Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER MARET 2023


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TONSILOFARINGITIS PADA ANAK

OLEH :

Zhahirah Khofifah Aris


111 2022 2132

PEMBIMBING :
dr. Nur Ayu Lestari, Sp.A, M.Biomed

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN


KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM
INDONESIA MAKASSAR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini, saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Zhahirah Khofifah Aris


NIM 111 2022 2132
Judul : Tonsilofaringitis Pada Anak

Telah menyelesaikan tugas Referat yang berjudul


“Tonsilofaringitis Akut Pada Anak” dan telah disetujui serta telah
dibacakan dihadapan dokter pembimbing klinik dalam rangka
kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Menyetujui, Makassar, Maret 2023


Dokter Pendidik Klinik, Penulis,

dr. Nur Ayu Lestari, Sp.A, M.Biomed Zhahirah Khofifah Aris


111 2022 2132

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat


dan Karunia-Nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarganya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan Referat ini dengan judul “Tonsilofaringitis Akut
Pada Anak” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian dan penulisan Referat ini. Banyak terima kasih juga penulis
sampaikan kepada dr. Nur Ayu Lestari, Sp.A, M.Biomed. sebagai
pembimbing dalam penulisan Referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Referat ini terdapat
banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan Referat
ini. Saya berharap sekiranya Referat ini dapat bermanfaat untuk kita
semua. Aamiin.

Makassar, Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................i

KATA PENGANTAR.................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN............................................................................2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi......................................................................................4

2.2 Epidemiologi.............................................................................4

2.3 Etiologi......................................................................................5

2.4 Faktor Resiko............................................................................6

2.5 Patofisiologi..............................................................................7

2.6 Manifestasi Klinis......................................................................9

2.7 Diagnosis................................................................................10

2.8 Pemeriksaan Penunjang........................................................10

2.9 Penatalaksanaan....................................................................11

BAB III. KESIMPULAN...........................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilofaringitis akut adalah keradangan akut pada jaringan tonsil

dan mukosa faring disertai keradangan jaringan limfoid sekitarnya. Gejala

utama ditandai adanya nyeri tenggorok yang dapat bertambah berat

sehingga penderita merasa sulit menelan oleh karena rasa nyerinya.1

Tonsila Palatina yang disebut tonsil (Gambar 1) merupakan

jaringan limfoid berbentuk oval seperti buah almond, berjumlah sepasang

kiri dan kanan. Masing-masing terletak dalam fosa tonsilaris, yaitu

diantara palatoglosus (plika anterior) dan arkus palatofaringeus (plika

posterior).2

Gambar 1 (Tonsil)

Secara anatomi faring dibagi menjadi 3 bagian, yaitu nasofaring,

orfaring dan laringofaring. Nasofaring merupakan struktur yang dibatasi

oleh dasar tengkorak di bagian atas palatum mole dibagian bawah. 3

2
Orofaring merupakan struktur yang terletak antara palatum mole sampai

ujung epiglottis dan laringofaring terletak mulai ujung epiglottis sampai

sampai tepi bawah kartilago krikoid atau kurang lebih setinggi vertebra

servikalis ke-6. Muskulus di faring yang berperan dalam proses menelan

adalah muskulus longitudinal. 4

Gambar 2 (Struktur Faring)

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tonsilofaringitis akut adalah keradangan akut pada jaringan tonsil

dan mukosa faring disertai keradangan jaringan limfoid sekitarnya yang

dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, bakteri &

jamur. Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme

lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa

dikalahkan oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan

meradang, menyebabkan tonsilitis.1

Gambar 3 (Tonsilofaringitis akut, tampak tonsil dan dinding faring

posterior oedem dan kemerahan)

Proses keradangan tonsil ataupun faring sering disertai adanya

keradangan jaringan sekitarnya, sehingga sulit untuk mengidentifikasi

secara tegas. Beberapa ahli menyimpulkan bahwa mikroorganisme

penyebab tonsilofaringitis akut tidak ada perbedaan bermakna. 1

4
2.2 Epidemiologi

Tonsilitis secara epidemiologi paling sering terjadi pada anak-anak.

Pada balita, tonsilitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus sedangkan

infeksi bakterial lebih sering terjadi pada anak berusia 5-15 tahun. Group

A beta- hemolytic streptococcus merupakan penyebab utama tonsilitis

bacterial. 16

World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data

mengenai jumlah kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan

287.000 anak dibawah 15 tahun mengalami (operasi tonsil). 248.000 anak

(86,4%) mengalami tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%)

menjalani tonsilektomi saja. 12

Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI, angka kejadian

penyakit tonsilitis di Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan data epidemiologi

penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada bulan September 2012,

prevalensi tonsilitis tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar3,8%.

