KRISIS HIPERGLIKEMIA
DISUSUN OLEH:
PEMBIMBING:
PENDAMPING:
2023
HALAMAN PENGESAHAN
RSUD Poso
Pembimbing Pendamping
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik kronis progresif yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah melebihi normal. Kondisi ini dapat
menyebabkan kerusakan serius pada jantung, pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf (WHO,
2021). DM terjadi karena kurang atau rusaknya produksi insulin di dalam tubuh. Berdasarkan
penyebabnya, DM dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2,
DM gestasional dan DM tipe lain.1
Diabetes mellitus saat ini menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Data dari
International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-7
dari 10 negara dengan jumlah pasien diabetes tertinggi, dengan prevalensi pengidap diabetes
mellitus mencapai 6,2% atau sekitar 10,8 juta orang menderita diabetes per tahun 2020.
Angka tersebut diprediksi akan terus meningkat hingga 16,7 juta jiwa pada tahun 2045.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 oleh Departemen
Kesehatan menunjukkan peningkatan prevalensi DM menjadi 8,5% dari 6,9% (tahun 2013).
Saat ini, masih banyak yang terlambat menyadari penyakit diabetes, bahkan 52% pasien
diabetes sudah mengalami komplikasi saat terdiagnosa. Data profil kesehatan Provinsi
Sulawesi Tengah tahun 2021 menunjukkan kabupaten/kota yang penduduknya menderita DM
tertinggi adalah Kabupaten Parigi Moutong sebesar 31.008 jiwa dan terendah di Kabupaten
Banggai Laut sebesar 4.674 jiwa, sementara jumlah penderita DM di Kabupaten Poso sebesar
17.075 jiwa. Jumlah penderita DM yang mendapat pelayanan sesuai standar di Kabupaten
Poso sebesar 1,0% atau 164 jiwa.1-3
Diabetes mellitus jika tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi jangka panjang. Salah satu masalah serius yang dapat terjadi pada DM, baik tipe 1
maupun tipe 2, adalah krisis hiperglikemia. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk
ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH), atau kondisi yang
mempunyai elemen kedua diatas. Kondisi tersebut merupakan komplikasi akut yang dapat
terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol dengan baik. 1,2 Oleh sebab itu, dibutuhkan
penanganan yang tepat dan cepat apabila dijumpai kasus krisis hiperglikemia pada pasien
DM.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut DM yang berupa
ketoasidosis diabetikum (KAD) atau status hiperosmolar hiperglikemik (SHH).
Manifestasi utamanya adalah defisiensi insulin dan hiperglikemia berat. Pada KAD
terjadi defisiensi insulin berat yang menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi berat,
disertai dengan peningkatan produksi keton dan asidosis. Sementara pada SHH terjadi
defisiensi insulin yang relatif sehingga menimbulkan dehidrasi dan hiperosmolaritas
tanpa disertai asidosis.1,4
B. EPIDEMIOLOGI
Kejadian KAD berkisar 4-8 kasus setiap 1000 pengidap DM. Sebagian besar
KAD terjadi pada penyandang DM yang belum terdiagnosis sebelumnya yakni sekitar
27-37%. KAD lebih sering terjadi pada penyandang DM tipe 1. Hal tersebut akibat
adanya kondisi defisiensi insulin absolut. Namun, sekitar 20-50% KAD juga rentan
terjadi pada penyandang DM tipe 2. Angka mortalitas KAD sekitar 0.5-7% tergantung
dari pusat pelayanan yang mengelola kondisi tersebut. 1,4
Insiden SHH sedikit lebih tinggi dibanding dengan KAD. Data di Amerika
menunjukkan insiden SHH sebesar 17,5 per 100.000 penduduk. SHH lebih sering
ditemukan pada perempuan dibanding laki-laki, dan lebih sering terjadi pada orang
lanjut usia dengan rata-rata usia onset pada dekade ketujuh. Angka mortalitas SHH
cukup tinggi, sekitar 10-20%.1,4
2
KAD disebabkan oleh defisiensi insulin absolut dan peningkatan hormon
kontra insulin yang mengakibatkan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan adiposa
ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton sehingga
