Anda di halaman 1dari 50

TUGAS KHUSUS

LAPORAN PEMANTAUAN TERAPI OBAT PADA PASIEN DENGAN


DIAGNOSA DEMAM TIFOID DAN MENINGOENSEFALITIS TB DI RUMAH
SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO
Jl. Bendungan Hilir No. 17 Jakarta Pusat
PERIODE 1 Maret – 29 Maret 2019

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktik Kerja Lapangan (PKL)

Dosen Pembimbing:
Hendri Aldrat, M.Si., Ph.D., Apt.
Nishpi Amallia, S. Farm., Apt.

Disusun Oleh:

Linda Mazroatul Ulya 11151020000104

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan laporan praktik kerja lapangan yang berjudul “Pemantauan Terapi
Obat Pada Pasien dengan Diagnosa Demam Tifoid dan Meningoensefalitis TB di
RSAL Dr. Mintohardjo”.
Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas tugas
praktik kerja lapangan pada Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penyusun menyadari bahwa kegiatan praktik kerja lapangan dan laporan praktik
kerja lapangan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang
membangun penyusun butuhkan demi kesempurnaan karya ilmiah yang akan datang.
Penyusun berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya
dan pembaca pada umumnya.

Ciputat, 12 April 2018

Penyusun

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Praktik Kerja Lapangan ini diajukan oleh:


Nama : Linda Mazroatul Ulya
NIM : 11151020000104
Judul :Pemantauan Terapi Obat Pada Pasien dengan Diagnosa Meningoensefalitis TB
di RSAL Dr. Mintohardjo

Sebagai tugas akhir Praktik Kerja Lapangan Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu
Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL)
Mintohardjo periode 18 Maret 2019 sampai 1 April 2019

Telah distujui oleh:

Pembimbing Prodi Farmasi UIN Syarif Pembimbing Praktik Kerja Lapangan


Hidayatullah Jakarta RS AL Mintohardjo

Hendri Aldrat. MSi., Ph.D., Apt. Nishpi Amallia,S. Farm., Apt.


NIP.197405212005011002

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................................iii

DAFTAR ISI....................................................................................................................iv

BAB I.................................................................................................................................5

PENDAHULUAN.............................................................................................................5

1.1. Latar Belakang....................................................................................................5

1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................6

1.3. Tujuan.................................................................................................................7

BAB II...............................................................................................................................8

TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................8

2.1. Tatalaksana Pemantauan Terapi Obat....................................................................8

2.2.Definisi Meningoensefalitis...................................................................................10

2.3.Patofisiologi Meningoensefalitis...........................................................................10

2.4.Diagnosa dan Manifestasi Klinik..........................................................................12

2.5.Penatalaksanaan Terapi.........................................................................................14

2.6. Definisi Demam Tifoid…………………………………………………………16


2.7. Patofisiologi Demam Tifoid………...………………………………… …… …17
2.8. Diagnosa dan Manifestasi Klinik…………………………………………...…..17
2.9. Penatalaksanaan Terapi …………………. … ………...… …… … …… …… 18
BAB III………………………………………………………………………..…..……18
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN.....................................................................18

BAB IV............................................................................................................................32

KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................................32

iv
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..33
LAMPIRAN…………………………………………………………………………....35

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan
oleh salmonella typhi. Demam tifoid di jumpai secara luas di berbagi negara
berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Data World
Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insiden 600.000 kasus kematian tiap
tahun (Riyanto, 2016).
Hingga saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan masalah
kesehatan di negara-negara tropis termasuk indonesia. Kejadian demam tifoid di
dunia sekitar 16 juta kasus setiap tahunnya, 7 juta kasus terjadi di asia Tenggara,
dengan angka kematian 600.000 kejadian demam tifoid di indonesia sekitar 760-
810 kasus per 100.000 pertahun, dengan angka kematian 3,1-10,4% (Nasronudin,
2017).
Kemudian meningoensefalitis merupakan salah satu infeksi sistem saraf
pusat yang merupakan masalah serius dan membutuhkan pengenalan serta
penanganan segera untuk memperkecil gejala sisa dan memastikan kelangsungan
hidup pasien (Baoezier, 2002).
Meningitis merupakan inflamasi yang terjadi pada meninges, paling
banyak disebabkan infeksi pada leptomeninges dan ruangan subarakhnoid.
Etiologi penyakit ini cukup beragam. Dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan
jamur (Hapsara, 2011). Ensefalitis adalah inflamasi pada otak yang umumnya
menyebabkan pasien mengalami demam, sakit kepala, dan perubahan status
mental. Sebagian besar pasien juga mengalami inflamasi pada meninges, sehingga
tampakan klinis yang ada tumpang tindih dengan meningoensefalitis (Bronstein,
Shields & Glaser, 2014).
Pada 890.000 kasus meningitis anak yang terjadi setiap tahun (500.000 di
Afrika, 210.000 di Negara-negara pasifik, 100.000 di Eropa dan 80.000 di
Amerika), 135.000 kasus berakhir dengan kematian dan 160.000 kasus mengalami
gejala sisa yang meliputi gangguan perkembangan dan gangguan pendengaran
(WHO, 1995). Epidemik penyakit meningokokus terjadi di daerah-daerah di mana
orang tinggal bersama untuk pertama kalinya, seperti barak tentara selama
mobilisasi, kampus perguruan tinggi dan ibadah haji tahunan. Walaupun pola
siklus epidemik di Afrika tidak dipahami dengan baik, beberapa faktor sudah
dikaitkan dengan perkembangan epidemik di daerah sabuk meningitis. Faktor-
faktor itu termasuk: kondisi medis (kerentanan kekebalan tubuh penduduk),
kondisi demografis (perjalanan dan perpindahan penduduk dalam jumlah besar),
kondisi sosial ekonomi (penduduk yang terlalu padat dan kondisi kehidupan yang
miskin), kondisi iklim (kekeringan dan badai debu), dan infeksi konkuren (infeksi
pernafasan akut). (Brouwer, 2010)
Penatalaksanaan terapi pada pasien meningitis TB bertujuan untuk
mencegah kerusakan otak lebih lanjut serta meningkatkan kualitas hidup pasien.
Dalam proses pemberian terapi pada pasien memungkinkan terjadinya
ketidaksesuaian dalam pencapaian terapi suatu obat atau yang biasa disebut DRP.
Pelayanan praktik farmasi klinik mengahruskan tenaga kesehatan terutama
farmasis meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam proses pelayanan
kesehatan, memahami penyakit dan tatalaksana terapi dengan memperhatikan
kondisi pasien secara individual, serta mampu mengidentifikasi adanya masalah
dalam pengobatan (DRP).
Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko untuk mengalami
masalah terkait obat; oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan terapi obat
(PTO). PTO merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan
terapi obat yang aman, efektif dan rasional. Pemantauan terapi obat mencakup
pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi dan
rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Menurut penelitian yang dilakukan
di negara maju menunjukkan masalah terkait obat yang sering muncul adalah
masalah pemberian obat yang kontraindikasi dengan kondisi pasien, cara
pemberian yang tidak tepat, pemberian dosis yang sub terapetik dan interaksi obat.
Berdasarkan data tersebut di atas, pemantauan terapi obat harus dilakukan secara
berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar
keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui. Dalam hal ini, keberadaan

7
apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya masalah
terkait obat melalui pemantauan terapi obat (Departemen Kesehatan RI, 2009).

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah kerasionalan dan ketepatan pemberian terapi obat pada
pasien di RSAL Dr. Mintohardjo yang menderita demam tifoid ?
2. Bagaimanakah kerasionalan dan ketepatan pemberian terapi obat pada
pasien di RSAL Dr. Mintohardjo yang menderita meningoensefalitis TB?

