuk minum banyak air.
d. Zat-zat pelicin dan emollientia (pelembut)
Natriumdocusat, natriumlauril-sulfo-asetat dan paraffin cair. Kedua zat
pertama memiliki aktivitas permukaan (detergensia) dan mempermudah defekasi

14
karena melunakkan tinja dengan peningkatan penetrasi air ke dalamnya. Paraffin
melicinkan penerusan tinja dan bekerja sebagai bahan pelumas.

BAB III
TINJAUAN KASUS
DAN
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kasus
1. Identitas Pasien
Nama pasien : Ny. DJ
No. RM : 00****
Tanggal lahir : 23-05-1963
Usia : 55 tahun
Berat badan : 68 kg
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jakarta Barat
Tanggal masuk : 17-12-2018
Pendidikan : SMA
Jenis kelamin : Perempuan
DPJP : dr. Budi
Riwayat alergi : Tidak ada
Ruang rawat : Tarempa
2. Data Subjektif Pasien
Tabel 2. Data Subjektif Pasien
Tanggal Subjek Pasien
17/12/18 Pasien muntah makanan lebih dari 3x, merasa pusing, mengeluh kaki
dan tangan kanan kesemutan
18/12/18 Pasien mengeluh kaki dan tangan sebelah kanan lemah, pusing, mual,
muntah, nafsu makan menurun
19/12/18 Pasien mengatakan lemah, bicara pelo, lemah pada sisi kanan, nafsu

15
makan menurun
20/12/18 Pasien mengeluh kelemahan sisi sebelah kanan, mulut mencong, bicara
pelo, pusing berputar saat perubahan posisi, px mengeluh belum BAB
4 hari dan BAK terasa sakit, darah (-), nanah (-), skala nyeri 3
21/12/18 Pasien mengeluh lemah sisi kanan, mulut mencong, bicara pelo(-),
pusing berputar saat perubahan posisi berkurang
22/12/18 Pasien mengeluh lemah pada kaki dan tangan kanan
23/12/18 Lemah tangan dan kaki sisi kanan

3. Data Objektif

Tabel 3. Tanda Vital Pasien


Pemerik Nilai 17/12 /1818/12 /1819/12 /1820/12 21/12 22/12 23/12 /18
saan Rujukan /18 /18 /18
TD 120/80 *170/ *170/ 90
*180/ *190 *150/ 90 *140/ 80 *140/ 80
100 100 /100
RR 15-20 20 20 20 21 20 20 20
Suhu 36,5-37,5 36,4 36,5 36 36,5 36 36 36,5
O2 95-99 98 98 98 99
Nadi 60-100 75 84 80 70 83 73 78
HR 60-100 70 83 98

Tabel 4. Data Laboratorium Pasien


Jenis pemeriksaan Nilai rujukan 17/12/18

HEMATOLOGI
Darah Rutin
Leukosit 5.000-10.000 7.900
Eritrosit 5.4 - 0.2 *4.84
Hemoglobin 14 – 16 14.5
Hematokrit 42 – 45 44
Trombosit 150.000 – 450.000 315.000
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu <200 134
Fungsi Ginjal
Ureum 17 – 43 19
Kreatinin 0.7 – 1.3 0.7

16
4. Data UGD
Tabel 5. Data UGD Pasien
Subjek Pasien muntah makanan lebih dari 3x, merasa pusing ,
mengeluh kaki dan tangan kanan kesemutan
Objek TD *170/100
RR 20
Suhu 36,4
O2 98
Nadi 75
Berat badan 68 kg
Skala nyeri 0
Assessment Diagnosa Awal : Vertigo
Diagnosa Kerja : Susp SNH, Vertigo
Diagnosa Banding : HT, Vertigo
Plan Citicolin inj 2 x 250 mg
Ondansentron inj 3 x 8 mg
Ranitidine inj 2 x 1
Simvastatin 1 x 20 mg
Betahistin 3 x 2 tab

5. Terapi Obat Pulang


Tabel 6. Terapi Obat Pulang
Nama Obat Dosis Regimen Terapi
Aspilet 80 mg 1x1
Citicolin 500 mg 2x1
Amlodipin 10 mg 1x1
Valsartan 160 mg 1x1
Simvastatin 20 mg 1x1

