Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PEMANTAUAN TERAPI OBAT DI

RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO


PERIODE 04 DESEMBER 2018 - 31 JANUARI 2019

DISUSUN OLEH:

Syifa Khairunnisa, S.Farm 1804026109

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN TUGAS KHUSUS PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)
PASIEN STROKE DAN DIABETES MELLITUS RUMAH SAKIT TNI AL
Dr. MINTOHARDJO

PERIODE 04 DESEMBER 2018 - 31 JANUARI 2019

Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna


memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA

Disetujui Oleh :

Pembimbing Lapangan

KATA
PENGANTAR

Nishpi Amallia, S.Farm., Apt.

2
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah
SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas
Pemantau Terapi Obat ini tepat pada waktunya. Penulisan tugas
Pemantauan Terapi Obat ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas pada saat
melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di RS TNI AL Dr.
Mintohardjo periode 04 Desember 2018 – 31 Januari 2019.
Praktek Kerja Profesi Apoteker ini merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. DR.
HAMKA (UHAMKA).
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan pemantauan terapi obat ini
tidak lepas dari bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar –
besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Hadi Sunaryo, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas
Farmasi dan Sains UHAMKA, Jakarta.
2. Ibu Ani Pahriyani, M. Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker FFS UHAMKA.
3. Ibu Nishpi Amallia, S.Farm., Apt., selaku pembimbing lapangan yang
telah membimbing kami selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi
Apoteker hingga terselesainya laporan ini.
4. Bapak Zainul Islam, M.Farm., Apt selaku pembimbing PKPA Rumah
Sakit di Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.
5. Seluruh staf dan pegawai di Departemen Farmasi Rumah Sakit TNI AL
Dr. Mintohardjo yang telah memberikan pengarahan dan bantuan
selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
6. Seluruh Perawat di ruangan rawat inap serta seluruh staff/ pegawai
administrasi medis
7. Rekan – rekan mahasiswa program profesi apoteker UHAMKA atas
segala bantuan yang telah diberikan
8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan laporan
ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini tidak luput dari kekurangan. Oleh
karena itu, penulis menerima segala bentuk kritik dan saran yang dapat
membangun dari pihak yang membaca. Penulis berharap agar laporan PKPA ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Jakarta, Januari 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
C. Manfaat 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
A. Stroke 3
1. Definisi Stroke 3
2. Etiologi Stroke 3
3. Manifestasi Klinis 4
4. Patofisiologi 4
5. Alogaritma Pengobatan 6
6. Kriteria Penggunaan Alteplase 7
B. Diabetes Melitus 9
1. Definisi 9
2. Etiologi 9
3. Klasifikasi 10
4. Patofisiologi 11
5. Manifestasi Klinis 13
6. Alogaritma Pengobatan 14
BAB III TINJAUAN KASUS & PEMBAHASAN 15
A. Tinjauan Kasus 15
1. Identitas Pasien 15
2. Data Subject 15
3. Data Object 16
4. Data UGD 17
5. Obat Yang Digunakan 17
6. Dosis Lazim 18
B. Pembahasan 18
1. Stroke Non Hemorragic (SNH) 18
2. Diabetes Melitus 21
3. Drug Related Problem 24
BAB IV PENUTUP 26
A. Kesimpulan 26
B. Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 27

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stroke melibatkan onset mendadak defisit neurologis lokal yang berlangsung
setidaknya 24 jam dan dianggap berasal dari pembuluh darah. Stroke dapat berupa
iskemik atau hemoragik. Serangan iskemik transien adalah defisit neurologis
iskemik fokal yang berlangsung kurang lama dari 24 jam dan biasanya kurang
dari 30 menit. (Wells et.al, 2015)
Berdasarkan data WHO (2010), setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di
seluruh dunia menderita stroke. Diantaranya ditemukan jumlah kematian
sebanyak 5 juta orang dan 5 juta orang lainnya mengalami kecacatan yang
permanen. Penyakit stroke telah menjadi masalah kesehatan yang menjadi
penyebab utama kecacatan pada usia dewasa dan merupakan salah satu penyebab
terbanyak di dunia (Xu, dkk, 2010). Di Indonesia sepanjang tahun 2002 kematian
akibat stroke sudah mencapai 123.684 jiwa (WHO,2010)
Stroke merupakan masalah medis yang menjadi penyebab kesakitan dan
kematian nomor 2 di Eropa serta nomor 3 di Amerika Serikat. Menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per 1000 penduduk dan yang
terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per 1000 penduduk.
Sedangkan Kalimantan Selatan berada pada urutan kelima dengan prevalensi 9,2
per seribu penduduk. Permasalahan yang ditimbulkan pada penyakit stroke dari
segi kesehatan, ekonomi, maupun sosial dan membutuhkan penanganan yang
komprehensif, termasuk dalam upaya pemulihan paska stroke serta penyebab
utama kecacatan (Sartika 2016)
Peningkatan angka stroke di Indonesia diperkirakan berkaitan dengan
peningkatan angka kejadian faktor risiko stroke. Faktor yang ditemukan beresiko
terhadap stroke adalah diabetes melitus, gangguan kesehatan mental, hipertensi,
merokok, dan obesitas abnormal. Data Kementerian Kesehatan RI (2008)
memperlihatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomor satu pada
pasien yang dirawat di Rumah Sakit.

