Pembimbing:
Disusun oleh:
Jeremi Setiawan/202210401011031
FAKULTAS KEDOKTERAN
2023
1
KATA PENGANTAR
Referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati penulis memohon maaf
yang sebesar-besarnya dan mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga referat ini
dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2
1.4. Patofisiologi............................................................................................ 10
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah pada kesehatan ibu dan anak adalah masalah kesehatan yang perlu perhatikan
karena mempunyai dampak yang cukup besar terhadap pembangunan bidang kesehatan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB) merupakan salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat, semakin tinggi angka
kematian ibu serta bayi di suatu negara maka dapat dinilai bahwa derajat kesehatan negara tersebut
buruk (Melani & Nurwahyuni, 2022).
Indonesia masih berjuang untuk mengurangi jumlah kematian ibu melahirkan. Menurut
data dari ASEAN Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2017 angka kematian ibu
(AKI), yang melahirkan sebanyak 305 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2015 sehingga
menempatkan negara ini di peringkat kedua AKI tertinggi di Asia Tenggara (Dharmayanti et al.,
2019). Di Indonesia memiliki target penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 183 per 100 ribu
kelahiran hidup pada tahun 2024, maupun dari target SDGs, yaitu 70 per 100 ribu kelahiran hidup
kehamilan pada tahun 2030 (Kemenkes RI, 2022). Jumlah kematian ibu yang dihimpun dari
pencatatan program kesehatan keluarga di Kementerian Kesehatan meningkat setiap tahun. Pada
tahun 2021 menunjukkan 7.389 kematian di Indonesia. Jumlah ini menunjukkan peningkatan
dibandingkan tahun 2020 sebesar 4.627 kematian. Berdasarkan penyebab, sebagian besar
kematian ibu pada tahun 2021 terkait COVID-19 sebanyak 2.982 kasus, perdarahan sebanyak
1.330 kasus, dan hipertensi dalam kehamilan sebanyak 1.077 kasus (Kemenkes RI, 2022).
Di Indonesia sendiri, Angka Kematian Ibu (AKI) saat persalinan menduduki nomor tiga
tertinggi di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Berdasarkan data dari Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, AKI di Indonesia mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Lima penyebab kematian ibu terbesar adalah perdarahan, HDK, infeksi, partus lama/macet dan
abortus. Kematian ibu di Indonesia tetap didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu
perdarahan, HDK dan infeksi. Proporsi ketiga penyebab kematian ibu telah berubah, perdarahan
dan infeksi cenderung mengalami penurunan sedangkan proporsi HDK semakin meningkat. Lebih
4
dari 30% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 disebabkan oleh HDK (Sari, Novi Kartika.
Hakimi, Mohammad. Rahayujati, 2016).
Menurut data dari Dinas Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2017, salah satu
penyebab langsung kematian pada ibu di Indonesia disebabkan karena Hipertensi dalam kehamilan
28%, Eklamsi 24%, Perdarahan 11%. Pada tahun 2019 jumlah kematian ibu hamil yang
disebabkan oleh hipertensi di Indonesia mencapai 1.066 kasus, dimana kasus tertinggi berada di
Jawa Barat sebanyak 218 kasus, kemudian disusul oleh Jawa Timur sebanyak 162 kasus (Profil
Kesehatan Indonesia, 2019).
Penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK) merupakan kelainan vaskular yang terjadi
sebelum kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada masa nifas. Hipertensi dalam
kehamilan sering dijumpai dan masih merupakan salah satu penyebab kematian ibu. Hipertensi
dalam kehamilan menjadi penyebab dari kelahiran mati dan kematian perinatal yang disebabkan
oleh partus prematurus (Sari, 2016). Hipertensi pada kehamilan sering terjadi dan merupakan
penyebab utama kematian ibu melahirkan, serta memiliki efek serius lainnya saat melahirkan.
Hipertensi pada kehamilan terjadi pada 5% dari semua kehamilan (Karthikeyan, 2015). Di
Amerika Serikat angka kejadian kehamilan dengan hipertensi mencapai 2 6-10 %, dimana terdapat
4 juta wanita hamil dan diperkirakan 240.000 disertai hipertensi setiap tahun (Malha et al., 2018).
Kondisi kegawatan seperti ini memerlukan strategi manajemen khusus agar hasilnya lebih
bagus karena hipertensi pada kehamilan berdampak pada kesehatan ibu dan janin (Karthikeyan,
2015). Hipertensi yang diinduksi kehamilan dianggap sebagai komplikasi obstetrik. Ada efek
maternal merugikan yang signifikan, beberapa menghasilkan morbiditas atau kematian maternal
yang serius. Demi untuk keselamatan ibu perlu adanya rencana untuk melahirkan janin lebih awal
dari taksiran kelahiran. Kelahiran dini ini akan menyelamatkan ibu namun meningkatkan risiko
pada bayi. Hipertensi yang diinduksi kehamilan memiliki risiko lebih besar mengalami persalinan
premature, IUGR (Intrauterine Growth Retardation), kesakitan dan kematian, gagal ginjal akut,
gagal hati akut, pendarahan saat dan setelah persalinan, HELLP (Hemolysis Elevated Liver
Enzymes and Low Platelet count), DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), pendarahan
otak dan kejang (Marlina et al., 2021).
