Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan jantung
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan
tubuh yang disebabkan kelainan sekunder dari abnormalitas struktur jantung dan
atau fungsi yang merusak kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau
mengeluarkan darah. CHF dapat berefek dalam ketidakmampuan pasien untuk
melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan
kontraktilitas ventrikel, peningkatan preload dan afterload yang menyebabkan
penurunan curah jantung. Kondisi tersebut dapat merupakan penyebab kematian
apabila tidak segera mendapatkan penanganan (Maulidta K W 2015).
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan salah satu masalah
kesehatan utama di negara maju maupun berkembang. Penyakit ini menjadi
penyebab nomor satu kematian di dunia dengan diperkirakan akan terus
meningkat hingga mencapai 23,3 juta pada tahun 2030. Masalah tersebut juga
menjadi masalah kesehatan yang progresif dengan angka mortalitas dan
morbiditas yang tinggi di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Kemenkes RI tahun 2013, prevalensi penyakit jantung di Indonesia mencapai
0,13% dan yang terdiagnosis dokter sebesar 0,3% dari total penduduk berusia 18
tahun keatas (Nirmalasari N 2017).
Faktor risiko utama yang saling terkait sebagai penyakit tidak menular
(PTM) salah satunya yaitu penyakit ggal jantung yang disebabkan oleh kebiasaan
merokok, kurang aktivitas fisik, makan tidak seimbang, kegemukan, makan
rendah serat (kurang buah dan sayur), tinggi lemak, keadaan stress. Penyakit gagal
jantung disebabkan oleh perubahan pola makan dan gaya hidup. Perubahan itu
membuat masyarakat kurang aktif bergerak, mengkonsumsi tinggi lemak dan
merokok, inilah yang memicu munculnya penyakit gagal jantung. Semakin
banyak masyarakat dengan mengkonsumsi makanan siap saji memicu
berkembangnya penyakit degeneratif seperti hipertensi, stroke, kanker, diabetes
mellitus dan penyakit jantung (Febtrina & Nurhayati 2017).
World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2020 PTM
akan menyebabkan 73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia.
Diperkirakan negara yang paling merasakan dampaknya adalah negara
berkembang termasuk Indonesia. Salah satu PTM yang menjadi masalah
kesehatan yang sangat serius saat ini adalah hipertensi yang disebut sebagai the
silent killer. Apabila penyakit ini tidak terkontrol akan menyerang target organ dan
salah satunya dapat menyebabkan serangan jantung. Beberapa penelitian
dilaporkan bahwa penyakit hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
peluang 6 kali lebih besar terkena congestive heart failure (Hasyim & Bambang
2014).
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan global di
dunia. WHO menyatakan bahwa 347 miliar penduduk dunia menderita diabetes
dan pada tahun 2030 diabetes diprediksi menjadi penyebab kematian utama ke
tujuh di dunia. Pasien DM tipe 2 memiliki risiko tinggi mengalami aterosklerosis
yang berkontribusi pada meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular (Putri dkk
2016). Berdasarkan hal diatas gagal jantung kongestif merupakan penyakit yang
berbahaya oleh karena itu perlu dilakukan pemantuan terapi obat pada pasien
untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan pengobatan yang tepat. Sehingga
pasien mendapatkan pengobatan yang optimal.

B. Tujuan
Pemantauan terapi obat bertujuan untuk memastikan pasien mendapatkan terapi
penggunaan obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien

C. Manfaat
Penggunaan obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA

A. Heart Failure
1. Definisi
Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan jantung
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan
tubuh yang disebabkan kelainan sekunder dari abnormalitas struktur jantung dan
atau fungsi yang merusak kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau
mengeluarkan darah (Maulidta K W 2015).
2. Patofisiologi
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu
sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung, sehingga
jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal
jantung ditandai dengan suatu respon hemodinamik, ginjal, saraf, dan hormonal
yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung
(Saunders 2000). Patofisiologi penyakit gagal jantung menurut Dipiro (2012) dan
Sukandar dkk. (2013) yaitu:
Penyebab disfungsi sistolik (penurunan kontraktilitas) adalah berkurangnya massa
otot misalnya myocardial infarction (MI), kardiomiopati dilatasi, dan hipertrofi
ventrikel. Hipertrofi ventrikel dapat disebabkan oleh tekanan yang berlebihan
(misalnya, sistemik atau pulmonal hipertensi dan aorta atau pulmonic
valvestenosis) atau kelebihan volume (misalnya, regurgitasi valvular, shunts,
status output tinggi).
a. Penyebab disfungsi diastolik (pembatasan pengisian ventrikel) meningkat
kekakuan ventrikel, hipertrofi ventrikel, penyakit miokard infiltratif, miokardial
iskemia dan MI, stenosis katup mitral atau trikuspid, dan penyakit perikardial
(misalnya, perikarditis dan tamponade perikardial).
b. Penyebab gagal jantung paling umum adalah penyakit jantung iskemik,
hipertensi atau keduanya.
c. Model neurohormonal gagal jantung seperti angiotensin II, norepinefrin,
aldosteron, peptida natriuretik, vasopresin arginin, dan sitokin-sitokin
proinflamtori dan endothelin dapat meningkatkan keparahan.
d. Faktor-faktol lain yang berperan dalam memperparah gagal jantung pada
pasien misalnya ketidakpatuhan pada medikasi, iskemik koroner, penggunaan
medikasi yang kurang tepat, kejadian kardiak dan infeksi pulmonari.
e. Obat dapat memperparah gagal jantung karena sifat inotropik negatif,
kardiotoksik, maupun sifat retensi natrium yang dimilikinya.
3. Manifestasi Klinis (Sukandar dkk 2013)
a. Gejala yang dirasakan pasien bervariasi dari asimptomatis (tak bergajala)
hingga kardiogenik shok.
b. Gejala utama yang timbul adalah sesak nafas terutama ketika bekerja, dan
kelelahan yang dapat menyebebakan intoleransi terhadap aktivitas fisik.
Gejala pulmonari lain diantaranya orthopnea, parozysmal noctunal dyspnea,
tachypnea dan batuk.
c. Tingginya produksi cairan menyebabkan kongesti pulmonari dan udem
perifer.
d. Gejala nonspesifik yang dapat timbul diantaranya termasuk nocturia,
hemotypsis, sakit pada bagian abdominal, anoreksia, mual, kembung, dan
perubahan status mental.
e. Penemuan pemeriksaan fisik yang dapat tampak diantaranya timbul suara pada
paru-paru, takikardi, kardiomegali, udem perifer, hepatojugular refluks dan
hepatomegali.