1.3. Tujuan
1. Memberikan terapi obat yang rasional kepada pasien
2. Mencegah terjadinya efek merugikan akibat adanya DRP pada pasien
3. Meningkatkan kemampuan menganalisa DRP pasien
4. Memberikan kontribusi nyata sebagai farmasi dalam dunia praktik

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tatalaksana Pemantauan Terapi Obat


Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit/bagian di rumah
sakit yang melakukan pekerjaan dan memberikan pelayanan kefarmasian secara
menyeluruh, khususnya kepada pasien, profesional kesehatan rumah sakit serta
masyarakat pada umumnya.
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Kegiatan tersebut mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara
pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan terapi obat harus
dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode
tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui. Tatalaksana
Pemantauan Terapi Obat meliputi :
a. Seleksi Pasien
Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untukseluruh
pasien. Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkandengan jumlah
pasien, maka perlu ditentukan prioritas pasien yangakan dipantau. Seleksi dapat
dilakukan berdasarkan:
1) Kondisi Pasien.
Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakitsehingga
menerima polifarmasi, pasien kanker yang menerima terapi sitostatika, pasien
dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal, pasien geriatri dan
pediatri, pasien hamil dan menyusui serta pasien dengan perawatan intensif.

2) Obat
a) Jenis Obat
Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi seperti : obat dengan
indeks terapi sempit (contoh:digoksin, fenitoin), obat yang bersifat
nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan hepatotoksik (contoh: OAT),

9
sitostatika (contoh: metotreksat), antikoagulan (contoh: warfarin,
heparin), obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh :
metoklopramid, AINS), obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).
b) Kompleksitas regimen
Pasien yang menerima pengobatan dengan kondisi polifarmasi, variasi
rute pemberian, variasi aturan pakai, dan cara pemberian khusus
(contoh: inhalasi).
b. Pengumpulan Data Pasien
Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data
tersebut dapat diperoleh dari: rekam medik, profil pengobatan pasien/pencatatan
penggunaan obat, wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga
kesehatan lain. Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien
mengenai pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang
dapat diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi pasien, keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat
penggunaan obat, riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik,
laboratorium, diagnostik, diagnosis dan terapi.
c. Identifikasi Masalah Terkait Obat
Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya
masalah terkait obat.
d. Rekomendasi Terapi
Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup
pasien, yang dapat dijabarkan sebagai berikut : Menyembuhkan penyakit (contoh:
infeksi), menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri),
menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal) serta
mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).
e. Rencana Pemantauan
Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan
perencanaan pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

10
f. Tindak Lanjut
Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat
oleh apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama
dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian
tujuan terapi. Informasi dari dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh
diperlukan untuk menetapkan target terapi yang optimal. Komunikasi yang efektif
dengan tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan untuk mencegah
kemungkinan timbulnya masalah baru (Departemen Kesehatan RI, 2009).
2.2. Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella Typhi. Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, gram negatif,
tidak berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal
370C, bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung
empedu. Isolat kuman Salmonella Typhi memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi
fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif, sedangkan hasil negatif pada
reaksi indol, fenilalanin deaminase, urease dan DNase (Price, 2012).
Bakteri Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara
lain antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik
grup.Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam
flagella dan bersifat spesifik spesies. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida
dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen ini
menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi
antigen O dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif
bakteri dan efektivitas vaksin (Price, 2012).
Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagaian
terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan,
lipopolisakarida dan lipid A. Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi
aglutinin di dalam tubuh. Sedangkan, Outer Membran Protein (OMP) pada
Salmonella Typhi merupakan bagian terluar yang terletak di luar membran
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan
sekitarnya. OMP sebagain besar terdiri dari protein purin, berperan pada
patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon

11
imun host. OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan
ke membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag
dan bakteriosin (Price, 2012).
2.3. Patofisiologi Demam Tifoid
Patofisiologi menurut Thompson 2017 disebabkan oleh Salmonella Typhi.
Manusia yang terinfeksi bakteri Salmonella Typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi.
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari penempelan bakteri ke
lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, bertahan hidup di
aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke lumen intestinal.
Bakteri Salmonella Typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam
tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam
banyakbakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus,
melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus
tepatnya di ileum dan yeyunum.Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch
merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella Typhi.
(Thompson, 2017)
Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa
usus.Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kemudian
mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati
sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo Endothelial System (RES) di organ
hati dan limpa. Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya
melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa,
sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Ekskresi
bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui
feses.Endotoksin merangsang makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal
dan mesenterika untuk melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan
nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis
pada demam tifoid. (Thompson, 2017)
Penularan Salmonella Typhi sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita

12
atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama dengan feses.Dapat juga terjadi
transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada pada keadaan
bakterimia kepada bayinya.(Thompson, 2017)
2.4. Diagnosa dan Manifestasi Klinis Demam Tifoid
Gambaran klinis demam tifoid pada anak umur < 5 tahun, khususnya di
bawah 1 tahun lebih sulit diduga karena seringkali tidak khas dan sangat
bervariasi.Masa inkubasi demam tifoid berkisar antara 7-14 hari, namun dapat
mencapai 3-30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal,
yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala dan tanda klinis yang biasa ditemukan. Gejala semua
pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. (Thompson,
2017)
Demam berlangsung 3 minggu bersifat febris, remiten dan suhu tidak
terlalu tinggi.Pada awalnya suhu meningkat secara bertahap menyerupai anak
tangga selama 2-7 hari, lebih tinggi pada sore dan malam hari,tetapi demam bisa
pula mendadak tinggi. Dalam minggu kedua penderita akan terus menetap dalam
keadaan demam, mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga dan mencapai
normal kembali pada minggu keempat.1 Pada penderita bayi mempunyai pola
demam yang tidak beraturan, sedangkan pada anak seringkali disertai menggigil.
Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan nyeri, perut kembung, konstipasi dan
diare.Konstipasi dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian
pada minggu kedua timbul diare. Selain gejala – gejala yang disebutkan diatas,
pada penelitian sebelumnya juga didapatkan gejala yang lainnya seperti sakit
kepala , batuk, lemah dan tidak nafsu makan. (Thompson, 2017)
Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid antara lain
adalah pembesaran beberapa organ yang disertai dengan nyeri perabaan, antara
lain hepatomegali dan splenomegali. Penelitian yang dilakukan di Bangalore
didapatkan data teraba pembesaran pada hepar berkisar antara 4 – 8 cm dibawah
arkus kosta. Tetapi adapula penelitian lain yang menyebutkan dari mulai tidak
teraba sampai 7,5 cm di bawah arkus kosta.
Penderita demam tifoid dapat disertai dengan atau tanpa gangguan
kesadaran. Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak terlalu dalam,

13
yaitu apatis sampai somnolen. Selain tanda – tanda klinis yang biasa ditemukan
tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak
dapat ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan karena emboli dalam kapiler
kulit.Kadang-kadang ditemukan ensefalopati, relatif bradikardi dan epistaksis
pada anak usia > 5 tahun. (Thompson, 2017)
2.5. Penatalaksanaan Demam Tifoid
Menurut Rajesh 2015, penggunaan antibiotik merupakan terapi utama pada
demam tifoid, karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella Typhi
berhubungan dengan keadaan bakterimia. Pemberian terapi antibiotik demam
tifoid pada anak akan mengurangi komplikasi dan angka kematian,
memperpendek perjalan penyakit serta memperbaiki gambaran klinis salah
satunya terjadi penurunan demam.2 Namun demikian pemberian antibiotik dapat
menimbulkan drug induce fever, yaitu demam yang timbul bersamaan dengan
pemberian terapi antibiotik dengan catatan tidak ada penyebab demam yang lain
seperti adanya luka, rangsangan infeksi, trauma dan lainlain. Demam akan hilang
ketika terapi antibiotik yang digunakan tersebut dihentikan. Kloramfenikol masih
merupakan pilihan pertama pada terapi demam tifoid, hal ini dapat dibenarkan
apabila sensitivitas Salmonella Typhi masih tinggi terhadap obat tersebut. Tetapi
penelitian-penelitian yang dilakukan dewasa ini sudah menemukan strain
Salmonella Typhi yang sensitivitasnya berkurang terhadap kloramfenikol, untuk
itu antibiotik lain seperti seftriakson, ampisilin, kotrimoksasol atau sefotaksim
dapat digunakan sebagai pilihan terapi demam tifoid.
1. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi demam tifoid
yang bersifat bakteriostatik namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat
bakterisid terhadap kuman- kuman tertentu serta berspektrum luas.Dapat
digunakan untuk terapi bakteri gram positif maupun
negatif.Kloramfenikol terikat pada ribosom subunit 50s serta menghambat
sintesa bakteri sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses
sintesis protein kuman.Sedangkan mekanisme resistensi antibiotik ini
terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai
faktor-R. Masa paruh eliminasinya pada bayi berumur kurang dari 2

