Anda di halaman 1dari 17

REFERAT DOKTER MUDA

ILMU PENYAKIT DALAM


KRISIS HIPERGLIKEMI

Diajukan Sebagai Persyaratan Pendidikan Profesi Dokter


Bagian Ilmu Kesehatan Penyakit Dalam

Penyusun:
Agung Cahyono
NIM 0607012210006

Pembimbing:
dr. Ari Triantanoe, Sp.PD

KSM ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR MOHAMMAD SOEWANDHIE
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CIPUTRA
SURABAYA
2023

1
LEMBAR PENGESAHAN

Nama/ NIM : Agung Cahyono/ 0607012210006


Univesitas : Universitas Ciputra Surabaya
Tingkat : Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu Kesehatan Penyakit Dalam
Periode Kepaniteraan Klinik : 29 Mei 2022 – 18 Agustus 2023
Judul Referat : Krisis Hiperglikemi
Diajukan : 30 Juni 2023
Pembimbing : dr. Ari Triantanoe, Sp.PD

Surabaya,
Mengesahkan,
Dokter Pembimbing

dr. Ari Triantanoe, Sp.PD

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat menyelesaikan tigas
referat yang berjudul “Krisis Hiperglikemi”. Penulis menyadari bahawa keberhasilan
penyusunan tugas akhir ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr, Ari Triantanoe, Sp.PD sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing penulis dengan berbagai kekurangan dari penulis,
memberikan nasihat dan saran kepada penulis sehingga referat ini dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
2. Keluarga dan teman-teman yang terkasih, yang telah memberikan dukungankepada
penulis untuk menulis referat ini.
Penulis berharap dengan referat ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan baik
penulis maupun rekan sejawat. Semoga Tuhan membalas kebaikan dosen pembimbing
yang senantiasa membimbing penilis sampai referat selesai.

Surabaya, 23 Juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL ...................................................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................................................2
KATA PENGANTAR.................................................................................................................3
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................4
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................5
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................................................6
BAB I .........................................................................................................................................7
PENDAHULUAN ......................................................................................................................7
BAB II ........................................................................................................................................8
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................................................8
2.1 Definisi .........................................................................................................................8
2.2 Epidemiologi ................................................................................................................8
2.3 Pathogenesis ................................................................................................................9
2.4 Penegakan Diagnosis ................................................................................................. 10
2.5 Tata Laksana ............................................................................................................. 12
2.6 Komplikasi ................................................................................................................ 14
2.7 Prognosis ................................................................................................................... 15
2.8 Pencegahan ................................................................................................................ 15
BAB III ..................................................................................................................................... 16
KESIMPULAN ......................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 17
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pathogenesis KAD dan HHS

Gambar 2.2 Perbedaan KAD dan HHS


DAFTAR SINGKATAN

DM : Diabetes Melitus
DMT2 : Diabetes Melitus Tipe 2
EKG : Elektrokardiografi
HHS : Hyperglicemic Hyperosmolar State
KAD : Keto-Asidosis Diabetik
WHO : World Health Organization
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperglikemia merupakan suatu kondisi medis berupa peningkatan kadar glukosa


darah melebihi normal yang menjadi karakteristik beberapa penyakit terutama diabetes
melitus. Berdasarkan penyebabnya DM dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu
DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan DM tipe lain . Badan kesehatan dunia WHO
memprediksi kenaikan jumlah pasien DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Terdapat beberapa komplikasi akut dari
diabetes melitus salah satunya adalah krisis hiperglikemia dan KAD (Soelistijo, 2021).

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan keadaan dekompensasi kekacauan


metabolik yang ditandai oleh trias hiiperglikemia, asidosis dan ketosis. Data dari
komunitas di Amerika Serikat menunjukkan bahwa insiden KAD sebesar 8/1000 pasien
DM per tahun untuk semua kelompok umur (Gotera and Agung Budiyasa, 2019)

Krisis hiperglikemia atau Hiperosmolar Hyperglycemia State (HHS) merupakan


komplikasi akut pada diabetes melitus. HHS sering dipersulit oleh infeksi, komplikasi
vaskular, kejang dan edema cerebral. HHS merupakan suatu kedararuatan metabolik yang
serius namun jarang ditemui, angka morbiditas dan mortalitas sangat tinggi jika tidak
ditangani secara adekuat (Oktaliani and Zamri, 2019).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

 Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya (Soelistijo, 2021)

 KAD

KAD adalah keadaan darurat hiperglikemia yang mengancam jiwa pasien dengan
diabetes melitus. KAD terjadi ketika pasien mengalami penurunan insulin yang
relatif atau absolut yang ditandai dengan hiperglikemia, asidosis, ketosis dan
kadar glukosa darah >125 mg/dL (Rinawati and Chanif, 2020).

