Anda di halaman 1dari 24

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASPEK LABORATORIUM HIPERGLIKEMI HIPEROSMOLAR NON


KETOTIK

Disusun Oleh:
Widya Rante Lembang
Try Mayasari Mariana NHB
Muh. Fajriawan

Residen Pembimbing:
dr. Nurfiani

Supervisor :
Dr. dr. Liong Boy Kurniawan, M.Kes, Sp.PK(K)

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI


KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :


1. Widya Rante Lembang (C014221052)
2. Try Mayasari Mariana NHB (C014221051)
3. Muh. Fajriawan (C014221042)

Judul Referat : Aspek Laboratorium Hiperglikemi Hiperosmolar Non Ketotik


Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Departemen Ilmu Patologi Klinik Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Agustus 2023

Mengetahui,
Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

Dr. dr. Liong Boy Kurniawan, M.Kes, Sp.PK(K) dr. Nurfiani

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2
A. Definisi................................................................................................ 2
B. Epidemiologi....................................................................................... 2
C. Faktor Risiko....................................................................................... 3
D. Patofisiologi ........................................................................................ 3
E. Manifestasi Klinis ............................................................................... 5
F. Aspek Laboratorium ........................................................................... 6
G. Diagnosis ............................................................................................ 11
H. Diagnosis Banding .............................................................................. 13
I. Tatalaksana ................................................................................................. 14
J. Komplikasi .......................................................................................... 17
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Hiperglikemi hiperosmolar non ketotik atau hyperosmolar hyperglycemic

state (HHS) adalah sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolaritas,

dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis. Insiden HHS yang pasti tidak diketahui, tetapi

diperkirakan kurang dari 1% terjadi pada pasien rawat inap dengan diabetes. Sebagian

besar kasus HHS terlihat pada pasien yang usia lanjut dengan diabetes tipe 2. Namun,

telah dilaporkan dapat juga terjadi pada anak-anak dan dewasa muda.1

Angka kematian keseluruhan diperkirakan mencapai 20%, yaitu sekitar 10 kali

lebih tinggi dari kematian pada pasien dengan ketoasidosis diabetik (KAD). Faktor risiko

utama adalah diabetes melitus. Selain itu, pencetus lain juga berupa infeksi, penyakit

vaskular akut, trauma, luka bakar, hematom subdural, kelainan gastrointestinal, obat-

obatan. Faktor predisposisi terjadinya HSS paling umum adalah infeksi pada 40-60%

pasien, dan infeksi yang paling sering adalah bronkopneumonia.1

Pasien dengan HHS, dapat ditemukan hasil anamnesis berupa poliuria,

polidipsia, kelemahan, penglihatan kabur, dan kemunduran progresif dalam status

mental. Pada pemeriksaan fisik, pasien sering kali memiliki tanda yang jelas seperti

dehidrasi, selaput mukosa kering dan turgor kulit yang buruk, atau hipotensi. 1

Diagnosis hiperglikemia hiperosmolar non ketotik ditegakkan jika ditemukan

pada pemeriksaan laboratorium berupa kadar glukosa >600 mg/dl, pH darah >7.3,

bikarbonat >18 mEq/L, osmolaritas ≥ 320 mOsm/Kg, dan tidak adanya ketoasidosis.1

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dalam referat ini penting dibahas

mengenai aspek laboratorium hiperglikemi hiperosmolar non ketotik.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik (HHNK) atau disebut sebagai

Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS) adalah suatu dekompensasi metabolik pada

pasien diabetes tanpa disertai adanya ketosis. Gejalanya yaitu dehidrasi berat, hiperglikemia

berat dan gangguan neurologis. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik merupakan keadaan

yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat

kesadaran.2

B. Epidemiologi

Kejadian Diabetes Melitus terus meningkat, data dari International Diabetes

Federation menunjukkan pada tahun 2015, 415 juta orang dewasa menderita DM di dunia

dan jumlahnya akan diproyeksikan menjadi 642 juta pada 2040. Pada tahun 2015, Indonesia

menempati peringkat tertinggi ke tujuh di dunia dengan diabetes melitus. Diabetes dengan

komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia. Komplikasi akut

dari diabetes melitus adalah Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperosmolar

Hyperglycaemic State (HHS).3

Insiden pasti HHS masih belum diketahui secara pasti, akan tetapi diperkirakan

bahwa kurang dari 1% penderita diabetes melitus akan mengalami HHS. Penelitian

retrospektif yang dilakukan oleh Agrawal et al, 2018 menunjukkan bahwa 13,8% dari 390

keadaan darurat hiperglikemik pada pediatrik akan mengalami kombinasi KAD dan HHS,

sementara 0,8% diantaranya hanya melibatkan HHS saja.1

Angka kematian HHS diperkirakan setinggi 20%, yaitu sekitar 10 kali lebih besar

daripada Ketosidosis Diabetik (KAD). Sebagian besar kasus HHS terjadi pada usia rata-rata