14
minggu sekitar 24 jam.Dosis untuk terapi demam tifoid pada anak 50-100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Lama terapi 8-10 hari setelah suhu
tubuh kembali normal atau 5-7 hari setelah suhu turun.Sedangkan dosis
terapi untuk bayi 25-50 mg/kgBB.
2. Seftriakson
Seftriakson merupakan terapi lini kedua pada kasus demam tifoid
dimana bakteri Salmonella Typhi sudah resisten terhadap berbagai obat.
Antibiotik ini memiliki sifat bakterisid dan memiliki mekanisme kerja
sama seperti antibiotik betalaktam lainnya, yaitu menghambat sintesis
dinding sel mikroba, yang dihambat ialah reaksi transpeptidase dalam
rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Dosis terapi intravena untuk
anak 50-100 mg/kg/jam dalam 2 dosis, sedangkan untuk bayi dosis
tunggal 50 mg/kg/jam.
3. Ampisilin
Ampisilin memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan
mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.Pada
mikroba yang sensitif, ampisilin akan menghasilkan efek bakterisid.Dosis
ampisilin tergantung dari beratnya penyakit, fungsi ginjal dan umur
pasien.Untuk anak dengan berat badan 7 hari diberi 75 mg/kgBB/hari
dalam 3 dosis.
4. Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara trimetoprim
dan sulfametoksasol, dimana kombinasi ini memberikan efek
sinergis.Trimetoprim dan sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatik
obligat pada mikroba.Sulfametoksasol menghambat masuknya molekul
PAmino Benzoic Acid (PABA) ke dalam molekul asam folat, sedangkan
trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara
selektif.Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksasol lebih
rendah daripada masing-masing obat, karena mikroba yang resisten
terhadap salah satu komponen antibiotik masih peka terhadap komponen
lainnya.Dosis yang dianjurkan untuk anak ialah trimetoprim 8

15
mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2
dosis.
5. Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap berbagai
kuman gram positif maupun gram negatif aerobik. Obat ini termasuk
dalam antibiotik betalaktam, di mana memiliki mekanisme kerja
menghambat sintesis dinding sel mikroba. Mekanisme penghambatannya
melalui reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan
dinding sel. Dosis terapi intravena yang dianjurkan untuk anak ialah 50 –
200 mg/kg/h dalam 4 – 6 dosis. Sedangkan untuk neonatus 100 mg/kg/h
dalam 2 dosis pada penelitian – penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, menyebutkan bahwa pasien dengan deman tifoid
menunjukkan respon klinis yang baik dengan pemberian seftriakson
sehari sekali. Lama demam turun berkisar 4 hari, hasil biakan menjadi
negatif pada hari ke – 4 dan tidak ditemukan kekambuhan. Pada kasus
MDRST anak, seftriakson merupakan antibiotik pilihan karena aman.
Sedangkan pada penggunaan antibiotik kloramfenikol lama demam turun
berkisar 4,1 hari, efek sampingnya berupa mual dan muntah terjadi pada 5
% pasien. Kekambuhan timbul 9 - 12 hari setelah obat dihentikan pada 6
% dari kasus, hal ini berhubungan dengan lama terapi yang < 14 hari.

Gambar 2.1. Guideline Typhoid Fever


(API Recommendations for the Management of Typhoid Fever. Journal
of The Association of Physicians of India)

16
2.5. Definisi Meningoensefalitis
Meningoesefalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang
biasanya merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi
ensefalomielitis, penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection. Ensefalitis
merupakan hasil dari inflamasi parenkim otak yang dapat menyebabkan disfungsi
serebral. Ensefalitis sendiri dapat bersifat difus atau terlokalisasi. Organisme
tertentu dapat menyebabkan encephalitis dengan satu dari dua mekanisme yaitu
dengan infeksi secara langsung pada parenkim otak atau merupakan sebuah
respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immune-mediated
response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula pada beberapa hari
setelah munculnya manifestasi ekstraneural. (Tunkel, 2017)
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang
jarang disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada meningitis
yang disebabkan oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan gambaran
yang sama yaitu pada meningitis yang disebabkan organisme lain (lyme disease,
sifilis dan tuberculosis), infeksi parameningeal (abses otak, abses epidural, dan
venous sinus empyema), pajanan zat kimia (obat NSAID, immunoglobulin
intravena), kelainan autoimn dan penyakit lainnya. (Tunkel, 2017)

2.6. Patofisiologi Meningoensefalitis


Invasi organisme harus mencapai ruangan subarachnoid. Proses ini
berlangsung secara hematogen dari saluran pernafasan atas dimana di dalam
lokasi tersebut sering terjadi kolonisasi bakteri. Walaupun jarang, penyebaran
dapat terjadi secara langsung yaitu dari fokus yang terinfeksi seperti (sinusitis,
mastoiditism, dan otitis media) maupun fraktur tulang kepala. (Lazoff, 2015)
Organisme yang umum menyebabkan meningitis (seperti N.Meningitidis,
S.pneumoniae, H. influenzae) terdiri atas kapsul polisakarida yang
memudahkannya berkolonisasi pada nasofaring anak yang sehat tanpa reaksi
sistemik atau lokal. Infeksi virus dapat muncul secara sekunder akibat penetrasi
epitel nasofaring oleh bakteri ini. Selain itu melalui pembuluh darah, kapsul
polisakarida menyebabkan bakteri tidak mengalami proses opsonisasi oleh
pathway komplemen klasik sehingga bakteri tidak terfagosit. (Lazoff, 2015)

17
Pada perjalanan patogenesis meningitis bakterial terdapat fase bakterial
dimana pada fase ini bakteri mulai berpenetrasi ke dalam cairan serebropsinal
melalui pleksus choroid. Cairan serebrospinal kurang baik dalam menanggapi
infeksi karena kadar komplomen yang rendah dan hanya antibody tertentu saja
yang dapat menembus barier darah otak. (Lazoff, 2015)
Dinding bakteri gram positif dan negatif terdiri atas zat patogen yang
dapat memacu timbulnya respon inflamasi. Asam teichoic merupakan zat patogen
bakteri gram positif dan lipopolisakarida atau endotoksin pada gram negatif. Saat
terjadinya lisis dinding sel bakteri, zat-zat pathogen tersebut dibebaskan pada
cairan serebrospinal. (Lazoff, 2015)
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur
darah dan Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika disesuaikan dengan kuman
penyebab. Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada
pemilihan antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab
serta perubahan dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala
klinis kemungkinan akan menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling
sedikit 14 hari setelah hasil kultur CSF akan menjadi negatif (Tunkel, 2017).
Ensefalitis adalah penyakit yang sama dari sistem saraf pusat. Penyakit ini
adalah suatu peradangan dari parenkim otak. Seringkali, terdapat agen virus yang
bertanggung jawab sebagai promotor. Masuknya virus terjadi melalui jalur
hematogen atau neuronal. Ensefalitis yang sering terjadi adalah ensefalitis yang
ditularkan oleh gigitan nyamuk dan kutu yang terinfeksi virus. Virus berasal dari,
Flavivirus, dan Bunyavirus keluarga Togavirus. Seringkali, penyebab ensefalitis
ini menyebabkan tanda-tanda dan gejala yang sama. Konfirmasi dan diferensiasi
berasal dari pengujian laboratorium. Namun, manfaatnya terbatas pada sejumlah
patogen diidentifikasi. (Tunkel, 2017)

18
2.7. Diagnosa dan Manifestasi Klinik
Gejala meningoensefalitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan tekanan
intrakranial (Tunkel, 2017) :
a. Nyeri kepala
b. Muntah
c. Fotofobi
d. Kaku kuduk
e. Demam
f. Kesadaran menurun
g. Kejang
Beberapa hal yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien dengan
meningoencephalitis antaralain:
a. Kesadaran menurun
b. Panas
c. Tanda-tanda kaku kuduk dengan tanda kernig dan Brudzinsky positif
d. Pada anak : adanya fontanella mencembung
e. Bisa dengan parese nervi kranialis
f. Hemiparesis
g. Adanya rash, kemungkinan karena bakteri atau virus
h. Fotofobia
i. Defisit neurologis
Pemeriksaan penunjang yang disarankan pada meningoencephalitis
antaralain:
a. Analisis, kultur, dan tes sensitifitas LCS
Temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal pada beberapa gangguan
sistem saraf pusat dipaparkan pada tabel 1.3.