 HHS

Krisis hiperglikemia adalah kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia,


hiperosmolar tanpa adanya ketosis (Amin and Bahar, 2014).

2.2 Epidemiologi

Insidensi KAD berdasarkan suatu penelitian adalah 4.6 sampai 8 kejadian per
1000 pasien diabetes. Adapun angka kejadian SHH <1%. Tingkat kematian pasien
dengan ketoasidosis (KAD) adalah < 5% pada sentrum yang berpengalaman, sedangkan
tingkat kematian pasien dengan hiperglikemia hiperosmoler (HHS) masih tinggi yaitu
15% (PAPDI, 2015). Insiden KAD sebesar 4.6-8 per 1000 pasien DM per tahun. KAD
dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per tahum di
Amerika Serikat. Angka kejadian KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat
karena prevalensi DM tipe 1 yang rendah (Gotera and Agung Budiyasa, 2019).

Sementara HHS data di Arnerika rnenunjukkan bahwa insidens HHS sebesar 17,5
per 100.000 penduduk. lnsiden ini sedikit lebih tinggi dibanding insiden KAD. HHS lebih
sering diternukan pada perernpuan dibandingkan dengan laki-laki. HHS lebih sering
ditemukan pada orang lanjut usia, dengan rata-rata usia onset pada dekade ketujuh.
Angka mortalitas pada kasus HHS cukup tinggi, sekitar 10-20% (Amin and Bahar,
2014).

2.3 Pathogenesis

Kombinasi dari defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan kadar
hormon kontrra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan dan
somatostatin) akan mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan inflamasi berat
sehingga akan terjadi produksi glukosa oleh hati dan ginjal melalui proses glikogenolisis
dan glukoneognesis. Kedua proses ini akan menyebabkan hiperglikemia dan
hiperosmolaritas. Defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontraregulator
mengaktivasi hormon lipase sehingga menimbulkan peningkatan lipolisis. Peningkatan
lipolisis dan ketongenesis memicu ketonemia dan asidosis metabolik. Hiperglikemia dan
hiperketonemia mengakibatkan diuresis osmotik, dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Jika
keadaan ini tidak cepat dikoreksi makan akan terjadi dehidrasi berat dan asidosis
metabolik yang fatal. Ketoasidosis akan akan diperburuk oleh asidosis laktat akibat
perdfusi jaringan yang buruk.

Sementara pada perjalanan HHS dimulau dengan adanya diuresis glukosuria.


Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam
mengkonsentrasikan urin. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium
menyebabkan keadaan hiperosmolar. Tidak seperti pasien KAD , pasien HHS tidak
mengalami ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas
yang rendah untuk ketogenesis, dan insulin yang masih dalam kadar cukup unruk
menghambat ketogenesis namun tidak dapat menghambat hiperglikemia. Hiperglikemia
mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik dan mengakibatkan menurunnya total cairan
tubuh. Hiperglikemia dan peningkatan protein plasma menyebabkan keadaan
hiperosmolar sehingga memicu sekresi hormon antidiuretik. Keadaan hiperosmolar akan
memicu timbulnya rasa haus. Jika keadaan ini tidak terkompensasi maka akan timbul
dehidrasi dan hipovolemia. Hipovolemia mengakibatkan hipotensi dan gangguan pada
perfusi jaringan (Amin and Bahar, 2014).
Gambar 2.1 Pathogenesis KAD dan HHS

Sumber : (Amin and Bahar, 2014)

2.4 Penegakan Diagnosis

A. KAD

 Anamnesis : Dari anamnesis bisa ditemukan riwayat seorang pengidap diabetes


atau bukan dengan keluhan poliuria, polidipsi, rasa lelah, kram otot, rnual muntah,
dan nyeri perut. Pada keadaan yang berat dapat ditemukan keadaan penurunan
kesadaran sampai koma.

 Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda


dehidrasi, nafas Kussmaul jika asidosis berat, takikardi, hipotensi atau syok,
flushing, penurunan berat badan, dan tentunya adalah tanda dari masing-masing
penyakit penyerta.