Selain itu, sebuah penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. HasanSadikin

pada periode Maret sampai dengan April 1998 menemukan 1024 pasien

tonsilitis atau sebesar 6,75% dari seluruh kunjungan. 13

Di Indonesia data mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau

tonsiloadenoidektomi belum ada.Namun dari beberapa rumah sakit di

Indonesia, jumlah kunjungan pasien rawat jalan yang disebabkan penyakit

tonsilitis pada 10 tahun terakhir, yaitu pada tahun 2012-2013 berjumlah

5
sebanyak ±55.383 orang sedangkan pasien rawat jalan yang disebabkan

tonsillitis berjumlah ±37.835 orang.14

Sedangkan di Kota Kendari, menurut Laporan Dinas Kesehatan

Kota Kendari pada tahun 2013 penderita tonsilitis masuk dalam urutan ke

13 dari 20 besar penyakit sebanyak 1,17%, tahun 2014 penderita tonsilitis

masih tetap masuk dalam urutan ke 13 kemudian menurun menjadi

1,07%, dan pada tahun 2015 pendaritatonsilitis juga tetap berada dalam

urutan ke 13 dari 20 besar penyakit tetapi 8 meningkat lagi menjadi

1,27%.15

6
2.3 Etiologi

Tonsilofaringitis akut dapat disebabkan oleh infeksi virus (30-60%),

5
infeksi bakteri (5-10%) dan idiopatik. Penyebab tonsilofaringitis akut

tersering adalah virus, antara lain Rhinovirus, Coronavirus, Adenovirus,

Epstein Bar, Cytomegali virus, dll. 6

Bakteri penyebab tonsilofaringitis akut tersering adalah

Stretococcus Group A β -Hemoliticus (Streptococcus Pyogenes) . Pada

penderita tonsilofaringitis akut yang disebabkan bakteri (terutama

Streptococcus Pyogenes) ditemukan sebanyak 15-36%, penyakit ini jarang

terjadi pada anak usia dibawah 2 tahun karena adanya imunitas yang didapat

dari ibunya. Insidens tertinggi terjadi pada usia 5-15 tahun. Bakteri lain adalah

Streptococcus Group C dan group G, streptococcus pneumoniae,

Corynebacterium diptheria, dll. 7

Tonsilofaringitis akut juga disebabkan oleh jamur terutama Candida


8
albicans. Penyebab lainnya adalah radiasi, reflux gastroesofagus, dll.

7
Mikroorganisme penyebab tonsilofaringitis akut menular melalui

percikan ludah penderita atau secret hidung. Kepadatan penghuni dalam

suatu rumah, sekolah, asrama mempermudah penyebaran infeksi. Masa

inkubasi selama 24-72 jam. 8

8
2.4 Faktor Resiko

Berbagai faktor telah diteliti dan dianggap merupakan risiko untuk

terjadinya kambuh pada penderita sindrom nefrotik (SN), yaitu riwayat

atopi, jenis human leucocyte antigen (HLA) tertentu, usia saat serangan

pertama,dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagian atas oleh

virus yang menyertai atau mendahului terjadinya kambuh. Kambuh pada

SN ditandai dengan terjadinya proteinuria setelah mengalami remisi.

Mekanisme proteinuria yang merupakan gejala utama terjadinya kambuh

pada penderita SN belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga melibatkan

pelepasan berbagai jenis sitokin, terutama interleukin (IL-4 dan IL- 13).7

2.5 Patofisiologi

Pada usia 3-10 tahun fungsi imunologi tonsil sangat aktif untuk

memberi tanda tubuh bahwa adanya infeksi bakteri dan virus,

fungsi tonsil akan menurun diusia 15 tahun. 20

Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen

yang berasal dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke

dalam tonsil hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan

peradangan oleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian

terbentuk fokus infeksi. Keadaan ini akan semakin berat jika daya tahan

tubuh penderita menurun akibat peradangan virus sebelumnya. Tonsilitis

akut yang disebabkan oleh bakteri disebut peradangan lokal primer.

Setelah terjadi serangan tonsilitis akut, tonsil akan sembuh atau bahkan

tidak dapat kembali sehat seperti semula. 17

9
Secara patologi terdapat peradangan dari jaringan pada tonsil

dengan adanya kumpulan leukosit, sel epitel yang mati, dan bakteri

pathogen dalam kripta. Fase- fase patologis tersebut ialah: 18

1. Peradangan biasa daerah tonsil saja

2. Pembentukan eksudat

3. Selulitis tonsil

4. Pembentukan abses peritonsiler

5. Nekrosis jaringan

Karena proses radang yang timbul maka selain epitel mukosa juga

jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan

limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan

sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus.

Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya

menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada

anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa dengan

submandibular. 19

2.6 Manifestasi klinis

Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme

lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa

dikalahkan oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan

meradang, menyebabkan tonsilitis. 17

10
Pada anak biasanya keadaan ini juga dapat mengakibatkan

keluhan berupa ngorok saat tidur karena pengaruh besarnya tonsil

mengganggu pernafasan bahkan keluhan sesak nafas juga dapat terjadi

apabila pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan. 17

Gejala tonsilofaringitis akut diawali dengan keluhan rasa kering dan

panas di tenggorok yang bertambah berat, sehingga penderita tidak mau

makan karena rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri hebat dapat menjalar ke

telinga. Selain itu, didapatkan juga panas badan, sakit kepala, anoreksia,

badan terasa lesu, mual dan muntah. 9

11
Batuk, pilek, diare ataupun konjungtivitis biasanya disebabkan

oleh virus. Gejala yang timbul tidak begitu hebat dan berlangsung dalam

jangka waktu pendek. Sedangkan tonsilofaringitis akut yang disebabkan

oleh Stretococcus Group A β -Hemoliticus gejalanya lebih akut, demam

lebih tinggi dan gejala timbul lebih berat. Tetapi tidak jarang terjadi infeksi

ganda oleh Stretococcus Group A β -Hemoliticus dan virus.9

Pada pemeriksaan fisik, tonsil tampak merah, bengkak dan

terdapat eksaudat. Mukosa faring merah, udem disertai granul yang

tampak lebih besar dan merah. Dapat dijumpai adenopati leher bagian

depan. Berat/ringannya gejala klinis yang terjadi dapat bervariasi

tergantung dari virulensi mikroorganisme penyebabnya dan daya tahan

penderita. 10

2.7 Diagnosis

Diagnosis tonsilofaringitis akut ditegakkan berdasarkan anamnesis,

gejala dan tanda klinis. Meskipun sudah diketahui beberapa tanda dan

gejala spesifik untuk menentukan apakah tonsilofaringitis akut disebabkan

oleh virus atau bakteri, tetapi dalam praktik sehari-hari sulit untuk

membedakan kedua penyebab tersebut hanya berdasarkan gejala klinis

saja.10

12
Para ahli sepakat untuk menegakkan diagnosis pasti tonsilofaringitis

akut oleh karena Stretococcus Group A β -Hemoliticus dengan biakan usap

tenggorok ataupun tes deteksi antigen cara cepat (RADT/RAT), namun

dalam praktik sehari-hari pemeriksaan tersebut tidak selalu tersedia.10

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Tonsilitis dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik meliputi

tanda-tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi, frekuensi

pernafasan), pemeriksaan rongga mulut, penilaian ukuran tonsil,

pemeriksaan kelenjar getah bening dan pemeriksaan telinga dan gerakan

leher. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain kultur

bakteri, Rapid Antigen Detection Test (RADT), usap tenggorok

antibodi streptococcus, dan pemeriksaan radiologi. 20

13
2.9 Penatalaksanaan

Agar pemakaian antibiotic pada pengobatan akut rasional, efektif

dan efisien, maka harus dipertimbangkan secara cermat kondisi penderita,

keluhan dan hasil pemeriksaan fisik serta bila perlu hasil pemeriksaan

bakteri/RADT. Untuk itu perlu ditentukan dulu apakah tonsilofaringitis akut

ini penyebabnya bacterial atau non bacterial.11

Jika tonsilofaringitis akut disebabkan oleh virus maka pengobatan

yang diberikan bersifat simptomatis, yaitu pemberian analgetic antipiretik.

Selain itu, dianjurkan minum

14
pertumbuhan terlambat. Selain pemberian kortikosteroid atau

imunosupresan, diperlukan tata laksana suportif.4

Tata laksana suportif

Terapi suportif pada sindrom nefrotik meliputi terapi diitetik, tata

laksana edema, hipertensi, hipovolemia, trombosis, hiperlipidemia, dan

infeksi. Anak dengan manifestasi klinis sindrom nefrotik pertama kali

sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mempercepat diagnosis,

pengaturan diit, tata laksana edema, edukasi orangtua, dan memulai

pemberian steroid. Pasien juga perlu dirawat jika terdapat edema

anasarka, syok, gagal ginjal, infeksi berat, hipertensi berat, atau muntah-

muntah.

