Disusun Oleh:
Widya Rante Lembang
Try Mayasari Mariana NHB
Muh. Fajriawan
Residen Pembimbing:
dr. Nurfiani
Supervisor :
Dr. dr. Liong Boy Kurniawan, M.Kes, Sp.PK(K)
Mengetahui,
Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2
A. Definisi................................................................................................ 2
B. Epidemiologi....................................................................................... 2
C. Faktor Risiko....................................................................................... 3
D. Patofisiologi ........................................................................................ 3
E. Manifestasi Klinis ............................................................................... 5
F. Aspek Laboratorium ........................................................................... 6
G. Diagnosis ............................................................................................ 11
H. Diagnosis Banding .............................................................................. 13
I. Tatalaksana ................................................................................................. 14
J. Komplikasi .......................................................................................... 17
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
state (HHS) adalah sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolaritas,
dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis. Insiden HHS yang pasti tidak diketahui, tetapi
diperkirakan kurang dari 1% terjadi pada pasien rawat inap dengan diabetes. Sebagian
besar kasus HHS terlihat pada pasien yang usia lanjut dengan diabetes tipe 2. Namun,
telah dilaporkan dapat juga terjadi pada anak-anak dan dewasa muda.1
lebih tinggi dari kematian pada pasien dengan ketoasidosis diabetik (KAD). Faktor risiko
utama adalah diabetes melitus. Selain itu, pencetus lain juga berupa infeksi, penyakit
vaskular akut, trauma, luka bakar, hematom subdural, kelainan gastrointestinal, obat-
obatan. Faktor predisposisi terjadinya HSS paling umum adalah infeksi pada 40-60%
mental. Pada pemeriksaan fisik, pasien sering kali memiliki tanda yang jelas seperti
dehidrasi, selaput mukosa kering dan turgor kulit yang buruk, atau hipotensi. 1
pada pemeriksaan laboratorium berupa kadar glukosa >600 mg/dl, pH darah >7.3,
bikarbonat >18 mEq/L, osmolaritas ≥ 320 mOsm/Kg, dan tidak adanya ketoasidosis.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
pasien diabetes tanpa disertai adanya ketosis. Gejalanya yaitu dehidrasi berat, hiperglikemia
berat dan gangguan neurologis. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik merupakan keadaan
yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat
kesadaran.2
B. Epidemiologi
Federation menunjukkan pada tahun 2015, 415 juta orang dewasa menderita DM di dunia
dan jumlahnya akan diproyeksikan menjadi 642 juta pada 2040. Pada tahun 2015, Indonesia
menempati peringkat tertinggi ke tujuh di dunia dengan diabetes melitus. Diabetes dengan
Insiden pasti HHS masih belum diketahui secara pasti, akan tetapi diperkirakan
bahwa kurang dari 1% penderita diabetes melitus akan mengalami HHS. Penelitian
retrospektif yang dilakukan oleh Agrawal et al, 2018 menunjukkan bahwa 13,8% dari 390
keadaan darurat hiperglikemik pada pediatrik akan mengalami kombinasi KAD dan HHS,
Angka kematian HHS diperkirakan setinggi 20%, yaitu sekitar 10 kali lebih besar
daripada Ketosidosis Diabetik (KAD). Sebagian besar kasus HHS terjadi pada usia rata-rata
2
60 tahun atau pada decade kelima dan keenam kehidupan. Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan HHS terjadi pada usia lebih muda, hal ini terkait dengan meningkatnya