2
60 tahun atau pada decade kelima dan keenam kehidupan. Akan tetapi tidak menutup

kemungkinan HHS terjadi pada usia lebih muda, hal ini terkait dengan meningkatnya

obesitas dan diabetes mellitus tipe 2 pada anak-anak. Obesitas ekstrim dengan indeks masa

tubuh lebih dari 30 dan adanya diabetes tipe 2 tampaknya meningkatkan resiko untuk

terjadinya HHS pada remaja.1

C. Faktor Resiko

Faktor risiko utama adalah riwayat Diabetes Melitus. Terkadang dapat terjadi pada

mereka yang tidak memiliki riwayat diabetes sebelumnya atau mereka yang menderita

diabetes melitus tipe 1.3

Faktor pencetus HHS antara lain infeksi (bronkopneumonia, infeksi saluran

kencing, sepsis), penyakit vaskular akut (penyakit serebrovaskular, infark miokard akut,

emboli paru), trauma, luka bakar, hematom subdural, kelainan gastrointestinal (pankreatitis

akut, kholesistitis akut, obstruksi intestinal), obat-obatan (diuretik, steroid, agen antipsikotik

atipikal, glukagon, interferon, agen simpatomimetik seperti albuterol, dopamin, dobutamin,

dan terbutalin). Faktor predisposisi terjadinya HSS paling umum adalah infeksi pada 40-

60% pasien, dan infeksi yang paling sering adalah bronkopneumonia. 4

D. Patofisiologi

Ciri khas dari patogenesis Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah

peningkatan kadar glukosa serum dan hiperosmolalitas yang ekstrem tanpa ketosis yang

signifikan. Gangguan metabolik ini diakibatkan oleh faktor sinergis, termasuk kekurangan

insulin dan peningkatan kadar hormon kontraregulasi seperti glukagon, katekolamin,

kortisol, dan hormon pertumbuhan. Setelah terjadi peningkatan kadar glukosa serum dan

osmolalitas ekstraseluler, gradien osmolar terbentuk, yang menarik air keluar dari sel. Pada

awalnya, laju infiltrasi glomerulus meningkat, yang menyebabkan glukosuria dan diuresis

3
osmotik. Akibatnya, glukosuria ini mencegah perkembangan hiperglikemia berat selama

GFR normal. Pada akhirnya, ketika diuresis osmotik berlanjut, hipovolemia berkembang,

yang menyebabkan penurunan progresif dalam GFR dan hiperglikemia memburuk. 5

Berbeda dengan Ketoasidosis Diabetik, konsentrasi insulin hati dan sirkulasi yang

lebih tinggi dengan glukagon yang rendah terdapat pada HHS. Rasio sirkulasi insulin atau

glukagon yang lebih tinggi pada pasien HHS mencegah perkembangan ketogenesis dan

ketoasidosis, terutama pada pasien HHS yang memiliki beberapa sel beta pankreas yang

masih berfungsi. Pergeseran cairan dari intraseluler ke ekstraseluler yang diakibatkan oleh

gradien osmotik dapat menyebabkan hiponatremia pada tahap awal HHS. Namun demikian,

dehidrasi berat yang terjadi kemudian menyebabkan normalisasi konsentrasi natrium serum

atau bahkan hipernatremia. Diuresis osmotik dapat menyebabkan hilangnya kalium,

natrium, magnesium, dan fosfat melalui urin. Akibatnya, untuk membebaskan kehilangan

air dari elektrolit, hipovolemia, dehidrasi intraseluler dan ekstraseluler, dan hiperosmolalitas

berkembang. Hipovolemia yang persisten menyebabkan pelepasan hormon yang berlawanan

dengan regulasi, yang memperburuk hiperglikemia dan berkontribusi terhadap resistensi

insulin.5

Total defisit air dalam tubuh diperkirakan mencapai 7 hingga 12 liter pada HHS,

yang mewakili kehilangan 10% hingga 10% dari total berat badan. Meskipun ketosis ringan

dapat terjadi pada HHS, ketosis dianggap tidak ada pada keadaan ini. Pasien lansia dengan