5
Prevalensi penyakit DM di Indonesia, berdasarkan diagnosis DM oleh tenaga
kesehatan mencapai 63,6 %, lebih tinggi dibandingkan cakupan penyakit asma
maupun jantung (Riskesdas,2007). Prevalensi DM yang paling banyak dijumpai
adalah DM tipe 2 yang seringkali tidak dapat dirasakan gejalanya pada stadium
awal dan sulit terdiagnosis sehingga terjadi bermacam-macam komplikasi dari
penyakit ini. Hiperglikemia kronik pada DM tipe 2 selalu diikuti komplikasi
penyempitan vaskular di seluruh tubuh dengan kegagalan fungsi berbagai organ
tubuh diantaranya kerusakan otak, mata, jantung, ginjal dan gangren
(Darmono,2007).
Hiperglikemik kronik pada DM berkontribusi terhadap munculnya berbagai
komplikasi, kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan berbagai organ
seperti mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Penderita diabetes
dibandingkan dengan non-diabetes memiliki kecenderungan 2 kali lebih mudah
mengalami trombosis serebral, 25 kali menjadi buta, 2 kali terjadi penyakit
jantung koroner, 17 kali terjadi gagal ginjal kronik, dan 50 kali terjadi ulkus
diabetika.

B. Tujuan
Untuk memastikan pasien menggunakan obat yang rasional, aman dan efektif.

C. Manfaat
Pasien mendapatkan terapi yang rasional, aman dan efektif.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stroke
1. Definisi Stroke
Stroke adalah cedera vascular akut pada otak yang bersifat mendadak atau tiba-
tiba. Cedera dapat disebabkan oleh sumbatan pembuluh darah, penyempitan
pembuluh darah atau pecahnya pembuluh darah. Semua ini menyebabkan
kurangnya pasokan darah yang memadai ke otak. Stroke mungkin menampakkan
gejala, mungkin tidak (silent stroke), tergantung tempat dan ukuran kerusakan
(Feigen, 2006). Stroke merupakan penyebab cacat nomor satu dan penyebab
kematian nomor dua di dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang
mendunia dan semakin penting, dengan dua pertiga stroke terjadi di negara yang
sedang berkembang (Feigin, 2006).

2. Etiologi Stroke
Menurut Muttaqin (2008) penyebab stroke yaitu :
a. Trombosis Cerebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti
di sekitarnya. Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau
bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan
penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan
gejala neurologis memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan thrombosis
otak yaitu :
1) Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan suatu proses dimana terdapat suatu penebalan dan
pengerasan arteri besar dan menengah seperti koronaria, basilar, aorta dan arteri
iliaka (Ruhyanudin, 2007).
2) Hyperkoagulasi pada pilysitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas/ hematokrit meningkat dapat
melambatkan aliran darah serebral.

7
3) Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan
darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung
yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral.
b. Hemoragik
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang
subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi
karena atherosklerosis dan hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak
menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak yang dapat
mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang
berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga
terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi otak.
c. Hipoksia Umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah
Hipertensi yang parah, Cardiac Pulmonary Arrest, Cardiac output turun akibat
aritmia.
d. Hipoksia Setempat
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah
Spasme arteri serebral yang disertai perdarahan subarachnoid, Vasokontriksi arteri
otak disertai sakit kepala migraine.
3. Manifestasi Klinis
a. Stroke iskemik biasanya tidak menyakitkan tetapi sakit kepala dapat terjadi
pada stroke hemoragik
b. Gejala nya meliputi kelemahan unilateral, ketidak mampuan untuk berbicara,
kehilangan pengelihatan, vertigo atau terjatuh, diplopia dan tingkat kesadaran
yang berubah (Wells et.al, 2015).
4. Patofisiologi Stroke
Infark serbral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lmbat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli, perdarahan dan spasme

8
vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan
jantung). Atherosklerotik sering/ cenderung sebagai faktor penting terhadap otak,
thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan; iskemia jaringan otak yang
disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti
disekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada
area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-
kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema pasien mulai
menunjukan perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak
terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus
menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septik infeksi
akan meluas pada dinding pembukluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan
perdarahan cerebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan
hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan
menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit cerebro vaskuler,
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intracranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nukleus kaudatus, talamus dan pons. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat
berkembang anoksia cerebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia serebral dapat
reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila anoksia lebih
dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang
bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak
akan mengakibatkan peningian tekanan intrakranial dan mentebabkan

9
menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak. Elemen-
elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya
tekanan perfusi, menyebabkan neuron- neuron di daerah yang terkena darah dan
sekitarnya tertekan lagi.
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih
dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 %
pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebelar dengan
volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 % tetapi
volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal. (Muttaqin 2008).

5. Alogaritma Terapi Stroke


Gejala & Tanda
Stroke

CT Scan Kepala

Stroke Iskemik Stroke Hemoragik

Terapi Fibrinolitik? Konsultase


(Kriteria Neurologis
Penggunaan
Alteplase)
Tindakan
Alteplase selama 1 Aspirin 50-325mg
jam

Tindakan

Bagan 1. Alogaritma Terapi Stroke (Wells et.al, 2015)

10
Stroke Iskemik

Gejala Awal Selama 3 Jam Gejala Awal Lebih


Dari 3 Jam

Memenuhi Kriteria Berikan 325mg


Terapi Trombolitik
selama 24-48 jam

YA TIDAK Berikan Perawatan


Pendukung dan
Menjaga Tekanan Pencegaha yang
Darah<180/119 Berikan 325mg Tepat
mmHg selama 24-48 jam

