Anda di halaman 1dari 41

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN JULI 2021

ASPEK LABORATORIUM DEMAM TIFOID

DISUSUN OLEH :

1. Muhammad Ihsan C014202279

2. Muhammad Alif Fathur Rahman B. C014202281

3. Nurul Indah Sari C014202283

Residen Pembimbing :

dr. Linda Mayliana KN

Supervisor Pembimbing :

Dr. dr. Tenri Esa, Msi, Sp.PK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR
2021

ii
HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL REFERAT: ASPEK LABORATORIUM DEMAM TIFOID

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

1. Nama :Muhammad Ihsan

Nim: C014202279

2. Nama: Muhammad Alif Fathur Rahman B.

Nim: C014202281

3. Nama: Nurul Indah Sari

Nim : C014202283

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Patologi Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Juli 2021

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

Dr. dr. Tenri Esa, Msi, Sp.PK dr. Linda Mayliana KN


DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESEHAN.............................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................2

II.1 Definisi.....................................................................................................................2

II.2 Epidemiologi............................................................................................................3

II.3 Etiologi.....................................................................................................................4

II.4 patofisiologi..............................................................................................................6

II.5 Gejala Kinis..............................................................................................................8

II.6 Diagnosis .................................................................................................................10

II.6.1 Anamnesis.........................................................................................................9

II.6.2 Pemeriksaan Fisik.............................................................................................11

II.6.3 Pemeriksaan Laboratorium...............................................................................12

ii
II.7 Diagnosis Banding...................................................................................................24

II.8 Tatalaksana ..............................................................................................................25

II.9 Prognosis..................................................................................................................31

BAB III KESIMPULAN.....................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................33

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan

oleh salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas berkepanjangan yang

diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri salmonella typhi sekaligus multiplikasi

ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer‟s

patch.11 Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga

dapat tersebar diberbagai negara seperti Laos, Nepal, Pakistan. Demam tifoid

menginfeksi setiap tahunnya 21.6 juta orang (3.6/1.000 populasi) dengan angka

kematian 200.000/tahun.6 Di Indonesia insidensi kasus demam typhoid masih

termasuk tinggi di Asia, yakni 81 kasus per 100.000 populasi per tahun. Prevalensi

tifoid banyak ditemukan pada kelompok usia Sekolah (5 – 14 tahun) yaitu 1.9% dan

terendah pada bayi (0.8%). Kelompok yang berisiko terkena demam typhoid adalah

anak – anak yang berusia dibawah usia 15 tahun. Demam tifoid masih merupakan

penyakit endemik di Indonesia dengan angka kejadian yang masih tinggi serta

merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan

lingkungan dan sanitasi yang buruk. Demam tifoid juga merupakan salah satu

penyakit menular penyebab kematian di Indonesia (6% dengan n = 1.080), khusus

pada kelompok usia 5 – 14 tahun tifoid merupakan 13% penyebab kematian pada

kelompok tersebut.12

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Demam Tifoid

Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan

penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu

Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi

infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara

berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.1 Demam tifoid termasuk penyakit menular

yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah.

Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan

dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Penularan

Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar oleh

kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman dan biasanya keluar

bersama-sama dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari

seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya.2

Penyakit ini dapat menimbulkan gejala demam yang berlangsung lama,

kemudian panasnya persisten, kontinu atau tipe remiten. Yang disertai dengan

keluhan saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia, nyeri abdominal, diare dan

konstipasi. Kadang juga muncul gejala yang tidak spesifik seperti malaise,

menggigil, sakit kepala, myalgia, dan batuk yang muncul pada awal perjalanan

penyakit. Apatis dan delirium terjadi pada 10-45%, bradikardi relative, lidah kotor,

bercak ros yang ditemukan pada awal penyakit yang sering ditemukan bercak ros.3

2
II.2 Epidemiologi Demam Tifoid

Demam tifoid di negara maju terjadi mencapai 5.700 kasus setiap tahunnya,

sedangkan di negara berkembang demam tifoid mempengaruhi sekitar 21,5 juta

orang per tahun. Secara global diperkirakan setiap tahunnya terjadi sekitar 21 juta

kasus dan 222.000 menyebabkan kematian. Demam tifoid menjadi penyebab utama

terjadinya mortalitas dan morbiditas di negara-negara berpenghasilan rendah dan

menengah.Penelitian yang dilakukan di Kolkata, India menyatakan bahwa daerah

dengan risiko tinggi terkena demam tifoid adalah daerah dengan status ekonomi

rendah. Prevalensi demam tifoid di Jawa Tengah sebesar 1,6%, dan tersebar di

seluruh Kabupaten/Kota dengan rentang 0,2 – 3,5%.Sepanjang tahun 2016 di Jawa

Tengah tercatat sebagai provinsi dengan kasus penyakit suspek demam tifoid

tertinggi yaitu sebanyak 244.071 kasus yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota.4

Berdasarkan data Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) Kementerian

Kesehatan tahun 2016, kasus demam tifoid di Jawa Tengah cenderung fluktuatif.