HHS biasanya memiliki cukup insulin untuk melindungi mereka dari lipolisis dan akibatnya

banyak terjadi ketoasidosis, tetapi mereka tidak memiliki cukup insulin untuk melindungi

mereka dari hiperglikemia.5

4
Gambar 1. Patofisiologi hiperglikemi hiperosmolar non ketotik.5

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang khas adalah buang air kecil yang lebih sering (poliuria) dan

rasa haus yang berlebihan (polidipsia) yang merupakan hasil dari stimulasi pusat rasa haus akibat

dehidrasi parah dan peningkatan osmolaritas. Selain itu, gambaran klinis lain termasuk dehidrasi

berat dengan turgor jaringan yang buruk, mukosa buccal kering, bola mata cekung, ekstremitas

dingin dan denyut nadi yang cepat (takikardi). Pada anak-anak biasanya gejalanya non spesifik

seperti sakit kepala, kelemahan, dan muntah atau bisa juga disertai dengan nyeri perut. Pada

pemeriksaan status mental dapat ditemukan gangguan berupa lucidity hingga disorientasi dan

letargi hingga koma. Koma sering terjadi saat osmolaritas serum lebih besar dari 340 mOsm per

kg. Secara umum akan didapatkan gambaran klinis sebagai berikut:1

1. Status umum : Tampak sakit, lemas, demam (bila disertai infeksi), hipotermia,

penurunan kesadaran

2. Kardiovaskular : Takikardi, nadi cepat dan lemah, hipotensi

3. Pernapasan : Takipneu (asidosis)

4. Kulit : CRT >2 detik, turgor kulit menurun, mukosa dan kulit kering, dan akral dingin

5
5. Genitourinaria : Poliuria (osmotic diuresis), produksi urin menurun (dehidrasi)

6. Sistem saraf pusat : Defisit neurologis fokal, kejang, bahkan koma (bila osmolaritas >340

mOsm/kg)

F. Aspek Laboratorium

1. Glukosa Darah

Pemeriksaan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan

spesimen yang yaitu berupa plasma atau serum vena, dan darah kapiler. Metode

pengukuran glukosa darah dapat dibedakan menjadi metode kimia dan metode

enzimatik. Metode kimia saat ini tidak dapat digunakan karena tidak spesifik dan

umumnya tergantung pada reaksi reduksi. Pemeriksaan kadar glukosa darah yang

dianjurkan adalah pemeriksaan gula darah secara enzimatik dengan sampel darah plasma

vena dengan memperhatikan pra analitik, analitik, dan post analitik. Metode enzimatik

terdiri dari tiga jenis, yaitu metode glucose oksidase peroksidase, metode heksokinase,

dan reagen kering (glucose oxidase atau glukosa dehydrogenase) menggunakan alat

Point Of Care Testing (POCT).6

Prinsip metode enzimatik yaitu menggunakan enzim tertentu sesuai dengan

jenis metodenya sebaga katalis reaksi.6

a. Metode glucose oksidase peroksidase dan Metode heksokinase

Metode heksokinase merupakan metode pengukuran kadar glukosa darah

yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO) dan International

Federation Clinical (IFCC). Kelebihan metode ini yaitu menggunakan dua macam

enzim yang spesifik sehingga hasilnya lebih akurat namun metode ini membutuhkan

biaya yang relatif mahal. Di Indonesia baru hanya sekitar 10 % laboratorium yang

6
menggunakan metode heksokinase untuk pemeriksaan kadar glukosa darah dan lebih

banyak menggunakan metode Glucose Oksidase Peroksidase (GOD- PAP) sehingga

menjadi pemeriksaan standar yang umumnya digunakan di laboratorium Indonesia.6

b. Point Of Care Testing (POCT)

Point Of Care Testing (POCT) didefinisikan sebagai pemeriksaan yang

hasilnya dapat diketahui sesegera mungkin dalam membantu menentukan tindakan

selanjutnya bagi pasien. Prinsip dasar alat ini menggunakan sel pengukur dimana

reaksi tertentu dapat berlangsung, sel ini dapat berupa matriks yang berpori, chamber

atau suatu permukaan (surface). Cara pengukuran dapat secara visual monitoring

reaksi elektrokimia yang terjadi.6

Umumnya pemeriksaan POCT kimia menggunakan teknologi biosensor.