Memulai tPA Berikan Perawatan Rencana


sesuai protokol Pendukung dan Pemulihan
NIH Pencegaha yang
Tepat
Dimulai dengan
Terapi Antiplatelet Rencana Pemulihan
24-48 jam setelah
tPA

Bagan 2. Alogaritma Terapi Stroke Iskemik (Wells et.al, 2015)

6. Kriteria Penggunaan Alteplase

Tabel 1. Kriteria “No” Penggunaan Alteplase (Wells et.al, 2015)


Semua kriteria “No” harus terpenuhi
NO
Ada pendarahan intrakranial dari hasil CT Scan
Gejala stroke yang timbul tidak signifikan
Terlihat ada pendarahan subaraknoid bahkan dengan CT scan normal

Ada pendarahan internal (pendarahan GI/GU selama 21 hari)


Diathesis pendarahan, jumlah platelet < 100.000/mm3
Pasien telah menerima heparin dalam waktu 48 jam
Baru menggunakan antikoagulan (warfarin) dan peningkatan Protombin
Time (>15 detik)/INR
Pembedahan intrakranial, trauma kepala serius, mengalami stroke 3 bulan
yang lalu
Pembedahan besar atau trauma serius selama 14 hari

Baru-baru ini menerima suntikan arteri pada bagian yang tidak kompresible
Menerima suntikan pada tulang belakang dalam waktu 7 hari

11
Riwayat Intrakranial hemoragik, malformasi pembuluh darah artteri atau
aneurysm
Terdapat Seizure pada gejala awal stroke
Baru-baru ini mengalami infraksi miokardium akut
TDS > 185 mmHg atau TDD > 110 mmHg pada saat terapi
Kriteria tambahan pada 3-4,5 jam onset gejala
Umur lebih dari 80 tahun
Sedang menjalani terapi antikoagulan oral
Riwayat penyakit stroke dan diabetes

Tabel 2. Kriteria “YES” Penggunaan Alteplase (Wells et.al, 2015)


Semua kriteria “Yes” harus terpenuhi

YES

Umur diatas 18 tahun


Hasil diagnosa klinis menyatakan stroke
iskemik mengakibatkan defisit
neurologis yang terukur
Waktu onset gejala kurang dari 4,5 jam
sebelum terapi dimulai

B. Diabetes Melitus
1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit kronis yang

12
membutuhkan perawatan medis berkelanjutan pada pasien sehingga dibutuhkan
pengelolaan diri, pendidikan dan dukungan untuk mencegah komplikasi akut dan
untuk mengurangi risiko komplikasi jangka panjang (ADA 2012). Diabetes
melitus (DM) adalah suatu gangguan metabolisme yang ditandai oleh
hiperglikemia maupun abnormalitas dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein. Hal tersebut dapat terjadi karena penurunan sekresi insulin, penurunan
sensitivitas insulin dan keduanya (Dipiro et al. 2009).
2. Etiologi
Menurut Kwinahyu (2011) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
diabetes melitus, yaitu :
a. Pola Makan
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan
oleh tubuh dapat memacu timbulnya diabetes melitus. Hal ini disebabkan
jumlah/kadar insulin oleh sel β pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk
disekresikan. Oleh karena itu, mengonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak
diimbangi oleh sekresi insulin dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar
gula dalam darah meningkat dan meyebabkan diabetes melitus.
b. Obesitas
Orang yang gemuk dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai
kecenderungan yang lebih besar untuk terserang diabetes melitus dibanding
dengan orang yang tidak gemuk.
c. Faktor genetik
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab diabetes melitus orang tua.
Biasanya, seseorang yang menderita diabetes melitus mempunyai anggota
keluarga yang juga terkena. Jika kedua orang tua menderita diabetes, insiden
diabetes pada anak-anaknya meningkat, tergantung pada umur berapa orang tua
menderita diabetes. Risiko terbesar bagi anak-anak terserang diabetes terjadi jika
salah satu atau kedua orang tua mengalami penyakit ini sebelum berumur 40
tahun. Riwayat keluarga pada kakek dan nenek kurang berpengaruh secara
signifikan terhadap cucunya.
d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan

13
Bahan kimia tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang
pankreas. Peradangan pada pankreas dapat menyebabkan pankreas tidak berfungsi
secara optimal dalam mensekresikan hormon yang diperlukan unuk metabolisme
dalam tubuh, termasuk hormon insulin.
e. Penyakit dan infeksi pada pankreas
Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas sehingga
menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel β pada pankreas tidak
bekerja optimal dalam mensekresi insulin. Beberapa penyakit tertentu, seperti
kolesterol tinggi dan dislipidemia dapat meningkatkan risiko terkena diabetes
melitus.
3. Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2011, klasifikasi
Diabetes Melitus adalah sbb:
a. Diabetes Melitus tipe 1
DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes “Juvenile onset” atau “Insulin
dependent” atau “Ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian
dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah “juvenile onset” sendiri
diberikan karena onset DM tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan
memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30
atau menjelang 40.
Karakteristik dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat
rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal
berespons terhadap stimulus yang semestinya meningkatkan sekresi insulin. DM
tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai penyakit autoimun. Kelainan autoimun
ini diduga ada kaitannya dengan agen infeksius/lingkungan, di mana sistem imun
pada orang dengan kecenderungan genetik tertentu, menyerang molekul sel beta
pankreas yang ‘menyerupai’ protein virus sehingga terjadi destruksi sel beta dan
defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan memicu serangan terhadap
sel beta, antara lain virus (mumps, rubella, coxsackie), toksin kimia, sitotoksin,
dan konsumsi susu sapi pada masa bayi..
b. Diabetes Melitus tipe 2