19
Tabel 1.3. Temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal
pada beberapa gangguan sistem saraf pusat (Tunkel, 2017)
Kondisi Tekanan Leukosit (/μL) Protein Glukosa Keterangan
(mg/dL) (mg/dL)
Normal 50-180 <4; 60-70% 20-45 >50 atau 75%  Kondisi
mm H2O limfosit, glukosa darah menunjukkan
30-40% monosit, tanda normal
1-3% neutrofil
Meningitis Biasanya 100-60,000 +; 100-500 Terdepresi Organisme
bakterial akut meningkat biasanya apabila dapat dilihat
beberapa ribu; dibandingkan pada Gram
PMNs dengan stain dan
mendominasi glukosa kultur
darah;
biasanya <40
Meningitis Normal 1-10,000; >100 Terdepresi Organisme
bakterial atau didominasi atau normal normal dapat
yang sedang meningkat PMNs tetapi dilihat;
menjalani mononuklear sel pretreatment
pengobatan biasa mungkin dapat
mendominasi menyebabkan
Apabila CSF steril
pengobatan
sebelumnya telah
lama dilakukan
Tuberculous Biasanya 10-500; PMNs 100-500; <50 usual; Bakteri tahan
meningitis meningkat mendominasi lebih menurun asam mungkin
: dapat pada awalnya tinggi khususnya dapat terlihat
sedikit namun kemudian khususnya apabila pada
meningkat limfosit dan saat pengobatan pemeriksaan
karena monosit terjadi tidak adekuat usap CSF;
bendunga mendominasi blok
n cairan pada akhirnya cairan
serebrospi serebrospi
nal pada nal
tahap
tertentu

Kondisi Tekanan Leukosit (/uL) Protein Glukosa Keterangan


(mg/dL) (mg/dL)
Viral Normal PMNs 20-100 Secara umum
meningitis atau mendominasi normal, dapat
atau meningkat pada awalnya terdepresi
meningoence tajam namun kemudian hingga 40
falitis monosit pada beberapa
mendominasi infeksi virus

20
pada akhirnya, (15-20% dari
jarang lebih dari mumps)
1000 sel kecuali
pada eastern
equine
Abses Normal 0-100 PMNs 20-200 Normal Profil
(infeksi atau kecuali pecah mungkin
parameninge meningkat menjadi CSF normal
al)
Fungal Biasanya 25-500; PMNs 20-500 <50; Budding yeast
meningkat mendominasi menurun dapat terlihat
pada awalnya khususnya
namun kemudian apabila
monosit pengobatan
mendominasi tidak adekuat
pada akhirnya

b. Analisis, kultur, dan tes sensitifitas darah


c. Head CT-Scan
d. Pemeriksaan CRP
2.8. Penatalaksanaan Terapi
Adapun penatalaksanaan menurut Tunkel tahun 2017 yaitu :

a. Antibiotik
1) Berikan pengobatan antibiotik lini pertama sesegera mungkin.
a) seftriakson: 100 mg/kgBB IV-drip/kali, selama 30-60 menit setiap 12
jam.
b) sefotaksim: 50 mg/kgBB/kali IV, setiap 6 jam.
2) Pada pengobatan antibiotik lini kedua berikan:
a) Kloramfenikol: 25 mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam.
b) ditambah ampisilin: 50 mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam.
3) Jika diagnosis sudah pasti, berikan pengobatan secara parenteral selama
sedikitnya 5 hari, dilanjutkan dengan pengobatan per oral 5 hari bila tidak
ada gangguan absorpsi. Apabila ada gangguan absorpsi maka seluruh
pengobatan harus diberikan secara parenteral. Lama pengobatan
seluruhnya 10 hari.
4) Jika tidak ada perbaikan:

21
a) Pertimbangkan komplikasi yang sering terjadi seperti efusi subdural
atau abses serebral. Jika hal ini dicurigai, maka pasien dirujuk.
b) Cari tanda infeksi fokal lain yang mungkin menyebabkan demam,
seperti selulitis pada daerah suntikan, mastoiditis, artritis, atau
osteomielitis.
c) Jika demam masih ada dan kondisi umum anak tidak membaik setelah
3–5 hari, ulangi pungsi lumbal dan evaluasi hasil pemeriksaan CSS
5) Jika diagnosis belum jelas, pengobatan empiris untuk meningitis TB dapat
ditambahkan. Untuk meningitis TB diberikan OAT minimal 4 rejimen:
a) INH: 10 mg/kgBB /hari (maksimum 300 mg) - selama 6–9 bulan
b) Rifampisin: 15-20 mg/kgBB/hari (maksimum 600 mg) – selama 6-9
bulan
c) Pirazinamid: 35 mg/kgBB/hari (maksimum 2000 mg) - selama 2 bulan
pertama
d) Etambutol: 15-25 mg/kgBB/hari (maksimum 2500 mg) atau
Streptomisin: 30-50 mg/kgBB/hari (maksimum 1 g) – selama 2 bulan
b. Steroid
1) Prednison 1–2 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, diberikan selama 2–4
minggu, dilanjutkan tapering off. Bila pemberian oral tidak
memungkinkan dapat diberikan deksametason dengan dosis 0.6
mg/kgBB/hari IV selama 2–3 minggu.
2) Deksametason 10 mg IV kemudian diteruskan 4 mg IV 4 x sehari hingga
gejala klinis membaik, dosis dapat dikurangi dari 2 hingga 4 hari
pemberian dan hentikan pemakaian pada 5-7 hari.
c. Perawatan Penunjang
Pada anak yang tidak sadar:
1) Jaga jalan napas
2) Posisi miring untuk menghindari aspirasi
3) Ubah posisi pasien setiap 2 jam
4) Pasien harus berbaring di alas yang kering
5) Perhatikan titik-titik yang tertekan.
d. Tatalaksana pemberian cairan dan Nutrisi

22
Berikan dukungan nutrisi dan cairan sesuai dengan kebutuhan. Lihat tata
laksana pemberian cairan dan nutrisi.
e. Pemantauan
Pasien dengan kondisi ini harus berada dalam observasi yang sangat ketat.
1) Pantau dan laporkan segera bila ada perubahan derajat kesadaran, kejang,
atau perubahan perilaku anak.
2) Pantau suhu badan, denyut nadi, frekuensi napas, tekanan darah setiap 6
jam, selama setidaknya dalam 48 jam pertama.
3) Periksa tetesan infus secara rutin.
Pada saat pulang, nilai masalah yang berhubungan dengan syaraf, terutama
gangguan pendengaran. Ukur dan catat ukuran kepala bayi. Jika terdapat
kerusakan syaraf, rujuk anak untuk fisioterapi, jika mungkin; dan berikan
nasihat sederhana pada ibu untuk melakukan latihan pasif. Tuli
sensorineural sering terjadi setelah menderita meningitis. Lakukan
pemeriksaan telinga satu bulan setelah pasien pulang dari rumah sakit.
f. Tindakan kesehatan masyarakat
Bila terjadi epidemi meningitis meningokokal, nasihati keluarga untuk
kemungkinan adanya kasus susulan pada anggota keluarga lainnya
sehingga mereka dapat melaporkan dengan segera bila hal tersebut
ditemukan.