POCT menggunakan reaksi enzimatik kimia oleh reaksi elektrokimia. Kelebihan

penggunaan POCT adalah hasil pemeriksaan yang cepat sehingga kadar gula darah

cepat untuk diketahui, biaya lebih terjangkau, volume sampel yang dipakai lebih

sedikit dan tidak memerlukan penanganan sampel seperti pemusingan (sentrifugasi),

pemeriksaan dapat dilakukan didekat pasien (bed side), penggunaan alat yang lebih

praktis. Kelemahan penggunaan POCT yaitu kemampuan pengukuran terbatas,

akurasi kurang baik dibandingkan dengan metode rujukan yaitu hexokinase sehingga

pemeriksaan bertujuan hanya untuk screening DM tidak sebagai penegak diagnosa

DM, perawatan dan kalibrasi alat perlu diperhatikan.6

Metode dari alat POCT yaitu metode enzimatik glucose oxidase. Prinsip

metode enzimatik glucose oxidase yaitu darah kapiler diserap ke dalam strip test,

kemudian mengalir ke area tes dan bercampur dengan reagen untuk memulai proses

pengukuran. Enzim glucose dehydrogenase dan koenzim dalam strip tes

7
mengkonversi glukosa dalam sampel darah menjadi glukonolakton. Reaksi tersebut

menghasilkan listrik DC yang tidak berbahaya sehingga meter mampu mengukur

gula darah. Pada pengukuran darah sewaktu tidak ada persiapan khusus untuk

pasien.6

2. Osmolalitas

Osmolalitas menggambarkan jumlah zat terlarut dalam unit volume pelarut,

yang memengaruhi tekanan osmotik sehingga terjadi pergerakan cairan tubuh. Ukuran,

bentuk, dan berat molekul zat terlarut hampir tidak memengaruhi tekanan osmotik.

Tekanan ini ditentukan dengan mengetahui jumlah mOsmol zat terlarut (solute) per-

kilogram air atau merupakan jumlah mmol zat terlarut (mg/BM) per-liter air.7

Banyak penyakit atau pengobatan yang dapat menimbulkan gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit. Pemeriksaan osmolalitas serum dan urin dapat

memberi informasi ketidakseimbangan air dan elektrolit, dan menilai kemampuan ginjal

memekatkan urin.7

Osmometer yang umum dipakai menggunakan dasar pengukuran dengan

metode Freezing Point Depression karena metode ini tidak dipengaruhi oleh suhu

lingkungan dibanding tekanan uap (tekanan uap air pada suhu 20°C: 17,5 mmHg; pada

25°C: 23,8 mmHg).7

Prinsip pemeriksaan osmolalitas ialah membandingkan titik beku air dan titik

beku larutan yang diperiksa. Pengukuran osmolalitas larutan didasarkan pada sifat

koligatif larutan. Air sebagai pelarut universal memiliki titik beku 0°C dan titik didih

100°C. Titik didih suatu cairan terjadi saat tekanan uap jenuh cairan sama dengan

tekanan udara luar (normal: 1 atmosfer). Bila dibandingkan dengan air murni, pelarut

8
yang ditambahkan zat terlarut (solut) akan terjadi penurunan tekanan uap, yang

mengakibatkan titik didih larutan meningkat karena energi yang diperlukan lebih banyak

untuk dapat menyamakan tekanan uap larutan = 1 atmosfir. Titik beku larutan tersebut

akan lebih rendah dibanding air murni, karena zat terlarut akan menghalangi molekul-

molekul air membentuk struktur kristal.7

Sebagai contoh suatu larutan dikatakan memiliki osmolalitas 1 Osmol bila

terjadi penurunan tekanan uap 0,3 mmHg (23,8 mmHg pada suhu 25°C), peningkatan

titik didih 0,52°C, dan penurunan titik beku 1,858°C. Sifat koligatif ini menjadi dasar

pengukuran osmolalitas larutan.7

Selain Freezing Point Depression terdapat dua jenis osmometer lain yang

tersedia secara komersial yaitu Vapor Pressure Osmometers dan Membrane

Osmometers. Setiap jenis osmometer ini memiliki keuntungan dan kerugian. Freezing

Point Depression merupakan jenis osmometer yang umum digunakan, karena merupakan

satu-satunya jenis osmometer yang dapat mengukur semua alkohol volatile yang pada

keadaan abnormal dapat menyebabkan osmolar gap.7

Nilai rujukan:7
Hipoosmolalitas : < 230 mOsmol/Kg
Hiperosmolalitas : > 317 mOsmol/Kg

3. Analisis Gas Darah

Analisa gas darah adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk

mengevaluasi status asam basa, ventilasi maupun oksigenasi dari pasien. Pemeriksaan

ini memegang peranan penting dalam monitoring pasien dalam keadaan kritis. Analisa

gas darah dapat dilakukan dengan menggunakan darah arteri maupun vena dimana gold

standar dari pemeriksaan ini menggunakan darah arteri.8

9
Indikasi pemeriksaan gas darah dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan

tekanan parsial oksigen dan karbondioksida serta pH darah. Pemeriksaan Analisa gas

darah dilakukan pada pasien sebagai berikut yaitu pasien dalam keadaan kritis baik oleh

gangguan dalam sistem pernapasan maupun gangguan metabolik lain. 8

Analisa gas darah digunakan untuk menilai pH, tekanan parsial oksigen (PO 2)

dan tekanan parsial karbondioksida (PCO2) dimana nilai ini dapat digunakan untuk

memperkirakan saturasi oksigen (SaO2) dalam hemoglobin, konsentrasi bikarbonat

(HCO3-), konsentrasi total karbondioksida (TCO2) dan base excess cairan ekstraseluler