4. Penatalaksanaan
Gambar 1. Pemilihan Terapi Pengobatan CHF (ESC 2016)

B. Diabetes Mellitus
1. Definisi
Diabetes mellitus adalah sekelompok gangguan metabolisme yang
ditandai dengan hiperglikemia dan kelainan pada karbohidrat, lemak dan protein
(Dipiro et al 2015). Diabetes melitus merupakan penyakit menahun akibat
pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi
glukosa di dalam darah (Kemenkes RI 2014).
Diabetes nefropati adalah kerusakan mikrovaskuler salah satu komplikasi
yang sering terjadi pada penderita diabetes (Putri R I 2015).
2. Patofisiologi
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada
yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), semuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam
gangguan toleransi glukosa ini penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang:
a. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan
hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
b. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
c. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.
Pada DM tipe 2, jumlah insulin yang dihasilkan normal tetapi sel-sel tubuh
menjadi kurang peka terhadap insulin, sehingga glukosa yang seharusnya
disimpan dalam sel tetap berada di dalam darah yang menyebabkan glukosa di
dalam darah tetap tinggi. Sel beta pankreas melepaskan lebih banyak insulin.
Kerja sel yang berlebihan dapat membuatnya rusak dan tidak dapat lagi
memproduksi cukup insulin untuk memenuhi kebutuhan tubuh (PERKENI 2015).
a. Kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat antidiabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
b. Liver
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin yang menekan proses gluconeogenesis.
c. Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidindion.
d. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (FFA =
Free Fatty Acid) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
e. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1
dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim
alfa-glukosidase adalah akarbosa.
f. Sel Alpha Pancreas
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
g. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen
dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10%
sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2
ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-
2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
h. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.
3. Manifestasi Klinis (Dipiro 2015)
a. Gejala Awal
Poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan BB, dan kelesuan disertai
dengan hiperglikemia. DM tipe 1, penurunan berat badan dan cenderung
ketoasidosis diabetik. DM tipe 2, lesu, poliuria, nokturia, polidipsia, penurunan
BB yang signifikan, sering terjadi pada pasien obesitas.
4. Penatalaksanaan
a. Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe-1. Pada
DM tipe-1, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak
dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM tipe-1
harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di
dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM
tipe-2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan
terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral (Pharmaceutical Care 2005).
1) Insulin Basal
Terapi insulin basal monoterapi awal 10 unit per hari. Termasuk insulin
basal yaitu long-acting insulin dan NPH untuk menurunkan resiko gejala
hipoglikemik. Insulin basal biasa dikombinasikan dengan metformin atau agen
lain.
2) Insulin Bolus
Banyak individu DM tipe 2 menggunakan sebelum makan. Termasuk
insulin Bolus yaitu rapid-acting insulin. Rekomendasi dosis 4 unit.
3) Insulin Premix
Produk Insulin Premix terdiri atas basal dan prandial insulin. Diikuti
dengan basal dan prandial insulin dengan 1 kali injeksi sehari. Seperti NPH/
Reguler 70/30 berarti 70% insulin NPH dan 30% insulin regular (ADA 2018).
b. Anti Diabetik Oral (ADO) (Dipiro 2015)
1) Glucagon-Like Peptide 1 Agonis (GLP-1)
Meningkatkkan sekresi insulin dan mengurangi produksi glukosa hati. Contoh :
Exenatide dan Liraglutide.
2) Sulfonilurea
Meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Contoh : Glibenklamid
(Long Acting), Glimepirid, Glipizid (Intermediate Acting), Tolbutamin (Short
Acting).
3) Biguanida
Meningkatkan sensitivitas insulin dan mengurangi produksi glukosa hati. Contoh :
Metformin.
4) Meglitinides
Sama seperti golongan Sulfonilurea yaitu meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Contoh : Repaglinid dan Nateglinid.

5) Thiazolidindion
Meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, jaringan lemak dan hati. Contoh :
Pioglitazon dan Rosiglitazon.
6) A-glukosidase inhibitor
Mencegah pemecahan karbohidrat sukrosa dan kompleks di usus kecil,
memperpanjang penyerapan karbohidrat. Contoh : Acarbose dan Miglitol.
7) Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) Inhibitor
Meningkatkan sekresi insulin, menghambat sekresi glukagon. Contoh :
Sitagliptin, Saxagliptin, Linagliptin, dan Alogliptin.
8) Bile Acid Sequestran
Meningkatkan asam empedu dalam usus dan mengurangi asam empedu untuk di
reabsorbsi. Contoh : Colesevam
9) Amylinomimetic
Meningkatkan rasa kenyang dan memperlambat pengosongan lambung. Contoh :
Pramlintide.

C. Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami
tekanan darah sistolik (SBP) ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik (DBP) ≥
90 mmHg. Pada pemeriksaan yang berulang (PERKI 2015).
2. Patofisiologi
Hipertensi mungkin akibat dari penyebab tertentu (hipertensi sekunder)
atau dari etiologi yang tidak diketahui (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi
sekunder (<10% kasus) biasanya disebabkan oleh penyakit kronis ginjal (CKD).
Beberapa obat yang dapat meningkatkan BP termasuk kortikosteroid, estrogen,
obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), amfetamin, sibutramine, cyclosporine,
tacrolimus, erythropoietin, dan venlafaxine.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi primer
meliputi:
a. Kelainan humoral melibatkan renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS),
hormon natriuretik, atau resistensi insulin dan hiperinsulinemia;
b. Gangguan di CNS, serabut saraf otonom, reseptor adrenergik atau
baroreseptor
c. Kelainan pada proses ginjal atau autoregulatory jaringan untuk ekskresi
natrium, volume plasma, dan penyempitan arteriolar;
d. Kekurangan dalam sintesis vasodilatasi zat dalam endotelium vaskular
(prostasiklin, bradikinin, dan oksida nitrat) atau zat berlebih vasoconstricting
(angiotensin II, endotelin I);
e. Asupan natrium tinggi atau kekurangan kalsium diet.
Penyebab utama kematian adalah kecelakaan serebrovaskular, kardiovaskular
(CV) peristiwa dan gagal ginjal (Dipiro et al 2015).
3. Manifestasi Klinik (Dipiro 2015)
a. Hipertensi Primer/essensial
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Hipertensi primer disebabkan karena faktor genetik.
b. Hipertensi Sekunder
Kurang dari 10% pasien merupakan penderita hipertensi sekunder yang
biasanya disebabkan karena penyakit lain atau efek samping obat.
4. Klasifikasi
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (usia > 18
tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah. Klasifikasi tekanan
darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik
(TDS) < 120 mmHg dan tekanan darah diastolic (TDD) <80 mmHg. Prehipertensi
tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien yang
tekanan darahnya cenderung meningkat keklasifikasi hipertensi dimasa yang akan
datang. Ada dua tingkat hipertensi dan semua pasien pada kategori ini harus diberi
terapi obat.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Dewasa
Clasification Systolic (mmHg) Diastolic (mmHg)
Normal <120 <80
Prehypertension 120–139 80–89
Stage 1 hypertension 140–159 90–99
Stage 2 hypertension ≥160 ≥100

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh


tekanan darah yang sangat tinggi sehingga memungkinkan dapat menimbulkan
atau telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah
>120/80 mmHg, dikategorikan hipertensi emergensi tekanan darah meningkat
ekstrim disertai dengan kerusakan organ target akut yang bersifat progresif
sehingga tekanan darah harus diturunkan segera untuk mencegah kerusakan organ
target lebih lanjut.
Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai kerusakan
organ target yang progresif. Tekanan darah diturunkan dengan obat antihipertensi
oral kenilai tekanan darah pada tingkat 1 dalam waktu beberapa jam sampai
dengan beberapa hari (Depkes RI 2006).
5. Penatalaksanaan
a. Gangguan Fungsi Ventrikel Kiri (Gagal Jantung Sistolik)
Standar farmakoterapi terdiri dari 3-4 obat: ACE inhibitor atau ARB
ditambah terapi diuretik, diikuti oleh penambahan β-blocker yang tepat dan
mungkin antagonis reseptor aldosteron. Mulai ACE inhibitor atau ARB dalam
dosis rendah untuk menghindari hipotensi ortostatik karena keadaan renin tinggi
di HF (Heart Failure). Diuretik memberikan bantuan gejala edema dengan
menginduksi diuresis. Diuretik loop sering dibutuhkan, terutama pada pasien
dengan penyakit lebih lanjut. Beta-blocker terapi yang tepat untuk lebih
memodifikasi penyakit dan merupakan komponen terapi standar. Karena risiko
memperburuk HF, β-blocker harus dimulai dalam dosis yang sangat rendah dan
dititrasi perlahan dosis tinggi berdasarkan tolerabilitas. Bisoprolol, carvedilol, dan
berkelanjutan-release metoprolol suksinat adalah satu-satunya β-blocker terbukti
bermanfaat dalam disfungsi LV (Left Ventricle) (Dipiro 2015).
b. Diabetes Mellitus
Memperlakukan semua pasien dengan diabetes dan hipertensi dengan ACE
inhibitor atau ARB. Kedua kelas memberikan nephroprotection dan mengurangi
risiko CV (Cardiovascular). CCBs adalah yang paling tepat add-onagents untuk
BP pasien rawat inap kontrol dengan diabetes. Kombinasi ACE inhibitor dengan
CCB adalah lebih efektif dalam mengurangi kejadian CV dari ACE inhibitor
ditambah diuretik thiazide.
Diuretik tiazid dianjurkan sebagai add-on untuk agen sebelumnya untuk
menurunkan BP dan memberikan tambahan pengurangan risiko CV. β-blocker,
mirip dengan CCBs, berguna add-on agen untuk kontrol BP pada pasien dengan
diabetes. Mereka juga harus digunakan untuk mengobati indikasi menarik lain
(misalnya, pasca-MI). Namun, mereka dapat menutupi gejala hipoglikemia
(tremor, takikardia, dan jantung berdebar tapi tidak berkeringat) pada pasien yang
dikontrol ketat, menunda pemulihan dari hipoglikemia, dan menghasilkan
peningkatan BP karena vasokonstriksi yang disebabkan oleh stimulasi β-reseptor Hal 97