terjadi ketonemia dan asidosis metabolik. Benda keton yang dihasilkan terdiri atas 3-
beta-hidroksi butirat (70-80%), asam asetoasetat (20%), dan aseton (2%).4,5
Pada SHH terjadi defisiensi insulin relatif, sehingga konsentrasi hormon
insulin plasma tidak cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang
sensitif terhadap insulin, namun masih cukup adekuat untuk mencegah terjadinya
lipolisis dan ketogenesis, sehingga pada SHH kondisi yang terjadi yaitu ketogenesis
minimal/tidak ada. Akan tetapi, bukti-bukti untuk teori ini masih lemah.4,5
KAD dan SHH berkaitan dengan diuresis osmotik/glukosuria yang berujung
pada timbulnya dehidrasi dan gangguan elektrolit. Kondisi ini akan memicu pelepasan
hormon stres yang akan semakin meningkatkan produksi glukosa dan badan keton. 4,5
D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko terjadinya krisis hiperglikemia diantaranya4-6:
● Defisiensi insulin absolut pada DM tipe 1
● DM yang baru terdiagnosis
● Perubahan dosis insulin
● Indeks massa tubuh rendah
3
● Usia <2 tahun (3 kali lipat dibanding usia ≥2 tahun)
● Infeksi (meningkatkan risiko 2-8 kali lipat)
● Konsumsi obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti
glukokortikoid, antipsikotik atipikal, dan diuretik tiazid
E. DIAGNOSIS
Gejala dan Tanda
Beberapa gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada krisis hiperglikemia yaitu 1,4,5:
● Tanda vital, dapat ditemukan demam, takipnea, takikardi dan hipotensi
● Sistemik, dapat ditemukan poliuria, polidipsia, nafas berbau aseton, tanda
dehidrasi (penurunan turgor kulit, mukosa kering, hipotensi ortostatik),
penurunan berat badan, dapat terjadi penurunan kesadaran (somnolen, letargi,
koma)
● Respirasi, dapat terjadi dispnea, pernapasan Kussmaul
● Gastrointestinal, dapat timbul nyeri abdomen, polifagia, dan muntah
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk evaluasi krisis
hiperglikemia yaitu (Tabel 1)4,5:
Tabel 1. Pemeriksaan Penunjang Krisis Hiperglikemia 5
4
● Osmolalitas serum ● Viral nasal swab
● Blood urea nitrogen
(BUN) dan kreatinin
● Analisis gas darah
(AGD), anion gap
● Fungsi hati
● Amilase dan lipase
● HbA1c
● Urinalisis
*atas indikasi
KAD SHH
Glukosa plasma >250 mg/dL Glukosa
plasma >600
Ringan Sedang Berat
mg/dL
5
anion
6
Tabel 3. Skema Penatalaksanaan KAD dan SHH menurut PERKENI 20211
Jam ke- Infus Nacl Infus II (Insulin) Infus III Infus IV (koreksi
0,9% (koreksi K+) Bikarbonat)
7
dari dosis awal.
Penanganan penyakit ● GD menurun
pencetus juga 50-75
merupakan prioritas mg/dL/jam →
yang harus dilakukan dosis insulin
(misalnya pemberian drip tetap.
antibiotik yang ● GD menurun
adekuat pada kasus >75/mg/dL/jam
infeksi). → turunkan
kecepatan
insulin drip
50% dari dosis
awal.
Infus insulin terus
dilanjutkan sampai
ketosis teratasi dan
pasien sudah bisa
makan/minum.
*pemeriksaan elektrolit, BUN, pH vena dan kreatinin setiap 2-4 jam hingga pasien
stabil. Kondisi resolusi KAD dan SHH, ketika GD stabil 200-300 mg/dL selama 12
jam dan pasien dapat makan, pemberian insulin IV kontinyu dilanjutkan selama 1-2
jam dengan dosis 1 → 2 unit/jam, kemudian diubah ke regimen insulin subkutan.
Dosis insulin subkutan dimulai dari 0.5 - 0.8 unit/kgBB/hari dan koreksi dosis jika
diperlukan.
8
8. Nadi diatas 100 atau dibawah 60 detik per menit
9. Anion gap >16
9
Krisis hiperglikemia dapat dicegah dengan pemberian edukasi yang baik pada
pasien DM. Komponen edukasi yang diberikan mencakup kepatuhan kontrol ke
fasilitas kesehatan, tidak mengubah dosis atau menghentikan insulin tanpa konsultasi
ke dokter, pemantauan glukosa darah yang baik, tetap konsumsi karbohidrat sekalipun
dalam kondisi sakit, dan tatalaksana demam dan infeksi dengan baik. 1,7
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada krisis hiperglikemia dapat disebabkan
karena komplikasi dari KAD/SHH atau komplikasi dari pengobatan yang diberikan.