23
Gambar 2.1 Tuberculosis Meningitis Guideline
(WHO. Report for the WHO Meningitis Guideline Revision, May 2014)

24
BAB III
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

3.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. Li S
Medical recod : 213932
Usia : 17 tahun 0 bulan 14 hari
Berat badan : 35 kg
TTL : jakarta, 12/02/2007
Agama : islam
Stat. pernikah : belum menikah
Status : BPJS – TNI AL
Pekerjaan : pelajar
Alamat : jl. Laut maluku 34 komp TNI AL cipulir keby.lama Jak.
selatan
Tanggal masuk : 26 feb 2019 pukul 14:08:10
Diagnosa awal : demam tifoid
Diagnosa kerja : obs febris, cephalgia, os eksforia – hidrosefalus
Diagnosa akhir : hidrosefalus ec meningitis
Dokter : dr. Magdalena, Sp.A ; dr. Budi, Sp.S

3.2 Perjalanan Diagnosa

Tanggal Diagnosa
26 feb 2019 Demam tifoid

1 maret 2019 Cephalgia

6 maret 2019 Hidrosefalus ec meningitis

10 maret 2019 Meningoenchepalitis TB

25
3.3 Catatan Medis Gawat Darurat
a. Data subjektif (auto anamnesa)
1) Panas 5 hari
2) Mual (-) muntah (-)
3) Nyeri kepala (+)
b. Riwayat alergi (-)
c. Riwayat penyakit dahulu (-)
d. Data objektif
1) Keadaan Umum : Sedang
2) Tekanan Darah : 120/90 mmHg
3) Pernafasan : 18 x/ menit
4) Nadi : 90x / menit
5) Suhu : 37,6 °C
6) Saturasi O2 :97 %
e. Diagnosa Kerja
1) Obs febris
2) Gastritis
f. Diagnosa banding : demam tifoid
g. Konsultasi
1) Ranitidine 2 x 1 ampul
2) Omeprazole 1 x 1 ampul
3) Episan 3 x 1 cth
4) Ceftriaxone 2 x 1 vial
3.4 Catatan Medis Awal Rawat Inap
a. Data Subjektif (auto anamnesa)
1) Panas 5 hari
2) Mual (-) muntah (-)
3) Nyeri kepala (+)
b. Riwayat alergi (-)
c. Riwayat penyakit dahulu (-)

26
d. Data objektif
1) Keadaan Umum : Sedang
2) Tekanan Darah : 120/90 mmHg
3) Pernafasan : 18 x/ menit
4) Nadi : 90x / menit
5) Suhu : 37,6 °C
6) Saturasi O2 :97 %
e. Diagnosa Kerja
1) Obs febris
2) Meningoensefalitis TB
f. Diagnose banding : Hidrosefalus
g. Konsultasi
1) INH 300 mg 1 x 1
2) Pirazinamid 500 mg 2 x 1
3) Etambutol 500 mg 1 x 1
4) Rifampisin 300 1 x 1
5) Dexamethasone 4 x 1 ampul

3.5 Data Subjektif Pasien

Tanggal Keluhan
26 Februari 2019 Demam, mual, muntah, nyeri kepala hingga leher.
27 Februari 2019 Demam, mual, muntah
28 Februari 2019 Pusing, mual
1 Maret 2019 Demam turun
2 Maret 2019 Pusing, sakit kepala
3 Maret 2019 Pusing
4 Maret 2019 Sakit kepala hingga leher
5 Maret 2019 Kesakitan, nyeri kepala berat, tidak bisa diajak bicara
6 Maret 2019 Semalaman hanya tidur
7 Maret 2019 Lemas
8 Maret 2019 Tidur terus
9 Maret 2019 Belum bisa berkomunikasi
10 Maret 2019 Tidak dapat berkomunikasi
11 Maret 2019 BAB hitam
12 Maret 2019 Hanya mengerang
13 Maret 2019 Banyak tidur
14 Maret 2019 Lemah dan somnolen

27
15 Maret 2019 Bisa mengucap kata

3.6 Data Objektif Pasien

Tanda vital Rujukan 26/02/19 27/02/19 28/02/19 1/03/199 2/03/19


kesadaran Kompos mentis cm cm Cm Cm Cm
Nadi 70 - 118 90 73 68 84
TD 90/60 - 120/80 120/90 110/70 100/60 100/70
Respirasi 12 – 20 18 68 72 84
Suhu 36.5 – 37.5 37.6 36.6 36 37.7 36.8

Tanda vital Rujukan 3/03/19 4/03/19 5/03/19 6/03/19 7/03/19


kesadaran Kompos mentis cm Cm Cm Delirium Somnolen
Nadi 70 - 118 70 105 84 80 94
TD 90/60 - 120/80 100/60 130/70 130/70 120/70
Respirasi 12 – 20
Suhu 36.5 – 37.5 37.8 36.6 36.11 36 36.8

Tanda Rujukan 8/03/19 9/03/1 10/03/1 11/03/19 12/03/1


vital 9 9 9
kesadaran Kompos somnol somno apatis somnole apatis
mentis en len n
Nadi 70 - 118 70 132 146 110 110
TD 90/60 - 120/80 130/80 148/98 136/90
Respirasi 12 – 20 21 24
Suhu 36.5 – 37.5 37.8 37 36 37.3

Tanda vital Rujukan 13/03/19 14/03/1 15/03/1


9 9
kesadaran Kompos mentis Somnole apatis cm
n
Nadi 70 - 118 114 85 89
TD 90/60 - 120/80 132/90 129/91 133/96
Respirasi 12 – 20 18 18 15

Suhu 36.5 – 37.5 37.2 36.5 36.5

28
3.7 Data Objektif Laboratorium

Jenis 27-02-19 04-03- Unit Nilai Kesimpula


pemeriksaan 19 Normal n
IMUNOSEROLOGI
s. Typhi – H Positif Negatif +
1/160
s. Paratyphi H- - Negatif
A
s. Paratyphy - Negatif
H=B
s. Paratyphi H- - Negatif
C
s. Typhy – O - Negatif
s. Paratyphi O- - Negatif
A
s. Paratyphi O- - Negatif
B
HEMATOLOGI
Lekosit 7.700 /uL 5.000 – Normal
10.000
Eritrosit 4.11 Juta/uL 4.6- 6.2 Rendah
Hematokrit 37 % 42 – 46 Rendah
Haemoglobin 11.8 g/dL 14 - 16 Rendah
FUNGSI GINJAL

Ureum 12 Mg/dL 17 – 43 Rendah


Kreatinin 0.5 Mg/dL 0.6 – 1.1 Rendah
ELEKTROLIT

Natrium 135 Mmol/L 134 – 146 Noermal


Kalium 3.58 Mmol/L 3.4 – 4.5 Normal
Clorida 100 Mmol/L 98 - 108 Normal
MIKROSKOPIS URINE

Eritrosit 135 /LPB 134 – 146 Normal


CT SCAN

29
Tampak meningeal enhancement di kortikal subkortikal lobus
frontotemproparietalis kiri dan di falk cerebri. Ukuran ventrikel 4 tampak
melebar. Kesimpulan : hidrocephalus komunikans disertai meningeal
enhancemen di kortikal subkortikal frontoteporoparietalis kiri dan falk
cerebri -> gambaran Meningitis TB.