Perlu adanya perhatian khusus terhadap kasus Hipertensi dengan Kehamilan dikarenakan
dampak yang bisa berpotensi membahayakan baik terhadap kondisi maternal ataupun kondisi fetal
yang bisa berisiko menjadi komplikasi yang buruk seperti mengancam jiwa.
5
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini untuk mengetahui lebih banyak mengenai definisi,
etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, terapi, komplikasi, dan prognosis kasus
hipertensi pada kehamilan.
1.3 Tujuan
Penulisan referat ini diharap mampu menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan
pembaca mengenai hipertensi dalam kehamilan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sejauh ini tidak ada definisi baku terkait kondisi Hipertensi dalam Kehamilan,
namun berdasarkan “ National High Blood Pressure Education Program Working Group
on High Blood Pressure in Pregnancy “ mendefinisikan hipertensi dalam kehamilan ketika
tekanan darah sistolik (Sistolic Blood Pressure) ⩾ 140 mmHg dan/atau tekanan darah
diastolik (Diastolic Blood Pressure) ⩾ 90 mmHg. Diagnosis HDK umumnya
membutuhkan dua pengukuran terpisah untuk menegakkannya (Stephanie, 2019).
Tingkat keparahan hipertensi terbaik menjadi
• Non – Severe hypertension. Setiap nilai antara SBP 140–159 mmHg dan DBP 90–
109 mmHg. Terkadang kategori ini secara keseluruhan disebut "ringan", atau lebih
lanjut dipecah menjadi ringan (140–149/90 – 99 mmHg) dan sedang (150–
159/100–109 mmHg).
• Severe hypertension. SBP ⩾ 160 mmHg dan/atau DBP ⩾ 110mmHg. Hipertensi
berat dalam kehamilan memiliki ambang batas yang lebih rendah daripada orang
dewasa yang tidak hamil karena wanita hamil diketahui mengalami ensefalopati
hipertensi pada tekanan darah rendah.
Definisi lain terkait kondisi hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg atau
lebih, atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih yang harus dikonfirmasi ulang
selama empat jam dengan tindakan berulang, atau setelah istirahat semalaman untuk
menentukan apakah benar ada hipertensi (Beech & Mangos, 2021)
7
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah
2.2 Etiologi
Kondisi yang mengurangi aliran darah uteroplasenta dan insufisiensi vaskular yang
mengakibatkan kondisi hipertensi dalam kehamilan sebenarnya multi faktor termasuk
hipertensi yang sudah ada sebelumnya, penyakit ginjal, diabetes melitus, trombofilia, dan
penyakit autoimun. Selain itu, wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya, riwayat
sindrom HELLP sebelumnya, kehamilan kembar atau kembar lainnya, BMI >30, wanita
yang berusia lebih dari 35 tahun, baru pertama kali menjadi ibu, atau memiliki ibu atau
saudara perempuan yang pernah mengalami hipertensi gestasional telah terbukti berisiko
lebih tinggi untuk mengalami hipertensi gestasional dan berisiko tinggi untuk berkembang
menjadi pre-eklampsia (Luger & Kight, 2022).
8
Tabel 2.2 Faktor Risko Hipertensi dalam Kehamilan
(POGI, 2016)
9
Tabel 2.3 Faktor Risko Lainnya Hipertensi dalam Kehamilan
(Katsiki, 2010).
2.4 Patofisiologi
10
Gambar 2. 4 Kegagalan transformasi fisiologi yang menyebabkan terjadinya iskemia
uteroplasenta (Jung et al., 2022)
Sedangkan, menurut James Young pada tahun 1914, iskemia uteroplasenta.
Penyebab terjadinya iskemia uteroplasenta ini meliputi kegagalan trasnformsi fisiologis
arteri spiral yang ditandai dengan diameter yang sempit dan retensi otot di pembuluh darah
11
media sehingga menyebabkan perkembangan atherosis yang semakin mempersempit
lumen. Kondisi ini menyebabkan terjadinya iskemia uteroplasenta yang akhirnya
mengakibatkan hipoperfusi pada arteri uteroplasenta. Selanjutnya iskemia uteroplasenta ini
akan menyebabkan pengeluaran toxin ke dalam sirkulasi ibu sehingga menyebabkan
eklampsia. Toxin di sirkulasi disini adalah perkembangan hipertensi dan proteinuria yang
terjadi pada ibu dengan preeklampsia (Jung et al., 2022).