dilawan selama fase pemulihan hipoglikemik. Meskipun masalah ini potensial, β-


blocker dapat digunakan dengan aman pada pasien dengan diabetes (Dipiro 2015).
c. Gangguan Ginjal Kronik
ACE inhibitor atau ARB adalah terapi lini pertama untuk mengontrol BP
dan memelihara fungsi ginjal di CKD. Mengobati pasien dengan moderat atau
albuminuria yang sangat meningkat BP dari 130/80 mmHg. Karena pasien ini
biasanya membutuhkan terapi beberapa obat, diuretik dan kelas obat
antihipertensi ketiga (misalnya, β-blocker atau CCB) sering dibutuhkan (Dipiro
2015).

D. Angina Pectoris
1. Definisi
Angina pectoris merupakan manifestasi penyakit jantung koroner berupa
rasa nyeri atau tidak nyaman di dada akibat berkurangnya pasokan oksigen ke
daerah otot jantung (Depkes RI 2006).
2. Patofisiologi.
Iskemia miokard bermanifestasi berupa angina pectoris yaitu dengan
gejala perasaan tertekan dan nyeri substernal. Akibat kurangnya oksigen untuk
miokard agar dapat bekerja efektif. Penyebabkan hampir selalu penyempitan yang
disebabkan oleh aterosklerosis (Tambayong 2000).
3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dari angina pectoris dihubungkan dengan nyeri dan
respon fisiologis individu terhadapnya. Nyeri angina secara khas digambarkan
sebagai nyeri substernal atau perasaan penuh/tertekan. Nyeri ini menjalar ke
lengan atau leher dan rahang. Secara khas individu yang merasa nyeri ini akan
diam, tampak pucat, berkeringat dan sesak napas. Angina pectoris dipicu oleh
aktivitas (stress fisik/emosi) dan mereda dalam beberapa menit bila beristirahat
atau minum obat vasodilator koroner seperti nitrogliserin (Tambayong 2000).
4. Penatalaksanaan (Dipiro 2015)

Gambar 2. Alogaritma Terapi Angina Pectoris

a. Nitrat
Terapi nitrat dapat digunakan untuk menghentikan serangan angina akut,
untuk mencegah upaya atau serangan yang diinduksi stress atau profilaksis jangka
panjang biasanya dalam kombinasi dengan beta bloker atau CCB.
b. Beta bloker
Beta bloker efektif pada angina aktivitas kronis sebagai monoterapi dan
dalam kombinasi dengan nitrat dan atau CCB. Jika beta bloker tidak efektif atau
tidak dapat ditoleransi, monoterapi dengan CCB atau terapi kombinasi.
c. Calcium Channel Blockers
Kandidat yang baik mendapatkan CCB termasuk pasien dengan
kontraindikasi atau intoleransi beta bloker, penyakit arteri perifer, disfungsi
ventrikel yang parah dan hipertensi. Amlodipin merupakan CCB pilihan pada
disfungsi ventrikel parah dan yang lainnya harus digunakan dengan hati-hati jika
EF kurang dari 40%.
d. Ranolazin
Ranolazin mengurangi kelebihan kalsium pada miosit iskemik melalui
penghambatan arus natrium. Ranolazin diindikasikan untuk pengobatan angina
kronis. Mulai ranolazin dengan dosis 500 mg dua kali sehari dan naik menjadi
1000 mg dua kali sehari. Efek samping paling umum termasuk pusing, sakit
kepala, mual dan sembelit.
BAB III
TINJAUAN KASUS
DAN
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kasus
1. Identitas Pasien
Nama pasien : Ny. R
No. RM : 16****
Tanggal lahir : 31-12-1952
Usia : 65 tahun
Berat badan : 63 kg
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl. Karet
Tanggal masuk : 18 Desember 2018
Tanggal pulang : 23 Desember 2018
Pendidikan : SMA
Jenis kelamin : Perempuan
DPJP : dr. Etra
Riwayat alergi : Tidak Ada
Ruang rawat : R. Selayar

2. Data Subjektif Pasien


Tabel 2. Data Subjektif Pasien
Tanggal Subjek
19/12/18 Nyeri dada berkurang, jalan ke kamar mandi suka sesak
20/12/18 Sesak, nyeri dada berkurang, lemas (+)
21/12/18 Nyeri dada berkurang, sesak berkurang
22/12/18 Nyeri dada berkurang, sesak berkurang
23/12/18 Nyeri dada berkurang, sesak berkurang
3. Data Objektif
Tabel 3. Data Pemeriksaan Vital
Pemerik- Nilai 18/12 19/12 20/12 21/12 22/12 23/12
saan Rujukan
TD 120/80 160/ 150/ 90 150/ 90 130/ 80 120/ 90 130/ 70
90
RR 15-20 20 20 20
Suhu 36,5-37,5 36,2 36 36,5 36,5 36 36,4
Nadi 60-100 84 84 80 80 88 80