Diit

Tata laksana diitetik terdiri atas kalori adekuat sesuai umur, protein

cukup, lemak low saturated, dan rendah garam, Komposisi zat gizi yang

dianjurkan terdiri atas 10-14% protein; 40-50% lemak poly- dan

monounsaturated, 40-50% karbohidrat. Karbohidrat lebih dianjurkan

karbohidrat kom- pleks dibandingkan dengan karbohidrat

sederhana,berupa starch atau dekstrin-maltosa dan hindari pemberian

sukrosa yang dapat meningkatkan gangguan lemak.

Pada dekade lalu, sindrom nefrotik ditata laksana dengan diit tinggi

protein untuk mengatasi hipoalbuminemia, namun tidak ada bukti yang

me- nyebutkan asupan tinggi protein dapat memperbaiki kadar albumin.

15
Diit

16
tinggi protein tidak dianjurkan lagi, bahkan merupakan indikasi kontra

karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa

metabolisme protein pada saat filtrasi (hiperfiltrasi), yang menyebabkan

sklerosis glomerulus. Sebaliknya, diit rendah protein akan menyebabkan

malnutrisi protein dan hambatan pertumbuhan anak. Sekarang ini,

sindrom nefrotik ditata laksana dengan diit protein normal sesuai dengan

recommended daily allowance (RDA) atau 130-140% RDA,yaitu 1,5-2

g/kgbb/ hari. dan dianjurkan protein high-biologic value. Pasien dengan

proteinuria persisten atau berulang perlu meningkatkan asupan protein

harian menjadi 2-,2,5 g/kgbb/hari.

Lemak tidak lebih dari 30% total kalori dan hindari lemak jenuh

karena akan memperburuk hiperlipidemia. Restriksi garam diperlukan jika

terdapat edema, relaps, atau hipertensi yang bertujuan untuk mencegah

dan mengobati edema dan hipertensi, dengan diit rendah garam (1-2

g/hari atau 1 mmol/kgbb/hari atau < 2 mEq/kgbb/hari) dengan membatasi

asupan snack atau makanan mengandung garam, seperti sup, pickles,

dan kentang goreng. Perlu diketahui bahwa garam NaCl terdiri atas 40%

natrium dan 60% klorida. Satu sendok teh garam NaCl sama dengan 6

gram NaCl atau 2400 mg natrium. atau 1 gram NaCl mengandung 400 mg

natrium dan 1 gram NaCl mengandung 17,1 mmol natrium atau 1 mmol

NaCl sama dengan 23 mg natrium. Pada kebanyakan kasus sindrom

nefrotik sensitif steroid, tidak diperlukan restriksi garam dan cairan.

17
Umumnya asupan air tidak perlu dibatasi, dapat diberikan hingga 1,5 kali

kebutuhan, kecuali pada edema berat. Restriksi cairan diperlukan pada

penurunan fungsi ginjal (cairan diberikan sesuai insensible water loss dan

jumlah urin per hari), edema berat (restriksi cairan hingga 50% kebutuhan

rumatan), dan hiponatremia sedang hingga berat (kadar Na < 125 mEq/L).

Edema

Tata laksana edema terdiri atas restriksi cairan, restriksi garam, dan

diuretik. Diperlukan pemantauan penurunan berat badan untuk menilai

efektivitas tata laksana. Sebagian besar sindrom nefrotik sensitif steroid

tidak memerlukan terapi spesifik untuk edema. Pada edema ringan, tata

laksana biasanya bersifat konservatif dengan restriksi cairan hingga dua

pertiga kebutuhan rumatan dan diit rendah garam. Pemberian

kortikosteroid sendiri dapat meningkatkan diuresis dalam 2-4 hari.

Sindrom nefrotik yang memerlukan diuretik adalah sindrom nefrotik

dengan edema, hipertensi, atau peningkatan berat badan bermakna. Pada

penggunaan diuretik perlu dipertimbangkan apakah edema berupa

underfill (volume intravaskular berkurang) atau overfill (retensi natrium

renal primer). Keadaan ini sering sulit dibedakan, tetapi ada panduan

untuk membedakannya. Dicurigai sebagai edema underfill jika terdapat

hipotensi postural, riwayat sindrom nefrotik kelainan minimal, kadar

albumin serum < 2,0 g/dL, dan laju filtrasi glomerulus estimasi > 75%.

Diperkirakan sebagai

18
overfill jika terdapat hipertensi, kadar albumin serum > 2,0 g/dL, dan laju

filtrasi glomerulus estimasi < 50%.