6. Terapi Obat Selama Perawatan


Tabel 7. Terapi Obat Selama Perawatan
Obat yang Rejimen 17/12 18/12 19/12 20/12 21/12 22/12 23/12
digunakan terapi /18 /18 /18 /18 /18 /18 /18
Inj citicoline 2x250 mg √ √ √ √ √ √ √
Inj Ondacentron 3x8 mg √ √ √ √ -
Inj Ranitidin 2x1 √ √ √ √ -
Amlodipin 1x10 mg √ √ √ √ √ √
Valsartan 1x160 mg √ √ √ √
Simvastatin 1x20 mg √ √ √ √ √ √ √

17
Betahistin 3x2 tab √ √ √ √ -
Aspilet 1x80 mg √ √ √ √ √ √
Diazepam 3x2 mg √ -
Gabapentin 3x100 mg √ -
Laxadin syr 3x1 √ √ √ √

Tabel 8. Khasiat Obat dan Dosis


Obat yang Rejimen Dosis Lazim Keterangan Indikasi
digunakan terapi
Inj citicoline 2x250 mg 500 mg-2000 mg Tepat dosis Neuroprotektor
per hari (Overgard
2014)
Inj 3x8 mg 8 mg tiap 12 jam Dosis berlebih Hiperemesis
ondancentron (DIH)
Inj ranitidin 2 x1 150 mg twice daily Tepat dosis Gastric ulcer
(DIH)
Amlodipin 1x10 mg 2,5-10 mg/hari Tepat dosis Antihipertensi
(DIH)
Valsartan 1x160 80 mg /160 mg/hariTepat dosis Antihipertensi
(DIH)
Simvastatin 1x20 mg 5-40 mg/hari (DIH)Tepat dosis Hiperlipidemia
Betahistin 3x2 tab 8-16 mg 3kali/hari Tepat dosis Vertigo
(DIH)
Aspilet 1x80 mg 75-325 mg 1x Tepat dosis Stroke
sehari (DIH)
Diazepam 3x2 mg 2-10 mg 2-4 Tepat dosis Terapi Spastisitas
times/day(DIH)
Gabapentin 3x100 mg 300-1800 mg/hari Tepat dosis Nyeri kronik
(DIH)
Laxadin syr 3x1 Obat pecahar

18
B. Pembahasan
1. Stroke
Tabel 9. SOAP Stroke
Subjek kelemahan sisi sebelah kanan, bicara pelo, mulut mencong,
bicara pelo, pusing berputar saat perubahan posisi
Objek TD *170/100
Assessment Stroke non hemoragik
Plan Citicolin inj 2x250 mg
Simvastatin 1x20 mg
Aspilet 1x80 mg
Diazepam 3x2 mg
Gabapentin 3x100 mg
Ondancentron 3x8 mg
Ranitidin 2x1
Betahistin 3x2tab

Pasien Ny.D berusia 55 tahun datang ke RSAL Dr.Mintohardjo pada


tanggal 17 Desember 2018 melalui ruang UGD jam 16:36 dengan diagnosa awal
vertigo dengan keluhan muntah makanan lebih dari 3x, merasa kesemutan pada
tangan kanan, merasa pusing, mengeluh kaki dan tangan kanan kesemutan.
Pemeriksaan menunjukkan TD 170/100, pernapasan 80 x/menit, nadi 75x/menit
dan suhu 36,4°C. Setelah pengkajian awal saat pasien masuk rumah sakit pasien
didiagnosa vertigo. Pada tanggal 19 Desember 2018 pasien didiagnosa stroke non
hemoragik dengan keluhan lemah, bicara pelo, lemah pada sisi kanan, nafsu
makan menurun. Keluhan tersebut merupakan tanda dan gejala dari stroke. Pasien
mengeluh lemah pada sisi kanan yang berarti himiparesis. Hemiparesis adalah
kelemahan pada sisi tubuh yang mempengaruhi sekitar 8 dari 10 penderita stroke.
Stroke non hemoragik yang berarti stroke iskemik terjadi karena adanya emboli
atau trombus.