Tabel 4. Data Pemeriksaan Laboratorium


Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan 18/12 19/12 20/12 21/12 22/12
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Leukosit 5.000-10.000 *14.400
Eritrosit 4,2-5,4
Hemoglobin 12-14 4.64
Hematokrit 37-42 13,4
Trombosit 150000- 42
450000 245.000
Laju Endap Darah <20 *48
Hitung Jenis
Basofil 0-1 0
Eosinofil 1-3 1
Neutrofil Batang 2-6 2
Neutrofil Segmen 50-70 70
Limfosit 20-40 20
Monosit 2-8 7
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah <200 *283 *372
Sewaktu
Gula Darah Puasa 70-100 *251 *307 *307 *216 144
Fungsi Ginjal
Ureum 17-43 27
Kreatinin 0,6-1,1 *1,5
Jantung
CK <190 *1150
CKMB <25 *80
Elektrolit
Natrium (Na) 134-146 141
Kalium (K) 3,4-4,5 3,4
Clorida (Cl) 96-108 108
IMUNOSEROLOGI
Troponin I Negatif Negatif
4. Data UGD
Tabel 5. Data UGD Pasien
Subjek Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri nembus sampai
lengan tangan kiri, punggung. Sesak napas (+) jika jalan
sedikit, mual (+), Kentut (+)
Objek TD *150/100
RR *28
Nadi 102
Suhu 36,6oC
O2 98
Assessment Diagnosa Awal : Gastritis
Diagnosa Kerja : DM, CHF
Plan Inj Ceftriaxone 2x1 g
Inj Lasix 2x1
Inj Omeprazole 1x1
Glikuidon 2x30 mg

5. Terapi Obat Pulang


Tabel 6. Terapi Obat Pulang
Nama Obat Dosis Regimen Terapi
Glikuidon 30 mg 3x1
ISDN 5 mg 3x1
Bisoprolol 5 mg 1x1
Valsartan 80 mg 2x1
Simvastatin 20 mg 1x1
Clopidogrel 75 mg 1x1
Acarbose 50 mg 3x1
Cefixime 200 mg 2x1
Apidra 3x10 ui
Omeprazole 2x1
KSR 20 mg 2x1
Lantus 1x15 ui

6. Terapi Obat Selama Perawatan


Tabel 7. Terapi Obat Selama Perawatan
Obat yang Rejimen 18/12/1819/12/1820/12/1821/12/1822/12/1823/12/18
digunakan terapi
Inj OMZ 1x1 √ stop
Inj lasix 2x1 √ √
Inj 2x1gr √ √ √ √
ceftriaxon
Cefixime 2x200 mg √ √
Glikuidon 3x30mg √ √ √ √ √ √
Valsartan 2x8mg √ √ √ √
Simvastatin 1x20mg √ √ √ √
Bisoprolol 1x2,5 mg √ √ √ √
ISDN 3x5mg √ √ √ √
Inj arixtra 1x2,5mg √ √ √
Aspilet 1x80 mg √ √ √ √
CPG 1x75mg √ √ √ √
Inj 2x40mg √ √ √
Pantoprazol
Diazepam 1x1 √ √ √ √
Acarbose 3x50 mg √ √ √ √ √
Lantus 1x √ √ √ √
20 ui 24ui 20 ui 15ui
Apidra 3x10ui 3x4 ui √ √ √
KSR √ √

Tabel 8. Khasiat Obat dan Dosis


Obat yang Rejimen Dosis Lazim Keterangan Indikasi
digunakan terapi
Inj OMZ 1x1 40 mg1xsehari (DIH) Tepat dosis Ulkus peptik
Inj Lasix 2x1 20-40 mg 1x (DIH) Tepat dosis Diuretik
Inj Ceftriaxon 2x1gr 1-2 g (DIH) Tepat dosis Antibiotika
Cefixime 2x200 mg 400 mg/hari (DIH) Tepat dosis Antibiotika
Glikuidon 3x30mg 15-120 mg/hari (DIH) Tepat dosis DM tipe 2
Valsartan 2x80mg 80/160mg 1xsehari Tepat dosis Antihipertensi
(DIH)
Simvastatin 1x20mg 20-40 mg/ 1x sehari Tepat dosis Pencegahan
(DIH) kardiovaskular
Bisoprolol 1x2,5 mg 2,5-5 mg/hari (DIH) Tepat dosis Antihipertensi
ISDN 3x5mg 5-20 mg tiap 8-12 jam Tepat dosis Angina
(Medscape) pectoris
Inj arixtra 1x2,5mg 2,5 mg 1xsehari (DIH) Tepat dosis NSTEMI
Aspilet 1x80 mg 75-162 mg 1xsehari Tepat dosis NSTEMI
(DIH)
CPG 1x75mg 75 mg 1xsehari (DIH) Tepat dosis NSTEMI
Inj Pantoprazol 2x40mg 40 mg 2xsehari (DIH) Tepat dosis Peptik ulkus
Diazepam 1x1 2-10 mg 2-4 Tepat dosis Ansietas
times/day(DIH)
Acarbose 3x50 mg Max BB>60 kg =100 Tepat dosis DM tipe 2
mg 3x sehari
Lantus 1x 20 ui 10 unit 1xsehari Tepat dosis DM tipe 2
(range: 2-100 unit/hari)
(DIH)
Apidra 3x4 unit Awal 0,2 unit/kg Tepat dosis DM tipe 2
3x10ui (europa.eu)
KSR 2x600 mg 20 mEq/ hari Tepat dosis Profilaksis
(medscape) hipokalemia