Terdapat beberapa teori terkait kejadian hipertensi, salah satunya adalah teori
vaskular (iskemia-reperfusi yang menghasilkan stres oksidatif dan penyakit vaskular) dan
kekebalan tubuh (maladaptasi kekebalan ibu-ayah, yaitu reaksi alloimun maternal yang
dipicu oleh penolakan terhadap allograft janin) yang dicurigai bertanggung jawab terhadap
kejadian hipertensi dalam kehamilan. Etio-patofisiologinyaa sangat kompleks dan
melibatkan beragam faktor seperti predisposisi genetik, gangguan pada renin-
angiotensinaldosteron, disfungsi endotelium ibu, koagulopati maternal, sitokinin, faktor
pertumbuhan, dan sebagainya (Karthikeyan, 2015)
Sumber lain menyebutkan bahwa hipertensi dalam kehamilan terutama kondisi pre-
eklampsia disebabkan oleh adanya plasenta atau respons ibu terhadap plasenta. Plasenta
yang buruk adalah faktor predisposisi kuat yang mempengaruhi ibu, terkait dengan sinyal
inflamasi (tergantung pada gen janin) dan juga sifat respons ibu (tergantung pada gen ibu)
(Karthikeyan, 2015).
Pada kehamilan normal, arteri spiral uteri invasiv ke dalam trofoblas sehingga
menyebabkan peningkatan aliran darah dengan lancar untuk kebutuhan oksigen dan nutrisi
janin. Pada pre-eklampsia, terjadi gangguan sehingga aliran darah tidak lancar dan terjadi
gangguan pada plasenta. Peningkatan Soluble fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt1)
menyebabkan plasenta memproduksi free vascular endothelial growth factor (VEGF) dan
penurunan placental growth factor (PlGF). Selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel
pada pembuluh ibu mengakibatkan penyakit multiorgan : hypertension, glomerular
dysfunction, proteinuria, brain edema, liver edema, coagulation abnormalities (Malha et al,
2018).
12
Gambar 2.5 Perbedaan Patofisiologi Kondisi Pre-Eklampsia dengan Kehamilan Normal
(Malha, 2018).
Sumber lain juga memberikan gambaran diagram terkait kondisi patofisiologi dari
Hipertensi dalam Kehamilan terutama kondisi Pre-Eklampsia.
Hipertensi kronis
DIAGNOSIS
14
Orang dengan hipertensi sebelum kehamilan (hipertensi kronis) memiliki risiko 4-5
kali terjadi pre- eklampsia pada kehamilannya. Angka kejadian hipertensi kronis pada
kehamilan yang disertai pre- eklampsia sebesar 25%. Hipertensi yang disertai pre-
eklampsia biasanya muncul minggu 24-26 kehamilan berakibat kelahiran preterm dan
bayi lebihkecil dari normal (IUGR). Wanita hipertensi yang memiliki proteinuria kurang
lebih 20 minggu kehamilan diikuti dengan; peningkatan dosis obat hipertensi, timbul
gejala lain (peningkatan enzim hati secara tidak normal), penurunan trombosit >
100000/mL, nyeri bagian atas dan kepala, adanya edema, adanya gangguan ginjal
(kreatinin ≥ 1.1 mg/dL), dan peningkatan ekskresi protein.
Hipertensi gestasional
Hipertensi gestasional adalah salah satu yang muncul de novo setelah masa kehamilan 20
minggu tanpa adanya proteinuria (<300 mg dalam 24 jam), dan kemudian menjadi normal
setelah kehamilan.Pembacaan TD hipertensi gestasional biasanya dalam kisaran ≥140/90
mmHg pada dua kesempatan setidaknya 4 jam selama kehamilan setelah 20 minggu
kehamilan (Gomez, dkk., 2022).
DIAGNOSIS
Preeklampsia
15
dengan preeklampsia, antara lain hipertensi kronis, sindrom antifosfolipid, penyakit
ginjal kronis, usia ibu di atas 40 tahun, peningkatan indeks massa tubuh, kehamilan
ganda, riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya, diabetes mellitus
pregestasional, dan nuliparitas (Gomez, dkk., 2022).
Preeklamsia Berat
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi kondisi
pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria gejala dan
kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau preklampsia berat
adalah salah satu dibawah ini (POGI 2016) :
Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik pada
dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
16
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
5. Gangguan liver: peningkatan konsen trasitransaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. EdemaParu
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
5. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta:
a. Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan absent
or reversed end diastolic velocity (ARDV)
HELLP syndrome
DIAGNOSIS
17
1. Hemolisis dikonfirmasi dengan setidaknya 2 temuan:
• Haptoglobin serum rendah (<25mg/dl) atau LDH> dua kali tingkat atas normal.