Komplikasi dari KAD/SHH yang dapat terjadi diantaranya syok hipovolemik,
trombosis, perdarahan saluran cerna atas, ARDS. Komplikasi yang dapat timbul dari
pengobatan yaitu hipoglikemia, hipokalemia, dan edema serebri. 1,4,5
H. PROGNOSIS
KAD merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien DM usia <20
tahun (50% dari total mortalitas). Angka mortalitas pasien DM dewasa akibat KAD
<1%, namun meningkat menjadi >5% pada pasien lanjut usia dengan penyakit
komorbid yang berat. Prognosis pada KAD lebih buruk jika terjadi hipotensi, koma,
dan terdapat penyakit komorbid yang berat.4,5
10
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
● Nama/inisial pasien : Tn. NG
● Nomor rekam medis : 18313x
● Jenis kelamin : Laki-Laki
● Usia : 30 tahun
● Alamat : Poso Pesisir
● Agama : Islam
● Pekerjaan : Tidak bekerja
● Pendidikan terakhir : Tidak sekolah
● Biaya pengobatan : BPJS
ANAMNESIS
(Data anamnesis diperoleh dari rekam medis saat pasien masuk IGD (10 April 2023) dan
alloanamnesis pada anggota keluarga pasien (13 April 2023))
Keluhan Utama:
Demam sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
11
sehingga memerlukan perawatan di RS. Keluarga pasien tidak mengetahui riwayat diabetes
pada pasien sebelumnya.
Keluhan berupa mudah haus, mudah lapar, dan sering berkemih tidak diketahui.
Mual, muntah, dan diare disangkal. Riwayat pandangan kabur, kesemutan, nyeri saat
berjalan, gangguan buang air kecil, nyeri dada, dan bicara pelo tidak diketahui.
Pasien memiliki kondisi keterbelakangan fisik dan mental yang dimiliki sejak lahir,
sehingga untuk aktivitas sehari-hari dibantu oleh anggota keluarga pasien.
12
● Suhu : 38’C
● SpO2 : 97% dengan oksigen ruangan
● Berat badan : 40 kg
● Tinggi badan : 158 cm
● IMT : 16.02 kg/m2
Pemeriksaan Sistem
● Kepala-Leher : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sianosis (-). Fitur
wajah datar, leher pendek, mata kecil sipit, sudut mata luar lebih tinggi, telinga kecil
dan rendah, tulang hidung rata.
● Thoraks :
○ Inspeksi : simetris, deformitas (-), retraksi (-)
○ Palpasi : taktil fremitus normal, nyeri tekan (-)
○ Perkusi : sonor (+/+)
○ Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi basah (+/+), wheezing (-/-), S1 S2
reguler, murmur (-)
● Abdomen :
○ Inspeksi : datar, bekas luka (-)
○ Auskultasi : bising usus (+)
○ Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
○ Perkusi : timpani (+)
● Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, clubbing fingers (-), edema (-/-),
jari kaki dan tangan pendek
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Data Laboratorium
10 April 2023, 21:32 WITA
Hematologi
13
Hematokrit 48 % 36-47
MCV 92 fL 81-99
MCH 31 pg 27-31
RDW-CV 11 % 11.5-14.5
MPV 8 fL 6.5-9.5
Kimia Darah
Elektrolit
14
Natrium (Na) 136.5 mmol/L 136-146
Serologi/Imunologi
Kimia Darah
Lemak Darah
Glukosa Darah
Hematologi
15
Hematokrit 35 % 36-47
MCV 93 fL 81-99
MCH 31 pg 27-31
RDW-CV 11 % 11.5-14.5
MPV 8 fL 6.5-9.5
Kimia Darah
Fungsi Ginjal
16
Glukosa Darah
Elektrolit
14:30 795
22:16 227
11:08 486
14:14 488
16:41 322