B. Pembahasan
1. CHF
Tabel 10. SOAP CHF
Subjek Sesak napas, mual
Objek CK *1150
CKMB *80
Kalium 3,4
Assessment CHF
Plan Inj Lasix 2x1 g
Valsartan 2x8 mg
Bisoprolol 1x2,5 mg
Simvastatin 1x20 mg
Inj Pantoprazol 2x40 mg
KSR 2x20 mEq
Gambar 3. Classification of Heart Failure by Structural Abnormality or by
Symptoms Relating to Functional Capacity (NYHA)
(ACCF/AHA 2013)

Pasien Ny. R berusia 65 tahun datang ke RSAL Dr.Mintohardjo pada


tanggal 18 Desember 2018 melalui ruang UGD jam 16:36 dengan keluhan nyeri
dada kiri nembus sampai lengan tangan kiri, punggung. Sesak napas jika berjalan
sedikit, mual. Pemeriksaan menunjukkan TD 150/100, pernapasan 28 x/menit,
nadi 102 x/menit dan suhu 36,6°C. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung,
hipertensi, diabetes mellitus dan stroke. Berdasarkan keluhan pasien yaitu sesak
napas jika berjalan sedikit, pasien termasuk class III stage C. Pada Gambar 3
dapat dilihat class III yaitu aktivitas fisik biasa namun menunjukan gejala gagal
jantung.
Gambar 4. Terapi Pengobatan CHF (ESC 2016)

Pasien mengalami keluhan mual dan mendapatkan pantoprazole untuk


mengatasi mual. Mual berupakan manifestasi klinis tidak spesifik yang dialami
pasien. Pemilihan terapi pasien CHF berdasarkan alogaritma yaitu diuretik,
ACEI/ARB kemudian ditambah beta bloker (ESC 2012). Terapi yang diberikan
dokter sudah sesuai dengan alogaritma. Obat yang diberikan yaitu inj lasix
(diuretik), valsartan (ARB) dan bisoprolol (beta bloker). Penggunaan obat diuretik
dapat menimbulkan ketidakseimbangan elektrolit sehingga penggunaan KSR
untuk mencegah hipokalemia.

2. Diabetes Nefropati
Tabel 11. SOAP Diabetes Nefropati
Subjek -
Objek Gula Darah Sewaktu *283
Gula Darah Puasa *251
Kreatinin *1,5
Leukosit *14.400
Assessment Diabetes Mellitus
Plan Glikuidon 3x30 mg
Acarbose 3x50 mg
Apidra 3x4ui, 3x10 ui
Lantus 1x20 ui, 24 ui, 20 ui
Ceftriaxone 2x1 g

Gambar 5. Penggunaan Obat Antidiabetes Oral pada Pasien Gagal Ginjal


berserta rekomendasi dosis (NDT 2015)

Pasien didiagnosa diabetes mellitus tipe 2 dengan adanya kerusakan pada


ginjal yang biasa disebut diabetes nefropati. Pasien mendapatkan terapi obat
antidiabetes glikuidon, acarbose, lantus dan apidra untuk menurunkan kadar gula
darah pasien. Pasien juga mengalami kerusakan pada ginjal dengan nilai GFR
37,19 mL/min yang berarti pasien mengalami gagal ginjal stage 3. Glikuidon dan
acarbose dengan warna hijau tua aman digunakan pada pasien gagal ginjal stage
3. Pada Gambar 2. warna hijau berarti memberikan efek yang menguntungkan.
Lantus merupakan insulin basal atau long acting untuk menurunkan resiko gejala
hipoglikemik. Sedangkan apidra merupakan insulin bolus atau rapid acting untuk
DM tipe 2 yang digunakan sebelum makan.
Penyebab gagal ginjal kronik salah satunya adalah infeksi. Infeksi yang
terjadi pada beberapa bagian ginjal yang berbeda seperti glomerolus dan sel
tubulointerstitial. Pada kasus ini, pasien mengalami infeksi, dapat dilihat pada
nilai leukosit yang meningkat sehingga pemberian antibiotik tepat untuk kondisi
ini.

3. Hipertensi
Tabel 12. SOAP Hipertensi
Subjek -
Objek TD *150/100
Assessment Hipertensi
Plan Valsartan 2x80 mg
Bisoprolol 1x2,5 mg

Gambar 6. Alogaritma Pemilihan Terapi Hipertensi (JNC 8)

Pasien memiliki tekanan darah tinggi, menurut Gambar 3. hipertensi


komplikasi diabetes dengan atau tanpa CKD menggunakan terapi ACEI atau ARB
tunggal atau dikombinasi dengan golongan lain. Pada kasus ini, pasien
mendapatkan obat antihipertensi valsartan (ARB) yang dikombinasi dengan
bisoprolol (beta bloker). Beta bloker aman digunakan karena merupakan terapi
pada pasien hipertensi dengan gagal jantung, infark miokard, diabetes mellitus
dan CKD. Lihat pada Gambar 4.

Gambar 7. Terapi Pengobatan Hipertensi dengan Komplikasi


(Dipiro 2015)

Gambar 8. Terapi Pengobatan Hipertensi dengan CKD (Dipiro 2015)

Pemberian terapi pada pasien hipertensi dengan CKD sudah tepat yaitu
mendapatkan obat antihipertensi valsartan (ARB) dan bisoprolol (betabloker)
(Dipiro 2015).