 Pemeriksaan Penunjang : Trias biokimiawi pada KAD adalah hiperglikemia,


ketonemia dan atau ketonuria, serta asidosis metabolik. Pada awal evaluasi tentu
kebutuhan pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan keadaan klinis, umumnya
dibutuhkan pemeriksaan dasar gula darah, elektrolit, analisis gas darah, keton
darah dan urin, osrnolalitas serum, darah perifer lengkap dengan hitung jenis,
anion gap, EKG, dan foto polos dada. Gula darah lebih dari 250 mg/dl dianggap
sebagai kriteria diagnosis utarna KAD, Derajat keasaman darah (pH) yang kurang
dari 7,35 dianggap sebagai ambang adanya asidosis, hanya saja pada keadaan
yang terkornpensasi seringkali pH menunjukkan angka normal. Pada keadaan
seperti itu jika angka HC03 kurang dari 18 mEq/l ditambah dengan keadaan klinis
lain yang sesuai, maka sudah cukup untuk menegakkan KAD (Amin and Bahar,
2014)

Gambar 2.2 Perbedaan KAD dan HHS

Sumber : (Amin and Bahar, 2014)

B. HHS

 Anamnesis : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula
ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan
KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi,
disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma.

 Pemeriksaan Fisik : Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi


berat seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan
ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan
peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula
dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat.

 Pemeriksaan Penunjang : Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHS


adalah konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (>600 mg per dl) dan osmolaritas
serum yang tinggi (>320 mOsm per kg air [normal=290+5]), dengan pH lebih besar
dari 7.30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak. Separuh pasien akan menunjukkan
asidosis metabolik dengan anion gap yang ringan (10-12). Jika anion gap nya berat (>
12), harus dipikirkan diagnosis diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah
dan penggunaan diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang dapat
menutupi tingkat keparahan asidosis. Konsentrasi kalium dapat meningkat atau
normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan hematokrit hampir
selalu meningkat. HHS menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai macam
elektrolit (Amin and Bahar, 2014).

2.5 Tata Laksana

A. KAD

 Cairan : Secara urnurn pernberian cairan adalah langkah awal


penatalaksanaan KAD setelah resusitasi kardiorespirasi. Terapi cairan
ditujukan untuk ekspansi cairan intraselular, intravaskular, interstisial, dan
restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada masalah kardiak atau penyakit ginjal
kronik berat, cairan salin isotonik (NaCI 0,9%) diberikan dengan dosis 15-20
cc/kg BB/jarn pertarna atau satu sampai satu setengah liter pada jam pertama.
Tindak lanjut cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan
hernodinamik, status hidrasi, elektrolit, dan produksi urin. Penggantian cairan
dapat dilakukan sampai dengan 24 jam, dan penggantian cairan sangat
rnempengaruhi pencapaian target gula darah, hilangnya benda keton, dan
perbaikan asidosis.

 Insulin : Dengan pemberian insulin intravena dosis rendah diharapkan terjadi


penurunan glukosa plasma dengan kecepatan 50-100 mg/dl setiap jam sampai
glukosa turun ke sekitar 200 mg/dl, lalu kecepatan insulin diturunkan rnenjadi
0,02-0,05 unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah berada di sekitar 150-200 mg/dl
maka pemberian infus dekstrose dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia.

 Kalium : Jika saat masuk kalium pasien normal atau rendah, maka
sesungguhnya terdapat defisiensi kalium yang berat di tubuh pasien sehingga
butuh pemberian kalium yang adekuat karena terapi insulin akan menurunkan
kaliurn lebih lanjut. Monitorjantung perlu dilakukan pada keadaan tersebut
agar jangan terjadi aritrnia. Untuk mencegah hipokalemia rnaka pemberian
kaliurn sudah dimulai rnanakala kadar kalium di sekitar batas atas nilai
normal.

 Bikarbonat : Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi


bikarbonat tidak direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika pH darah
kurang dari 6,9. Efek buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada
tempatnya adalah rneningkatnya risiko hipokalemia, menurunnya asupan
oksigen jaringan, edema serebri, dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal
(Amin and Bahar, 2014).

B. HHS

 Cairan : Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHS adalah


penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per
kg, atau total rata-rata 9 L). Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan
menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan ha1 ini dapat menjadi
indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika
konsentrasi glukosa darak tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL
perjam, ial ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau
gangguan ginjal.

 Elektrolit : Jika konesntrasi kalium awal <3.3 mEq per L pemberian insulin
ditunda dan diberika kalium 2/3 kalium klorida dan 1.3 kalium fosfat sampai
tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3.3 mEq per L.

 Insulin : Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal0,I 5U/ kgBB secara
intravena, dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB perjam sampai konsentrasi
glukosa darah turun antara 250 mg per dL (13.9 mmol per L) sampai300 mg
per dL. Jika konsentrasi glukosa dalam darah tidakturun 50-70 mg/dL per jam,
dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah
sudah mencapai di bawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara
intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya
kesadaran dan keadaan hiperosmolar (Amin and Bahar, 2014).