14
Diabetes mellitus tipe II disebabkan oleh faktor keturunan dan juga gaya hidup
yang kurang sehat. Hampir seluruh penderita diabetes menderita tipe kedua ini.
Meskipun mengenai dihampir semua penderita diabetes, gejalanya sangatlah
lambat. Sehingga perkembangan penyakit ini membutuhkan waktu bertahun-
tahun. Kerja insulin di dalam tubuh tidak lagi efektif meskipun tidak perlu ada
suntikan insulin dari luar untuk membantu menjalani hidupnya. Tidak seperti pada
DM tipe 1, DM tipe 2 tidak memiliki hubungan dengan aktivitas HLA, virus atau
autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel beta yang masih berfungsi
(walau terkadang memerlukan insulin eksogen tetapi tidak bergantung seumur
hidup). DM tipe 2  ini bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama resistensi insulin.
Pada DM tipe 2 resistensi insulin terjadi pada otot, lemak dan hati serta
terdapat respons yang inadekuat pada sel beta pankreas. Terjadi peningkatan kadar
asam lemak bebas di plasma, penurunan transpor glukosa di otot, peningkatan
produksi glukosa hati dan peningkatan lipolisis. Efek yang terjadi pada DM tipe 2
disebabkan oleh gaya hidup  yang diabetogenik (asupan kalori  yang berlebihan,
aktivitas fisik yang rendah, obesitas) ditambah kecenderungan secara genetik. 
Nilai BMI yang dapat memicu terjadinya DM tipe 2 adalah berbeda-beda untuk
setiap ras.
c. Diabetes Kehamilan/gestasional
Diabetes kehamilan didefinisikan sebagai intoleransi glukosa dengan onset
pada waktu kehamilan. Diabetes jenis ini merupakan komplikasi pada sekitar 1-
14% kehamilan. Biasanya toleransi glukosa akan kembali normal pada trimester
ketiga.
4. Patofisiologi
Seperti suatu mesin, tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan
mengganti sel  yang rusak. Disamping itu juga memerlukan energi supaya sel
tubuh dapat berfungsi dengan baik. Energi sebagai bahan bakar itu berasal dari
bahan makanan yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak. Di dalam saluran
pencernaan makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat
menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak.

15
Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk kedalam
pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh untuk dipergunakan oleh organ-organ
didalam tubuh sebagai bahan bakar.  Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar,
zat makanan itu harus masuk dulu kedalam sel supaya dapat diolah.
Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang
rumit, yan hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut
metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin (suatu zat/ hormon yang
dikeluarkan oleh sel beta pankreas) memegang peranan yang sangat penting yaitu
bertugas memasukan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya digunakan sebagai
bahan bakar. Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta dalam pulau-pulau
Langerhans (kumpulan sel yang berbentuk pulau di dalam pankreas dengan
jumlah ± 100.000) yang jumlahnya sekitar 100 sel beta tadi dapat diibaratkan
sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel,
untuk kemudian dimetabolisir menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka
glukosa tidak dapat masuk sel dan akibatnya glukosa akan tetap berada didalam
pembuluh darah, yang artinya kadarnya didalam darah meningkat. Dalam keadaan
seperti ini tubuh akan menjadi lemas karena tidak ada sumber energi di dalam sel.
Inilah yang terjadi pada DM tipe 1. Tidak adanya insulin pada DM tipe 1 karena
pada jenis ini timbul reaksi otoimun yang disebabkan karena adanya peradangan
pada sel beta (insulitis). Insulitis bisa disebabkan karena macam-macam
diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubela, CMV, herpes, dan lain-lain.
Kerusakan sel beta tersebut dapat terjadi sejak kecil ataupun setelah dewasa
(Suyono, 1999).
Sedangkan pada DM tipe2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih
banyak. Tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang
kurang. Reseptor ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk kedalam
sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang  kurang, hingga meskipun
anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang,
maka glukosa yang masuk sel akan sedikit sehingga sel akan kekurangan bahan
bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah akan meningkat. Dengan
demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaanya adalah pada DM

16
tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi atau normal.
Keadaan ini disebut resistensi insulin (Suyono, 1999).
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi
faktor-faktor di bawah ini banyak berperan, antara lain:
a. besitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
b. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c. Kurang gerak badan
d. Faktor keturunan (herediter)
Baik pada DM tipe 1 maupun pada DM tipe 2 kadar glukosa darah jelas
meningkat dan bila kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu akan
keluar melalui urin. Mungkin inilah sebabnya penyakit ini disebut juga penyakit
kencing manis (Suyono, 1999).
5. Manifestasi Klinis
a. Diabetes Melitus Tipe 1
1) Gejala awal yang paling umum adalah poliuria, polidipsia, polifagia,
penurunan berat badan, dan lesu disertai dengan hiperglikemi
2) Mengalami ketoasidosis diabetik jika insulin di tahan atau dalam kondisi
stres berat
3) Antara 20% dan 40% pasien datang dengan ketoasidosis diabetikum setelah
beberapa hari poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan.
b. Diabetes Melitus Tipe 2
1) Kelesuan, poliuria, nokturia, dan polidipsia dapat terjadi
2) Penurunan berat badan yang signifikan lebih jarang terjadi; lebih sering,
pasien kelebihan berat badan atau obesitas (Wells et.al, 2015).

6. Alogaritma Pengobatan

17
Gambar 1. Alogaritma Pengobatan Diabetes Melitus (Alan et.al, 2018)

Gambar 2. Penggunaan Insulin (Alan et.al, 2018)

BAB III

18
TINJAUAN KASUS & PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kasus
1. Identitas Pasien
a. Nama pasien : Tn. J
b. No. RM : 00****
c. Tanggal lahir : 11-10-1965
d. Usia : 52 tahun
e. Pekerjaan : TNI AL
f. Agama : Protestan
g. Status : Menikah
h. Alamat : Telaga Mas Bekasi
i. Tanggal masuk : 8-12-2018
j. Tanggal pulang : 14-12-2014
k. Pendidikan : SMA
l. Jenis kelamin : Laki-laki
m. Ruang rawat : Sangeang
n. Riwayat P. Sekarang : Pasien datang dengan keluhan bicara pelo sejak
tadi pagi disertai dengan kesemutan sisi tubuh kanan mendadak. Pasien
mengeluh nyeri kepala bagian belakang sejak 1 hari SMRS, mual dan muntah
(-), BAK dan BAB tidak ada gangguan, riwayat stroke (-), DM (+), hipertensi
tidak dalam pengobatan rutin
o. Riwayat P. Terdahulu : DM (+), hipertensi (+) konsumsi amlodipine 5 mg
p. Riwayat keluarga : Hipertensi (+)
q. Riwayat sosial : Baik
r. Diagnosa : SNH dan hiperglikemi

2. Data Subject

Tabel 3. Data Subject Pasien

Tanggal Subjek Pasien


8/12/2018 Bicara pelo, kesemutan sisi kanan tubuh, nyeri kepala
bagian belakang
9/12/2018 Sulit bicara, lemah bagian kiri tubuh, lemas
10/12/2018 Lemas, bicara sulit, kaki dan tangan sulit digerakan
11/12/2018 Bicara pelo, sisi tubuh bagian kanan lemah
12/12/2018 Bicara pelo, sisi tubuh bagian kanan lemah,sudah bisa
berjalan sedikit, lemas
13/12/2018 Lemas, bicara pelo, sisi tubuh bagian kanan lemah
14/12/2018 Bicara pelo, pusing, lemas

3. Data Object

19
Tabel 4. Pemeriksaan Fisik Pasien

Pemerik- Nilai 8/12/ 9/12 10/12 11/12 12/12 13/12 14/12


saan Rujuk- 18 /18 /18 /18 /18 /18 /18
an
TD 120/80 130/8 120/80 110/80 100/60 130/80 120/80 120/80
(MmHg) 0
RR 16 - 20 20 18 20 20 20 20 20
(x/menit)
Suhu (⁰C) 36 -37 36 36 36,2 36,8 36,5 36,6 36,5
O2 95 - 99 98 98 98 98 98
Nadi 60 – 70 82* 80* 77* 86* 80*
(x/ menit)

Tabel 5. Pemeriksaan Laboratorium Pasien


Jenis pemeriksaan Nilai rujukan 8/12 9/12 10/12 11/1 12/1 13/12
/18 /18 /18 2 2 /18
/18 /18
HEMATOLOGIDarah
Rutin
- Leukosit 5.000-10.000 7.000

- Eritrosit 5.4 - 0.2 5.91*


- Hemoglobin 14 – 16 16.1*
42 – 45 50*
- Hematokrit
150.000 – 213.000
- Trombosit 450.000
KIMIA KLINIK
- Glukosa Darah Sewaktu <200 348* 318 220* 146
- Glukosa Darah Puasa *
Fungsi Ginjal
- Ureum
70-100 220* 125* 125*
- Kreatinin
Elektrolit
- Natrium(Na) 17 – 43 36
- Kalium(K) 0.7 – 1.3 0.9
- Clorida(Cl)
134 – 146 137
3.4 – 4.5 3.60
96 – 108 107
Lemak
- Trigliserida 50 – 170 101
- Cholesterol total <200 208* 208* 208*
- Cholesterol HDL 40 – 60 54
- Cholesterol LDL <130 134* 134* 134*

20
4. Data UGD

Tabel 6. Data UGD Pasien


Subject Bicara pelo, kelamahan sisi tubuh
kanan mendadak, nyeri kepala bagian
belakang, mual, DM (+) dan hipertensi
tidak dalam pengobatan rutin
Object TD : 130/80
Nadi : 82*
Suhu : 36,5
Pernafasan : 20
Saturasi O2 : 98
Skala Nyeri : 0
Keadaan umum : Baik
Assassment Diagnosa Kerja : SNH dan
Hiperglikemi
Plan Citicolin inj 2 x 250 mg
Aspillet 1 x 80 mg
CPG 1 x 75 mg
Simvastatin 1 x 20 mg
Ranitidin inj 2 x 1
Ceftriaxone inj 2 x 1
Apidra 3 x 16 UI

5. Obat Yang Digunakan

Tabel 7. Obat Yang Digunakan Saat Perawatan


Obat yg Dosis 8/12/ 9/12/ 10/12 11/12 12/12 13/12 14/12
digunakan 18 18 /18 /18 /18 /18 /18
Ranitidine iv 2x50 mg √ √
Ceftriaxone iv 2x1 g √ √
Apidra 3x1 √ √ √ √
16ui 16ui 20 ui 20 ui
Citicoline 2x50 mg √ √ √ √ √
Aspilet 1x80 mg √ √ √ √ √ √
Clopidogrel 2x75 mg √ √ √ √ √ √
Simvastatin 1x20 mg √ √ √ √ √ √
Metformin 3x500 mg √ √ √ √ √
Glikuidon 3x30 mg √ √ √ √ √
Lantus 1x10 ui √ √ √ √
Mecobalamin 3x500 √ √