(BEeef).8

a. pH

pH darah mewakili seluruh keseimbangan asam dan basa yang diproses di

dalam tubuh. Menurut Bronsted-Lowry asam adalah zat yang memiliki setidaknya

satu ion H+ dan menyumbangkan ion H+, sedangkan basa adalah zat yang dapat

menerima ion H+.8

pH merupakan gambaran dari kadar ion H+ dalam darah untuk menentukan

adanya asidosis maupun alkalosis. Asidosis merupakan kondisi dimana pH arteri

lebih rendah dari normal sedangkan alkalosis merupakan kondisi dimana pH arteri

lebih tinggi dari normal.8

Nilai rujukan:8

Nilai normal : 7.35 – 7.45

Nilai kritis : < 7.25 - 7.55

b. HCO3-

Bikarbonat adalah basa lemah yang diatur oleh ginjal sebagai bagian dari

homeostasis asam-basa. HCO3- dalam darah arteri mencerminkan komponen

10
metabolisme darah arteri. Bersama-sama, CO2 dan HCO3- bertindak sebagai buffer

secara metabolik dan respiratorik. Hubungan keduanya digambarkan jelas dalam

metode Henderson-Hasselbach. Persamaan ini menitik beratkan pada sistem buffer

asam karbonat yang memegang peranan penting dalam pengaturan asam basa

melalui ginjal dan paru-paru. Karbondioksida bereaksi dengan air untuk membentuk

HCO3- dan H+. Nilai bikarbonat yang kurang dari normal dapat mengindikasikan

asidosis metabolik sedangkan jika nilainya lebih besar mengindikasikan alkalosis

metabolik.8

Nilai rujukan:8

Nilai normal bikarbonat (HCO3): 22–28 mEq/L (arteri).

c. Anion gap

Anion gap pada asidosis metabolik sangat membantu dalam menemukan

etiologi dari kelainan asidosis. Anion gap akan meningkat ketika konsentrasi

bikarbonat menurun relatif terhadap natrium dan klorida karena overproduksi asam

(ketoasidosis, asidosis laktat), gangguan sekresi asam (gagal ginjal kronis), lisis sel

(rhabdomyolisis masif). Sedangkan asidosis dengan nilai anion gap yang normal

terjadi karena kehilangan bikarbonat dari gastrointestinal seperti pada diare.8

Nilai rujukan:8

Nilai normal anion gap: 12±2 meq/L.

G. Diagnosis

Diagnosis hiperglikemi hiperosmolar non ketotik dengan menilai manifestasi

klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan ditegakkan dengan pemeriksaan

laboratorium.1

11
1. Anamnesis

Hiperglikemi hiperosmolar non ketotik ditandai dengan defisiensi insulin

absolut atau relatif, yang mencegah tubuh memetabolisme karbohidrat dan

menghasilkan hiperglikemia berat. Ketika kadar glukosa darah meningkat, ambang

glukosa ginjal kewalahan, dan urin menjadi lebih encer, yang menyebabkan poliuria,

dehidrasi, dan polidipsia.1

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat diperoleh pada pasien dengan hiperglikemi

hiperosmolar non ketotik yaitu sebagai berikut:1

● Pernapasan dangkal

● Beberapa gangguan neurologis

● Edema serebral jarang

● Kesadaran apatis sampai dengan koma

● Tanda-tanda dehidrasi seperti turgor menurun disertai tanda kelainan neurologis,

hipotensi postural, bibir dan lidah kering

● Tidak ada bau aseton yang tercium dari pernafasan

● Tidak ada pernafasan Kussmaul (cepat dan dalam).

3. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan penunjang diperlukan pemeriksaan laboratorium berupa

pemeriksaan glukosa darah yang ditemukan hiperglikemia berat dengan kadar

glukosa plasma > 600 mg/dl, diperoleh pH > 7.3, bikarbonat serum >18 mEq/L,

osmolaritas ≥ 320 mOsm/Kg, dan tidak adanya ketoasidosis. 1

Untuk menegakkan diagnosis hiperglikemia hiperosmolar non ketotik dibutuhkan

kriteria berikut:1

12
1. Hiperglikemia >600 mg/dl

2. Osmolalitas serum > 350 mOsm/ kg

4. pH >7,3

5. Bikarbonat serum >15 mEq/L

6. Anion gap normal

HHS sering ditemukan usia lanjut lebih 60 tahun. Semakin mudah semakin jarang.