3.9 Rasionalitas Penggunaan Obat Selama Perawatan

Obat Dosis Dosis Rasionalit Indikasi Efek samping


lazim perawatan as
Ranitidi 50 mg 25 mg/ml Sesuai Gastritis, Sakit kepala
ne IM/IV q6- x 2 GERD, nyeri abdomen,
injeksi 8 jam. gastric ulcer konstipasi.
(medscap
e)
Episan 2 gram 2 500 mg x Sesuai Tukak Konstipasi,
syrup x sehari 4 lambung, diare, mulut
(medscap ulkus kering, flatulen
e) duodenum
gastritis.
Ceftriax 1-2 g/hari 500 mg x Sesuai Intra Indurasi,
one iv 2 abdominal eosinofilia,
injeksi (medscap infection, trombositosis,
e) sepsis diare
Omepra kambuh 40 mg x 1 Sesuai Tukak Vertigo,
zole 1x40 mg, lambung, fraktur,
injeksi gerd 1x20 tukak akibat ensefalopati,
m ains, agitasi,
(medscap eradikasi h ginekomastia.
e) pylori,
GERD
Ceftriax 1-2 g/day 500 mg x Sesuai Intra Indurasi,
one iv 2 abdominal eosinofilia,
injeksi (medscap infeksi, trombositosis,
e) sepsis diare
Paracet 325-650 500 mg x Sesuai Analgetik, Disorientasi,
amol mg po 3 antipretik gatal,
q4hr tidak kemerahan,
lebih kebingungan.
3250
mg/hari
(medscap
e)
INH 5-15 300 mg x Sesuai tuberculosis Induksi cyp,

30
mg/kgBB/ 1 Neoropathy,
d maks hilang selera
300 makan, mual
mg/hari mt
(medscap
e)
Pirazina 15-30 500 mg x Sesuai tuberculosis Rasa tidak
mid mg/kgbb/ 2 enak, mual,
d maks 2 muntah
g/hari anoreksia,
(medscap myalgia
e)
Rifampi 10-20 600 mg x Sesuai tuberculosis Induksi enzim
sin mg/kgbb/ 1 sitokrom,
d maks anoreksia,
600 stress, muntah,
mg/hari diare, kram
(medscap
e)

Obat Dosis Dosis Rasionalit Indikasi Efek samping


lazim perawatan as
Etambu 15-20 500 mg Sesuai tuberculosis Hyperurisemi,
tol mg/kgbb/ x1 nyeri abdomen,
d maks anoreksia,
1250 kebingungan
mg/hari
(medscap
e)
Glauco 125- 250 250 mg x Sesuai Deuretik, Sakit kepala,
n po q4hr 3 penurun anoreksia, sakit
(medscap produksi mata
e) CSF
Deksam 4 – 10 mg 1 x 10 mg Sesuai Antiinflamas Bradikardi,
etason IV i jerawat,

31
pruritus,
anafilaksis.

3.10. Pembahasan

Kegiatan Pemantauan Terapi Obat dilaksanakan di Rumah Sakit Angkatan


Laut DR. Mintohardjo, Jakarta pusat pada periode 14 Maret 2019 hingga 30 Maret
2019. Kasus diambil dari 1 pasien rawat inap di ruangan P. Laut Lantai 4. Pasien
merupakan pasien dengan kategori mengalami resiko DRP sehingga perlu
dilakukan pemantauan terapi obat.

Nn L merupakan pasien usia 17 tahun datang ke rumah sakit pada tanggal


21 Feb 2019 dengan keluhan pusing dan demam serta lemah sisi tubuh bagian
kanan. Nn L sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit apapun. Dokter
memberikan diagnosa awal berupa obs.febris dan tifus. Kemudian menyarankan
pasien melakukan uji laboratorium dengan pemeriksaan hemoglobin, leukosit,
hematokrit, trombosit, glukosa darah sewaktu, ureum, kreatinin, kadar natrium,
kalium, dan klorida. Selain itu dokter juga menyarankan pasien melakukan
pemeriksaan rasdologi dan CT scan. Hasil CT scan menunjukkan adanya cairan
dalam kepala. Diagnosis terakhir yang diberikan oleh dokter adalah
meningoensefalitis TB.

3.10.1 Pemantauan Terapi Demam Tifoid & Meningoensefalitis

Tabel SOAP

Subjektif Objektif Assesmen Plan


Demam, nyeri s. typhii (+) Demam tifoid - Ceftriaxone inj 2 x 500 mg
kepala, mual - Ranitidine inj 2 x 25 mg
muntah. - Omeprazole inj 1 x 40 mg
- Episan sirup 3 x 1 cth
- Paracetamol 3 x 500 mg
Somnolen, sensitif Ct scan : Meningoensefali - Dexamethasone inj 1 x 10
cahaya, nyeri meningitis tb tis tb mg
tengkuk, nyeri - INH 1 x 300 mg
kepala hebat. - Pirazinamid 2 x 500 mg
- Rifampisin 1 x 600mg
- Etambutol 1 x 500 mg

32
- Glaucon tab 3 x 250 mg

Pemantauan Terapi Demam Tifoid

Diketahui dari hasil anamnesa pada pasien, gejala sudah timbul sejak
3 hari yang lalu, dari hasil anamnesa tersebut dokter memberikan penanganan
awal terapi antibiotik ceftriaxone dengan dosis 2 x 500 mg dengan terapi
tambahan berupa omeprazole injeksi 1 x 40 mg, episan 3 x 1 cth dan
ranitidine 2 x 1 ampul . Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin yang
mempunyai spektrum luas dengan waktu paruh eliminiasi 8 jam. Efektif
terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Ceftriaxone juga
stabil terhadap enzim betalaktamase yang dihasilkan oleh bakteri. Penelitian
menunjukkan meskipun cefttriaxone memberikan efikasi yang tidak
signifikan terhadap gatifloxacin, tetapi WHO masih menyarankan
menggunakan floroquinolon generasi ke empat (EBM level Ib : Thompson,
2017).

33
Gambar 4.2 EBM Antibiotic for Enteric Fever
(Treatment response in enteric fever in an era of increasing antimicrobial
resistance: an individual patient data analysis of 2,092 participants enrolled
into four randomised controlled trials in Nepal)

Untuk terapi tambahan dokter memberikan terapi awal omeprazole 40


mg, ranitidine 25 mg dan episan. Dari hasil studi RCT menunjukkan bahwa
kombinasi antara PPI, H2RAs dan suklarfat dapat menaikkan risiko GI
bleeding dan pneumonia. Omeprazole dan PPI lainnya terbukti lebih efektif
menurunkan risiko GI bleeding, sedangkan suklarfat dapat menurunkan risiko
pneumonia. (EBM level Ia : Yu, 2018). Pemilihan omeprazole tablet oleh

34
dokter selama perawatan sudah tepat untuk digunakan sebagai terapi
pendukung pasien dengan diagnosa demam tifoid.

Gambar 4.3 EBM SUP Drugs for Critically Patients


(Comparative Efficacy and Safety of Antiulcer Drugs for Stress Ulcer
Prophylaxis (SUP) in Critically Ill Patients: A Systematic Review and
Network Meta-Analysis)

Pemantauan Terapi Meningoensefalitis TB


Diagnosa selanjutnya yaitu meningoensefalitis TB, dokter memberikan
terapi OAT untuk pasien. Obat lini pertama (first line drug) yang digunakan
untuk pengobatan meningitis adalah kombinasi isoniazid (INH), rifampisin,
pirazinamid, etambutol (evidence based medicine (EBM) level Ia : Zenner,
2017). Isoniazid, etambutol, pirazinamid dan rifampisin merupakan kombinasi
yang efektif dan paling sering diberikan karena dapat menyembuhkan 95-98
% kasus tuberkulosis yang diberikan rutin kepada pasien tuberkulosis selama
9 bulan (Katzung et al., 2013). Rifampisin memiliki mekanisme kerja
menghambat RNA polymerase dari Mycobacterium tuberculosis. RNA

35
polymerase Mycobacterium tuberculosis merupakan protein utama yang
sangat penting dalam proses sintesa RNA Mycobacterium tuberculosis.
Sebuah studi RCT mendukung bahwa efikasi dan keamanan penggunaan
kominasi dari ke 4 obat tersebut telah terbukti dengan lama pengobatan selama
6 bulan.