• Anemia berat dengan hemoglobin <8 sampai 10 g/dl tergantung pada tahap
kehamilan, tidak berhubungan dengan kehilangan darah.
2. Peningkatan enzim hati: AST atau ALT > 2 kali lipat dari normal.
Eklampsia
Eklampsia adalah diagnosis klinis yang digambarkan dengan terjadinya kejang
tonik-klonik umum onset baru pada wanita dengan preeklampsia. Temuan klinis
lainnya yang dapat ditemukan pada ibu dengan eclampsia adalah adanya sindrom
ensefalopati reversibel posterior (karena edema vasogenik, terutama terlokalisasi di
belahan otak posterior), termasuk sakit kepala persisten yang berat, terutama di bagian
oksipital dan frontal, adanya gejala visual seperti pandangan kabur, pandangan dobel,
adanya scotoma (kehilangan sebagian pandangan), fotopsia (kilatan cahaya di lapang
pandang penglihatan), atau kebutaan kortikal sementara, dan adanya nyeri epigastrik.
Sakit kepala, edema, dan penglihatan kabur adalah gejala yang paling umum, masing-
masing 74%, 71%, dan 65% (Adinma and Achendu, 2012; Gill, Tamirisa and Hook,
2022). Dari sumber lain menyebutkan gejala paling sering terjadi adanya sakit kepala
(66%), gangguan visual (27%), nyeri kuadran kanan atas atau epigastrik (25%) (Fishel
Bartal and Sibai, 2022).
18
Gambar 2.7 Definisi Hipertensi dalam Kehamilan
(Calgary, 2017).
o Lab Tambahan
Setelah mengetahui klasifikasi dari HDK dan pemeriksaan penunjang yang bisa
disarankan, berikut ringkasan yang bisa digunakan untuk mendiagnosis HDK pada
seseorang.
20
(Karthiyeyan, 2015).
2.7 Pencegahan
Pencegahan primer merupakan yang terbaik, namun hanya dapat dilakukan bila
penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan untuk menghindari
atau mengontrol penyebab-penyebab tersebut, namun hingga saat ini penyebab pasti
terjadinya preeklampsia masih belum diketahui. Identifikasi factor risiko preeklampsia
dan mengontrol factor risiko penting untuk pencegahan primer.
Saat ini dikenal dengan skrining preeklampsia:
Risiko sedang:
- Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
- Kehamilan dengan teknologi reproduksi berbantu: bayi tabung, obat induksi
ovulasi
- Umur ≥ 35 tahun
- Nullipara
- Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya > 10 tahun
21
- Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
- Obesitas sebelum hamil (IMT >30 kg/m2)
- MAP ≥ 90 mmHg
- Proteinuria (urin celup > +1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau
segera kuantitatif 300 mg/ 24 jam)
Risiko tinggi:
- Kehamilan multiple
- Hipertensi kronis
- Penyakit ginajl
- Penyakit autoimun
22
7. Penggunaan aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium (minimal 1g/hari)
direkomendasikan sebagai prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko
tinggi terjadinya preeklampsia Pemberian vitamin C dan E tidak
direkomendasikan untuk diberikan dalam pencegahan preeklampsia.
Pencegahan tersier berarti pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh proses
penyakit (POGI, 2016)
2.8 Tatalaksana
Obat yang umum digunakan dalam pengobatan hipertensi pada kehamilan adalah
labetalol, methyldopa, nifedipine, clonidine, diuretik, dan hydralazine. Labetalol adalah
obat yang paling aman. Diuretik dan CCB (nifedipine) mungkin aman tetapi data minimal
dan tidak digunakan sebagai firstline drug (Karthikeyan, 2015). Menurut ACC/AHA 2017
dan ESC/ESH 2018 obat antihipertensi pada kehamilan yang direkomendasikan hanya
labetalol, methyldopa dan nifedipine, sedangkan yang dilarang adalah ACE inhibitor, ARB
dan direct renin inhibitors (Aliskiren) (Whelton et al., 2017; Williams et al, 2018).
Kapan memulai pengobatan hipertensi pada kehamilan? Guideline ESH/ESC 2018
menyarankan tekanan darah sistolik ≥ 140 atau diastolik ≥ 90 mmHg tetapi pada kasus-
kasus tertentu disarankan pada tekanan darah sistolik ≥ 150 atau diastolik ≥ 95 mmHg.
Pada tekanan darah sistolik ≥ 170 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg pada wanita hamil
dianggap emergensi dan diperlukan rawat inap di rumah sakit (Regitz-Zagrosek, 2018).
Pada hipertensi krisis dengan kehamilan obat yang direkomendasikan labetalol IV,
nicardipine IV, magnesium. Pada pre-eklampsia yang disertai odema paru obat yang
direkomendasikan nitroglycerin infus (Williams et al., 2018).
1. Labetalol
Labetalol adalah obat pilihan untuk penurun hipertensi pada kehamilan
(Karthikeyan, 2015). Labetalol adalah golongan Beta blockers—combined alphaand beta-
receptor, dosisnya 200-800 mg, diberikan 2 kali sehari (Whelton et al., 2017). Di Indonesia
obat labetalol belum dimasukkan dalam Formularium Nasional (Kemenkes RI, 2022).
2. Methyldopa
Methyldopa adalah golongan central alpha 1- agonist and other centrally acting
drugs, dosisnya 250-1000 mg, diberikan 2 kali sehari. Methyldopa direkomendasikan
sebagai obat penurun hipertensi pada kehamilan, bahkan wanita usia produktif dengan
23
hipertensi yang ingin hamil dianjurkan mengganti obat antihipertensi dengan methyldopa
atau nifedipine, labetalol. Ternyata dalam penelitian beta blocker dan CCB lebih superior
daripada methyldopa dalam pencegahan pre-eklampsia (Whelton et al., 2017). Di
Indonesia obat methyldopa tersedia di Formularium Nasional bentuk tablet 250 mg dan
dapat diberikan 3 kali sehari selama sebulan (Kemenkes RI, 2022).
Methyldopa dipakai untuk pengobatan hipertensi pada wanita hamil. Tidak
teratogenik, tidak ada efek yang tidak diinginkan pada uterus. Methyldopa dapat dipakai
sebagai pengganti clonidine, karena clonidine dapat menyebabkan rebound hypertension
atau terjadi efek yang tidak diinginkan. Methyldopa dalam bentuk injeksi sering digunakan
untuk hipertensi emergensi. Dosisnya 20-40 mg/kgBB tiap hari diberikan setiap 6 jam
(Kario et al., 2018) tetapi bentuk injeksi tidak tersedia di Indonesia (Kemenkes RI, 2022).
Efek yang tidak dikehendaki pada methyldopa adalah sedasi, drowsiness, mulut kering,
depresi, postural hypertension, rebound hypertension, withdrawal syndrome, dan beberapa
kejadian autoimune (Kario et al., 2018).
Telah dilakukan penelitian secara prospective observational cohort study terhadap
261 kehamilan trimester I yang diberikan methyldopa dibandingkan dengan 526 kehamilan
tanpa hipertensi. Hasilnya adalah tidak ada peningkatan signifikan kejadian yang tidak
diinginkan antara keduanya. Disimpulkan bahwa methyldopa tidak ada indikasi efek
teratogenik, walaupun demikian diperlukan sikap kehati-hatian dalam pemberian
methyldopa terhadap kehamilan trimester I (Hoeltzenbein et al., 2017).
3. Nifedipine
Nifedipine adalah golongan CCB-dihydropyridines, yang dianjurkan adalah long
acting (Nifedipine LA / adalat oros ®) (Whelton et al., 2017). Penelitian besar pengobatan
hipertensi dan kehamilan dengan menggunakan CCB adalah obat nifedipine (Dahlof et al.,
2002). Hasil penelitian tentang pengobatan CCB pada kehamilan berhubungan dengan
kejang pada bayi baru lahir. Dari 22.908 kehamilan yang diberikan CCB terjadi kejang
pada neonatal. Dalam kesimpulannya dikatakan tidak signifikan adanya peningkatan risiko
kejang neonatal pada ibu hamil yang mendapat CCB. Dalam penelitian ini CCB yang
paling banyak digunakan adalah nifedipine, amlodipine besylate, verapamil hydrochloride,
diltiazem hydrochloride (Bateman et al., 2015).
Nifedipine tidak semuanya aman. Studi dengan sistematik review dan meta-
regression analysis tentang masalah keamanan penggunaan CCB pada kehamilan
disimpulkan bahwa penggunaan studi RCT saja tidak cukup untuk menilai kejadian yang
24
tidak diinginkan. Penggunaan nifedipine >60 mg meningkatkan risiko kejadian tidak
diinginkan yang berkaitan dengan peningkatan kesakitan seperti tachycardia dan hipotensi
(Khan et al., 2010). Di Indonesia obat nifedipin tersedia di Formularium Nasional bentuk
tablet 10 mg, tablet lepas lambat 20 mg dan tablet lepas lambat 30 mg (Kemenkes RI,
2022).
4. Pemberian Magnesium Sulfat
Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk mencegah
dan mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangimorbiditas dan mortalitas
maternal serta perinatal. Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti
sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui
relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain
sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan
tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-
aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan
masuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat
terjadi kejang. Penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan efek samping minor
yang lebih tinggi seperti rasa hangat, flushing, nausea atau muntah, kelemahan otot,
ngantuk, dan iritasi dari lokasi injeksi.