Pada tahun 2014 terdapat 17.606 kasus, turun pada tahun 2015 terdapat 13.397

kasus, dan naik kembali pada tahun 2016 menjadi 244.071 kasus. Distribusi suspek

demam tifoid menurut tempat, kota Semarang menempati sepuluh besar penyakit

tertinggi selama 4 tahun terakhir. Pada tahun 2016, kota Semarang menempati

urutan ke-9 dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai penderita demam tifoid

terbanyak. Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, persentase Tempat

Pengelolaan Makanan (TPM) yang memenuhi syarat kesehatan secara Nasional

pada tahun 2016 adalah 13,66%. Sedangkan persentase TPM yang memenuhi syarat

di Jawa Tengah tahun 2016 sebesar 8,27%. Capaian ini belum memenuhi target

3
Renstra Kementerian Kesehatan 2016 untuk TPM memenuhi syarat kesehatan yaitu

sebesar 14%. Berdasarkan penelitian Pramitasari (2013) mendapatkan hasil bahwa

kebiasaan jajan diluar penyediaan rumah (p=0,001) mempengaruhi kejadian demam

tifoid pada penderita yang dirawat di RSUD Ungaran. Penelitian Siddiqui (2015)

mendapatkan hasil sebanyak 220 penjamah makanan, 209 orang lainnya, 19 (9,1%)

terjangkit S.enterica. Sebanyak 9 (4,3%) terjangkit S.typhi dan 10 (4,7%) non-

typhoid. 9

II.3 Etiologi Demam Tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak

membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan

rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas

seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan

(suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinisasi.1

Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang menyebabkan

demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering di

daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene yang buruk.5

Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu Salmonella

typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena untuk

menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu

faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus adalah

keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat

melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi Salmonella typhi.

4
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi akan

ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah,

menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti

aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke

dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan

menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum,

kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia sekunder.

Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari

demam typhoid.

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:6,18

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.

Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga

endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan

terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari

kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap

formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah memenuhi

kriteria penilaian.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat

melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di

dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi

yang lazim disebut agglutinin.

5
Gambar 1. Salmonella thypi secara skematik

II.4 Patogenesis Demam Tifoid

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia

melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh

asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila

respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan

menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman

berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman

dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke

plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini

masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bacteremia pertama yang

asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama

hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan

kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk

6
ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya

dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam,

malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.6

Gambar 2. Patogenesis masuknya Salmonella Thyphi

Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis

berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas

seluler berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup

intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas

humoral melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang

akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi

primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi

flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada

pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam.

7
II.5 Gejala Klinis Demam Tifoid

Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang

sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas

dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare

yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa

gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul

komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini

mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya. Gejala klinis

demam typhoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita

dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka

ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,

pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi

dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang

khas disertai komplikasi hingga kematian.7

Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada

semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2

hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena

Streptococcus atau Pneumococcus dari pada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa

didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis

malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Demam tifoid dan

malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang

menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S.typhi

8
juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi

gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik

atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis.

Penderita pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi

usus. Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu:7

1. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat

febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu

tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari

dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita

terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh

berangsur -angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

2. Gangguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak

sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih

kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor.

Pada abdomen mungkin ditemukan 11 keadaan perut kembung (meteorismus).

Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan

konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.8

3. Gangguan kesadaran umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak

berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau

gelisah.8

II.6 Diagnosis

II.6.1 Anamnesis
Orang dengan tifoid umumnya datang dengan demam non-spesifik yang makin
9
parah setelah beberapa hari dan tidak ada perbaikan gejala dengan pengobatan
suportif. Perlu dipastikan juga mengenai riwayat mengonsumsi makanan dan
minuman yang kurang higienis serta paparan terhadap lingkungan dengan
sanitasi yang buruk.

Gejala dapat bervariasi antar individu satu dengan individu lainnya, dari ringan
yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran klinis yang khas. Menurut beberapa
penelitian, di daerah endemik tifoid, pasien tifoid kebanyakan adalah anak-anak
di bawah usia 5 tahun, mengalami demam yang non-spesifik di mana secara
klinis tidak jelas bahwa pasien anak ini terkena infeksi tifoid

a. Demam

Demam atau panas adalah gejala utama demam tifoid. Pada awal sakit,

demamnya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering naik turun. Pada

pagi suhu rendah atau normal, sore dan malam suhu badan tinggi , dan dari

hari ke hari demam makin tinggi yang disetai banyak gejala lain seperti sakit

kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diare frontal, nyeri otot, pegal-

pegal, insomnia, mual dan muntah, pada minggu kedua demam makin

tinggi, kadang terus menerus, pasien membaik maka pada minggu ke 3 suhu

badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3.

b. Gangguan saluran pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang terlalu

lama, bibir kering dan kadang-kadang pecah, lidah kelihatan kotor dan di

tutupi selaput putih ujung lidah dan lidah kemerahan.