Gambar 4. Kriteria Penggunaan Alteplase (Dipiro 2015)

19
Gambar 5. Rekomendasi untuk Farmakoterapi Stroke Iskemik (Dipiro 2015)
Pemilihan terapi utama pada pasien stroke iskemik yaitu alteplase.
Penggunaan alteplase harus memenuhi kriteria inklusi yang sudah ditetapkan
salah satunya yaitu saat waktu onset gejala kurang dari 4,5 jam sebelum
perawatan dimulai. Namun pasien tidak memenuhi kriteria yang ada salah satunya
yaitu onset gejala yang tidak jelas atau tidak diketahui. Sehingga untuk
pencegahan serangan kedua dapat diberikan aspirin. Pada kasus ini, pemberian
aspirin sudah tepat (Dipiro 2015).

Gambar 6. Penggunaan Citicolin Pada Pasien Stroke (Overgaard K 2014)


Penggunaan citicoline pada pasien stroke sebagai neuroprotektif.
Pemakaian obat neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang efekif, namun
sampai saat ini citicolin masih memberikan manfaat pada stroke akut (Overgaard
K 2014).

20
Gambar 7. Penggunaan Statin Pada Pasien Stroke (Dipiro 2015)
Terapi selanjutnya adalah simvastatin. Statin mengurangi risiko stroke
sekitar 30% pada pasien penyakit arteri koroner dan peningkatan lipid plasma.
Pasien stroke iskemik tanpa kolesterol, dengan terapi statin mencapai
pengurangan setidaknya 50% LDL untuk pencegahan stroke sekunder (Dipiro
2015).

Gambar 8. Penggunaan Gabapentin Pada Pasien Stroke (PERDOSSI 2011)

21
Gambar 9. Penggunaan Diazepam Pada Pasien Stroke (PERDOSSI 2011)

Pasien diberikan diazepam yang digunakan dalam terapi spastisitas dan


gabapentin untuk mengatasi nyeri neuropatik pasca stroke (PERDOSSI 2011).
Data subjektif pasien pada tanggal 20/12 yaitu skala nyeri 3. Nyeri sentral pasca
stroke merupakan nyeri neuropatik sentral yang terjadi pada pasien yang terkena
stroke, disebabkan oleh lesi atau disfungsi dalam sisitem saraf pusat (Hansen A P
et al 2012).
Pasien diberikan betahistin, ranitidin dan ondansentron pada tanggal
17/12. Vertigo merupakan manifestasi klinis dari stroke (Dipiro 2015). Pasien
mengalami vertigo vestibular perifer yaitu timbulnya setelah perubahan posisi dan
bisa disertai rasa mual/muntah (Surtani dkk 2018). Betahistin diberikan untuk
mengatasi vertigo karena dilihat dari data subjektif, pasien mengalami pusing
berputar saat perubahan posisi. Pusing berputar saat perubahan posisi merupakan
gejala umum dari vertigo. Penggunaan ranitidin dan ondancentron untuk
mengatasi mual dan muntah yang dialami pasien. Penggunaan betahistin
dihentikan pada tanggal 21/12 karena keluhan sudah berkurang. Penggunaan
ranitidin dan ondansentron dihentikan pada tanggal 21/12 karena keluhan sudah
hilang.

2. Hipertensi
Tabel 10. SOAP Hipertensi
Subjek Pusing, mual, muntah
Objek TD *170/100
Assessment Hipertensi
Plan Amlodipin 1x10 mg
Valsartan 1x160 mg

22
Gambar 10. Terapi Hipertensi Pasien Penyakit Serebrovaskular (JNC 7)

Pada kasus ini, pasien memiliki tekanan darah tinggi. JNC 7


mengidentifikasi 6 identifikasi khusus salah satunya adalah penyakit
serebrovaskular. Indikasi khusus mewakili kondisi komorbid khusus dimana bukti
dari trial klinis mendukung penggunaan antihipertensi tertentu baik untuk
mengobati baik indikasi khusus dan hipertensinya. Pada Gambar 4. dijelaskan
kambuhnya stroke berkurang dengan penggunaan kombinasi ACEI dan diuretik
tiazid.