20:00 146
18:00 129
23:44 302
17
14 April 2023 02:00 114
06:00 195
10:27 237.2
12:49 399
18:30 285
22:00 147
06:00 125
14:05 195
Pemeriksaan Radiologi
Foto Thoraks AP (11 April 2023, 12:30 WITA)
Interpretasi:
- Bercak infiltrat tersebar pada lapangan
kedua paru
- Cor: ukuran dalam batas normal, aorta
normal
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
- Jaringan lunak sekitar kesan baik
Kesan:
Bronkopneumonia Bilateral
18
DIAGNOSIS
● Krisis hiperglikemia (KAD dd SHH)
● DM Tipe 1, underweight, gula darah tidak terkontrol
● Bronkopneumonia bilateral
● Down Syndrome
TATALAKSANA
Terapi Awal di IGD
● Infus cairan RL 20 TPM
● Drips NS 1 amp/24 jam
● Inj. Ranitidin 1 amp IV/12 jam
● Inj. Paracetamol 500 mg/8 jam bila demam
Advis DPJP
● Loading cairan Nacl 0.9% 1500cc dilanjutkan 500cc/8 jam 16 tpm
● Bolus insulin novorapid regular cepat 10 IU IV (GDS stik pasien >600 mg/dL),
selanjutnya menyesuaikan hasil GDS sampai dengan GDS <200 mg/dL, pemberian
insulin melalui syringe pump (SP):
≥350 5
300 - 350 4
250 - 300 3
200 - 250 2
150 - 200 1
<100 0,03
19
● Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam IV
● Curcuma syr 2 x 10 cc
FOLLOW UP
Tanggal Follow Up
20
15 April 2023 S: sulit BAB
O: kesadaran CM, TD 81/51 mmHg, SpO2 99%, RR 20x/min
A:DM tipe 1, KAD dd SHH, bronkopneumonia
P: stop insulin SP, Novorapid 12-12-12 unit, sansulin —18 unit
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Tn. NG, 30 tahun, datang ke IGD RSUD Poso dengan keluhan awal berupa
demam sejak tiga hari SMRS, dari hasil pemeriksaan pasien kemudian didiagnosis dengan
krisis hiperglikemia pada DM Tipe 1, bronkopneumonia bilateral, dan down syndrome.
Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan terhadap pasien. Tatalaksana yang sesuai kemudian
diberikan berdasarkan keluhan yang ditemukan pada pasien.
Dari hasil anamnesis, pasien mengeluh demam sejak tiga hari SMRS disertai keluhan
batuk berdahak yang sulit dikeluarkan sejak dua minggu sebelumnya, menggigil, dan napas
cepat. Keluhan batuk, sesak, dan demam merupakan gambaran klinis yang sesuai dengan
pneumonia. Dari onset timbulnya keluhan, pneumonia yang dialami pasien termasuk dalam
pneumonia komunitas karena terjadi dalam 48 jam pertama saat masuk rumah sakit. Saat
perawatan di RS, pasien kemudian diketahui memiliki DM, yang dapat menjadi faktor risiko
dari pneumonia dan berasosiasi dengan peningkatan lama rawat dan mortalitas pasien. Sekitar
25,9% pasien pneumonia juga mengalami diabetes, hal ini terkait dengan penurunan daya
tahan tubuh yang terjadi pada pasien diabetes sehingga lebih rentan terkena infeksi. 8
Pasien mengalami penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan yang signifikan
selama sakit, namun keluhan polidipsi, polifagi, dan poliuri (3P) tidak diketahui karena
keluarga pasien tidak memperhatikan gejala tersebut. Keluhan mual, muntah, dan diare
disangkal. Dari riwayat penyakit keluarga, diketahui ayah pasien juga merupakan
penyandang diabetes melitus. Hal tersebut merupakan salah satu faktor risiko dari DM tipe 1.