10
c. Gangguan kesadaran

Umumnya terdapat gangguan penurunan kesadaran yaitu kesadaran ringan

seperti kesadaran berkabut (tifoid).

d. Hepatosplenomegali

Hati dan limpa, ditemukan sering membesar. (Kemenkes RI, 2016). Demam

ini bisa di ikuti oleh gejala tidak khas lainnya seperti diare, atau batuk pada

keadaan yang parah bisa di sertai gangguan kesadaraan. Komplikasi yang

bisa terjadi adalah perforasi usus, perdarahan usus ,dan koma. Gejala

demam tifoid mengakibatkan tiga kelainan yaitu, demam berkepanjangan,

gangguan system pencernaan, gangguan kesadaran 12

II.6.2 Pemeriksaan Fisik

a. Pada minggu pertama sakit, tanda klinis tifod masih belum khas, mungkin hanya
didapatkan suhu badan meningkat.

b. Pada minggu kedua, tanda klinis menjadi lebih jelas berupa:

1 Distensi abdomen

2 Rose spot berupa bercak-bercak makulopapul berukuran 1-4 cm, dengan


jumlah tidak lebih dari 5, umumnya menghilang dalam 2-5 hari
3 Lidah tampak kotor yang khas ditengah dan tepi, sedang ujungnya merah
dan tremor

4 Teraba bradikardi relatif dan dicrotic pulse (denyut ganda, dimana denyut


kedua lebih lemah dari denyut pertama)

5 Splenomegali

6 Hepatomegali

11
c. Sedangkan pada minggu ketiga biasanya ditemukan:

1 Berat badan menurun selama sakit

2 Tampak konjungtiva terinfeksi

3 Abdomen lebih membuncit

4 Penurunan kesadaran ke dalam typhoid state, yaitu apatis, somnolen,


stupor, confusion, dan bahkan psikosis
5 Penderita tampak takipneu, dengan denyut nadi teraba kecil dan lemah

6 Terdengar krepitasi pada dasar paru

Apabila terjadi komplikasi, akan didapatkan melena, nyeri perut, simptom


neuropsikiatrik, ataupun penurunan kesadaran seperti delirium, kurang waspada,
stupor, koma, bahkan syok 12

II.6.3 Pemeriksaan Laboratorium

Terdapat sejumlah pemeriksan laboratorium yang dilakukan untuk menunjang

diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan laboratorium tersebut meliputi: pemeriksaan

darah tepi, pemeriksaan serologis, kultur dengan cara isolasi kuman, dan

pemeriksaan molekuler, seperti Polimerase Chain Reaction (PCR). Beberapa uji

serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid meliputi: (1) uji widal; (2) tes

anti S. tiphy IgM (TUBEX); (3) metode enzime immunoessay (EIA);(4) metode

enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan (5) pemeriksaan dipstick. Uji

serologis digunakan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi

antibodi spesifik terhadap komponen antigen S.tiphy maupun antigen itu sendiri.

Pemeriksaan serologi berdasarkan deteksi antibodi telah digunakan sebagai

alaternatif kultur darah untuk diagnosis demam tifoid. Tes serologi yag paling

banyak digunakan adalah uji widal yang mendeteksi antibodi aglutinasi terhadap

12
antigen O dan H dari Salmonella typhi. Pemeriksaan widal berdasarkan peningkatan

titer antibodi pada sampel serum ganda dengan jarak 10-14 hari. Namun beberapa

peneliti menemukan bahwa seringkali didapatkan hasil positif palsu. Di daerah

endemik, individu sehat normal mungkin mempunyai antibodi terhadap Salmonella

typhi karena infeski subklinis sebelumnya. Pemeriksaan lain yang rutin

dilakukan adalah uji widal dan kultur Salmonella. Sampai sekarang, kultur masih

merupakan menjadi standar baku dalam penegakan diagnostik demam tifoid. Selain

uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan

dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifitas lebih baik dari

antara lain adalah pemeriksaan serologi IgM/IgG Salmonella. Sensitifitas dan

spesifisitas deteksi antigen spesifik S. typhi bergantung pada jenis antigen, jenis

spesimen, teknik yang dipakai, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal

atau monoklonal dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam

perjalanan penyakit) 17.

A. Pemeriksaan Darah Perifer

Pada pasien demam tifoid, dapat ditemukan berbagai gambaran dari pemeriksaan

darah tepi. Gambaran tersebut, misalnya: anemia. Gambaran leukosit dengan

jumlah yang dapat normal, menurun atau meningkat. Leukositosis dapat terjadi

walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Dapat ditemukan gambaran

trombositopenia. Hitung jenis biasanya normal atau begeser ke kiri. Mungkin

didapatkan aneosinofilia dan linfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Laju

endap darah tidak mempunyai nilai sensitifitas dan spesifisitas untuk menentukan

13
diagnosis demam tifoid. Demam tifoid dapat ditandai dengan leukopenia dan

limfositosis 17.

B. Uji Widal

Prinsip uji widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum

penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik

(O) dan flagella (F) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi

aglutinasi. Deteksi titer antibodi terhadap S. tiphy, S. paratiphy yakni aglutinin O

(dari tubuh kuman) dan aglutinin H (flagella kuman). Pembentukan aglutinin mulai

terjadi pada akhir minggu pertama demam, puncak pada minggu keempat dan tetap

tinggi dalam beberapa minggu dengan peningkatan aglutinin O terlebih dahulu baru

diikuti aglutinin H. Titer antibodi O > 1/320 atau antibodi H > 1/640 menguatkan

diagnosis pada gambaran klinis yang khas.