obesitas dan diabetes mellitus tipe 2 pada anak-anak. Obesitas ekstrim dengan indeks masa
tubuh lebih dari 30 dan adanya diabetes tipe 2 tampaknya meningkatkan resiko untuk
C. Faktor Resiko
Faktor risiko utama adalah riwayat Diabetes Melitus. Terkadang dapat terjadi pada
mereka yang tidak memiliki riwayat diabetes sebelumnya atau mereka yang menderita
kencing, sepsis), penyakit vaskular akut (penyakit serebrovaskular, infark miokard akut,
emboli paru), trauma, luka bakar, hematom subdural, kelainan gastrointestinal (pankreatitis
akut, kholesistitis akut, obstruksi intestinal), obat-obatan (diuretik, steroid, agen antipsikotik
dan terbutalin). Faktor predisposisi terjadinya HSS paling umum adalah infeksi pada 40-
D. Patofisiologi
peningkatan kadar glukosa serum dan hiperosmolalitas yang ekstrem tanpa ketosis yang
signifikan. Gangguan metabolik ini diakibatkan oleh faktor sinergis, termasuk kekurangan
kortisol, dan hormon pertumbuhan. Setelah terjadi peningkatan kadar glukosa serum dan
osmolalitas ekstraseluler, gradien osmolar terbentuk, yang menarik air keluar dari sel. Pada
awalnya, laju infiltrasi glomerulus meningkat, yang menyebabkan glukosuria dan diuresis
3
osmotik. Akibatnya, glukosuria ini mencegah perkembangan hiperglikemia berat selama
GFR normal. Pada akhirnya, ketika diuresis osmotik berlanjut, hipovolemia berkembang,
Berbeda dengan Ketoasidosis Diabetik, konsentrasi insulin hati dan sirkulasi yang
lebih tinggi dengan glukagon yang rendah terdapat pada HHS. Rasio sirkulasi insulin atau
glukagon yang lebih tinggi pada pasien HHS mencegah perkembangan ketogenesis dan
ketoasidosis, terutama pada pasien HHS yang memiliki beberapa sel beta pankreas yang
masih berfungsi. Pergeseran cairan dari intraseluler ke ekstraseluler yang diakibatkan oleh
gradien osmotik dapat menyebabkan hiponatremia pada tahap awal HHS. Namun demikian,
dehidrasi berat yang terjadi kemudian menyebabkan normalisasi konsentrasi natrium serum
natrium, magnesium, dan fosfat melalui urin. Akibatnya, untuk membebaskan kehilangan
air dari elektrolit, hipovolemia, dehidrasi intraseluler dan ekstraseluler, dan hiperosmolalitas
insulin.5
Total defisit air dalam tubuh diperkirakan mencapai 7 hingga 12 liter pada HHS,
yang mewakili kehilangan 10% hingga 10% dari total berat badan. Meskipun ketosis ringan
dapat terjadi pada HHS, ketosis dianggap tidak ada pada keadaan ini. Pasien lansia dengan
HHS biasanya memiliki cukup insulin untuk melindungi mereka dari lipolisis dan akibatnya
banyak terjadi ketoasidosis, tetapi mereka tidak memiliki cukup insulin untuk melindungi
4
Gambar 1. Patofisiologi hiperglikemi hiperosmolar non ketotik.5
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang khas adalah buang air kecil yang lebih sering (poliuria) dan
rasa haus yang berlebihan (polidipsia) yang merupakan hasil dari stimulasi pusat rasa haus akibat
dehidrasi parah dan peningkatan osmolaritas. Selain itu, gambaran klinis lain termasuk dehidrasi
berat dengan turgor jaringan yang buruk, mukosa buccal kering, bola mata cekung, ekstremitas
dingin dan denyut nadi yang cepat (takikardi). Pada anak-anak biasanya gejalanya non spesifik
seperti sakit kepala, kelemahan, dan muntah atau bisa juga disertai dengan nyeri perut. Pada
pemeriksaan status mental dapat ditemukan gangguan berupa lucidity hingga disorientasi dan
letargi hingga koma. Koma sering terjadi saat osmolaritas serum lebih besar dari 340 mOsm per
1. Status umum : Tampak sakit, lemas, demam (bila disertai infeksi), hipotermia,
penurunan kesadaran
4. Kulit : CRT >2 detik, turgor kulit menurun, mukosa dan kulit kering, dan akral dingin
5
5. Genitourinaria : Poliuria (osmotic diuresis), produksi urin menurun (dehidrasi)