Gambar 9. Terapi Hipertensi dengan Infark Miokard


Angina pectoris merupakan manifestasi dari infark miokard. Beta blocker
menurunkan adrenergik stimulasi jantung dan mengurangi risiko infark miokard
(Dipiro 2015).

4. Angina Pectoris
Tabel 13. SOAP Angina Pectoris
Subjek keluhan nyeri dada kiri nembus sampai lengan
tangan kiri, punggung
Objek CKMB *80
Assessment Angina Pectoris
Plan ISDN 3x5 mg
Aspirin 1x80 mg
Clopidogrel 1x75 mg
Inj arixtra 1x2,5mg
Diazepam 1x1
Bisoprolol 1x2,5 mg

Gambar 10. Alogaritma Terapi Angina Pectoris (Dipiro 2015)

Pemilihan terapi pada pasien angina pectoris yaitu pertama diberikan obat
golongan nitrat lalu beta bloker. Apabila terapi berhasil, diberikan aspirin, bila
kontraindikasi berikan clopidogrel (Dipiro 2015). Terapi yang didapat pasien
sudah tepat, namun penggunaan aspirin dan clopidogrel dapat dipilih salah satu
saja karena dapat meningkatkan pendarahan.
Gambar 11. Produk Nitrat (Dipiro 2015)

Gambar 12. Terapi Obat Angina (ESC 2016)

Pada tanggal 22/12 pasien didiagnosa angina pectoris. Angina pectoris


merupakan manifestasi penyakit jantung koroner berupa rasa nyeri atau tidak
nyaman di dada akibat berkurangnya pasokan oksigen ke daerah otot jantung
(Depkes RI 2006). Beberapa obat antiangina efektif lainnya telah dipelajari pada
pasien dalam jumlah yang besar dengan disfungsi HFrEF/LV dan terbukti aman
yaitu amlodipin, nicorandi dan nitrat (ESC 2016).

Gambar 13. Penggunaan Benzodiazepin pada Pasien Angina Pectoris


(Huffman J C et al 2010)
Depresi dan kecemasan terjadi pada tingkat tinggi pada pasien yang
menderita sindrom koroner akut. Pengobatan untuk depresi dan kecemasan pasien
jantung sangat penting untuk membantu pasien menghindari dampak buruk dari
penyakit ini terhadap kualitas hidup dan kesehatan jantung. Benzodiazepin
(diazepam) efektif dalam mengatasi kecemasan akut dan efektif dalam pengobatan
beberapa gangguan kecemasan (Huffman J C et al 2010)

Gambar 14. Penggunaan Aspirin dan Clopidogrel (Zhou el at 2012)

Pada tanggal 19/12 pasien diberikan obat simvastatin, aspilet dan


clopidogrel. Pada kasus ini, pasien diberikan aspirin bersamaan dengan
clopidogrel. Meskipun penambahan aspirin pada clopidogrel menghasilkan
pengurangan relatif kecil pada kejadian kardiovaskuler, infark miokard dan srroke
namun menghasilkan peningkatan terjadinya pendarahan (Zhou el at 2012).

Gambar 15. Penggunaan Statin pada Pasien Angina Pectoris (ESC 2016)
Statin harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI tanpa melihat
nilai kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet (PERKI 2015).
Statin mengurangi tingkat kejadian kardiovaskular dan mortalitas. Aspirin atau
agen antiplatelet terbukti mengurangi risiko perkembangan gagal jantung (ESC
2016).

Gambar 16. Penggunaan Fondaparinux pada Pasien


Sindrom Koroner Akut (Blick el al 2008)

Fondaparinux sodium (Arixtra) diindikasikan untuk mencegah


pembentukan trombus pada pasien dengan sindrom koroner akut, infark miokard
elevasi segmen ST, non STEMI atau angina tidak stabil. Sehingga penggunaan inj
arixtra pada pasien ini sudah tepat (Blick el al 2008).

Tabel 14. Drug Related Problem


DRP (Drug Related
Ya Tidak Keterangan
Problem)
Ada Indikasi, Tidak ada terapi - √ -
Obat tanpa indikasi - √ -
Obat tidak tepat - √ -
Dosis berlebih - √ -
Dosis kurang √ -
Tidak menggunakan obat - - -
(kepatuhan, ekonomi)
Ada efek samping dan alergi - √ -
Interaksi obat √ -
Tabel 9. Interaksi Obat
Interaksi Mekanisme Interaksi Rekomendasi
Clopidogrel- Obat yang dapat mempengaruhi Hentikan penggunaan
Fondaparinux hemostatis seperti dekstran, agenantikoagulan lainnya sebelum
(Mayor) trombolitik atau antikoagulan memulai terapi fondaparinux
dapat mempotensiasi risiko
pendarahan terkait penggunaan
LMWH, fondaparinux
Aspirin- Fondaparinux dan aspirin Penggunaan NSAID jika
Fondaparinux keduanya meningkatkan diberikan secara kronis atau
(Mayor) antikoagulasi dosis tinggi sebaiknya dihentikan
sebelum memulai terapi
fondaparinux