Gambar 4.1 EBM Therapy for Meningitis TB


(Treatment of Latent Tuberculosis Infection:  An Updated Network
Meta-analysis. Ann Intern Med)

Selain pengobatan OAT, dokter juga meresepkan deksametasone sebagai


antiinflamasi untuk pasien. Deksametason 4 – 10 mg (EBM level Ia : Prasad,
2016) adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas imunosupresan dan anti-
inflamasi. Sebagai imunosupresan Deksametason bekerja dengan menurunkan
respon imun tubuh terhadap stimulasi rangsang. Aktivitas anti-inflamasi
Deksametason dengan jalan menekan atau mencegah respon jaringan terhadap
proses inflamasi dan menghambat akumulasi sel yang mengalami inflamasi,
termasuk makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi. Sebuah studi RCT
menagatakan bahwa dexamethasone merupakan anti inflamasi yang
direkomendasikan penggunaannya pada pasien gejala neurologis dan peningkatan
tekanan intrakranial. Dexamethason dapat meminimalkan resiko obliterasi
endarteritis serta meminimalkan resiko adhesi arachnoid. Dexamethasone juga
dapat meningkatkan harapan hidup (Prasad, 2016 ; Thwaites 2004).

36
Gambar 4.4 EBM Dexamethasone for TB Meningitis
(Corticosteroids for managing tuberculous meningitis)

Untuk meredakan demam dan nyeri pasien, dokter memberikan


paracetamol sebagai antipiretik. Parasetamol menghambat siklooksigenase
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat
menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat
siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan
Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada
siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang dengan dosis
500 mg x 3 dengan dosis maksimum 2000 mg / hari. Dilaporkan paracetamol
kurang efektif untuk penderita meningitis dibandingkan dengan deksametason.
(EBM level Ia : Van, 2017). Terapi pada pasien sudah sesuai karena dokter
menghentikan penggunaan paracetamol satu hari setelah diagnosa meningitis TB
dan mengganti dengan dexamethasone.

37
Gambar 4.5 EBM Acetaminophen in Meningitis
(Update on Community-acquired bacterial meningitis : guidance and
Challenges)
Untuk mengurangi retensi cairan yang ada pada cerebrospinal, dokter
memberikan glaucon atau acetazolamide sebanyak 500 mg 1 x sehari atau
glaucon sebagai penekan produksi CSF. Menurut studi Retrospective Cohort
Study (RCS) menyatakan bahwa acetazolamide cocok untuk pasien dengan
cerebrospinal fluids (CSF) degan catatan kenaikan tekanan tidak terlalu
tinggi. (EBM Level : II, Donovan, 2019)

38
Gambar 4.6 Study Acetazolamide for Meningitis TB
(The neurocritical care of tuberculous meningitis, Lancet Neurology)

Dalam kasus ini pengobatan yang diberikan sudah sesuai dengan


pedoman penatalaksanaan meningoensefalitis dalam tatalaksana menurut
WHO 2014. Dengan memberikan terapi antibiotik meningitis serta
melakukan shunting untuk mengeluarkan cairan yang ada dalam meninges.
Kemudian diberikan obat deksamethasone untuk meringankan inflamasi,
serta glaucon untuk membantu mengurangi retensi cairan yang ada pada
cerebrospinal.

3.10.2 Hasil Analisa DRP

No Parameter Hasil
1 Indikasi Tanpa Terapi Tidak ada
2 Pemilihan Obat Tidak Tepat Tidak ada
3 Dosis Terlalu Rendah Tidak ada
4 Dosis Terlalu Tinggi Tidak ada
5 Efek Samping Obat Tidak ada
6 Potensi Interaksi Obat Tidak ada
7 Pasien Tidak Menggunakan Obat Tidak ada
8 Obat Tanpa Indikasi Tidak ada

39
Dari hasil pemantauan terapi pengobatan Nn. Li dengan diagnosa demam
tifoid dan meningoensefalitis TB tidak ditemukan adanya masalah pengobatan
atau DRP (Drug Related Problem).

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemantauan terapi obat yang dilakukan pada Nn L
disimpulkan bahwa pengobatan yang diberikan sudah tepat dan tidak ada
permasalahan terapi atau DRP (Drug Related Problem).

5.2 Saran
Pengobatan dilanjutkan dan perlu dilakukan monitoring tekanan
intrakranial untuk penggunaan glaucon.

40
DAFTAR PUSTAKA

Alan R Tunkel. 2017. Infectious Diseases Society of America’s Clinical


Practice Guidelines for Healthcare-Associated Ventriculitis and
Meningitis. IDSA : America.

Angharad Davis. 2018. Treatment of Tuberculous Meningitis and Its


Complications in Adults. Springer NCBI : US.

Dalbir Shandu. 2017. Current Trends in the Management of


Gastroesophageal Reflux Disease. United States.

Grace E Marks. 2011. Tuberculous Meningitis: Diagnosis and Treatment


Overview. PMC. NCBI. US.

Greenberg, MS. 2013. Coma dalam Handbook of Neurosurgery. 5th Thieme.


NY. Hal 119-123.
Harris, S. 2015. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates
in Neuroemergencies. FKUI. Jakarta. h.1-7.
Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J. 2014, Farmakologi Dasar &
Klinik, Vol.2. Edisi 12. Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et al.,
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Lazoff M, Hemphill RR, Pritz T. Encephalitis Pharmacology Textbook. 2015
Lindsay, KW dan Bone I. Coma and Impaired Conscious Level dalam
Neurology and Neurosurgery Illustrated. Churchill Livingstone, UK. h-81.
Madhya Pradesh. 2014. Standard Treatment Guidelines. Satpura Bhawan.

Marc R Del Bigio. 2016. Nonsurgical Therapy for Hydrocephalus: A


Comprehensive and Critical Review. PMC. NCBI : US

Maripandi Arjuna. 2010. Typhoid Fever With Severe Abdominal Pain:


Diagnosis Aand Clinical Findings Using Abdomen Ultrasonogram,

41
Hematology-cell Analysis and The Widal Test. The journal of infection in
developing country. San Pietro.

Prasad K, Singh MB, Ryan H. 2016. Corticosteroid for Managing


Tuberculosis Meningitis. Cochrane Database of Systematic Reviews 2016,
Issue 4.

Price S.A., Wilson L.M. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta.
Rajesh Upadhyay . 2015. API Recommendations for the Management of
Typhoid Fever. Journal of The Association of Physicians of India. Vol. 63
November 2015.

Sidharta P. 2014. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Dian Rakyat,


Jakarta.
Thompsom, C.N., Karkey, A., Dongol, S. et al. 2017. Treatment response in
enteric fever in an era of increasing antimicrobial resistance: an
individual patient data analysis of 2,092 participants enrolled into four
randomised controlled trials in Nepal. Clinical Infectious Diseases. ISSN
1058-4838.  
Tunkel AR et al. 2018. The Management of Encephalitis: Clinical Practice
Guidelines by the Infectious Diseases Society of America. Clinical
Infectious Diseases. 47:303–27.
UGM Press. 2016. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Van, Ettekoven. 2017. Update on Community-acquired bacterial meningitis :
guidance and Challenges. Netherlands : Elsevier.
Yu, Pulin and Wang, Hongliang and Liu, Haitao and Liu, Miao and Wang, et
al. (June 29, 2018). Comparative Efficacy and Safety of Antiulcer Drugs
for Stress Ulcer Prophylaxis (SUP) in Critically Ill Patients: A Systematic
Review and Network Meta-Analysis Available at
SSRN: https://ssrn.com/abstract=3205565.
Zenner D, Beer N, Harris RJ, Lipman MC, Stagg HR, van der Werf MJ. 2017.
Treatment of Latent Tuberculosis Infection: An Updated Network Meta-

42
analysis. Ann Intern Med. [Epub ahead of print 1 August 2017]167:248–
255. doi: 10.7326/M17-0609

43
LAMPIRAN
A. Tn DH

Data Pribadi Pasien


DATA PRIBADI PASIEN
No
Uraian  
.
1 Nama Tn DH
2 Jenis Kelamin Laki – laki
3 Alamat Jakarta Timur
4 Pekerjaan TNI-AL
5 TB/BB (-)/70 kg
6 Asuransi Kesehatan BPJS
7 Dokter Penanggung Jawab dr. Etra Ariadno. Sp.PD
8 Tanggal Masuk RS 3-Maret-2019
9 Tanggal Keluar RS -
10 DIAGNOSIS Demam Dengue