6. Sistem saraf pusat : Defisit neurologis fokal, kejang, bahkan koma (bila osmolaritas >340
mOsm/kg)
F. Aspek Laboratorium
1. Glukosa Darah
spesimen yang yaitu berupa plasma atau serum vena, dan darah kapiler. Metode
pengukuran glukosa darah dapat dibedakan menjadi metode kimia dan metode
enzimatik. Metode kimia saat ini tidak dapat digunakan karena tidak spesifik dan
umumnya tergantung pada reaksi reduksi. Pemeriksaan kadar glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan gula darah secara enzimatik dengan sampel darah plasma
vena dengan memperhatikan pra analitik, analitik, dan post analitik. Metode enzimatik
terdiri dari tiga jenis, yaitu metode glucose oksidase peroksidase, metode heksokinase,
dan reagen kering (glucose oxidase atau glukosa dehydrogenase) menggunakan alat
Federation Clinical (IFCC). Kelebihan metode ini yaitu menggunakan dua macam
enzim yang spesifik sehingga hasilnya lebih akurat namun metode ini membutuhkan
biaya yang relatif mahal. Di Indonesia baru hanya sekitar 10 % laboratorium yang
6
menggunakan metode heksokinase untuk pemeriksaan kadar glukosa darah dan lebih
selanjutnya bagi pasien. Prinsip dasar alat ini menggunakan sel pengukur dimana
reaksi tertentu dapat berlangsung, sel ini dapat berupa matriks yang berpori, chamber
atau suatu permukaan (surface). Cara pengukuran dapat secara visual monitoring
penggunaan POCT adalah hasil pemeriksaan yang cepat sehingga kadar gula darah
cepat untuk diketahui, biaya lebih terjangkau, volume sampel yang dipakai lebih
pemeriksaan dapat dilakukan didekat pasien (bed side), penggunaan alat yang lebih
akurasi kurang baik dibandingkan dengan metode rujukan yaitu hexokinase sehingga
Metode dari alat POCT yaitu metode enzimatik glucose oxidase. Prinsip
metode enzimatik glucose oxidase yaitu darah kapiler diserap ke dalam strip test,
kemudian mengalir ke area tes dan bercampur dengan reagen untuk memulai proses
7
mengkonversi glukosa dalam sampel darah menjadi glukonolakton. Reaksi tersebut
gula darah. Pada pengukuran darah sewaktu tidak ada persiapan khusus untuk
pasien.6
2. Osmolalitas
yang memengaruhi tekanan osmotik sehingga terjadi pergerakan cairan tubuh. Ukuran,
bentuk, dan berat molekul zat terlarut hampir tidak memengaruhi tekanan osmotik.
Tekanan ini ditentukan dengan mengetahui jumlah mOsmol zat terlarut (solute) per-
kilogram air atau merupakan jumlah mmol zat terlarut (mg/BM) per-liter air.7
keseimbangan cairan dan elektrolit. Pemeriksaan osmolalitas serum dan urin dapat
memberi informasi ketidakseimbangan air dan elektrolit, dan menilai kemampuan ginjal
memekatkan urin.7
metode Freezing Point Depression karena metode ini tidak dipengaruhi oleh suhu
lingkungan dibanding tekanan uap (tekanan uap air pada suhu 20°C: 17,5 mmHg; pada
Prinsip pemeriksaan osmolalitas ialah membandingkan titik beku air dan titik
beku larutan yang diperiksa. Pengukuran osmolalitas larutan didasarkan pada sifat
koligatif larutan. Air sebagai pelarut universal memiliki titik beku 0°C dan titik didih
100°C. Titik didih suatu cairan terjadi saat tekanan uap jenuh cairan sama dengan
tekanan udara luar (normal: 1 atmosfer). Bila dibandingkan dengan air murni, pelarut
8
yang ditambahkan zat terlarut (solut) akan terjadi penurunan tekanan uap, yang
mengakibatkan titik didih larutan meningkat karena energi yang diperlukan lebih banyak
untuk dapat menyamakan tekanan uap larutan = 1 atmosfir. Titik beku larutan tersebut
akan lebih rendah dibanding air murni, karena zat terlarut akan menghalangi molekul-
terjadi penurunan tekanan uap 0,3 mmHg (23,8 mmHg pada suhu 25°C), peningkatan
titik didih 0,52°C, dan penurunan titik beku 1,858°C. Sifat koligatif ini menjadi dasar