21
Tabel 8. Obat Pulang
No. Obat Dosis Regimen Terapi
1. Aspilet 80 mg 1x1
2. Cpg 75 mg 1x1
3. Metformin 500 mg 1x1
4. Mecobalamin 500 mcg 1x1

6. Dosis Lazim

Tabel 9. Dosis Lazim Obat Pasien


Obat yg Regimen Dosis Lazim Keterangan Indikasi
digunakan Terapi
Ranitidine iv 2x50 mg 50 mg/ 18-24 jam Tepat dosis Mencegah
peningkatan asam
lambung
Apidra 3x16 ui 0,5-1 unit/kg Tepat dosis DM tipe 2
3x20 ui (30-60 unit/hari)
Citicoline Inj 2x250 mg 500-2000 mg/hari Tepat dosis Neuroprotektor

Aspilet 1x80 mg 75-325 mg 1x Tepat dosis Stroke


sehari
Clopidogrel 2x75 mg 75-162mg/hari Tepat dosis Stroke
Simvastatin 1x20 mg 5-40 mg/ hari Tepat dosis Stroke

Metformin 3x500 mg 1500-2550mg /hari Tepat dosis DM tipe 2


Glikuidon 3x30 mg 15-120 mg/hari Tepat dosis DM tipe 2
Lantus 1x10 ui 10 unit/hari Tepat dosis DM tipe 2
Mecobalamin 3x500 mcg 500 mcg Tepat dosis Neuroprotektor

B. Pembahasan
1. Stroke Non Hemorragic (SNH)

Tabel 10. SOAP SNH

Subject Bicara pelo, sisi tubuh bagian kanan


lemah, nyeri kepala bagian belakang
Object  Nadi : ≥80*
Assesment SNH
Plan  Citicolin 2 x 250mg
 Aspilet 1 x 80mg
 CPG 2 x 75mg
 Ranitidin inj 2 x 50mg
 Simvastatin 1 x 20mg

22
Pada pengobatan penyakit stroke, alogaritma pengobatan stroke iskemik
diberikan alteplase selama 1 jam dengan harus memenuhi kriteria penggunaan
alteplase. Dalam kriteria penggunaan alteplase harus tidak memiliki riwayat
penyakit stroke dan diabetes, sehingga penggunaan alteplase tidak disarankan
diberikan kepada pasien karena tidak memenuhi kriteria penggunaan alteplase.
Pemberian alteplase diberikan jika kejadian kurang dari 3-4,5 jam dan pasien
dengan umur <80 tahun. Jika alteplase tidak dapat diberikan lalu dapat diberikan
antiplatelet seperti aspirin dengan dosis 50-325mg/hari atau dikombinasikan
dengan clopidogrel dengan dosis 75-162mg/ /hari (Wells G Barbara et.al, 2015).
Sehingga alteplase tidak dapat digunakan dapat menggunakan aspirin atau
kombinasi dengan clopidogrel. Pada pasien ini pemberian aspirin dan clopidogrel
dosis dan penggunaan nya sudah tepat.

Citicoline memiliki efek terapeutik pada beberapa tahap stroke iskemik akut
dan telah menunjukkan efisiensi. Perawatan jangka panjang dengan citicoline
aman dan efektif, meningkatkan penurunan kognitif pasca stroke dan
meningkatkan pemulihan fungsional pasien. Pemberian citicoline yang
berkepanjangan pada dosis optimal telah terbukti dapat ditoleransi dengan sangat
baik dan untuk meningkatkan mekanisme endogen neurogenesis dan perbaikan
saraf yang berkontribusi terhadap terapi fisik dan rehabilitasi.

Gamabar 3. Indikasi Citicolin (José ÁS and Gustavo CR, 2013)

23
Hasil dari serangkaian percobaan pertama menunjukkan bahwa pengobatan
dengan simvastatin secara signifikan mengurangi cedera di otak. Pengobatan
dengan simvastatin juga secara signifikan meningkatkan pemulihan fungsional,
diukur dengan perubahan defisit neurologis. Hasil dari seri kedua percobaan
menunjukkan bahwa pengobatan dengan simvastatin secara signifikan
mengurangi defisit perfusi, dan juga meningkatkan pemulihan fungsional. Oleh
karena itu sesuai dengan temuan sebelumnya bahwa simvastatin memainkan peran
penting sebagai agen neuroprotektif (Shabanzadeh AP., et.al 2005).

Gambar 4. Indikasi Statin (Shabanzadeh AP., et.al 2005)

24
Pada penggunaan antiplatelet Clopidogrel tunggal dibanding dengan
penggunaan kombinasi Clopidogrel-Aspilet memberikan efektivitas yang sama,
namun efek samping penggunaan terapi antiplatelet kombinasi Clopidogrel-
Aspilet terhadap gastrointestinal lebih tinggi dari pada penggunaan Clopidogrel
tunggal (Inayah Nurul dkk., 2018). Penggunaan ranitidine pada pengobatan pasien
di tujukkan untuk mengatasi efek samping penggunaan terapi tersebut.