23
Gambar 11. Alogaritma Terapi Hipertensi

Menurut JNC 8 untuk pasien tekanan darah tinggi tanpa diabetes mellitus
dan CKD, usia dibawah 60 tahun diberikan tiazid, ACE, ARB atau CCB
digunakan tunggal/kombinasi untuk kategori non black dan penggunaan tiazid
atau CCB secara tunggal atau kombinasi untuk kategori black. Kasus ini, pasien
diberikan obat golongan CCB yaitu amlodipine pada tanggal 18/12 namun
tekanan darah terus meningkat. Pada tanggal 18/12 tekanan darah pasien 170/90
mmHg dan pada tanggal 20/12 mencapai 190/100 mmHg. Dari hasil pemeriksaan
tekanan darah yang terus meningkat, pada tanggal 20/12, pasien diberikan terapi
antihipertensi tambahan yaitu golongan ARB (valsartan). Penggunaannya sudah
tepat menurut JNC 8, dapat dilihat pada hasil pemeriksaan tekanan darah pasien
yang semakin membaik.

24
3. Konstipasi
Tabel 11. SOAP Konstipasi
Subjek belum BAB 4 hari
Objek -
Assessment Konstipasi
Plan Laxadin syr 3x1

Pada tanggal 20/12 pasien mengeluh belum BAB 4 hari dan diberikan
laxadin syr yang berisi fenolftalein, paraffin liq dan glycerin. Fenolftalein
merupakan golongan laksansia kontak yaitu bekerja merangsang secara langsung
dinding usus dengan akibat peningkatan peristaltik dan pengeluaran isi usus
dengan cepat. Gliserin merupakan golongan laksansia osmotik yaitu bekerja
menarik air dari luar usus melalui dinding ke dalam usus via proses osmosa
sehingga tinja menjadi lebih lunak dan volumenya diperbesar yang merupakan
suatu rangsangan mekanis atas dinding usus. Paraffin cair merupakan golongan
zat pelicin dan emolien. Paraffin melicinkan penerusan tinja dan bekerja sebagai
bahan pelumas (Tjay&Rahardja 2015).

Tabel 12. Drug Related Problem


DRP (Drug Related
Ya Tidak Keterangan
Problem)
Ada Indikasi, Tidak ada terapi - √ -
Obat tanpa indikasi - √ -
Obat tidak tepat - √
Dosis berlebih √ - Ondansentron
Dosis kurang - √ -
Tidak menggunakan obat - - -
(kepatuhan, ekonomi)
Ada efek samping dan alergi - √ -
Interaksi obat - Amlodipin-

Simvastatin

25
Menurut DIH dosis ondansentron untuk terapi hiperemesis yaitu 8 mg tiap
12 jam. Namun pada kasus ini, pasien diberikan 3x8 mg yang berarti dosis
berlebih. Interaksi obat yang terjadi yaitu amlodipin dan simvastatin dengan level
signifikansi mayor.

Tabel 13. Interaksi Obat


Interaksi Mekanisme Interaksi Rekomendasi
Amlodipin- Penggunaan amlodipin dan Dosis simvastatin tidak boleh
Simvastatin simvastatin meningkatkan lebih dari 20 mg setiap hari
(Level konsentrasi plasma dari simvastatin bila digunakan bersama
Signifikansi sehingga meningkatkan risiko amlodipin
Mayor) terjadinya efek samping dari
simvastatin yaitu myopati dan
rhabdomyilisis

Interaksi yang terjadi yaitu penggunaan amlodipin dan simvastatin


meningkatkan plasma konsentrasi dari simvastatin sehingga meningkatkan risiko
terjadinya efek samping dari simvastatin yaitu myopati dan rhabdomyolisis.
Penggunaan simvastatin tidak boleh lebih dari 20 mg setiap hari bila digunakan
bersama dengan amlodipin.