Belum pernah ditemukan pada anak anak. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat

diabetes melitus atau diabetes tanpa pengobatan insulin. Selain itu, juga dapat ditemukan

memiliki penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap penyakit ginjal atau

kardiovaskular, pernah ditemukan pada penyakit akromegali, tirotoksikosis dan penyakit

Cushing. Sering disebabkan oleh obat-obatan seperti: tiazid, steroid, Klorpromazin,

hidralazin, dilatin, simetidin dan haloperidol (neuroleptic). Mempunyai faktor pencetus

misalnya infeksi, penyakit kardiovaskular, aritmia, pendarahan, gangguan keseimbangan

cairan, pankeratitis, koma hepatic dan operasi. Dari anamnesis keluarga biasanya datang

kerumah sakit dengan keluhan poliuri, pilodipsi, penurunan berat badan, penurunan

kesadaran.1

H. Diagnosis Banding

Ketoasisdosis Diabetik (KAD)

Penyakit ini disebabkan oleh akibat defisiensi insulin absolut atau relative dan peningkatan

hormone kontra regulator yang mengakibatkan lipolisis berlebihan sehingga berbentuk

benda benda aketon dengan segala konsikuensi. Pasien dengan KAD secara klasik hadir

dengan triase hiperglikemia yang tidak terkontrol, asidosis metabolik, dan peningkatan

konsentrasi keton tubuh total. Di sisi lain, HHS didefinisikan oleh perubahan status mental

yang disebabkan oleh hiperosmoalitas, dehidrasi yang mendalam, dan hiperglikemia berat

13
tanpa ketoasidosis yang signifikan.1

Gambar 2. Perbandingan KAD dan HHS.1

I. Tatalaksana

1. Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan menggunakan cairan

Pasien dengan HHS dengan defisit air diperkirakan ~ 100 ml / kg berat badan.

Terapi cairan awal diarahkan ekspansi volume intravaskular dan pemulihan perfusi

ginjal. Saline isotonik (0,9% NaCl) diinfuskan dengan kecepatan 500-1.000 mL / jam

selama 2 jam pertama biasanya cukup, tetapi pada pasien dengan syok hipovolemik, satu

liter ketiga atau keempat saline isotonik mungkin diperlukan untuk mengembalikan

tekanan darah normal dan perfusi jaringan. Setelah penurunan volume intravaskular telah

diperbaiki, laju infus normal saline harus dikurangi menjadi 250 mL / jam atau berubah

menjadi 0,45% saline (250-500 mL / jam) tergantung pada konsentrasi natrium serum

dan keadaan hidrasi. Tujuannya adalah untuk mengganti setengah dari defisit air

diperkirakan selama 12-24 jam. Setelah mencapai glukosa plasma 250 mg / dl pada KAD

dan 300 mg / dl di HHS, cairan pengganti harus mengandung 5-10% dekstrosa untuk

memungkinkan pemberian insulin dilanjutkan sampai ketonemia dikendalikan sambil

menghindari hipoglikemia. Sebuah aspek penting dari manajemen cairan tambahan pada

hiperglikemia adalah untuk menggantikan volume urin yang hilang. Kegagalan untuk

14
menyesuaikan penggantian cairaan dapat menunda koreksi elektrolit dan defisit air. 4

2. Pemberian insulin

Penelitian acak prospektif telah ditetapkan dengan jelas keunggulan terapi insulin

dosis rendah dalam dosis yang lebih kecil dari hasil insulin dalam waktu kurang

hipoglikemia dan hipokalemia. insulin meningkatkan pemanfaatan glukosa perifer dan

menurunkan produksi glukosa hepatik, sehingga menurunkan konsentrasi glukosa darah.

Selain itu, terapi insulin menghambat pelepasan Free Fatty Acids (FFA) dari jaringan

adiposa dan penurunan insulin reguler diberikan secara intravena dengan infus kontinu

yang merupakan pengobatan pilihan. Pasien tersebut harus dirawat di unit perawatan

intensif atau unit step down di mana perawatan yang memadai dan perputaran cepat dari

hasil tes laboratorium yang tersedia. Sebuah bolus intravena awal insulin reguler 0,15

Unit / kg berat badan, diikuti dengan infus kontinu insulin reguler dengan dosis 0,1 Unit

/ kg / jam (5-10 Unit / jam) harus diberikan. Hal ini akan mengakibatkan penurunan yang

cukup diprediksi dalam konsentrasi glukosa plasma pada tingkat 65-125 mg / jam. Ketika

kadar glukosa plasma mencapai 250 mg / dl pada penderita KAD atau 300 mg / dl di

HHS, laju infus insulin berkurang menjadi 0,05 Unit / kg / jam (3-5 unit / jam), dan

dextrose (5-10%) harus ditambahkan ke cairan infus. Setelah itu, tingkat pemberian

insulin mungkin perlu disesuaikan untuk mempertahankan nilai-nilai glukosa di atas

sampai ketoasidosis diperbaiki.4

Glukosa darah kapiler harus ditentukan setiap 1-2 jam di samping tempat tidur

menggunakan strip reagen oksidase glukosa. Darah harus diambil setiap 2-4 jam untuk

penentuan elektrolit serum, glukosa, nitrogen urea darah, kreatinin, magnesium, fosfor,

dan pH vena. Seorang pasien dengan ketoasidosis diabetik ringan bisa dirawat di bangsal

rumah sakit umum. Pada pasien tersebut, pemberian insulin secara teratur setiap 1-2 jam

15
dengan subkutan atau intramuskular telah terbukti efektif dalam menurunkan glukosa

darah dan konsentrasi badan keton sebagai memberikan seluruh dosis insulin dengan

infus intravena. Selain itu, telah ditunjukkan bahwa penambahan albumin di infusate itu

tidak diperlukan untuk mencegah adsorpsi insulin ke tabung IV atau tas. Pasien tersebut

harus menerima dosis insulin reguler 0,4 Unit / kg berat badan, diberikan setengah bolus

intravena dan setengah sebagai injeksi subkutan atau intramuskular. Efektivitas

pemberian intramuskular atau subkutan telah terbukti. Namun, suntikan subkutan lebih

mudah dan lebih menyakitkan.4

3. Pemberian elektrolit

Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena

konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang

sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium

serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan

irama jantung pasien juga harus dimonitor. Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per

L (3,3 mmol per L), pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida

dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L).

Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi

kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya konsentrasi

kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq

per L , maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang

diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan konsentrasi

kalium antara 4,0 mEq per liter (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per liter.4

16
Gambar 3. Alur tatalaksana HHS.1

J. Komplikasi

1. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah komplikasi yang paling umum selama infus insulin.

Meskipun penggunaan protokol insulin dosis rendah, hipoglikemia masih dilaporkan

dalam 10-25% pasien dengan KAD maupun HHS. Kegagalan untuk mengurangi laju

infus insulin dan / atau menggunakan larutan dekstrosa ketika kadar glukosa darah

mencapai 250 mg / dl merupakan faktor risiko yang paling penting yang terkait dengan

hipoglikemia selama infus insulin.9

Pemantauan glukosa darah secara rutin (setiap 1-2 jam) wajib untuk mengenali

hipoglikemia dan komplikasi serius. Banyak pasien dengan krisis hiperglikemik yang

mengalami hipoglikemia selama pengobatan tidak mengalami manifestasi adrenergik,

berkeringat, gugup, kelelahan, kelaparan, dan takikardia meskipun kadar glukosa darah

yang rendah. Dokter harus menyadari bahwa episode berulang dari hipoglikemia

mungkin berhubungan dengan kondisi hipoglikemia ketidaksadaran (hilangnya persepsi

17
peringatan gejala hipoglikemia berkembang), yang dapat mempersulit manajemen

diabetes setelah resolusi krisis hiperglikemik. Hipoglikemia tidak sering diamati pada

pasien dengan HHS. Nilai glukosa darah <60 mg / dl telah dilaporkan dalam <5% dari

pasien HHS selama terapi insulin intravena. 9

2. Hipokalemia

Konsentrasi kalium serum umumnya meningkat pada pasien dengan KAD dan

HHS, namun selama pengobatan, konsentrasi plasma kalium akan selalu menurun.