Selain Freezing Point Depression terdapat dua jenis osmometer lain yang
Osmometers. Setiap jenis osmometer ini memiliki keuntungan dan kerugian. Freezing
Point Depression merupakan jenis osmometer yang umum digunakan, karena merupakan
satu-satunya jenis osmometer yang dapat mengukur semua alkohol volatile yang pada
Nilai rujukan:7
Hipoosmolalitas : < 230 mOsmol/Kg
Hiperosmolalitas : > 317 mOsmol/Kg
mengevaluasi status asam basa, ventilasi maupun oksigenasi dari pasien. Pemeriksaan
ini memegang peranan penting dalam monitoring pasien dalam keadaan kritis. Analisa
gas darah dapat dilakukan dengan menggunakan darah arteri maupun vena dimana gold
9
Indikasi pemeriksaan gas darah dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan
tekanan parsial oksigen dan karbondioksida serta pH darah. Pemeriksaan Analisa gas
darah dilakukan pada pasien sebagai berikut yaitu pasien dalam keadaan kritis baik oleh
Analisa gas darah digunakan untuk menilai pH, tekanan parsial oksigen (PO 2)
dan tekanan parsial karbondioksida (PCO2) dimana nilai ini dapat digunakan untuk
(HCO3-), konsentrasi total karbondioksida (TCO2) dan base excess cairan ekstraseluler
(BEeef).8
a. pH
dalam tubuh. Menurut Bronsted-Lowry asam adalah zat yang memiliki setidaknya
satu ion H+ dan menyumbangkan ion H+, sedangkan basa adalah zat yang dapat
lebih rendah dari normal sedangkan alkalosis merupakan kondisi dimana pH arteri
Nilai rujukan:8
b. HCO3-
Bikarbonat adalah basa lemah yang diatur oleh ginjal sebagai bagian dari
10
metabolisme darah arteri. Bersama-sama, CO2 dan HCO3- bertindak sebagai buffer
asam karbonat yang memegang peranan penting dalam pengaturan asam basa
melalui ginjal dan paru-paru. Karbondioksida bereaksi dengan air untuk membentuk
HCO3- dan H+. Nilai bikarbonat yang kurang dari normal dapat mengindikasikan
metabolik.8
Nilai rujukan:8
c. Anion gap
etiologi dari kelainan asidosis. Anion gap akan meningkat ketika konsentrasi
bikarbonat menurun relatif terhadap natrium dan klorida karena overproduksi asam
(ketoasidosis, asidosis laktat), gangguan sekresi asam (gagal ginjal kronis), lisis sel
(rhabdomyolisis masif). Sedangkan asidosis dengan nilai anion gap yang normal
Nilai rujukan:8
G. Diagnosis
klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium.1
11
1. Anamnesis
glukosa ginjal kewalahan, dan urin menjadi lebih encer, yang menyebabkan poliuria,
2. Pemeriksaan Fisik
● Pernapasan dangkal
3. Pemeriksaan penunjang
glukosa plasma > 600 mg/dl, diperoleh pH > 7.3, bikarbonat serum >18 mEq/L,
kriteria berikut:1
12
1. Hiperglikemia >600 mg/dl
4. pH >7,3
HHS sering ditemukan usia lanjut lebih 60 tahun. Semakin mudah semakin jarang.
Belum pernah ditemukan pada anak anak. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat
diabetes melitus atau diabetes tanpa pengobatan insulin. Selain itu, juga dapat ditemukan
memiliki penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap penyakit ginjal atau
cairan, pankeratitis, koma hepatic dan operasi. Dari anamnesis keluarga biasanya datang
kerumah sakit dengan keluhan poliuri, pilodipsi, penurunan berat badan, penurunan
kesadaran.1
H. Diagnosis Banding
Penyakit ini disebabkan oleh akibat defisiensi insulin absolut atau relative dan peningkatan
benda benda aketon dengan segala konsikuensi. Pasien dengan KAD secara klasik hadir
dengan triase hiperglikemia yang tidak terkontrol, asidosis metabolik, dan peningkatan
konsentrasi keton tubuh total. Di sisi lain, HHS didefinisikan oleh perubahan status mental
yang disebabkan oleh hiperosmoalitas, dehidrasi yang mendalam, dan hiperglikemia berat
13
tanpa ketoasidosis yang signifikan.1
I. Tatalaksana
Pasien dengan HHS dengan defisit air diperkirakan ~ 100 ml / kg berat badan.