Syarat pemberian magnesium sulfat antara lain yaitu tersedia antidotum, reflek
patella (+) kuat, frekuensi pernapasan lebih dari sama dengan 16 kali/ menit, dan prosuksi
urin lebih dari sama dengan 30cc setiap 1 jam. Antidotummagnesium sulfat yaitu kalsium
glukonas 10%, yang diberikan secara intravena selama 3-5 menit. Sedangkan jika
ditemukan tanda intoksikasi seperti hilangnya reflek tendon, henti napas, henti
jantung,serta setelah 24 jam pasca persalinan, atau 6 jam pasca persalinan namun tekanan
darah sudah normal maka pemberian magnesium sulfat dihentikan. Guideline RCOG
merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 g selama 5 – 10 menit, dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam post partum atau setelah kejang
terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat.
Pemantauan produksi urin, refleks patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen penting
dilakukan saat memberikan magnesium sulfat. Pemberian ulang 2 g bolus dapat dilakukan
apabila terjadi kejang berulang. Pada penelitian Magpie, membandingkan pemberian
magnesium sulfat regimen intravena, dosis loading 4-6 g, dan pemeliharaan 1-2 g/jam,
dengan dosis loading intravena dan pemeliharaan intramuskular. Dari penelitian tersebut
25
didapatkan hasil yang lebih tinggi bermakna kejadian efek samping pada pemberian
intramuskular (28% vs 5%) sehingga kebanyakan wanita menghentikan obatlebih awal.
Dari studi tersebut juga didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna dari kedua
kelompok dalam mecegah kejang.
5. Pemberian Kortikosteroid
26
27
Penatalaksanaan eklampsia memerlukan ketersediaan ICU. Selama atau segera setelah
episode akut kejang, perawatan suportif harus diberikan untuk mencegah cedera ibu yang
serius, menilai dan membangun patensi jalan napas, memastikan oksigenasi, dan menghindari
aspirasi. Untuk meminimalkan risiko aspirasi, pasien harus berbaring dengan posisi dekubitus
lateral dan penghisapan sekresi oral harus dilakukan sesuai kebutuhan. Oksigenasi yang
adekuat harus dipertahankan selama episode kejang. Meskipun awal kejang biasanya hanya
berlangsung beberapa menit, sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi dengan
pemberian oksigen tambahan melalui sungkup muka pada 8 hingga 10 L/menit. Oksimetri
nadi dapat digunakan untuk pemantauan. Analisis gas darah arteri akan diperlukan hanya jika
hasil oksimetri nadi tidak normal (saturasi oksigen 92%). Setelah kejang berhenti, pasien
biasanya mulai bernapas lagi, dan oksigenasi jarang menjadi masalah. Namun, hipoksia ibu
28
dapat berkembang pada wanita yang mengalami kejang berulang, aspirasi pneumonia, atau
edema paru (Fishel Bartal and Sibai, 2022).
Langkah selanjutnya adalah mencegah terjadinya kejadian kejang berulang dengan
memberikan loading dose magnesium sulfat 40% sebanyak 4/6g selama 15-20 menit diikuti
dengan pemberian maintenance dose sebanyak 2g tiap jam secara continuous IV solution,
namun jika pasien mengalami disfungsi renal (creatinine>1,2mg/dL atau output urine
<30ml/jam selama lebih dari 4 jam) maka maintenance dose yang diberikan hanya sebanyak
1g tiap jam melalui IV line. Jika terjadi kejang kembali maka diberikan IV bolus magnesium
sulfat sebanyak 2g selama 3-5 menit atau diberikan IV bolus lorazepam sebanyak 4mg selama
3-5 menit, terutama pada ibu dengan disfungsi ginjal untuk mengurangi efek samping
magnesium sulfat seperti terjadinya refleks tendon dalam yang menghilang, depresi napas,
dan henti jantung. Oleh karena itu, pada ibu dengan disfungsi renal atau pada ibu yang
menunjukkan toksisitas magnesium sulfat perlu dilakukan pemantauan kadar serum
magnesium sulfat tiap 4-6 jam. Jika terdapat tanda toksisitas maka infus di stop dan diberikan
antidote berupa calcium gluconate 10% IV bolus selama 3-5 menit. Magnesium sulfat harus
dilanjutkan setidaknya 24 jam setelah kejang terakhir. Kemudian dilakukan pemberian
antihipertensi untuk mengontrol tekanan darah pada pasien dengan eclampsia seperti
pemberian labetolol, hydralazine, atau nifedipine (Fishel Bartal and Sibai, 2022).
Tatalaksana selanjutnya setelah pasien stabil adalah terminasi. Adanya eclampsia
menunjukkan indikasi dilakukan persalinan. Indikasi dilakukan induksi persalinan normal bila
keadaan ibu dan janin stabil, pasien dalam keadaan dan berorientasi baik. Induksi persalinan
ini masih memungkinkan selama fase aktif tidak melebihi 24 jam. Sedangkan, indikasi
dilakukan SC didasarkan pada usia kehamilan, kondisi janin, adanya tanda inpartu, dan skor
bishop. Selain itu, pada persalinan, pemberian magnesium sulfat harus dilanjutkan selama 24
jam setelah melahirkan. Setelah dilakukan persalinan pemantauan tanda vital, input dan output
cairan harus dipantau setidaknya selama 72 jam (Fishel Bartal and Sibai, 2022).
29
2.9 Komplikasi
Persalinan janin yang tertunda pada pasien preeklampsia pada periode prematur akhir
meningkatkan risiko hipertensi berat, dengan konsekuensi berat seperti eklamsia, sindrom HELLP,
edema paru, infark miokard, sindrom gangguan pernapasan akut, stroke, kidney injury dan retina
injury, dan gangguan janin. komplikasi termasuk hambatan pertumbuhan janin, solusio plasenta,
atau kematian janin atau ibu (Karrar, 2023).
2.10 Prognosis
Diagnosis dini, intervensi medis tepat waktu, dan pengawasan ibu dan janin yang tepat
secara signifikan meningkatkan hasil ibu dan janin. Karena preeklampsia terus menjadi penyebab
hingga seperempat kematian ibu pada latar belakang etnis tertentu (populasi Karibia dan Amerika
Latin, diikuti oleh populasi Asia dan Afrika), perawatan yang cepat dan pemantauan rutin
menurunkan morbiditas dan mortalitas (Karrar, 2023).
30
BAB III
PENUTUP
Hipertensi dalam kehamilan yaitu ketika tekanan darah sistolik (SBP dengan nilai
≥ 140mmHg dan/atau tekanan darah diastolik (DBP) dengan nilai ≥ 90 mmHg.
Mendiagnosis hipertensi pada kehamilan memerlukan dua pengukuran yang berbeda.
Gangguan hipertensi dalam kehamilam, termasuk hipertensi kronis, dengan atau tanpa
preeklampsia/ eclampsia, hipertensi gestasional, sindrom HELLP, preeklampsia berat, atau
eclampsia.
30
DAFTAR PUSTAKA
Adinma and Achendu (2012) ‘Pattern of clinical presentation of eclampsia at Nnamdi Azikiwe’,
Niger J Med, 21(3), p. 23304927.
Bateman, B. T., Huybrechts, K. F., Maeda, A., Desai, R., Patorno, E., Seely, E. W., Ecker, J. L.,
Allen-Coleman, C., Mogun, H., Hernandez-Diaz, S., & Fischer, M. A. (2015). Calcium
Channel Blocker Exposure in Late Pregnancy and the Risk of Neonatal Seizures. Obstetrics
and gynecology, 126(2), 271–278. https://doi.org/10.1097/AOG.0000000000000908
Beech, A., & Mangos, G. (2021). Management of hypertension in pregnancy. Australian
Prescriber, 44(5), 148–152. https://doi.org/10.18773/AUSTPRESCR.2021.039
Braunthal, S., & Brateanu, A. (2019). Hypertension in pregnancy: Pathophysiology and
treatment. SAGE open medicine, 7, 2050312119843700.
https://doi.org/10.1177/2050312119843700
Dahlöf, B., Devereux, R. B., Kjeldsen, S. E., Julius, S., Beevers, G., de Faire, U., Fyhrquist, F.,
Ibsen, H., Kristiansson, K., Lederballe-Pedersen, O., Lindholm, L. H., Nieminen, M. S.,
Omvik, P., Oparil, S., Wedel, H., & LIFE Study Group (2002). Cardiovascular morbidity and
mortality in the Losartan Intervention For Endpoint reduction in hypertension study (LIFE):
a randomised trial against atenolol. Lancet (London, England), 359(9311), 995–1003.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(02)08089-3
Fishel Bartal, M. and Sibai, B. M. (2022) ‘Eclampsia in the 21st century’, American Journal of
Obstetrics and Gynecology, 226(2), pp. S1237–S1253. doi: 10.1016/j.ajog.2020.09.037.
Forest, Jean-Claude & Charland, Marc & Masse, Jacques & Bujold, Emmanuel & Rousseau,
Francois & Lafond, Julie & Giguere, Yves. (2012). Candidate biochemical markers for
screening of pre-eclampsia in early pregnancy. Clinical chemistry and laboratory medicine :
CCLM / FESCC. 50. 973-84. 10.1515/cclm.2011.820
Hoffman, B., & Schorge, J. (2020). Williams Gynecology Fourth Edition. In Williams Gynecology
Fourth Edition.