Gambar 5. Indikasi Ranitidin (Inayah Nurul dkk., 2018)

2. Diabetes Melitus

Tabel 11. SOAP DM

Subject Lemas
Object  GDS : 348*
 GDP : 220*
Assesment DM tipe 2
Plan  Metformin 3 x 500mg
 Apidra 3 x 16 unit dan 3 x 20 unit
 Glikuidon 3 x 30mg
 Lantus 1 x 10 unit
 Mecobalamin 3 x 500mcg

25
Pengobatan diabetes berdasarkan riwayat penyakit pasien terdahulu dan
berdasarkan pengukuran nilai GDS lebih tinggi dari normal yaitu 348 dan GDP
juga diatas normal yaitu 220. Pengobatan hiperglikemi berdasarkan alogaritma
pertamaka kali dengan perubahan gaya hidup dan jika tidak dapat di kontrol bisa
menggunakan monoterapi (metformin) dan tidak dapat menurunkan kadar gula
dapat menggunakan dual terapi sampai tripel terapi dengan tambahan insulin.
Penggunaan mono terapi dapat digunakan jika HbA1c <7,5%, dual terapi HbA1c
>7,5% dan tripel terapi dengan tambahan insulin HbA1c > 9 % (Garber J Alan
et.al, 2018).

Gambar 6. Indikasi Dual Insulin (Lankisch RM et.al, 2008)

Terapi pasien didapatkan terdapat 2 jenis insulin, yaitu rapid acting (kerja
cepat) dengan apidra dengan dosis hari pertama dan kedua 3 x 16 unit dan hari ke
3 dan ke 4 dengan dosis 3 x 20 unit dan long acting (kerja lambat) dengan lantus
dosis 1 x 10 unit. Dosis yang di berikan sudah sesuai dosis lazim yang seharusnya.
Pemberian insulin kerja cepat di tiap kali makan dapat menurunkan kadar glukosa
darah post prandial hingga mendekati normal. Tiap pasien dibutuhkan pengukuran
terlebih dahulu karena tiap pasien memiliki dosis yang berbeda (Lankisch RM
et.al, 2008).

26
Gambar 7. Kombinasi dual obat DM (Charpentier Guillaume, 2002)
Dual terapi antara metformin dengan sulfonylurea diberikan jika metformin
tidak dapat lagi menurunkan glukosa darah. Kombinasi keduanya menghasilkan
penurunan yang lebih baik, yaitu pada sebuah penelitian menunjukkan nilai
HbA1c menurun sebesar 1,7% dan glukosa darah menurun sebesar 63 mg/dl dari
pada pengobatan tunggal metformin saja, namun memang meningkatkan resiko
hipoglikemi (Charpentier Guillaume, 2002). Dosis metformin dan sulfonylurea
(Glikuidon) yang diberikan sudah tepat dosis dan sesuai indikasi yang ada.

Gambar 8. Indikasi Mecobalamin (Jaya MKA & Ni Made OD, 2017)

Nyeri yang di rasakan pasien pada bagian kepala belakang juga merupakan
tanda gejala penyakit stroke dan sesuai dengan diagnosa yang ditetapkan.
Neuroprotektor (Vitamin B kompleks atau mecobalamin) sering digunakan

27
sebagai terapi nyeri neuropatik suportif. Orang yang menjalani terapi nyeri
neuropatik lini pertama dan mendapatkan suplemen Vitamin B kompleks atau
mecobalamin mengalami penurunan intensitas nyeri yang lebih baik daripada
tanpa terapi suplementasi (Jaya MKA & Ni Made OD, 2017).

3. DRP (Drug Related Problem)

Tabel 12. Drug Related Problem


DRP (Drug Related Problem) Ya Tidak Keterangan
Ada Indikasi, Tidak ada terapi - √ -

Obat tanpa indikasi - √ -

Obat tidak tepat - - -

Dosis berlebih - √ -

Dosis kurang - √ -

Tidak menggunakan obat - - -


(kepatuhan, ekonomi)

Ada efek samping dan alergi - √ -

Interaksi obat √ - Aspilet-CPG

Kombinasi penggunaan aspirin dan clopidogrel dapat menyebabkan


perdarahan, akan tetapi kombinasi keduanya lebih unggul daripada penggunaan
aspirin sendiri untuk mengurangi resiko stroke dalam 90 hari pertama dan tidak
meningkatkan perdarahan (Wang Yongjun et.al, 2013). Disarankan untuk berhati-
hati, jika clopidogrel diberikan dalam jangka panjang dapat menyebabkan lesi
pada GI. Pasien harus diperhatikan jika merasa sakit, tinja merah atau hitam atau
emesis (Drugs.com). Dosis yang diberikan juga sudah sesuai dengan dosis lazim
dan sesuai dengan diagnosa yang diberikan.

28
Gambar 9. Kombinasi Aspirin & Clopidogrel (Wang Yongjun et.al, 2013)

29
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengobatan yang didapatkan pasien sudah rasional dan sesuai alogaritma yang
seharusnya akan tetapi dalam pemilihan obat DM seharusnya melakukan
pemeriksaan nilai HbA1c

B. Saran
1. Melakukan pemeriksaan nilai HbA1c
2. Peran apoteker diharapkan dapat selalu memantau penggunaan obat pasien,
sehingga efek samping yang dikhawatirkan dapat dihindari.