BAB V

26
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengkajian dan analisa pemantauan terapi obat yang
dilakukan pada pasien Ny. DJ di ruang rawat inap Pulau Tarempa, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pasien Ny. DJ didiagnosa stroke non hemoragik
2. Dari hasil pemantauan terapi obat terhadap Ny.DJ dapat dikatakan sudah
cukup efektif dan maksimal karena pengobatan yang diberikan sudah sesuai
dengan indikasi dan regimen. Hal ini dapat dilihat dari keluhan pasien juga
berkurang dan mengalami perbaikan
3. Adanya drug related problem yaitu adanya dosis yang berlebih dan interaksi
obat
B. Saran
Berdasarkan hasil pengkajian dan analisa pemantauan terapi obat yang
dilakukan pada pasien Ny. DJ di ruang rawat inap Pulau Tarempa, dapat
disarankan agar:
1. Dilakukan pemeriksaan laboratorium kembali setelah pasien mendapatkan
terapi obat untuk mengetahui efektivitas dari pengobatan yang diperoleh
pasien selama perawatan
2. Dosis simvastatin tidak boleh lebih dari 20 mg setiap hari bila digunakan
bersama amlodipin
3. Monitoring tekanan darah
4. Pada penentuan terapi obat sebaiknya apoteker dilibatkan dan diikutsertakan
agar pasien mendapatkan obat yang tepat dan dapat menghindari terjadinya
DRP
5. Memberikan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada pasien dan
keluarga pasien terkait penyakit dan pengobatan yang diberikan

DAFTAR PUSTAKA

27
Aberg J, Lacy C.F. 2012. Drug Information Handbook, 20th edition. Lexi-Comp.
Ohio

Adnyana I K dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT. ISFI

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit


Hipertensi. Departemen Kesehatan RI

Dipiro et al. 2015. Pharmacotheraphy Handbook Ed 9 th.

Hanum P dkk. 2018. Hubungan Karakteristik dan Dukungan Keluarga Lansia


dengan Kejadian Stroke pada Lansia Hipertensi di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan. Vol 3 (1) ; 72-73

Kristiyawati S P dkk. 2009. Faktor Risiko yang Berhubngan dengan Kejadian


Stroke di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang. Vol 1 (1) ; 2

Kurniasih dkk. 2017. Pemantauan Terapi Obat pada Pasien Hipertensi di


Bangsal Flamboyan Rumah Sakit Tk.II dr. AK Gani Palembang Periode 1
Maret-26 April 2017. Vol 2 (1) ; 83

Medscape. http://www.medscape.com

Nuraini B. 2015. Risk Factors of Hypertension. Vol 4 (5) : 14

Overgaard K. 2014. The Effect of Citicolin on Acute Ischemic Stroke: A Review.


National Stroke Association. Vol 23 (7)

PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Jakarta : PERDOSSI. Hlm. 42-45

Pinzon & Asanti. 2010. Awas Stroke! Pengertian, Gejala, Tindakan, Perawatan
& Pencegahan. Yogyakarta : CV. Andi Offset. Hlm. 7

Riyadina W & Rahajeng E. 2013. Determinan Penyakit Stroke. Vol 7 (7) ; 324

Santoso dkk. 2008. Hubungan Antara Penyakit Hipertensi dengan Stroke pada
Pasien Rawat di RSUD Koja Periode 2004-2008.. Vol 15 (39)

Surtani dkk 2018. Vertigo. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hlm. 27

28
Tarigan dkk. 2018. Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Dukungan Keluarga
Terhadap Diet Hipertensi di Desa Hulu Kecamatan Pancur Batu Tahun
2016. Vol 11 (1) ; 10

Tjay & Rahardja. 2015. Obat-Obat Penting. Jakarta : PT Elex Media


Komputindo. Hlm. 308

Utami P. 2009. Solusi Sehat Mengatasi Stroke. Tangerang : PT. ArgoMedia


Pustaka. Hlm. 2-12

Yadanta PM. 2018. Hubungan Rasio Neutrofil: Limfosit dengan Derajat Klinis
pada Penderita Stroke Iskemik di RSUD dr. Soedono Madiun. FK UII,
Yogyakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai