Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe 2

Disusun oleh :
Hillary Meydelyne Ribka Kokali
112018181

Pembimbing :
dr. Susie Setyowati, SpPD,KEMD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 27 MEI – 11 AGUSTUS 2019
RSPAD GATOT SOEBROTO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan Judul :

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe 2

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Departemen Penyakit Dalam

RSPAD GATOT SOEBROTO – DITKESAD, Jakarta

Disusun Oleh:

Hillary Meydelyne Ribka Kokali - 112018181

Telah disetujui oleh :

Tanda Tangan Tanggal


Pembimbing Pengesahan
Nama Pembimbing

dr. Susie Setyowati, SpPD,KEMD

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan referat yang berjudul “Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe 2”. Laporan
kasus ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik
pendidikan profesi dokter di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta.

Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Susie
Setyowati, SpPD,KEMD sebagai dokter pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan petunjuk, serta kerjasama dari berbagai pihak yang telah
membantu penyusunan referat ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak
kekurangan disebabkan keterbatasan kemampuan penulis, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi
perbaikan di masa mendatang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua.

Jakarta, Juli 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................ii

KATA PENGANTAR........................................................................................................ 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 5

2.1. Diabetes Mellitus ................................................................................................... 5

2.1.1 Epidemiologi ....................................................................................................... 5

2.1.2 Patofisiologi......................................................................................................... 6

2.1.3 Gejala Klinis ........................................................................................................ 8

2.1.4 Diagnosis dan Faktor Risiko ............................................................................... 9

2.1.5 Komplikasi......................................................................................................... 12

2.1.6 Pengobatan dan Penatalaksaan DM ................................................................ 14

2.1.7 Penggunaan Insulin pada Pasien Rawat Jalan ................................................ 23

2.1.8 Efek Samping Terapi Insulin ............................................................................ 24

2.1.9 Terapi Kombinasi .............................................................................................. 25

2.1.10 Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 ............................................................. 30

Kesimpulan ................................................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 32

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak
menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa), atau
ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya.
Diabetes adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting, menjadi salah satu
dari empat penyakit tidak menular prioritas yang menjadi target tindak lanjut oleh
para pemimpin dunia. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat
selama beberapa dekade terakhir. Meskipun faktor risikonya sering dikaitkan dengan
gaya hidup, namun jumlah kematian akibat penyakit kardiovaskular dan diabetes
cenderung lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan dengan negara
maju. Pendekatan yang efektif sangat dibutuhkan untuk mencegah diabetes tipe 2
dan untuk mencegah komplikasi dan kematian prematur yang bisa disebabkan oleh
berbagai tipe diabetes. Termasuk di antaranya kebijakan dan penerapan langsung di
populasi dan di lingkungan tertentu (sekolah, rumah, lingkungan kerja) yang
berkontribusi kepada kesehatan semua orang, baik pengidap diabetes atau bukan,
seperti olahraga teratur, pola makan sehat, menghindari merokok, serta mengontrol
kadar lemak dan tekanan darah.1
Di Indonesia, menurut Kementrian Kesehatan RI (2009) DM menjadi penyebab
kematian kelima pada pasien rawat inap setelah stroke, penyakit jantung, kanker,
dan Penyakit Paru Obstruktif (PPOK). Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya
bahwa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya DM tipe 2 diantaranya umur, jenis
kelamin, indeks massa tubuh (IMT), tekanan darah, aktivitas fisik, stres, merokok,
riwayat keluarga, dislipidemia, lingkar perut, pola makan, faktor gaya hidup.2

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu gangguan metabolisme yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah individu dengan
diabetes. Pada satu tipe diabetes dapat disebabkan oleh interaksi genetik,
yang lainnya disebabkan oleh faktor lingkungan dan pola hidup.
Berdasarakan pada etiologi dari DM sendiri, faktor yang berkontribusi dalam
terjadinya hiperglikemia dapat berupa penurunan kadar insulin, penurunan
penggunaan glukosa oleh tubuh, atau terjadinya peningkatan produksi
glukosa. Disregulasi metabolisme terkait dengan diabetes mellitus dapat
menyebabkan patofisiologi sekunder yang merubah struktur organ lainnya
sehingga dapat memperberat kerja organ pada individu dengan DM.
Diabetes menjadi penyebab utama gagal ginjal, amputasi akibat ulkus,
kebutaan, serta penyakit jantung dan stroke di Indonesia. 3 Peningkatan
angka kejadian diabetes di dunia, maka dapat diprediksikan bahwa diabetes
akan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia.
Ada 2 kategori dari diabetes mellitus yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe
2 merupakan kelainan yang terjadi akibat adanya resistensi insulin,
gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa.3

2.1.1. Epidemiologi
Jika dibandingkan dengan tahun 2013, prevalensi DM berdasarkan
diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun hasil Riskesdas 2018
meningkat menjadi 2%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi DM tertinggi
semua umur berdasarkan diagnosis dokter juga masih di DKI Jakarta dan
terendah di NTT. Prevalensi DM berdasarkan kategori usia, penderita DM
terbesar berada pada rentang usia 55-64 tahun dan 65-74 tahun. Selain itu,
penderita DM di Indonesia lebih banyak berjenis kelamin perempuan (1,8%)
daripada laki-laki (1,2%). Kemudian untuk daerah domisili lebih banyak
penderita diabetes melitus yang berada di perkotaan (1,9%) dibandingkan
dengan di perdesaan (1,0%).1

5
Pada tahun 2014 world health organization (WHO) memperkirakan
terdapat 422 juta orang dewasa penderita DM, meningkat sebanyak 314 juta
penderita sejak tahun 1980. Prevalensi global pun meningkat dari 4.7% pada
tahun 1980 menjadi 8.5% pada tahun 2014. Dari data Federasi Diabetes
Internasional pada tahun 2017, Indonesia dengan 10.3 juta penderita DM,
berada di urutan keenam Negara di dunia dengan prevalensi DM tertinggi.
Prevalensi DM meningkat sesuai bertambahnya usia, tetapi mulai umur 65
tahun cenderung menurun. DM cenderung lebih banyak pada perempuan, di
perkotaan, di masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi. DM secara
signifikan menurunkan kualitas hidup dan meningkatkan risko kematian dini
akibat komplikasinya.4

2.1.2. Patofisiologi Diabetes Mellitus tipe II


Diabetes Mellitus tipe 2 dapat terjadi oleh karena gangguan sekresi
insulin, resistensi insulin, produksi glukosa hepatik yang berlebihan, dan
metabolism lemak yang abnormal. Secara garis besar pathogenesis DM tipe
2 disebabkan oleh beberapa hal berikut ini:5

a) Kegagalan sel beta pancreas. Pada saat penegakkan diagnosis


DM tipe 2, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti
diabetic yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonylurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
b) Liver. Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang
berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa
dalam keadaan basal oleh liver (HGP= hepatic glucose
production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
c) Otot. Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja
insulin yang multiple di intramioseluler, akibat gangguan
fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa
dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja dijalur ini adalah metformin,
dan tiazolidindion.

6
d) Sel lemak. Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis
dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan
kadar asam lemak bebas (FFA= free fatty acid) dalam plasma.
Peningkatan FFA akan merangsang proses gluconeogenesis,
dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan
oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxicity. Obat yang bekerja
dijalur ini adalah tiazolidindion.
e) Usus. Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih
besar dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang
dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-
1 (glucagon like polypeptide 1) dan GIP (glucose dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe 2 didapatkan defisiensi
GLP 1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut
incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang
bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam
penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukosidase
yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
f) Sel alfa pancreas. Merupakan organ ke enam yang berperan
dalam hiperglikemi dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa
berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glucagon atau menghambat reseptor
glucagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
g) Ginjal. Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram
7
glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (sodium glucose
cotransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal.
Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak
ada glukosa dalam urin. Pada penderita DM terjadi peningkatan
ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2
ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang
bekerja di jalur ini yaitu SGLT-2 inhibitor (contoh obat:
dipaglifozin)
h) Otak. Insulin merupakan penekan nafsu makan yang cukup
kuat. Pada orang yang obesitas baik yang mempunyai DM
maupun non-DM, terdapat hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi urin. Pada golongan ini
tentu mengakibatkan asupan makanan akan meningkat akibat
adanya resistensi insulin yang terjadi diotak. Salahs atu contoh
obat yang bekerja pada jalur ini yaitu FLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.

2.1.3. Gejala Klinis

Gejala umum yang sering dirasakan oleh individu dengan


diabetes ialah polifagi (banyak makan), polidipsi (banyak minum), dan
poliuri (banyak buang air kecil). Gejala polifagi yang timbul pada
individu dengan diabetes mellitus disebabkan oleh ketidakmampuan
sel-sel di dalam tubuh untuk mengambil energi berupa glukosa yang
diedarkan melalui pembuluh darah untuk dimetabolisme. Kondisi ini
menyebabkan sel-sel kekurangan energi yang kemudian memberikan
rangsangan berupa rasa lapar agar adanya pasokan energi melalui
makanan. Glukosa yang tidak dapat diserap oleh sel-sel dalam otot
akan terus beredar di pembuluh darah menuju ginjal. Glukosa yang
bersifat menarik air akan meningkatkan kadar air yang dibuang ke
ginjal. Kondisi ini akan menstimulasi tubuh untuk mengkompensasinya
dengan menaktifkan rasa haus agar tubuh tidak mengalami dehidrasi.6

8
2.1.4. Diagnosis dan Faktor Risiko
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi
glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan
asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai.
Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah
seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya.
Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga
dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh World Health Organization (WHO). Untuk
pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.7
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:5

 Keluhan klasik DM: poliuri, polidipsi, polifagi dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, seperti pruritus vulva pada wanita.

Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah


abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis,
namun apabila gejala DM tidak khas maka diperlukan dua kali
pemeriksaan glukosa darah abnormal.7 Kriteria diagnosis untuk DM,
berupa:5

 Pemeriksaan glukosa plasma puasa >= 126 mg/dL, atau


 Pemeriksaan glukosa plasma >=200 mg/Dl 2-jam setelah
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban
glukosa 75 gram, atau
 Pemeriksaan gluosa plasma sewaktu >= 200 mg/dL
dengan keluhan klasik,

9
 Pemeriksaan HbA1c >=6.5 mg/dL dengan menggunakan
metode yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

Perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan penyaring


yaitu; uji diagnostic DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan
gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk mengidentifikasi atau menegakkan diagnosis DM tipe 2 dan
prediabetes pada kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukkan
gejala klasik DM, yaitu:5

1. Kelompok dengan berat badan lebih (indeks massa tubuh >= 23


kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai
berikut:
a. Aktifitas fisik kurang
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga)
c. Kelompok ras/etnis tertentu
d. Perempuan dengan riwayat melahirkan bayi BBL >4kg atau
mempunyai riwayat DM gestasional
e. Hipertensi (>=140/90 mmhg atau sedang mendapat terapi
hipertensi)
f. HDL <35mg/dl dan atau trigliserida >250 mg/dl
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h. Riwayat prediabetes
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans
j. Riwayat penyakit kardiovaskular
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko diatas.5

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau


kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang
meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) (Lihat table 1).5

10
 glukosa darah puasa terganggu (GDPT): hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasmanya 2-jam <140 mg/dl
 toleransi glukosa tergangggu (TGT): hasil pemeriksaan
glukosa plasma 2-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl
dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan Hba1c yang menunjukkan angka 5.7-6.4%.

Table 1. kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis DM dan Prediabetes. 5

Hba1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma 2


puasa (mg/dl) jam setelah TTGO
(mg/dl)
Diabetes >= 6.5 >= 126 >= 200
Prediabetes 5.7-6.4 100-125 140-199
Normal <5.7 <100 <140
Adapun cara pelaksanaan TTGO, yaitu:5

 Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan dan melakukan kegiatan
jasmani seperti biasanya
 Berpuasa minimal 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa glukosa diperbolehkan
 Dilakukan pemeriksaan GDP
 Diberikan glukosa 75 gram (dewasa), atau 1.75 gram/kgBB (anak), dilarutkan
kedalam air 250 mL lalu diminum dalam 5 menit
 Berpuasa kembali sampai pengambilan samppel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah pemberian beban glukosa selesai
 Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah dua jam setelah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.

11
2.1.5. Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Adapun komplikasi yang sering terjadi dan
perlu di waspadai;8
i. Hipoglikemia, ditandai dengan gejala klinis penderita merasa
pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang,
pandangan gelap, keringat dingin, detak jantung meningkat,
sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera ditolong bisa
mengakibatkan kerusakan otak dan kematian. Pada hipoglikemi,
kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dL, walaupun
pada orang tertentu ada yang sudah menunjukkan gejala
hipoglikemi pada kadar glukosa plasma diatas 50 mg/dL. Kadar
glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak
mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan
dapat rusak. Hipoglikemi lebih sering terjadi pada DM tipe 1. Pada
DM tipe 2, serangan hipoglikemi lebih jarang, meskipun penderita
tersebut mendapat terapi insulin.
ii. Hiperglikemia, keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara
tiba-tiba. Keadaan ini disebabkan karena stress, infeksi, dan
konsumsi obat-obat tertentu. Hiperglikemi ditandai dengan adanya
polyuria, polidipsi, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan
pandangan kabur. Hiperglikemi yang berlangsung lama dapat
berkembang menjadi keadaan metabolism yang berbahaya,
antara lain ketoasidosis diabetik, dan HHS, yang keduanya
berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemi dapat
dicegah dengan control kadar gula darah yang ketat.
iii. Komplikasi makrovaskular. Tiga jenis komplikasi makrovaskular
yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit
jantung coroner (coronary heart disease/CAD), penyakit pembuluh
darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral
vascular disease/PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular
dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering
merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe
2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemi dan atau
12
kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi
makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, yaitu syndrome X,
cardiac dysmetabolic syndrome, hyperinsulinemic syndrome, atau
insulin resistance syndrome. Karena penyakit-penyakit jantung
sangat besar resikonya pada penderita diabetes, maka
pencegahan komplikasi terhadap jantung harus dilakukan dan
sangat penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah,
kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya
selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mmHg.
Untuk itu penderita harus sadar mengatur pola hidup, termasuk
mengupayakan berat badan ideal, diet gizi seimbang olahraga
teratur, tidak merokok ataupun alkohol, dan lain sebagainya.
iv. Komplikasi mikrovaskular. Komplikasi mikrovaskular terutama
terjadi pada penderita diabetes tipe 1. Hiperglikemi yang persisten
dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c)
menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan
rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah
kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi
kecil, seperti retinopati, nefropati, dan neuropati. Ketiga komplikasi
ini juga dipengaruhi oleh faktor genetic. Oleh sebab itu dapat
terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama,
berbeda resiko komplikasi mikrovaskularnya. Namun, demikian
predictor terkuat untuk perkembangan komplikasi mikrovaskular
tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan diabetes. Satu-satunya
cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat jalam
perkembangan komplikasi mikrovaskular yaitu dengan
pengendalian kadar gula darah yang ketat. Pengendalian intensif
dengan menggunakan suntikan insulin multi-dosis atau dengan
pompa insulin yang disertai dengan monitoring kadar gula darah
mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi
mikrovaskular sampai 60%.

13
2.1.6. Pengobatan dan Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Pada penatalaksanaan diabetes mellitus perlu dilakukan


evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yaitu:5

1. Riwayat Penyakit
a. Usia dan karakteristik saat onset diabetes
b. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan
riwayat perubahan berat badan
c. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak atau
dewasa muda
d. Pengobatan yang diperoleh sebelumnya secara lengkap,
termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah
diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri.
e. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang
digunakan, perencanaan makan dan program latihan
jasmani
f. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetic,
hyperosmolar hiperglikemi, hipoglikemi)
g. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi,
dan traktus urogenital
h. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada
ginjal, mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran
pencernaan
i. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap
glukosa darah
j. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit
jantung coroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga
(termasuk penyakit DM dan endokrin lainnya)
k. Riwayat penyakit dan pengobatan diluar DM
l. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status
ekonomi
2. Pemeriksaan fisik
a. Pengukuran tinggi dan berat badan

14
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran
tekanan darah dalam posisi berdiri untuk mencari
kemungkinan adanya hipotensi ortostatik
c. Pemeriksaan funduskopi
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
e. Pemeriksaan jantung
f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan
stetoskop
g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi
kelainan vascular, neuropati, dan deformitas)
h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka,
hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit kering,
dan bekas lokasi penyuntikan insulin)
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM
tipe lain
3. Evaluasi Laboratorium
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam
setelah TTGO
b. Pemeriksaan kadar HbA1c
4. Penapisan komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita
yang baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan:
a. Profil lipid pada keadaan puasa; kolesterol total, High
Density Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein
(LDL), dan trigliserida
b. Tes fungsi hati
c. Tes fungsi ginjal; kreatinin serum dan estimasi-GFR
d. Tes urin rutin
e. Albumin urin kuantitatif
f. Rasio albumin-kreatinin sewaktu
g. Elektrokardiogram
h. Foto ronthen thoraks (bila ada indikasi: Tuberculosis,
penyakit jantung kongestif)
i. Pemeriksaan kaki secara komprehensif
15
5. Komposisi makanan yang dianjurkan
a. Karbohidrat: 45-65% total asupan energi, terutama yang
berserat tinggi. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan
sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain. Sukrosa tidak boleh
lebih dari 5% total asupan energi. Dianjurkan makan tiga
kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan
selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
b. Lemak: 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak
jenuh <7% kebutuhan kalori, lemak tidak jenuh ganda
<10%. Bahan makanan yang harus dibatasi adalah
makanan yang mengandung lemak jenuh dan lemak
trans seperti daging berlemak atau susu fullcream.
Konsumsi kolesterol dianjurkan <200mg/hari.
c. Protein: 10-20% total asupan energi. Sumber protein
yang baik berupa ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kullit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe.
d. Natrium: anjuran asupan natrium pada penyandang DM
sama dengan orang sehat yaitu <2300 mg per hari.
Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secara individual.
Sumber natrium antara lain; garam dapur, vetsin, soda,
dan bahan pengawet seperti natrium benzoate dan
natrium nitrit.
e. Serat: penyandang DM dianjurkan mengkonsumsi serat
dari kacang-kacangan, buah, sayuran, dan karbohidrat
tinggi serat.
f. Pemanis alternative: aman digunakan sepanjang tidak
melebihi batas aman (accepted daily intake/ADI).
Fruktosa tidak dianjurkan pada penyandang DM karena
dapat meningkatkan LDL, namun tidak ada alasan untuk
16
menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang
mengandung fruktosa alami.
6. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang DM, jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgbb ideal.
a) Cara perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan
rumus Broca yang dimodifikasi:
- BBI = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg
- Bagi pria dengan TB <160cm dan wanita <150cm, rumus
dimodifikasi menjadi;
BBI= (TB dalam cm – 100) x 1 kg.
b) Perhitungan BBI menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
IMT= bb (kg)/TB (m2)
Klasifikasi IMT:
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih ≥ 23,0
Obes I 25.0-29.9
Obes II >=30.0
7. Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
- Jenis Kelamin.
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk
pria sebesar 30 kal/kg BB.
- Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori
dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun,
dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan
dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal
diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien
17
dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang,
dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
- Stress metabolic
Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress
(sepsis, operasi, trauma).
- Berat Badan
Bila penyandang gemuk dikurangi sekitar 20-30%
tergantung kepada tingkat kegemukan. Bila kurus
ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB. Untuk jumlah kalori yang diberikan
paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan
1200-1600 kkal perhari untuk pria.
8. Jasmami
Latihan jasmanni merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati.
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara
teratur (3-4 kali seminggu selama sekitar 30-45 menit,
dengan total 150 menit per minggu). Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jamsani disesuaikan dengan usia dan faktor-faktor
atau kontraindikasi masing-masing penderita.

Terapi insulin diindikasikan pada; DM tipe 1, penurunan berat badan


cepat, hiperglikemia berat disertai ketosis, ketoasidosis diabetic, hiperglikemia
hyperosmolar non ketotik, hiperglikemi dengan asidosis laktat, gagal dengan
ADO dosis optimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark
miokard akut, stroke), kehamilan dengan DM atau DM gestational yang tidak
terkendali dengan pengaturan diet, kontraindikasi ADO.9

Untuk mencapai target pengobatan yang efektif, terdapat beberapa


golongan yang sering dipakai (Lihat table 3), yakni:5,10

i. Pemacu sekresi insulin (insulin secretagogue)

18
 Golongan sulfonylurea. Obat golongan ini sudah digunakan untuk pengobatan
DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi
farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila
konsentrasi glukosa darah tinggi. Obat yang tersedia meliputi sulfonylurea
generasi pertama (asetoheksimid, klorpropramid, tolbutamid, tolazamid),
generasi kedua (glipiizid, glikazid, glibenklamid, glikuidon, gliklopiramid), dan
generasi ketia (glimepiride). Namun sulfonylurea generasi pertama sudah
sangat jarang digunakan karena efek hipoglikemi yang terlalu hebat. Obat
golongan sulfonylurea mempunyai efek hipoglikemi yang tidak sama. Hal ini
tergantung pada kekuatan ikatan antara obat dengan reseptornya di
membrane sel, contohnya glibenklamid. Efek samping utama adalah
hipoglikemi dan peningkatan berat badan. Meski masa paruhnya pendek,
yaitu 3-5 jam, efek hipoglikeminya berlangsung 12-24 jam. Sehingga cukup
diberikan satu kali sehari. Karena hampir semua sulfonylurea dimetabolisme
di hepar dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan pada
pasien DM tipe 2 dengan gangguan fungsi hepar atau gangguan fungsi ginjal
berat. Pasien-pasien DMT2 usia lanjut, pada pemberian sulfonylurea harus
diwaspadai akan timbulnya hipoglikemia pada lansia disebabkan oleh karena
metabolism sulfonylurea lebih lambat. Hipoglikemi pada lansia tidak mudah
dikenali karena timbulnya perlahan tanpa tanda akut dan dapat menimbulkan
gangguan pada otak sampai koma.
 Glinid. Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan
ini terdiri dari 2 macam obat yaitu repaglinid (derivate asam benzoate) dan
nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah hipoglikemia.
ii. Peningkat sensitivitas terhadap insulin.
 Metformin. Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(Glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.
Dosis metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR
30-60 ml/menit/1.73m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa
19
keadaan seperti: GFR <30 ml/menit/1.73 m2), adanya gangguan hati berat,
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya pada penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal, jantung). Efek samping yang
mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala
dyspepsia. Pada pasien diabetes yang gemuk, metformin dapat menurunkan
BB. Metformin akan diabsorbsi di usus kemudian masuk ke dalam sirkulasi, di
dalam sirkulasi metformin tidak terikat protein plasma, ekskresinya melalui
urin dalam keadaan utuh. Masa paruhnya sekitar 2 jam. Penggunaan
metformin aman pada lansia karena tidak mempunyai efek hipoglikemi.
 Golongan tiazolidinedion (agonis paroxisime proliferator activated receptor
gamma, suatu reseptor inti yang terdapat di sel otot, lemak dan hati). Obat
golongan ini menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
jaringan perifer. Tiazolidinedion dapat menurunkan kadar HbA1c (1-1.5%),
meningkatkan HDL, efeknya pada trigliserida dan LDL bervariasi.
Tiazolidinedion dikontraindikasikan pada penderita gagal jantung (NYHA FC
III-IV) karena dapat meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dapat
memperberat edema/retensi cairan. Efek samping tiazolidinedion antara lain
peningkatan berat badan, edema, menambah volume plasma, dan
memperburuk gagal jantung kongestif. Edema sering terjadi pada
penggunaan kombinasi tiazolidinedion bersama insulin. Hipoglikemi pada
penggunaan monoterapi jarang terjadi. Terapi glitazone dikaitkan dengan
peningkatan risiko fraktur baik pada wanita maupun pria. Insiden fraktur
ekstremitas bawah pada wanita yang telah menopause dilaporkan meningkat
dengan penggunaan glotazone ini. Pemakaian glitazone juga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hati berat, sehingga
penggunaannya dihentikan apabila terdapat kenaikan enzim hati lebih dari
tiga kali nilai normal. Penggunaanya pada lansia tidak dianjurkan.
iii. Penghambat absorpsi glukosa di saluran pencernaan
 Penghambat alfa glukoronidase. Obat ini bekerja dengan memperlambat
absorpsi glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan
kadar glukosa darah sesudah makan. Efek sampingnya berupa gejala
gastrointestinal, seperti meteorismus, diare, dan flatulence akibat
penumpukan gas dalam usus. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
20
Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran pencernaan.
Acarbose mengalami metabolisme pada saluran pencernaan oleh flora
mikrobiologis, hidrolisis intestinal, dan aktifitas enzim pencernaan. Inhibisi
kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa
setelah makan pada pasien DMT2. Penggunaan acarbose pada lansia
relative aman karena tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak
dapat menyebabkan hipoglikemi. Acarbose dikontraindikasikan pada penyakit
irritable bowel syndrome, obstruksi saluran cerna, sirosis hati, dan gangguan
fungsi ginjal yang lanjut dengan lajur filtrasi glomerulus <= 30 mL/min/1.37 m.
 DPP-4 inhibitor. Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja
enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide -1) tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivasi GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glucagon bergantung
kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat ini adalah Sitagliptin
dan Linagliptin. Incretin merupakan jenis peptide yang diekskresikan oleh
usus halus sebagai respon terhadap makanan pada usus. Ada dua jenis
peptide yang tergolong incretin yang berpengaruh terhadap metabolismee
glukosa yakni GLP-1 (Glukagon Like Peptida-1) dan GIP ( Glucose
dependent Insulinotropic Peptida). Diantara keduanya, GLP-1 lebih penting
dalam metabolism glukosa. GLP-1 berperan meningkatkan sekresi insulin,
sekaligus menekan sekresi glucagon. Keduanya menyebabkan penurunan
kadar glukosa darah. Setelah disekresikan di usus halus (ileum), GLP-1
memasuki peredaran darah dan aktif bekerja dalam meningkatkan proses
sekresi insulin dan menekan sekresi glucagon. Akan tetapi, GLP-1 tidak dapat
bertahan lama didalam darah (waktu paru 1-2 menit) karena segera
dihancurkan oleh enzim DPP-4 (dipeptidyl peptidase-4). Salah satu upaya
untuk mempertahankan GLP-1 lebih lama didalam darah adalah dengan
menekan enzim DPP-4 yakni dengan menggunakan DPP-4 inhibitor. Dengan
demikian, aktifitas GLP-1 meningkat. Pada saat ini golongan DPP-4 inhibitor
yang beredar di Indonesia adalah sitagliptin, vildagliptin dan linagliptin.
Penggunaan DPP-4 inhibitor sebagai terapi tunggal memberi efek positif
dalam menurunkan HbA1c. Penggunaan DPP-4 inhibitor jangka panjang
menyebabkan efek samping yang rendah meliputi hipoglikemia, gangguan
saluran pencernaan, peningkatan berat badan, dan edema. Obat golongan
21
DPP-4 inhibitor diberikan dengan penyesuaian dosis pada pasien dengan
gangguan fungsi hati dan fungsi ginjal yang berat.
 SGLT-2 Inhibitor. Obat golongan ini merupakan obat antidiabetes oral jenis
baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini adalah empaglifozin, canaglifozin, dan dapaglifozin.

Tabel 2. Tatalaksana DM tipe 2.11

2.1.7. Penggunanan Insulin pada Pasien Rawat Jalan


Pemberian terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi
insulin yang fisiologis. Defisiensi insulin dapat berupa defisiensi insulin
basal, insulin prandial (setelah makan), atau keduanya. Defisiensi
insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan
puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial menyebabkan timbulnya
hiperglikemia setelah makan. Pemberian insulin basal merupakan
salah satu strategi pengobatan untuk memperbaiki kadar glukosa

22
darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glukosa darah setelah
makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glukosa
puasa, maka diharapkan dengan menurunkan glukosa basal, kadar
glukosa darah setelah makan juga ikut turun. 10
Insulin dapat diberikan pada semua pasien DMT2 dengan control
glikemik yang buruk. Insulin juga dapat diberikan pada kasus-kasus
DMT2 yang baru dikenal dengan penurunan berat badan yang hebat,
Hba1c >9% dengan kondisi dekompensasi metabolic, hiperglikemi
hyperosmolar non ketotik, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal,
stress berat (infeksi sistemik, stroke), gangguan fungsi ginjal atau hati
yang berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO, keadaan
krisis hiperglikemi, dan dalam keadaan ketosis. Penyuntikan dilakukan
pada daerah perut sekitar pusat sampai kesamping, kedua lengan atas
bagian luar (bukan daerah deltoid), kedua paha bagian luar. Dalam
menggunakan insulin, dosis dinaikan secara bertahap. Apabila kadar
glukosa darah belum terkontrol, titrasi dosis dapat dilakukan setiap 2-3
hari. Cara mentitrasi dosis insulin basal:5,10

a) Naikan dosis 2 unit bila glukosa darah puasa diatas 126 mg/dl
b) Naikan dosis 4 unit glukosa darah puasanya diatas 144 mg/dl

Titrasi dosis ini dapat dilakukan selama 2-3 bulan pertama sampai
kadar glukosa darah puasa mencapai kadar yang diinginkan (Lihat
table 4). Jika nilai HbA1c masih belum mencapai target, setelah kadar
glukosa darah puasa terkendali dengan regimen basal insulin, maka
dibutuhkan insulin lain untuk menurunkan HbA1c, yaitu dengan
menambahkan insulin prandial disebut dengan terapi basal plus. Jika
dengan pemberian cara diatas belum mendapatkan hasil yang optimal,
maka pemberian insulin kerja cepat dapat diberikan setiap mau makan.
Cara pemberian insulin seperti ini disebut dengan basal bolus. Terapi
insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian baik glukosa darah puasa
maupun glukosa darah setelah makan.10

23
2.1.8. Efek Samping Terapi Insulin
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemi.
Efek samping lainnya berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin. Untuk
menghindari efek samping hipoglikemi, maka diperlukan edukasi untuk
penderita DMT2 yang akan diberikan insulin harus dilakukan edukasi
tentang tanda dan gejala hipoglikemi. Bila seorang pasien mengalami
tanda dan gejala hipoglikemia setelah mendapat suntikan insulin, maka
yang bersangkutan harus segera memeriksa kadar glukosa darahnya
secara mandiri dan bila kadar glukosa darahnya <70 mg/dl, maka
pasien harus segera meminum air gula dan menurunkan dosis insulin
pada pemberian insulin berikutnya. Efek samping lain dari terapi insulin
basal bolus pada penderita rawat jalan adalah terjadinya kenaikan
berat badan secara ignifikan. Pada pasien tertentu, kenaikan berat
badan ini juga merupakan suat masalah.10

Table 3. Farmakokinetik Sediaan Insulin10

2.1.9. Terapi Kombinasi


Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama
dalam penatalaksanaan, namun bila diperlukan dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemi oral tunggal atau
kombinasi sejak dini. Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap
24
sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan
pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination
dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi
tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin
tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau
insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh
kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.
Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan
sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan
cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi
insulin (Lihat Gambar 1). Monitoring terap berupa:5,12

a) Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa


darah:
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai
sasaran terapi. Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, glukosa 2 jam post
prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara
berkala sesuai dengan kebutuhan.
b) Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai

25
A1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek dan
tidak bisa digunakan sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi
tertentu seperti; anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi
darah 2-3 bulan terakhir, keadaan lain yang mempengaruhi
umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam
setahun (Lihat Gambar 2).

Gambar 1. Terapi Berdasarkan HbA1C.5,12

26
Gambar 2. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2.5

c) Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)


Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan
menggunakan darah kapiler. Saat ini didapatkan alat pengukur
kadar glukosa darah dengan menggunakan reagen kering yang
sederhana dan mudah dipakai. PGDM dianjurkan bagi pasien
dengan pengobatan suntik insulin beberapa kali perhari, atau
pada pengguna obat pemacu sekresi insulin. Waktu
pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan
pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang
diberikan. Waktu yang ianjurkan adalah pada saat sebelum
makan, 2 jam setelah makan, menjelang waktu tidur (untuk
menilai faktor risiko hipoglikemi), dan diantara siklus (untuk
menilai adanya hipoglikemi nocturnal yang kadang tanpa
gejala), atau ketika mengalami gejala seperti hypoglicemi spells.

27
d) Glutamic Albumin
Pemeriksaan GA digunakan untuk menilai indeks control
glikemik yang tidak terpengaruhi oleh gangguan metabolism
hemoglobin dan masa hidup eritrosit seperti Hba1c. Hba1c
merupakan indeks control glikemik jangka panjang (2-3 bulan).
Sedangkan proses metabolic albumin terjadi lebih cepat
daripada hemoglobin dengan perkiraan 15-20 hari sehingga GA
merupakan indeks control glikemik jangka pendek. Beberapa
gangguan seperti sindrom nefrotik, pengobatan steroid, severe
obesitas dan gangguan fungsi tiroid dapat mempengaruhi
albumin yang berpotensi mempengaruhi nilai pengukuran GA.

Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar


glukosa, Hba1c, dan profil lipid. Sasaran pengobatan untuk individu dengan
diabetes mellitus terlampir yaitu (Lihat tabel 2):5

Tabel 4. Sasaran Pengobatan Diabetes Mellitus.5

Indeks Sasaran

IMT (kg/m2) 18.5 - <23

Tekanan darah sistolik < 140

Tekanan darah diastolic <90

HbA1c <7,00%

Glukosa Darah Prepandial kapiler 80-130 mg/dL

Glukosa Puncak Sesudah Makan <180 mg/dL

Tekanan Darah <140/90 mmHg

Lemak

Low-density Lipoprotein (LDL) <100 mg/dL

High-density Lipoprotein (HDL) Perempuan >50 mg/dL, Laki-laki >40

28
Trigliserida <150 mg/dL

2.1.10. Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2


Terdapat tiga dalam pencegahan diabetes mellitus tipe 2, antara
lain;5
 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada
kelompok yang memiliki faktor resiko, yakni mereka yang
belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa. Mencegah faktor-faktor
resiko yang bisa dimodifikasi (misalnya BB lebih atau IMT
>= 23kg/m2, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi >140/90
mmHg, dislipidemi dengan HDL <35 mg/dL atau
Trigliserida >250 mg/dL, unhealthy diet). Pencegahan
primer dilakukan dengan tindakan penyuluhan dan
pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat
yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa.
Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat
badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan
kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan
ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-
ekonomi penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas
yang memadai dalam upaya.
 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau
menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah
terdiagnosa DM. tindakan pencegahan sekunder
dilakukan dengan pengendalian faktor risiko penyulit
yang lain dengan pemberian pengobatan yang optimal.
Melakukan deteksi dini adanya penyulit merupakan
bagian dari pencegahan sekunder. Tindakan ini dilakukan
sejak awal pengelolaan penyakit DM. program

29
penyuluhan memegang peran penting untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani
program pengobatan sehingga mencapai target terapi
yang diharapkan.
 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok
penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit
dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini
mungkin sebelum kecacatan menetap. Pada upaya
pencegahan tersier tetap dilakukan pada pasien dan
keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi
yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup
yang optimal. Pencegahan tersier memerlukan pelayanan
kesehatan komperhensif dan terintegrasi antar disiplin
yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerja sama
yang baik antara para ahli diberbagai disiplin (jantung,
ginjal, mata, saraf, bedah, gizi, dan sebagainya) sangat
diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan
tersier.

30
Kesimpulan

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu gangguan metabolisme yang


ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah individu dengan diabetes.
DM tipe 2 merupakan kelainan yang terjadi akibat adanya resistensi insulin,
gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa. Salah satu faktor risiko
terjadinya DM tipe 2 yaitu obesitas, IMT >=23 kg/ml2, kurangnya aktifitas fisik,
hipertensi, dislipidemi, dan usia >45 tahun. Untuk gejala yang khas pada DM yaitu
poliuri, polifagi, polidipsi, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
Diagnosis DM bila terdapat keluhan khas DM, dan pemeriksaan GDP >=126 mg/dl,
atau TTGO >=200mg/dl, atau hba1c >=6.5%. untuk penatalaksaan pada DM
diperlukan kerja sama pasien untuk merubah gaya hidup. Selain itu, diperlukan juga
obat diabetik oral maupun insulin untuk menurunkan kadar glukosa darah yang
tinggi dan mencegah komplikasi yang ada.

31
Daftar Pustaka

1. Hari Diabetes Sedunia [Internet]. Pusat Data dan Informasi Kementerian RI. 2018
[cited 12 June 2019. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/hari-diabetes-
sedunia-2018.pdf.
2. Fathurohman I & Fadhilah M. Gambaran Tingkat Risiko dan Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2 di Buaran, Serpong. Jurnal
Kedokteran Yarsi: Serpong. 2016; 24 (3).h.186-202.

3. World Health Organisation. Diabetes Facts and Numbers Indonesian. Diambil pada
tanggal 5 July 2019. Available from URL:
http://www.searo.who.int/indonesia/topics/8-whd2016-diabetes-facts-and-numbers-
indonesian.pdf
4. Jonathan K, Kuswinarti, Soetedjo NNM. Pola penggunaan antidiabetes oral pasien
diabetes mellitus tipe 2 di bagian penyakit dalam RSUD kota Bandung tahun 2017.
Cermin Dunia Kedokteran. 2019; 46 (6).h.407-13.
5. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suatika K, dkk. Konsensus
pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB
PERKENI; 2015.h.1-82.

6. Ozougwu J, Obimba K, Belonwu C, Unakalamba C. The pathogenesis and


pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Journal of Physiology and
Pathophysiology. 2013;4(4):46-57.
7. Setiati S, Alwi I, Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
8. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Pharmaceutical care untuk penyakit
diabetes miletus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005.h.1-85.
9. Tanto C, Liwang F, Hanafati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius; 2016.
10. Decroli E. diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
Universitas Andalas; 2019.h.1-52.
11. Thrasher J. Pharmacology management of type 2 diabetes mellitus: a available
therapies. 2017. The American Journal of Cardiology; 120 .p.4-16.
12. Waspadji S, dkk. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya, diagnosis dan
strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid II. Edisi VI. Jakarta : balai penerbit FKUI; 2014.

32

Anda mungkin juga menyukai