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi.

Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi

dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal

adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid, yaitu: a) Aglutinin O (dari tubuh kuman), b) Aglutinin H

(flagella kuman), dan c) Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut,

hanya aglutnin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam Tifoid. Semakin

tinggi titernya, semakin besar terinfesi kuman ini. Pembentukan aglutinin ini mulai

14
terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan

mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu.

Pada fase akut, mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H.

Pada orang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,

sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu, uji

widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi uji widal, yaitu:

1) Pengobatan dini dengan antibiotik,

2) gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid,

3) waktu pengambilan darah,

4) daerah endemik dan nonendemik,

5) riwayat vaksinasi,

6) rekasi anannestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam

tifoid akibat infeksi deman tifoid masa lalu atau vaksinasi,

7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain

Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna

diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan

saja. Hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai

laboratorium setempat .Hasil review sistematis menunjukkan reabilitas pemeriksaan

Widal relatif buruk. Sensitivitas rata rata, spesifitas, NPV dan PPV uji Widal tetap

di bawah 80%. Efisiensi uji widal dalam mendiagnosis demam tifoid tanpa tes

konfirmasi lainnya tidak memiliki nilai diagnostik. Oleh karena itu, pemeriksaan

15
widal tidak boleh digunakan sebagai alat diagnostik untuk menyingkirkan demam

tifoid kecuali jika didukung ole gambaran klinis invasif dan pemeriksaan

konfirmasi lainnya.

Tes pemeriksaan widal memiliki sensitivitas 53% dan spesifisitas 83% Hanya

dapat negatif sampai 30% dari kasus demam tifoid dengan kultur. Hal ini mungkin

disebabkan penggunaan antibiotika yang mempengaruhi respon antibodi. Selain itu,

serotipe salmonella lain juga memiliki antigen O dan H, dan dapat mengalami

cross-reactive epitop dengan enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil

positif palsu 17.

Gambar 3 Pemeriksaan Widal14

C. Uji Tubex

Uji Tubex merupakan uji semikuantitatif kolometrik untuk deteksi antibodi anti

Salmonella tiphy 09. Hasil psotif menunjukkan infeksi salmonella serogroup D dan

tidak spesifik S. tiphy. Infeksi S. paratiphy menunjukkan hasil negatif. Sensitivitas

16
75- 80% dan spesifitas 75-90 %. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal,

yang dapat digunakan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, khususnya

di negara berekembang.

Tes Anti S. tiphy IgM merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan resolusi dan sensitifitas. Spesifitas ditingkatkan

dengan menggunakan antigen yang spesifik ditemukan pada Salmonella serogroup

D dan tidak ditemukan pada organisme lain.

Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi

adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa

menit hasil positif pada tes anti S. typhy IgM menunjukkan terjadinya infeksi

salmonella, sedangkan infeksi yang disebabkan oleh serotipe lain seperti S.

paratiphy A, akan memberikan hasil negatif 17.

Gambar 4. Skema dari langkah kerja uji tubex 16

17
Tabel 1: Interpretasi hasil uji tubex 16

Skor Nilai Interpretasi


<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid aktif
Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian,

3 Borderline apabila masih meragukan lakukan pengulangan beberapa hari

kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

D. Uji Typhidot

Uji Typhidot dimaksudkan untuk mendeteksi IgM dan IgG pada protein membran

luar (outer Membran Protein) Salmonella tiphy. Hasil positif diperoleh 2-3 hari

setelah infeksi dan spesifik mengidentifikasi IgM dan IgG terhadap S. tiphy.

Sensitifitas 98%, spesifitas 76,6% (Wibisono 2014). Metode Typhidot-M

merupakan modifikasi dari metode tiphydot telah dilakukan aktivasi dat IgG total

sehingga menghilangkan pengikatan antigen terhadap IgM spasifik. Metode ini

dapat menggantikan Uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk

mendapatkan diagnosis yang cepat dan akurat. Deteksi terhadap IgM menunjukkan

fase awal infeksi pada demam tifoid fase akut, sedangkan deteksi terhadap IgM dan

IgG menunjukkan infeksi pada fase pertengahan infeksi. Uji typhidot dapat

mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar

18
Salmonella typhi Hasil positif pada uji tiphydot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi

dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen

Salmonella typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitrosellulosa.

Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan

sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun, sehingga

pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut

dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeski primer. Untuk mengatasi

masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG

pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan typhidot-M, memungkinkan ikatan

antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien.Hasil uji

sensitifitas terhadap uji typhidot sebesar 98%. Sedangkan spesifitas sebesar 76,6%

dan efisiensi uji sebesar 84%, sebagaimana penelitian yang dilaporkan oleh

Gopalakhisnan. Pada penelitian lain, yang dilakukan oleh Oslen dkk, didapatkan

sensitifitas dan spesifitas uji ini hampir sama dengan Uji Tubex yaitu 79% dan 89%

dengan 78% dan 89%. 17

E. UJI IgM Dipstick

Uji IgM dipstik merupakan uji untuk mendeteksi secara khusus IgM spesifik

menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida Salmonella tiphy

dan anti IgM sebagai kontrol. Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella tiphy ini

dilakukan dengan menggunakan membran nitrosellulosa yang mengandung antigen

Salmonella tiphy sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized

sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah

19
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat

yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Antibodi yang spesifik

umumnya hanya terlihat pada minggu pertama demam.