Lembar Obat Pasien


No Nama Obat Rute Frekuensi Dosis
. Pemberian
1 Infus NaCl 0,9% Intravena 20 tpm
2 Omeprazole injeksi Intravena 1x1 40 mg
3 Ondansentron Intravena 3x1 8 mg
injeksi
4 Paracetamol infus Intravena 2x1 1000 mg
drip
5 Ambroxol Oral 3x1 10 mg

Data Objektif Pasien


Data Objektif Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan (tanggal)
3/03 4/03 5/03
Tekanan 140/90  100/60 90/60 90/80
Darah
RR  16-20x / menit 20 20 20

HEMATOLOGI
Leukosit 5.000-10.000/µl 5. 500 5.900 6.200
Eritrosit 4 ,6-6,2 juta / µl 5, 23 5,20 5,67

44
Data Objektif Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan (tanggal)
3/03 4/03 5/03
Hemoglobin 14-16 g/dL 15, 3 16,0 16,7
Hematokrit  42 – 48 % 47 46 51
Trombosit 150.000 – 115.000 97.000 63.000
450.000 ribu/ µl
Basofil 0 ~1 % 0 - -
Eosinofil 1~3% 1 - -
Neutrofil 2~6% 0 - -
batang
Neutrofil 50 ~ 70 % 80 - -
segmen
Limfosit 20 ~ 40 % 12 - -
Monosit 2~8% 7 - -
IMUNOSEROLOGI
Salmonella Ig M/ Ig G
Ig M Negatif - - Negatif
Salmonella
Ig G Negatif - - Negatif
Salmonella
Dengue Blood Ig G/ Ig M
Dengue Ig G Negatif - - Negatif
Dengue Ig M Negatif - - Negatif
KIMIA KLINIK
Gukosa Darah <200 mg/dL 140 - -
Sewaktu
AST (SGOT) <35 U/l - 79 -
ALT (SGPT) <55 U/l - 50 -
ELEKTROLIT
Natrium 134 ~ 146 133 - -
mmol/L
Kalium 3,4 ~ 4,5 3,85 - -
mmol/L
Clorida 96 ~ 108 95 - -
mmol/L

45
B. Ny II

Data Pribadi Pasien


DATA PRIBADI PASIEN
No
Uraian  
.
1 Nama Ny II
2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Alamat Bogor
4 Pekerjaan PNS-AL
5 TB/BB 160 cm/65 kg
6 Asuransi Kesehatan BPJS
7 Dokter Penanggung Jawab dr. Yudit
8 Tanggal Masuk RS 7-Maret-2019
9 Tanggal Keluar RS -
10 DIAGNOSIS Vertigo of Central Origin

Lembar Obat Pasien


No Nama Obat Rute Frekuensi Dosis
. Pemberian
1 Infus RL Intravena 14 tpm
2 Ranitidine injeksi Intravena 2x1 40 mg
3 Ondansentron Intravena 3x1 8 mg
injeksi
4 Betahistin Oral 3x2 6mg
5 Flunarizine Oral 1x1 10 mg
6 Diazepam Oral 3x1 2 mg
7 Metformin Oral 3x1 500 mg
8 Glimepirid Oral 2x1 2 mg
9 Cefixime Oral 2x1 200 mg

Data Objektif Pasien


Data Objektif Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan (tanggal)
7/10/18 7/03/19
Tekanan Darah 140/90  130/80 130/80
RR  16-20x / menit 20 20

HEMATOLOGI
Leukosit 5.000-10.000/µl 13.400 13.900
Eritrosit 4 ,6-6,2 juta / µl 3,7 4,84

46
Data Objektif Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan (tanggal)
7/10/18 7/03/19
Hemoglobin 14-16 g/dL 11,1 13,1
Hematokrit  42 – 48 % 32 42
Trombosit 150.000 – 341.000 305.000
450.000 ribu/ µl
IMUNOSEROLOGI
Widal
S. Typhi- H Negatif Positif 1/160 -
S. Parayphi H-A Negatif Positif 1/80 -
S. Parayphi H-B Negatif Negatif -
S. Parayphi H-C Negatif Negatif -
S. Typhi - O Negatif Negatif -
S. Paratyphi O-A Negatif Negatif -
S. Paratyphi O-B Negatif Negatif -
S. Paratyphi O-C Negatif Negatif -
KIMIA KLINIK
Gukosa Darah <200 mg/dL 223 -
Sewaktu

C. Tn AG
Data Pribadi Pasien
DATA PRIBADI PASIEN
No
Uraian  
.
1 Nama Tn AG
2 Jenis Kelamin Laki – laki
3 Alamat Jakarta Pusat
4 Pekerjaan Karyawan Swasta
5 TB/BB (-)/70 kg
6 Asuransi Kesehatan BPJS
7 Dokter Penanggung Jawab Dr. Christine A
8 Tanggal Masuk RS 11-Maret-2019
9 Tanggal Keluar RS -
10 DIAGNOSIS CHF + DM

47
Lembar Obat Pasien
No Nama Obat Rute Frekuensi Dosis
. Pemberian
1 Infus RL Intravena 14 tpm
2 Lasix (Furoemid) Intravena 3x1 40 mg
injeksi
3 Novorapid injeksi Intramuskula 3x1 100 UI/ml
r
4 Spironolakton Oral 3x1 25mg
5 Aspilet Oral 1x1 80 mg
6 Nitrokaf Oral 2x1 2,5 mg
7 Simvastatin Oral 1x1 20 mg
8 Captopril Oral 3x1 12,5 mg

Data Objektif Pasien


Data Objektif Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan (tanggal)
11/03 12/03 13/03
Tekanan Darah 140/90  140/90 130/80 110/70
RR  16-20x / menit 28 28 20

HEMATOLOGI
Leukosit 5.000-10.000/µl 9.900
Eritrosit 4 ,6-6,2 juta / µl 6,1
Hemoglobin 14-16 g/dL 17,8
Hematokrit  42 – 48 % 53
Trombosit 150.000 – 223.000
450.000 ribu/ µl
IMUNOSEROLOGI
Troponin I Negatif Negatif
KIMIA KLINIK
Gukosa Darah <200 mg/dL 223
Sewaktu
Ureum 17 ~ 43 mg/dL 25
Kreatinin 0,7 ~ 1,3 mg/dL 0,9
ELEKTROLIT
Natrium 134 ~ 146 132
mmol/L

48
Data Objektif Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan (tanggal)
11/03
Kalium 3,4 ~ 4,5 4,74
mmol/L
Clorida 96 ~ 108 mmol/L 96

D. Tn ES
Data Pribadi Pasien
DATA PRIBADI PASIEN
No
Uraian  
.
1 Nama Tn ES
2 Jenis Kelamin Laki – laki
3 Alamat Lampung
4 Pekerjaan TNI AL
5 TB/BB (-)/70 kg
6 Asuransi Kesehatan BPJS
7 Dokter Penanggung Jawab dr. Tanto budiharto. Sp.JP
8 Tanggal Masuk RS 12-Maret-2019
9 Tanggal Keluar RS -
10 DIAGNOSIS HT Urgency + CAD

Lembar Obat Pasien


No Nama Obat Rute Frekuensi Dosis
. Pemberian
1 Perdipin dalam Intravena 2x1 0,1 tpm
NaCl 50cc
2 Amlodipin Oral 1x1 10 mg
3 Candesartan Oral 1x1 16 mg
4 Bisoprolol Oral 1x1 5mg
5 Miniaspi Oral 1x1 80 mg
6 Nitrokaf Oral 2x1 2,5 mg
7 Simvastatin Oral 1x1 20 mg

Data Objektif Pasien


Data Objektif Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan (tanggal)
12/03 13/03
Tekanan Darah 140/90  250/150 200/140

49
Data Objektif Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan (tanggal)
12/03 13/03
RR  16-20x / menit 20 18
Suhu 36-37° C 36,5° C 37° C
Nadi 70-80x /menit 60,9 85

50

Anda mungkin juga menyukai