Kedua terapi insulin dan koreksi tingkat asidosis penurunan kalium serum dengan

merangsang seluler serapan kalium dalam jaringan perifer. Untuk mencegah

hipokalemia, penggantian dengan kalium intravena segera setelah konsentrasi serum

kalium ≤5.0 mEq / L diindikasikan (batas atas mungkin berbeda di laboratorium). Pada

pasien yang dirawat dengan kalium serum normal atau berkurang, pemberian insulin

dapat memicu hipokalemia mendalam. Jika kalium serum awal <3,3 mEq / L, pengganti

kalium intravena harus dimulai segera, dan terapi insulin harus diadakan sampai kalium

serum adalah ≥3.3 mEq / L.9

3. Edema serebral

Edema serebral merupakan komplikasi yang jarang namun serius. Dilaporkan

terjadi terutama pada anak-anak. Telah dihipotesiskan bahwa otak edema dapat

disebabkan oleh perubahan cepat dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler dan

perubahan osmolalitas akibat akumulasi osmolit di sel-sel otak terkena hiperosmolar

kondisi. Penurunan cepat dalam osmolalitas ekstraseluler selama pengobatan maka akan

mengakibatkan pembengkakan osmotik dimediasi otak. Meskipun faktor osmotik dan

mekanisme lain mungkin memainkan peran dalam perkembangan edema serebral, data

terakhir menunjukkan bahwa edema serebral pada anak adalah terkait dengan iskemia

18
otak. Baik hipokapnia (yang menyebabkan vasokonstriksi serebral) dan dehidrasi

ekstrim (sebagaimana ditentukan oleh serum awal yang tinggi konsentrasi nitrogen urea)

dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk edema serebral. 10

19
BAB III

KESIMPULAN

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik (HHNK) atau disebut sebagai


Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS) adalah suatu dekompensasi metabolik pada
pasien diabetes tanpa disertai adanya ketosis. Faktor risiko utama adalah diabetes melitus.
Selain itu, pencetus lain juga berupa infeksi, penyakit vaskular akut, trauma, luka bakar,
hematom subdural, kelainan gastrointestinal, obat-obatan.

Diagnosis hiperglikemia hiperosmolar non ketotik ditegakkan jika ditemukan pada


pemeriksaan laboratorium berupa kadar glukosa >600 mg/dl, pH darah >7.3, bikarbonat >18
mEq/L, osmolaritas ≥ 320 mOsm/Kg, dan tidak adanya ketoasidosis.

Aspek laboratorium yang diperlukan yaitu pemeriksaan glukosa darah untuk


menentukan kadar glukosa dalam darah yang dianjurkan melalui metode enzimatik dengan
sampel darah plasma vena. Selanjutnya pemeriksaan osmolalitas yang dapat memberikan
informasi berupa ketidakseimbangan air dan elektrolit, dan menilai kemampuan ginjal
memekatkan urin. Selain itu, diperlukan analisa gas darah untuk menentukan pH, bikarbonat
(HCO3-), dan anion gap yang penting dalam penegakan diagnosis hiperglikemi
hiperosmolar non ketotik.

Pengobatan HHS diarahkan untuk menggantikan defisit volume cairan dan mengoreksi
hiperosmolaritas, hiperglikemia, dan gangguan elektrolit, serta pengelolaan penyakit yang
mendasari yang memicu dekompensasi metabolik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Linggabudi IGBW, Salsabilla R, Fitroningtyas EA. Hyperosmolar Hyperglycemic State.

Jurnal Syntax Fusion. 2022;2(2):235−242. Doi: 10.54543/fusion.v2i02.150

2. Semarawima G. Status Hiperosmolar Hiperglikemik. Med J. 2017;48(1):49.

3. Oktaliani R, Zamri A. Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS). JAMBI Med J “Jurnal

Kedokteran dan Kesehatan.” 2019;7(1):50–5.

4. Zamri A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS). JMJ.

2019; 7(2):151–160

5. Bereda G. Hyperosmolar Hyperglycemic State: Background, Precipitating Factors,

Pathophysiology and Management. In J Dia It Compl. 2022;1(1):1–6. Doi:

10.47378/IJDIC/2022.1.101

6. Sumirat N. Perbedaan Antara Hasil Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah Metode

Heksokinase Dengan Metode POCT. Solo: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Setia

Budi; 2017. p.13–17.

7. Rambert GI. Ganggaun Keseimbangan Air dan Natrium serta Pemeriksaan Osmolalitas.

Jurnal Biomedik. 2014;6(3):46–54.

8. Sidemen IS, Masyuni PUS. Analisa Gas Darah. Bagian Anestesia dan Terapi Intensif.

Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2016. p.3–11.

9. Van Ness-Otunnu, R., & Hack, J. B. Hyperglycemic crisis. The Journal of Emergency

Medicine. 2018;45(5):797–805.

10. Rees, C. J., Cantor, R. M., Pollack Jr, C. V., & Blanck, J. F. Diabetic ketoacidosis.

Differential Diagnosis of Cardiopulmonary Disease: A Handbook. Springer; 2019. Doi:

10.1007/978-3-319-63895-9_24

21

Anda mungkin juga menyukai