Uji IgM Dipstick mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S. typhi pada

spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung

antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi

yag mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan

membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji

Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi

dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air

mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap

garis uji dengan membandingkannnya dengan reference strip. Garis kontrol harus

terwarna dengan baik. Sensetivitas 65-77% dan spesivitas 95-100%. Akurasi

diperoleh bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah muncul gejala 17.

Gambar 5 Interpretasi Hasil Rapid IgM 17

20
F. Isolasi dan Biakan

Isolasi Salmonella typhi merupakan metode gold standar untuk konfirmasi

diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan isolasi Salmonella typhi memerlukan mesin

kultur darah otomatis yang mahal atau staf yang terlatih untuk metode manual.

Bahan pemeriksaan untuk isolasi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan sampel

darah, urin, tinja dan sumsum tulang. Namun, pemeriksaan ini memerlukan waktu

2-5 hari, prosedurnya mahal dan memerlukan keahlian teknis yang khusus.

Bakteri Salmonella yang bersifat aerobik dan fakultatif anaerobik, tumbuh dengan

cepat pada media sederhana pada kisaran pH 6-8 dan suhu optimum 37oC.

Salmonella dapat dikultur pada berbagai media padat; pada media selektif untuk

isolasi primer (agar darah), agar selektif atau diferensial (misalnya: McConkey

agar, Hektoen enteri agar) dan enrichment broth (misalnya: Selenite broth).

Salmonella typhi menghasilkan koloni putih nonhemolitik yang halus pada agar

darah, koloni polutan non laktosa halus di koloni pucat agar pada agar McKonkey

dan pada agar enterik Hektoen, Salmonella menghasilkan koloni hijau transparan

dengan pusat hitam. Dalam pemeriksaan secara isolasi (kultur), Salmonella

memperlihatkan hasil yang khas khas karena kemampuannya untuk memetabolisme

sitrat sebagai sumber karbon tunggal dan lisin sebagai sumber nitrogen, serta

kemampuannya menghasilkan menghasilkan hidrogen sulfida.

Salmonella fermentasi glukosa, manitol dan maltosa, manitol dan maltosa,

membentuk asam dan gas. Mereka tidak mempfermantasi laktosa, sukrosa dan

salisin (Nasution 2017).Identifikasi kuman dilakukan dengan isolasi bakteri

Salmonella typhi dalam biakan dalam darah, urin, feses, sumsum tulang, cairan

21
doudenum atau dari rose spots . Berdasarkan patogenesis penyakit, bakteri S. typhi

lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit. Pada

tahap berikutnya lebih mudah di dalam urin dan feses 17.

G.Kultur Darah

Kultur darah umumnya dianggap sebagai metode standar untuk diagnosis

bakteriemia tetapi hanya mendeteksi 40-70% pasien demam tifoid. Kultur

merupakan metode akurat untuk diagnosis demam tifoid dari sampel darah yang

diambil pada awal penyakit. Tingkat deteksi kultur 65,9% untuk sampel darah

tunggal yang diambil rata-rata 6 hari setelah onset demam. Mayoritas kultur positif

pada 48 jam onset demam dan hampir semuanya positif lima hari.

Hasil biakan darah yang positif memastkan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif

tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal

sebagai berikut:

1) telah mendapat terapi antibiotika. Bila pasien sebelum kultur telah mendapat

terapi antibiotika, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil

mungkin negatif. Pasien demam tifoid yang konsumsi antibiotik yang akan

mengurangi kemungkinan pertumbuhan bakteri, karena antibiotik menghambat

pertumbuhan bakteri Salmonella typhi. Namun, pada pasien yang tidak diobati

dengan antibiotik, kultur positif pada 80% pasien atau lebih.

2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah

yang dibiak terlalu sedikit, hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil

sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu

(oxgall) untuk pertumbuhan kuman;

22
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibodi dalam darah

pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah

dapat negative.

4) waktu pengambilan darah Setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin

meningkat.

Kultur darah kurang sensistif dibandingkan kultur sumsusm tulang karena

jumlah mikroorganisme darah lebih sedikit dibandingkan susmsum tulang.

Sensitivitas kultur darah lebih tinggi pada minggu pertama penyakit, kemudian

berkurang dengan penggunaan antibiotik dan akan meningkat dengan penambahan

volume pada kultur darah dan rasio darah pada broth 17.

H. Kultur Sumsum Tulang

Kultur aspirasi sumsum tulang meupakan gold standar untuk diagnosis pasti

demam tifoid. Kultur aspirasi sumsum tulang tepat untuk pasien yang sebelumnya

telah diobati dan hasil kultur darah negatif. Kultur sumsum tulang memiliki

sensitifitas tertinggi (>80%) dan relatif tidak terpengaruh oleh antibiotik.