Interaksi obat yang terjadi yaitu clopidogrel-fondaparinux dan aspirin-


fondaparinux dengan level signifikansi mayor. Interaksi yang terjadi antara
clopidogrel dan fondaparinux yaitu obat yang dapat mempengaruhi hemostatis
seperti dekstran, agen trombolitik atau antikoagulan dapat mempotensiasi risiko
pendarahan terkait penggunaan LMWH, fondaparinux. Rekomendasi yang
diberikan yaitu hentikan penggunaan antikoagulan lainnya sebelum memulai
terapi fondaparinux. Interaksi yang terjadi lainnya yaitu aspirin dan fondaparinux.
Fondaparinux dan aspirin keduanya meningkatkan antikoagulasi. Rekomendasi
yang diberikan yaitu penggunaan NSAID jika diberikan secara kronis atau dosis
tinggi sebaiknya dihentikan sebelum memulai terapi fondaparinux.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengkajian dan analisa pemantauan terapi obat yang
dilakukan pada pasien Ny. R di ruang rawat inap Pulau Selayar, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Pasien Ny.R didiagnosa CHF, Diabetes Mellitus, Hipertensi dan Angina
Pectoris
2. Dari hasil pemantauan terapi obat terhadap Ny. R dapat dikatakan sudah
cukup efektif dan maksimal karena pengobatan yang diberikan sudah sesuai
dengan indikasi dan regimen. Hal ini dapat dilihat dari keluhan pasien juga
berkurang dan mengalami perbaikan
3. Adanya drug related problem yaitu adanya interaksi obat
B. Saran
Berdasarkan hasil pengkajian dan analisa pemantauan terapi obat yang
dilakukan pada pasien Ny. R di ruang rawat inap Pulau Selayar, dapat disarankan
agar:
1. Dilakukan pemeriksaan laboratorium kembali setelah pasien mendapatkan
terapi obat untuk mengetahui efektivitas dari pengobatan yang diperoleh
pasien selama perawatan
2. Hentikan penggunaan antikoagulan lainnya sebelum memulai terapi
fondaparinux
3. Penggunaan NSAID jika diberikan secara kronis atau dosis tinggi sebaiknya
dihentikan sebelum memulai terapi fondaparinux
4. Monitoring tekanan darah, glukosa dalam darah
5. Pada penentuan terapi obat sebaiknya apoteker dilibatkan dan diikutsertakan
agar pasien mendapatkan obat yang tepat dan dapat menhindari terjadinya
DRP
6. Memberikan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada pasien dan
keluarga pasien terkait penyakit dan pengobatan yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2018. Standards Of Medical Care In Diabetes.


USA. ADA

American Heart Association. 2013. Asian & Pacific Islanders and Cardiovascular
Disease. Statistical Fact Sheet 2013 Update. American Heart
Association, Inc.

(Blick el al 2008. Fondaparinux Sodium : A Review of Its Use In The


Management of Acute Coronary Syndromes. Vol 8 (2)

Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V. 2012.


Pharmacoteraphy Handbook Ninenth Edition. McGraw-Hill Education.
New York.
Direktorat Binfar Komunitas dan Klinik. 2006. Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Diabetes Mellitus. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Hlm. 24-25, 27.

Febtrina & Nurhayati. 2017. Hubungan Gaya Hidup dengan Kejadian Rawat
Ulang Pasien Gagal Jantung di RSUD Arifin Achmad. Vol 11 (4) ; 332

Hasyim & Bambang. 2014. Edukasi Penyakit Hipertensi, Asam Urat dan
Diabetes pada Warga Dusun Ngepuh Lor, Desa Banyusidi, Pakis,
Magelang, Jawa Tengah. Vol 3 (3) ; 146-147

Huffman J C et al. 2010. The Relationship Between Depression, Anxiety and


Cardiovaskular Outcomes in Patient with Acute Coronary Syndromes. Vol
6 ; 123,130

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar


(Riskesdas) Indonesia tahun 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Maulidta K W. 2015. Gambaran Karakteristik Pasien CHF di Instalasi Rawat


Jalan RSUD Tugurejo Semarang. Vol 15 (1) ; 55

Nephrol Dial Transplant. 2015. Clinical Practice Guideline on Management of


Patient with Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage 3b or Higher
(eGFR <45 mL/min). Clinical Practice Guideline

Nirmalasari N. 2017. Deep Breathing Exercise dan Active Range of Motion


Efektif Menurunkan Dyspnea Pada Pasien Congestive Heart Failure. Vol
2 (2) ; 160

PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus


Tipe2 di Indonesia Tahun 2015. PERKENI. Jakarta. Hlm. 6-9, 20

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular


Edisi Pertama

Putri dkk. 2016. Pencegahan Penyakit Kardiovasakular pada Pasien Diabetes


Mellitus Rawat Jalan : Fokus pada Penggunaan Antiplatelet, Statin dan
Antihipertensi yang Belum Rasional. Vol 5 (3) ; 170

Putri R I 2015. Faktor Determinan Nefropati Diabetik Pada Penderita Diabetes


Mellitus di RSUD Dr. M. Soewandhie Surabaya. Vol 3 (1) ; 110-111
Saunders WB. 2000. Goldman: Cecil Textbook of Medicine. Edisi 21. W. B.
Company. Hlm. 74-80

Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.P., dan
Kusnandar, 2013. ISO Farmakoterapi. ISFI Penerbitan. Jakarta. Hlm
92-106

Tambayong. 2000. Patofisiologi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Hlm 90

Zhou et al. 2012. Effect of Combined Aspirin and Clopidogrel theraphy on


Cardiovascular outcomes: a Systematic Review and Meta Analysis. Vol 7
(2)

Anda mungkin juga menyukai