Sekitar 10-15% pasien DM tipe 1 memiliki riwayat keluarga dengan DM. Kondisi DM pasien
yang baru terdiagnosis saat ini sangat mungkin terjadi karena sekitar 71% pasien DM baru
terdiagnosis saat mengalami ketoasidosis diabetikum. Begitu pula dengan yang terjadi pada
pasien di kasus ini. Waktu dari timbulnya gejala hingga diagnosis DM tipe 1 bervariasi
sehingga onset DM tipe 1 ditetapkan saat pertama kali pasien mendapatkan insulin. Tidak
ditemukannya gejala 3P sebelum pasien dirawat saat ini dapat dikarenakan pasien berada
dalam fase prediabetes. Fase prediabetes ditandai dengan predisposisi genetik dan kerusakan
sel beta pankreas tanpa manifestasi klinis diabetes. Fase ini ditandai dengan ditemukannya
autoantibodi terhadap sel islet pankreas dan insulin. Selain fase prediabetes, terdapat 3 fase
lainnya dalam perjalanan penyakit DM tipe 1 yaitu fase timbulnya manifestasi klinis, periode
honeymoon, dan fase ketergantungan insulin menetap.2,9
22
Pada pemeriksaan fisis di IGD, pasien dalam keadaan umum sakit berat namun
compos mentis. Tanda-tanda vital pasien ditemukan tekanan darah dalam batas normal,
takikardi (HR>100x/min), takipnea (RR >20x/min), demam (suhu badan >37,5C). Pasien
mengalami penurunan berat badan dengan IMT saat ini 16,02 kg/m2 (underweight). Adanya
takikardi dan takipnea dapat menjadi tanda adanya dehidrasi pada pasien atau juga dapat
disebabkan karena kondisi infeksi yang sedang berlangsung.
Pada pemeriksaan sistem, ditemukan fitur wajah datar, leher pendek, mata kecil sipit,
sudut mata luar lebih tinggi, telinga kecil dan rendah, tulang hidung rata menyerupai orang
mongoloid, dan jari kaki dan tangan pendek. Fitur tersebut merupakan beberapa gejala fisik
yang dapat ditemukan pada down syndrome. Down syndrome (DS) merupakan suatu kelainan
genetik (bawaan) pada kromosom 21 (Trisomi 21) yang menyebabkan penderitanya memiliki
tingkat kecerdasan yang rendah dan kelainan fisik yang khas. Seseorang dengan DS dapat
mengalami gangguan fungsional seperti gangguan komunikasi, gangguan mobilisasi,
gangguan aktivitas sehari-hari, dan gangguan partisipasi di masyarakat. 10 Hal tersebut dapat
dijumpai pada pasien kasus ini, dimana terdapat hambatan komunikasi dengan pasien dan
untuk aktivitas sehari-harinya memerlukan bantuan caregiver.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien terdiri atas pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terdiri
atas pemeriksaan darah perifer lengkap, glukosa darah, HbA1c, profil lipid, elektrolit, fungsi
ginjal dan hati. Pemeriksaan hematologi awal saat pasien masuk ke IGD ditemukan terdapat
leukositosis, yang dapat menjadi penanda infeksi yang sedang terjadi pada pasien. Kadar
glukosa darah sewaktu pasien saat itu adalah 929 mg/dL dan hasil pemeriksaan HbA1c awal
adalah 13.68%. Hasil pemeriksaan tersebut membantu menegakkan diagnosis diabetes
mellitus pada pasien. Berdasarkan PERKENI 2021, glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL
disertai gejala khas DM atau kadar HbA1c ≥ 6,5% sudah menegakkan diagnosis DM.1,2
Kadar glukosa darah pasien yang meningkat di atas 250 mg/dL disertai dengan gejala
klinis yang ditemukan pada pasien, mendukung tegaknya diagnosis krisis hiperglikemia. 1
Hasil pemeriksaan elektrolit pasien dalam batas normal. Tidak ada data pemeriksaan keton
atau AGD sehingga tipe krisis hiperglikemia yang terjadi belum dapat ditentukan, oleh sebab
itu masih dapat didiagnosis sebagai KAD dengan diagnosis banding SHH dan sebaliknya.