Peningkatan sensitivitas kultur sumsum tulang dibandingkan dengan kultur darah

berkaitan dengan konsentrasi bakteri yang lebih tinggi pada sumsum tulang. Kultur

sumsum tulang lebih sering positif pada pasien dengan penyakit berat dan rumit.

Pada sisi lain, kultur sumsum tulang diketahui lebih sensitif, namun bersifat invasif

sehingga tidak sesuai dilakukan secara rutin 17

I. Pemeriksaan PCR

Salah satu metode untuk mengidentifikasi S. typhi adalah pemeriksaan PCR

23
(Polimerase Chain Reaction). Prinsip dari metode ini adalah dengan mendeteksi

DNA (asam nukleat) gen flagelin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik

hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polimerase chain

reaction. Dalam pemeriksaan ini, yang diidentifikasi adalah antigen Vi yang spesifik

untuk S. typhi. Studi di Papua Nugini menunjukkan bahwa PCR sebaiknya dilakukan

bersama dengan kultur darah sebagai gold standard untuk evaluasi diagnosis demam

tifoid. Kelebihan PCR adalah kemampuannya mendeteksi organisme viable pada

pasien yang mendapatkan pengobatan antibiotik. Meskipun demikian, pemeriksaan

ini belum memungkinkan dilakukan di negara berkembang dikarenakan kurangnya

sumber daya.

Meskipun dipandang sebagai pemeriksaan yang sangat akurat, namun

pemeriksaan ini tetap memiliki keterbatasan. Salah satu kekurangannya adalah

adanya kontaminasi yang memberikan hasil positif palsu bila teknik yang dilakukan

tidak sesuai. Adanya bahan dalam spesimen yang dapat menghambat proses PCR

(hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu

dalam spesimen klinis belum memberikan hasil yang memuaskan. Dengan demikian,

penggunaan metode ini terbatas untuk penelitian dan belum digunakan secara luas

pada daerah endemik demam tifoid 17

II.7 Diagnosis Banding 18

1. Demam berdarah dengue

Demam dengue Demam tinggi terus menerus selama 2 - 7 hari, disertai keluhan

sakit kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati, sering muntah, uji torniquet positif,

penurunan jumlah trombosit dan peninggian hemoglobin dan hematokrit 15 pada

24
demam berdarah dengue, tes serologi inhibisi hemaglutinasi, igM atau IgG anti

dengue positif.

2. Malaria

Malaria disebabkan oleh parasit plasmodium menimbulkan gejala demam ,Sakit

kepala,lemas,nyeri otot ,sakit pada bagian perut, menggigil ,bibir dan jari pucat

kebiruan (sianotik) mual dan muntah . Pemeriksaan fisik konjungtiva atau telapak

tangan pucat, Pembesaran limpa (splenomegali), dan pembesaran hati

(hepatomegali). Pemeriksaan mikroskopis menemukan parasit plasmodium pada

sedian darah penderita

3. Leptospirosis

Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah, conjunctival

injection (kemerahan pada konjungtiva bola mata), dan nyeri betis yang menyolok.

Pemeriksaan serologi Microscopic Agglutination Test (MAT) atau tes Leptodipstik

positif.

II.8 Tatalaksana demam tifod 19.20.21

Pada penderita dengan gambaran klinik jelas disarankan untuk dirawat di rumah

sakit agar pengobatan lebih optimal, proses penyembuhan lebih cepat, observasi

penyakit lebih mudah, meminimalisasi komplikasi dan menghindari penularan.

1. Terapi Non-Farmakologis 21

A. TIRAH BARING

Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah

komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus

25
istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus

diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik

dan dekubitus. Penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap,

sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.

B. NUTRISI

 Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderíta sakit berat, ada

komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis cairan

parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada

komplikasi dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus

mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.

 Diet

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah

selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk

penderita tifoid , biasanya diklasifikasikan atas : diet cair , bubur lunak, tim dan

nasi biasa. Bila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai dengan diet padat

atau tim (diet padat dini). Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya

dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap

sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita. Penderita dengan

kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui pipa lambung. Diet

parenteral di pertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi perdarahan

2. Farmakologi 20.22

26
Anti mikroba

a. Kebijakan dasar pemberian anti mikroba

Anti mikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah dapat

ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun suspek.

Sebelum anti mikroba diberikan, harus diambil spesimen darah atau sumsum tulang

lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella (biakan gaal), kecuali

fasilitas biakan ini betul-betul tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan. Anti mikroba

yang dipilih harus mempertimbangkan :

1. Telah dikenal sensitif dan potensial untuk tifoid.

2. Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan baik ke jaringan

serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju organ sasaran.

3. Berspektrum sempit.

4. Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita

termasuk anak dan wanita hamil.

5. Efek samping yang minimal.

6. Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier.

b. Pilihan anti mikroba untuk demam tifoid

Anti mikroba (antibiotika) yang dikemukakan dalam tabel di bawah adalah yang

telah dikenal sensitif dan efektif untuk demam tifoid serta merupakan pilihan dan

dipilih dari hasil uji kepekaan.

Tabel 2 : Anti mikroba untuk penderita tifoid

Antibiotika Dosis Kelebihan dan Keuntugan

kloramfenikol Dewasa: 4x500 Murah dan dapat diberi peroral dan

27
Mg(2gr)selama 14 hari sensitivitas masih tinggi Pemberian

Anak :50-100mg/kg BB/hr PO/IV Tidak diberikan bila lekosit <

max 2 gr selama 10-14 hr 2000/mm3

dibagi 4 dosis
seftriakson Dewasa: (2-4) gr/hr Selama Cepat menurunkan suhu, lama

3-5 hari Pemberian IV Anak pemberian pendek can dapat dosis

: 80 mg/Kg BB/hr Dosis tunggal serta cukup aman untuk anak.

tunggal slm 5 hari


Ampisilin dan Dewasa : (3-4) gr/hr selama Aman untuk penderita hamil.

amoksisilin 14 hari Sering dikombinasi dengan

Anak :100 mg/Kg BB/hr khloramfenikol pada pasien kritis

Selama 10 hari Tidak mahal

Pemberian PO/IV
kotrimoksasol Dewasa : 2x (160-800) Tidak mahal

Selama 2 minggu Pemberian peroral

Anak: TMP 6-10 mg/Kg

BB/hr atau SMX30-50

mg/Kg/hr Selama 10 hari


Quinolone Siprofloksasin 2x 500 mg 1 Pefloksasin dan fleroksasin lebih cepat

minggu o Ofloksasin 2 x menurunkan suhu

( 200-400) 1 minggu o Efektif mencegah relaps dan karier

Pefloksasin : 1 x 400 selama Pemberian peroral Anak : tidak

1 minggu dianjurkan karena efek samping pada

Fleroksasin : 1 x 400 selama pertumbuhan tulang

1 minggu

28
Anak : 15-20 mg/Kg BB/hr Aman untuk anak

Cefixime dibagi 2 dosis selama 10 Efektif Pemberian peroral

hari

1. Kloramfenikol

Banyak penelitian membuktikan bahwa kloramfenikol masih sensitif terhadap

Salmonella typhi.(Salah satu kekurangan dari obat ini adalah tingginya angka relaps

dan karier)

2. Ceftriaxone

Antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga ini terbuktiefektif untuk

mengobati pasien demam tifoid.Ceftriaxone diberikan secara parenteral .

3. Amoxicilin

Amoxicilin memiliki efek penyembuhan yang setara dengan kloramfenikol

namun waktu penurunan demamnya lebih lambat. Obat ini berspektrum luas

sehingga banyak digunakan untuk

mengobati infeksi lain, akibatnya kemungkinan resistensi semakin meningkat.

Namun obat ini aman digunakan untuk ibu hamil.

4. Kotrimoksazol

Obat ini merupakan kombinasi antara trimetroprim dan sulfametoksazol dengan

perbandingan 1:5. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir setara dengan

kloramfenikol .Namun obat ini banyak digunakan untuk infeksi lain sehingga

meningkatkan resiko .

29
5. Ciprofloxacin dan ofloxacin

Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin,dan pefloxacin)

merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak

resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%,

waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang

dari 2% .

6. Cefixime

Cefixime saat ini sering digunakan sebagai alternatif. Obat ini diberikan jika ada

indikasi penurunan jumlah leukosit hingga < 2000/μl atau dijumpai adanya

resistensi terhadap Salmonella typhi.Obat ini diberikan secara per oral.

3. Perawatan di rumah 19.20

Tidak semua penderita tifoid yang mau dirawat di rumah sakit. Sangat banyak

kendala atau hambatan yang ada pada masing-masing masyarakat kita, yang salah

satu diantaranya adalah ketiadaan biaya. Dengan pertimbangan yang matang serta

mengikuti syarat-syarat yang di tetapkan maka penderita tifoid dapat dirawat

dirumah namun tetap tidak dianjurkan.

Syarat - Syarat Syarat untuk penderita :

1. Penderita dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi

serta tak ada komorbid yang membahayakan.

2. Penderita dengan kesadaran baik dan dapat makan minum dengan baik pula

3. Penderita dengan keluarganya cukup mengerti tentang cara-cara merawat serta

cukup paham tentang petanda bahaya yang akan timbul dari tifoid.

30
4. Rumah tangga penderita memiliki atau dapat melaksanakan sistem pembuangan

ekskreta (feses, urin, muntahan) yang memenuhi syarat-syarat Kesehatan

5. Penderita dengan keluarganya harus mengikuti program pengobatan yang di

berikan oleh dokter

II.9 Prognosis

Prognosis pada pasien yang menderita demam tifoid tergantung ketepatan

terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi.

Kematian akibat demam tifoid yang tidak diobati sekitar 10% hingga 15%, paling

tinggi terjadi pada anak di bawah usia satu tahun dan orang tua. Jika kondisi ini

diobati dengan antimikroba yang efektif, angka kematian sekitar 1% hingga 2%.