Terapi cairan awal diarahkan ekspansi volume intravaskular dan pemulihan perfusi
ginjal. Saline isotonik (0,9% NaCl) diinfuskan dengan kecepatan 500-1.000 mL / jam
selama 2 jam pertama biasanya cukup, tetapi pada pasien dengan syok hipovolemik, satu
liter ketiga atau keempat saline isotonik mungkin diperlukan untuk mengembalikan
tekanan darah normal dan perfusi jaringan. Setelah penurunan volume intravaskular telah
diperbaiki, laju infus normal saline harus dikurangi menjadi 250 mL / jam atau berubah
menjadi 0,45% saline (250-500 mL / jam) tergantung pada konsentrasi natrium serum
dan keadaan hidrasi. Tujuannya adalah untuk mengganti setengah dari defisit air
diperkirakan selama 12-24 jam. Setelah mencapai glukosa plasma 250 mg / dl pada KAD
dan 300 mg / dl di HHS, cairan pengganti harus mengandung 5-10% dekstrosa untuk
menghindari hipoglikemia. Sebuah aspek penting dari manajemen cairan tambahan pada
hiperglikemia adalah untuk menggantikan volume urin yang hilang. Kegagalan untuk
14
menyesuaikan penggantian cairaan dapat menunda koreksi elektrolit dan defisit air. 4
2. Pemberian insulin
Penelitian acak prospektif telah ditetapkan dengan jelas keunggulan terapi insulin
dosis rendah dalam dosis yang lebih kecil dari hasil insulin dalam waktu kurang
Selain itu, terapi insulin menghambat pelepasan Free Fatty Acids (FFA) dari jaringan
adiposa dan penurunan insulin reguler diberikan secara intravena dengan infus kontinu
yang merupakan pengobatan pilihan. Pasien tersebut harus dirawat di unit perawatan
intensif atau unit step down di mana perawatan yang memadai dan perputaran cepat dari
hasil tes laboratorium yang tersedia. Sebuah bolus intravena awal insulin reguler 0,15
Unit / kg berat badan, diikuti dengan infus kontinu insulin reguler dengan dosis 0,1 Unit
/ kg / jam (5-10 Unit / jam) harus diberikan. Hal ini akan mengakibatkan penurunan yang
cukup diprediksi dalam konsentrasi glukosa plasma pada tingkat 65-125 mg / jam. Ketika
kadar glukosa plasma mencapai 250 mg / dl pada penderita KAD atau 300 mg / dl di
HHS, laju infus insulin berkurang menjadi 0,05 Unit / kg / jam (3-5 unit / jam), dan
dextrose (5-10%) harus ditambahkan ke cairan infus. Setelah itu, tingkat pemberian
Glukosa darah kapiler harus ditentukan setiap 1-2 jam di samping tempat tidur
menggunakan strip reagen oksidase glukosa. Darah harus diambil setiap 2-4 jam untuk
penentuan elektrolit serum, glukosa, nitrogen urea darah, kreatinin, magnesium, fosfor,
dan pH vena. Seorang pasien dengan ketoasidosis diabetik ringan bisa dirawat di bangsal
rumah sakit umum. Pada pasien tersebut, pemberian insulin secara teratur setiap 1-2 jam
15
dengan subkutan atau intramuskular telah terbukti efektif dalam menurunkan glukosa
darah dan konsentrasi badan keton sebagai memberikan seluruh dosis insulin dengan
infus intravena. Selain itu, telah ditunjukkan bahwa penambahan albumin di infusate itu
tidak diperlukan untuk mencegah adsorpsi insulin ke tabung IV atau tas. Pasien tersebut
harus menerima dosis insulin reguler 0,4 Unit / kg berat badan, diberikan setengah bolus
pemberian intramuskular atau subkutan telah terbukti. Namun, suntikan subkutan lebih
3. Pemberian elektrolit
konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang
sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium
serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan
irama jantung pasien juga harus dimonitor. Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per
L (3,3 mmol per L), pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida
dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L).
Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi
kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya konsentrasi
kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq
per L , maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang
diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan konsentrasi
kalium antara 4,0 mEq per liter (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per liter.4
16
Gambar 3. Alur tatalaksana HHS.1
J. Komplikasi
1. Hipoglikemia
dalam 10-25% pasien dengan KAD maupun HHS. Kegagalan untuk mengurangi laju
infus insulin dan / atau menggunakan larutan dekstrosa ketika kadar glukosa darah
mencapai 250 mg / dl merupakan faktor risiko yang paling penting yang terkait dengan
Pemantauan glukosa darah secara rutin (setiap 1-2 jam) wajib untuk mengenali
hipoglikemia dan komplikasi serius. Banyak pasien dengan krisis hiperglikemik yang
berkeringat, gugup, kelelahan, kelaparan, dan takikardia meskipun kadar glukosa darah
yang rendah. Dokter harus menyadari bahwa episode berulang dari hipoglikemia
17
peringatan gejala hipoglikemia berkembang), yang dapat mempersulit manajemen
diabetes setelah resolusi krisis hiperglikemik. Hipoglikemia tidak sering diamati pada
pasien dengan HHS. Nilai glukosa darah <60 mg / dl telah dilaporkan dalam <5% dari
2. Hipokalemia
Konsentrasi kalium serum umumnya meningkat pada pasien dengan KAD dan
HHS, namun selama pengobatan, konsentrasi plasma kalium akan selalu menurun.
Kedua terapi insulin dan koreksi tingkat asidosis penurunan kalium serum dengan
kalium ≤5.0 mEq / L diindikasikan (batas atas mungkin berbeda di laboratorium). Pada
pasien yang dirawat dengan kalium serum normal atau berkurang, pemberian insulin
dapat memicu hipokalemia mendalam. Jika kalium serum awal <3,3 mEq / L, pengganti
kalium intravena harus dimulai segera, dan terapi insulin harus diadakan sampai kalium
3. Edema serebral
terjadi terutama pada anak-anak. Telah dihipotesiskan bahwa otak edema dapat
disebabkan oleh perubahan cepat dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler dan
kondisi. Penurunan cepat dalam osmolalitas ekstraseluler selama pengobatan maka akan
mekanisme lain mungkin memainkan peran dalam perkembangan edema serebral, data
terakhir menunjukkan bahwa edema serebral pada anak adalah terkait dengan iskemia
18
otak. Baik hipokapnia (yang menyebabkan vasokonstriksi serebral) dan dehidrasi
ekstrim (sebagaimana ditentukan oleh serum awal yang tinggi konsentrasi nitrogen urea)
19
BAB III
KESIMPULAN
Pengobatan HHS diarahkan untuk menggantikan defisit volume cairan dan mengoreksi
hiperosmolaritas, hiperglikemia, dan gangguan elektrolit, serta pengelolaan penyakit yang
mendasari yang memicu dekompensasi metabolik.
20
DAFTAR PUSTAKA
2019; 7(2):151–160
10.47378/IJDIC/2022.1.101
Heksokinase Dengan Metode POCT. Solo: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Setia
7. Rambert GI. Ganggaun Keseimbangan Air dan Natrium serta Pemeriksaan Osmolalitas.
8. Sidemen IS, Masyuni PUS. Analisa Gas Darah. Bagian Anestesia dan Terapi Intensif.
9. Van Ness-Otunnu, R., & Hack, J. B. Hyperglycemic crisis. The Journal of Emergency
Medicine. 2018;45(5):797–805.
10. Rees, C. J., Cantor, R. M., Pollack Jr, C. V., & Blanck, J. F. Diabetic ketoacidosis.
10.1007/978-3-319-63895-9_24
21