2.6 Komplikasi

 KAD : Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena
penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat dan hiperglikemia
sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu. Edema cerebri umumnya
terjadi pada anak-anak dan jarang pada pasien dewasa. Hipoksemia juga dapat
terjadi pada KAD , hal ini terjadi mengikuti penurunan tekanan koloid osmotik
yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan penurunan
compliance paru (Gotera and Agung Budiyasa, 2019).

 HHS : Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vaskular, infark
miokard, low-flow syndrome, disseminated intravascular coagulopathy dan
rabdomiolisis. Overhidrasi dapat menyebabkan adult respiratory distress
syndrome dan edema serebri, yang jarang diternukan namun fatal pada anak-anak
dan dewasa muda. Edema serebri ditatalaksana dengan infus mnitol dengan dosis
1-2g/kgBB selarna 30 menit dan pemberian deksametason intravena.
Memperlambat koreksi hiperosmolar pada anak-anak, dapat mencegah edema
serebri (Amin and Bahar, 2014).

2.7 Prognosis

 KAD : Urnurnnya pasien rnernbaik setelah diberikan insulin dan terapi standar
lainnya, jika kornorbid tidak terlalu berat.Biasanya kernatian pada pasien KAD
adalah karena penyakit penyerta berat yang datang pada fase lanjut. Kernatian
rneningkat seiring dengan rneningkatnya usia dan beratnya penyakit penyerta.

 HHS : Biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien bukan disebabkan oleh
sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasari atau
menyertainya. Angka kematian berkisar antara 30-50%. Di negara maju dapat
dikatakan penyebab utama lematian adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas
darah yang sangat tinggi. Di negara maju, angka kematian dapat ditekan menjadi
sekitar 12% (Amin and Bahar, 2014).

2.8 Pencegahan

 KAD  Terdapat beberapa edukasi yang dapat digunakan sebagai tindakan


pencegahan dalam KAD antara lain sebagai berikut :

1. Edukasi mengenai diabetes melitus untuk pasien dan keluarga

2. Monitoring glukosa darah secara terstruktut

3. Pemantauan ketat pada pasien risiko tinggi

4. Edukasi khusus untuk pasien pengguna insulin

 HHS : Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya


penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan
compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Pada tempat
perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus diberikan edukasi yang
memadai mengenai tanda dan gejala HHS dan juga edukasi mengenai pentingnya
asupan cairan yang memadai dan pemantauan yang ketat (Amin and Bahar, 2014)
BAB III
KESIMPULAN

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan keadaan dekompensasi kekacauan


metabolik yang ditandai oleh trias hiiperglikemia, asidosis dan ketosis. Krisis
hiperglikemia adalah kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa
adanya ketosis. Insidensi KAD berdasarkan suatu penelitian adalah 4.6 sampai 8 kejadian
per 1000 pasien diabetes. Sementara HHS data di Arnerika rnenunjukkan bahwa insidens
HHS sebesar 17,5 per 100.000 penduduk. Tatalaksana yang diberikan pada pasien KAD
meliputi cairan, insulin, kalium dan bikarbonat. Sedangkan terapi yang diberikan pada
pasien HHS meliputi cairan elektorolit dan insulin. Komplikasi pada KAD terdapat
hipoglikemia, hipokalemia, edema cerebri dan hipokalsemia. Sementara komplikasi pada
HHS terdapat oklusi vaskular, infark miokard, low-flow syndrome, disseminated
intravascular coagulopathy dan rabdomiolisis. Prognosis KAD umumnya baik sedangkan
HHS biasanya buruk. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan
edukasi kepada keluarga dan pasien mengenai diabetes melitus serta komplikasi yang
dapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z. and Bahar, A. (2014) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam.

Gotera, W. and Agung Budiyasa, D. (2019) ‘Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik’, Journal of


Internal Medicine, 11(2), pp. 126–138.

Oktaliani, R. and Zamri, A. (2019) ‘Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS)’, JAMBI


MEDICAL JOURNAL ‘Jurnal Kedokteran dan Kesehatan’, 7(1), pp. 50–55.

PAPDI, P. D. S. P. D. (2015) ‘Krisis Hiperglikemia’, Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit


Dalam Panduan Praktik Klinis, (3), pp. 109–114.

Rinawati, P. and Chanif, C. (2020) ‘Peningkatan Efektifitas Pola Napas Pada Pasien
Ketoasidosis Diabetik’, Ners Muda, 1(1), p. 50.

Soelistijo, S. (2021) ‘Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di
Indonesia 2021’, Global Initiative for Asthma, p. 46.

Anda mungkin juga menyukai