Pada kasus ini, faktor pencetus yang dapat menyebabkan terjadinya krisis hiperglikemia pada
pasien adalah infeksi yaitu bronkopneumonia. Faktor risiko lainnya adalah DM yang baru
terdiagnosis dan indeks massa tubuh yang rendah. Adanya infeksi menyebabkan timbulnya
kondisi stres pada tubuh, sehingga terjadi peningkatan produksi hormon stres seperti kortisol
23
dan adrenalin. Hormon tersebut merupakan hormon kontra regulasi insulin yang
meningkatkan kadar glukosa darah dan benda keton dalam tubuh. Ketika terjadi
hiperglikemia, sel darah putih di dalam tubuh tidak mampu melawan bakteri penyebab
infeksi secara optimal karena tidak dapat bergerak secara bebas, sehingga lambat mencapai
lokasi infeksi.4,5
Pemeriksaan radiologi yang dilakukan berupa pemeriksaan foto toraks proyeksi AP
dan ditemukan kesan bronkopneumonia bilateral karena adanya temuan bercak infiltrat yang
tersebar pada kedua lapang paru. Hal tersebut mendukung penegakkan diagnosis pneumonia
pada pasien, lebih tepatnya bronkopneumonia bilateral sesuai dengan distribusi anatominya. 8
Pemeriksaan penunjang lain yang disarankan untuk dilakukan pada pasien yaitu
pemeriksaan keton urin atau darah untuk mengkonfirmasi ketonuria/ketonemia. Pemeriksaan
urinalisis juga dapat dilakukan untuk melihat apakah terjadi infeksi lain seperti infeksi
saluran kemih. Pada fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap dapat dilakukan
pemeriksaan analisis gas darah untuk melihat asidosis metabolik dan peningkatan anion gap
pada KAD. Pemeriksaan EKG jantung dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan hipokalemia
setelah pemberian terapi cairan dan terapi insulin.5
Terapi yang diberikan pada pasien terdiri atas terapi cairan, terapi insulin, terapi
simptomatik sesuai keluhan yang ada, dan terapi untuk atasi pencetus. Pada pasien diberikan
terapi cairan berupa loading Nacl 0,9% 1500cc. Hal tersebut sesuai rekomendasi untuk
rehidrasi pasien tanpa gangguan fungsi jantung dengan penggunaan cairan isotonik seperti
Nacl 0,9% dalam 1 jam pertama. Terapi insulin pada pasien dimulai dengan pemberian bolus
insulin IV reguler kemudian dilanjutkan dengan insulin IV kontinyu dengan menggunakan
syringe pump. Dosis insulin yang diberikan menyesuaikan dengan klinis dan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah pasien yang diperiksa secara rutin. Pada pasien ini tidak
dilakukan koreksi kalium karena hasil pemeriksaan elektrolit awal menunjukkan kadar
kalium dalam batas normal. Pemberian natrium bikarbonat masih kontroversial dan pada
umumnya jarang diperlukan karena kondisi asidosis pada DKA yang disebabkan oleh badan
keton dan asam laktat akan hilang dengan pemberian cairan dan insulin. Pada pasien ini tidak
diberikan natrium bikarbonat karena tidak adanya hasil AGD yang mendukung adanya
kondisi asidosis metabolik. Selanjutnya, terapi simptomatik yang diberikan pada pasien
berupa injeksi parasetamol untuk mengatasi demam, pemberian drip NS untuk keluhan
lemas, dan sirup curcuma untuk meningkatkan nafsu makan. Untuk mengatasi pencetus krisis
hiperglikemia pada pasien, yaitu infeksi bronkopneumonia, dilakukan pemberian antibiotik
berupa cefoperazone 2x1 gr.1 Berdasarkan penjelasan di atas, secara keseluruhan, manajemen
24
krisis hiperglikemia yang diberikan kepada pasien di kasus ini sudah dilakukan sesuai dengan
guideline yang tersedia dan disesuaikan dengan kondisi pasien pada saat pemeriksaan. Hal
yang masih kurang dari manajemen pada pasien tersebut adalah ketersediaan pemeriksaan
penunjang seperti AGD dan keton urin/darah untuk memonitor keberhasilan terapi dan
resolusi dari KAD atau SHH.
Pasien dipulangkan pada hari perawatan ke-8 dengan terapi jangka panjang berupa
insulin prandial dan insulin basal subkutan yaitu novorapid dan sansulin. Penyesuaian dosis
biasanya dibutuhkan saat fase awal pemberian insulin pada DM tipe 1. Pemberian edukasi
kepada caregiver juga perlu dilakukan, mengingat kondisi khusus yang dimiliki pasien
sehingga caregiver berperan penting dalam memastikan kelancaran terapi pasien. Beberapa
poin edukasi yang penting ditekankan yaitu kebutuhan penggunaan insulin, cara pemberian
insulin, pengaturan makan, komplikasi yang dapat terjadi pada DM tipe 1 dan
kegawatdaruratan medik yang dapat terjadi. Edukasi untuk pemantauan kadar gula darah
secara mandiri di rumah juga perlu diberikan serta motivasi untuk mencapai kontrol
metabolik yang baik.
25
DAFTAR PUSTAKA
26