30
Daftar Pustaka

ADA 2018. American Diabetes Association. Diagnosis and Classification


Diabelitus Mellitus. USA. 2018. Hlm 20, 25,36,109,115
Alan JG, Abrahamson MJ, Joshua IB, Lawrence B, Zachary TB, Michael AB,
Samuel DJ, Ralph AD, Daniel E, Vivian AF, W Timothy G, George G, Yehuda
H, Iri BH, Paul SJ, Janet BM, Jeffrey IM, Paul DR, and Guillermo U. 2018.
Comprehensive Type 2 Diabetes Management Algorithm. AACE/ACE

American Diabetes Association. 2004. Global Prevalence Of Diabetes Estimates


For The Year 2000 And Projection For 2020. Diabetes Care.
Anwar, Bahri. (2004). Dislipidemia Sebagai Faktor Resiko Jantung Koroner.
Sumatera Utara : Fakultas Kedokteran Universitas.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset kesehatan dasar
(RISKESDAS). Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013;
(online)(http://www.depkes.go.id/re sources/.pdf, diakses 9
Charpentier Guillaume. 2002. Oral Combination Therapy For Type 2 Diabetes.
Wiley InterScience. France.

Darmono. Pola Hidup Sehat Penderita Diabetes Mellitus. Dalam : Darmono, dkk,
editors. Naskah Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek
Penyakit dalam dalam rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,2007. p.15-30. Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. Pedoman Pemantauan Terapi Obat. Jakarta. 2009
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2009,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies,
Inggris.
Dohra W. 2016. Hubungan Antara Merokok Dengan Tingkat Keparahan Stroke
Pada Pasien Stroke Iskemik Di RSUP Dr. Sardjito. Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Feigin, V. (2006). Stroke. Jakarta : PT Buana Ilmu Populer.

Hadisaputro S, Setyawan H. Epidemiologi dan Faktor-Faktor Risiko Terjadinya


Diabetes Mellitus tipe 2. Dalam : Darmono, dkk, editors. Naskah Lengkap
Diabetes mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit dalam dalam rangka
Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang, 2007. p.133-154.

Inayah Nurul, Marianti AM dan Yunus A. 2018. Analisis Efektivitas Dan Efek
Samping Penggunaan Clopidogrel Tunggal Dan Kombinasi Clopidogrel-
Aspilet Pada Pasien Stroke Iskemik Di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo
Makasar. Majalah Farmasi Farmakologi Fakultas Farmasi.

31
Jaya MKA & Ni Made OD. 2017. Efectivity Analysis Of Neuroprotector
(Vitamin B Complex and Mecobalamin) As Neuropathic Pain Supportive
Therapy In Elderly With Type 2 Diabetes Mellitus. Asian Journal Of
Pharmaceutical And Clinical Research. Vol. 10.

José Álvarez-Sabín and Gustavo C. Román. 2103. The Role of Citicoline in


Neuroprotection and Neurorepair in Ischemic Stroke. Brain Sciences.

Lankisch RM, KC Ferlinz, JL Leahy and WA Scher. 2008. Introducing a


Simplified Approach to Insulin Therapy in Type 1 Diabetes: A Comparison Of
Two Single-Dose Regimens Of Insulin Glulisine Plus Insulin Glargine and
Oral Antidiabetic Drugs. Diabetes, Obesity and Metabolism, 10, 1178–1185.

Miller AK, Robert AD and Martin IF. 2002. The Effect Ranitidin On The
Pharmacokinetic Of Rosiglitazone In Healthy Adult Male Volunteers. Clinical
Therapeutics Vol.24.

Mittal Manish, Deepak Goel, Krishan K Bansal, and Prashant Puri. 2012.
Edaravone-Citicoline Comparative Study in Acute Ischemic Stroke (ECCS-
AIS). JAPI Vol.60.

Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan


Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Nurhidayat S and Rosjidi C.H.. (2008). Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala dan
Stroke. Yogyakarta : Ardana Media, pp :167; 177-182

PB PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


di Indonesia, 2015. Hlm 1,8 dan 34

Pudiastuti.(2011). Penyakit Pemicu stroke. Yogyakarta.: Nuha Medika.

Riskesdas Depkes., (2008). Proporsi Penyebab Kematian Pada Kelompok Umur


55-64 Tahun Menurut Tipe Daerah

Shabanzadeh AP., Ashfaq ST, Chen XW. 2005. Simvastatin reduced ischemic
brain injury and perfusion deficits in an embolic model of stroke. Stroke
Research Laboratory, 533 HMRC, University of Alberta.

Susanty A. 2018. Analisa Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien Stroke Non
Hemoragik Dengan Intervensi Inovasi Pengaruh Pemberian Augmentative And
Alternative Communication (AAC) Terhadap Kemampuan Fungsional
Komunikasi dan Depresi Pasien Afasia Motorik Di Ruang Stroke Center
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 2018. Program Studi Profesi Ners
Fakultas Kesehatan dan Farmasi Universitas Muhammadiyah Kalimantan
Timur.

TheWorld Health Report 2010. http://www.who.int./whr/2010/en/index.html,


Akses 8 Februari 2019

32
Wang Y, Yilong W, Xingquan Z, Liping L, David W, Chunxue W, Chen W, Hao
L, Xia M, Liying C, Jianping J, Qiang D, Anding X, Jinsheng Z, Yansheng L,
Zhimin W, Haiqin X, and S. Claiborne J. 2013. Clopidogrel with Aspirin in
Acute Minor Stroke or Transient Ischemic Attack. The New England. Journal
of Medicine.

Wells G Barbara, Joseph TD, Terry LS, and Cecily VD. 2015. Pharmacotherapy
Handbook Ninth Edition. Mc Graw-Hill Companies. New York

33

Anda mungkin juga menyukai