Pemberian terapi antibiotik yang adekuat diberbagai negara maju berdampak pada

angka mortalitas <1%. Sedangkan di negara berkembang terjadi keterlambatan

diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang dapat meningkatkan kemungkinan

komplikasi dan waktu pemulihan yang menyebabkan angka mortalitasnya >10%.

Kekambuhan demam tifoid dapat timbul beberapa kali. Individu yang

mengeluarkan Salmonella enterica serotype Typhi lebih dari 3 bulan setelah infeksi

umumnya menjadi karier kronis. Risiko terjadinya karier demam tifoid pada anak-

anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari

seluruh pasien demam tifoid 16

31
BAB III

KESIMPULAN

Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan

oleh salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas berkepanjangan yang

diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri salmonella typhi, gejala-gejala klinis

yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik

hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga

kematian,tatalaksana pada penyakit ini pun terdiri dari non-farmakologi dan

farmakologi dimana prognosis pada pasien yang menderita demam tifoid

tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada atau

tidaknya komplikasi.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Chandrashekar A, Sodhi K, Dalal S.S. Study of clinical and laboratory profile of

enteric fever in pediatric age group. International Journal of Basic and Applied

Medical Sciences. 2016;3(3):16-23

2. Raj C. Clinical profile and antibiotic sensitivity pattern of typhoid fever in

patients admitted to pediatric ward in a rural teaching hospital. Inte Jour of Medi

Res & Health Sci. 2014;3(2):245-8.

3. Handayani. 2017. Kajian Penggunaan Antibiotik pada Penyakit Demam Tifoid di

Ruang Rawat Inap Anak RSUD Dr.Soekardjo Tasikmalaya. Jurnal Stikes PHI,

4(12).

4. Batubuaya, D., Ratag, B, T., Wariki, W. 2017. Hubungan Higiene Perorangan dan

Aspek Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Demam Tifoid di Rumah Sakit Tk.III

R.W. Mongisidi Manado. Jurnal Media Kesehatan, 9(3): 1-8.

5. Sandika, J. dan Suwandi, F.J. 2017. Sensitivitas Salmonella typhi Penyebab

Demam Tifoid terhadap Beberapa Antibiotik. Majority Jurnal Kedokteran, 6(1).

33
6. Raj C. Clinical profile and antibiotic sensitivity pattern of typhoid fever in

patients admitted to pediatric ward in a rural teaching hospital. Inte Jour of Medi

Res & Health Sci. 2014;3(2):245-8.

7. Masriadi. (2016). Epidemiologi penyakit menular (edisi I). Depok: PT

rajagrafindo persada

8. Rampengan, N.H. 2013. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada

Anak. Sari Pediatri Local Journal, 14(5): 271-6.

9. Anggit A. P. Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Kejadian Demam Tifoid

HIGEIA 2 (4) (2018)

10. Date, K. A., Bentsi-Enchill, A., Fox, K. K., Abeysinghe, N., Mintz, E. D.,

Khan,M. I., Sahastrabuddhe, S., Hyde, T. B., 2014. Typhoid Fever Surveillance and

Vaccine Use South-East Asia and Western Pacific Regions, 2009 - 2013. morbidity

and mortality week report, Vol 63(2), pp. 855-860.

11. Ahmad, S., Banu, F., Kanodia, P., Bora, R., Ranhotra, A., 2016. Evaluation Of

Clinical and Laboratory Profile of Typhoid Fever in Nepalese Children – AHospital

- Based Study. International Journal of Medical Pediatrics and Oncology, Vol 2(2),

pp. 60-66.

12. Bhandari, J., Thada, P. K., & DeVos, E. (2020). Typhoid Fever.

13. Cita, Y. P. (n.d.). Jakarta timur: 2017.

14. Dinaca, S. (2018). Gambaran hasil pemeriksaan widal metode .

15. JATMIKO, R. A. (2017). Uji aktivitas antibakteri ekstrak pangium edule terhadap

baketri salmonella typhii, 25.

16. Kusumaningrat, I. B. (2017). uji tubex untuk diagnosis demam tifoid di, 07-08.

34
17. Murzalina, C. (2019). Pemeriksaan Laboratorium Untuk Penunjang Diagnostik

Demam Tifoid.

18. Pratama, O., Nurjanah, D., & Ph, D. (2019). Diagnosa Gejala Penyakit Demam

Berdarah dan Malaria Berbasis Ontologi. E-Proceeding of Engineering, 6(2), 8819–

8829.

19. Endayani, H., Satul, A., Abdul, I., & Suratno. (2019). Profil penggunaan

antibiotik pada pasien demam tifoid di rumah sakit umum daerah provinsi ntb

periode mei – juni 2019. Program Studi Diii Farmasi Fakultas Ilmu

Kesehatanuniversitas Muhammadiyah Mataram, 1(1), 41–57.

20. Martha Ardiaria. (2019). JNH (Journal od Nutrition and Health). Epidemiologi,

Manifestasi Klinis, Dan Penatalaksanaan Demam Tifoid, 7(2), 1.

21. Rahmasari, V., & Lestari, K. (2018). Review: Manajemen Terapi Demam Tifoid:

Kajian Terapi Farmakologis Dan Non Farmakologis. Farmaka, 16(1), 184–195.

35
36

Anda mungkin juga menyukai