Pemberian diuretik pada edema underfill memerlukan pemantauan hemodinamik

sistemik dan fungsi ginjal untuk meyakinkan tidak terjadi penurunan volume

intravaskular, dan biasanya dimulai dengan diuretik dosis rendah.Pada edema

overfill, perlu pemberian diuretik yang agresif, biasanya loop diuretic yang

mempunyai durasi singkat, biasanya 6 jam sehingga diberikan minimal dua kali

sehari. Penelitian membuktikan bahwa furosemid 1 mg/kgbb secara intravena dua

kali lebih efektif dibandingkan furosemid 2 mg/kgbb secara oral. Jika diberikan

kombinasi loop diuretic dengan thiazide atau loop dengan thiazide like

(metolazone), perlu pemantauan untuk menghindari hipokalemia atau alkalosis.

Penambahan amilorid atau mineralocorticoid-receptor-antagonist (spironolakton)

terhadap pemberian loop diuretic dapat meminimaliser hipokalemia. Diuretik

yang sering digunakan adalah furosemid, loop diuretics yang menghambat

transpor sodium-potassium-2 chloride di thick ascending limb of loop of Henle.

Antiproteinuria

Pada sindrom nefrotik yang masih mengalami proteinuria seperti

sindrom nefrotik relaps sering, dependen steroid, dan resisten steroid

diperlukan pemberian obat antiproteinuria. Beberapa antihihipertensi telah

terbukti mempunyai sifat antiproteinuria seperti angiotensin converting

19
enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin II receptor blocker (ARB).

Antihipertensi yang sering digunakan sebagai antiproteinuria antara lain

kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril, dan losartan. Proteinuria diturunkan

hingga minimal kurang dari proteinuria nefrotik, misalnya < 2 g/1,73

m2/hari atau rasio protein/kreatinin < 0,2 g/mmol dan meningkatkan

albumin darah

> 3,0 g/dL. Jika pasien tetap dalam keadaan nefrotik dan fungsi ginjal
4
baik, dapat dipertimbangkan pemberian anti-inflamasi non steroid.

20
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik

penyakit gromerular yang ditandai dengan proteinuria masif,

hipoalbuminemia, edema dan hiperkoles-terolemia. Pemeriksaan

penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa sindroma

nefrotik adalah urinalisa dan pemeriksaan darah. Pengobatan sindroma

nefrotik pada anak meliputi pengaturan diet, pemberian diuretik yang

bertujuan untuk mengurangi edema, dan pemberian imunosupresan

seperti steroid yang bertujuan untuk menginduksi remisi.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, E.L. & Wannamaker, L.W. 2019, ‘Group A

Streptococcal Infection’ in Textbook Of Pediatric Infection

Disease, 2nd edn, vol. 1, eds. Feigin RD & Cherry JP. WB

Saunders CO, Philadelphia, pp 1312-22.

2. Beasly, P. 2020, ‘Anatomy of the Pharynx and oesophagus’ in Scott-

Brown’s Otolaryngology, Basic Science, 5th edn. Butterworths & Co.,

London, pp 267-71 .

3. Goss, C.M. 2018, ‘The Pharynx’, Anatomy of Human Body.

4. Ballenger, J.J. 2017, ‘Anatomy of the oral cavity and pharynx :

physiologic and surgical aspects’ in Disease of the Nose, Throat

and Ear, 13th edn. Lea & Febriger, Philadelphia, pp 259-70’’.

5. Brunton & Pichichero, M.E. 2017, ‘Considerations in the use of

antibiotics for Stresptococcal Pharyngitis’ in a supplement to the

journal of family practice.

6. Mamesah RS, Umboh A, Gunawan S. Hubungan Aspek Klinis Dan

Laboratorium Dengan Tipe Sindrom Nefrotik Pada Anak. e-CliniC.

2016;4(1):349–53.

7. Budiman A, Hilmanto D, Garna H. Musim Hujan sebagai Faktor

Risiko Kambuh pada Anak Penderita Sindrom Nefrotik Sensitif

Steroid Rainy Season as the Risk Factor of Relapse in Children with

Steroid Sensitive Nephrotic Syndrome. Maj Kedokt Bandung.

2011;4(3):112–6.

22
8. Purnawati E, Hilmanto D, Suardi AU. Hubungan Kadar Albumin

Serum dengan Eritropoetin Serum pada Sindrom Nefrotik Anak

Resisten Steroid. Sari Pediatr. 2016;16(5):315.

9. Nilawati G. Profil Sindrom Nefrotik pada Ruang Perawatan Anak

RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pediatr. 2012;14(4):267–72.

10. Pardede SO. Anemia pada Sindrom Nefrotik Anak: Patogenesis dan

Tata Laksana. Sari Pediatr. 2020;22(1):57.

23

Anda mungkin juga menyukai