Hoeltzenbein, M., Beck, E., Fietz, A. K., Wernicke, J., Zinke, S., Kayser, A., Padberg, S., Weber-
Schoendorfer, C., Meister, R., & Schaefer, C. (2017). Pregnancy Outcome After First
Trimester Use of Methyldopa: A Prospective Cohort Study. Hypertension (Dallas, Tex. :
1979), 70(1), 201–208. https://doi.org/10.1161/HYPERTENSIONAHA.117.09110
Gill, P., Tamirisa, A. P. and Hook, J. W. Van (2022) ‘Acute Eclampsia Pathophysiology
Histopathology’, StatPearls Publishing, pp. 1–5.
Gomez J, Doke S, Karnatapu SC, Kadam K, Bachan B, et al. (2022) Comprehensive Review of
Management of Hypertension in Pregnancy. Gynecol Obstet Open Acc 6: 148. DOI:
https://doi.org/10.29011/2577-2236.100148
Katsiki N, Godosis D, & Komaitis S HA. 2010. Hypertention in pregnancy : classification,
diagnosis and treatment. Medical Journal Greece Aristotle University Thessaloniki.
2010;37(2).
Karrar SA, Hong PL. Preeclampsia. [Updated 2023 Feb 13]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK570611/
30
Karthikeyan, V.J., 2015. Hypertension in pregnancy; in Nadar, S. and Lip, G.Y.H., Hypertension,
Ch. 22, 2nd Ed. Oxford Cardiology Library. Oxford.
Kario, Kazuomi. (2018). Central Sympathetic Agents and Direct Vasodilators. 10.1016/B978-0-
323-42973-3.00026-3.
Khalid F, Mahendraker N, Tonismae T. HELLP Syndrome. [Updated 2022 Jun 16]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560615/
Khan, Khalid & Zamora, Javier & Lamont, Ronald & Hp, Herman & Svare, Jens & Santos-Jorge,
Carlos & Jacquemyn, Yves & Husslein, Peter & H, Hanns & Dudenhausen, Joachim &
Renzo, Gian & Cabero, Lluis & Beattie, Robert. (2010). Safety concerns for the use of
calcium channel blockers in pregnancy for the treatment of spontaneous preterm labour and
hypertension: A systematic review and meta-regression analysis. The journal of maternal-
fetal & neonatal medicine : the official journal of the European Association of Perinatal
Medicine, the Federation of Asia and Oceania Perinatal Societies, the International Society
of Perinatal Obstetricians. 23. 1030-8. 10.3109/14767050903572182.
Kemenkes RI. (2022). LAPORAN KINERJA DIREKTORAT KESEHATAN KELUARGA TAHUN
ANGGARAN 2021.
Keputuhan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1970/2022 Tentang Formularium
Nasional. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2021, 4–92.
Luger, R. K., & Kight, B. P. (2022). Hypertension In Pregnancy. Nephrologie et Therapeutique,
6(3), 200–214. https://doi.org/10.1016/j.nephro.2010.03.005
Malha, L., Podymow, T., August, P., et al., 2018. Hypertension in Pregnancy in Hypertension: A
Companion to Braunwald's Heart Disease (Third Edition) Ch 39. Elsevier.
Marlina, Y., Santoso, H., & Sirait, A. (2021). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi
Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang Kecamatan Kuala Pesisir
Kabupaten Nagan Raya. Journal of Healthcare Technology and Medicine Vol. 7 No. 2
Oktober 2021 Universitas Ubudiyah Indonesia , 7(2), 1512–1525.
Melani, O. N., & Nurwahyuni, A. (2022). ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN DEMAND ATAS PEMANFAATAN PENOLONG PERSALINAN DI
PROVINSI BANTEN: ANALISIS DATA SUSENAS 2019. Jurnal Inovasi Penelitian, 2(10),
3175–3184. https://doi.org/10.47492/JIP.V2I10.1311
POGI. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Diagnosis dan Tata Laksana Pre-
Eklamsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Himpunan Kedokteran Feto
Maternal.
Profil Kesehatan Indonesia. (2019). Profil Kesehatan Indonesa 2019. In Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-indonesia-2019.pdf
Regitz-Zagrosek, V. (2018). ‘Ten Commandments’ of the 2018 ESC Guidelines for the
management of cardiovascular diseases during pregnancy. European Heart Journal, 39(35),
3269. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehy478
Sari, Novi Kartika. Hakimi, Mohammad. Rahayujati, T. B. (2016). Determinan gangguan
hipertensi kehamilan di indonesia. Berita Kedokteran Masyarakat, 32(9), 295–302.
30
Whelton, P.K., Carey, R.M., Aronow, W.S., Casey, D.E., et al., 2017. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/AS H/ASPC/NMA/PCNA Guideline for the
Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults: A
Report of the American College of Cardiology / American Heart Association Task Force on
Clinical Practice Guidelines. Hypertension. 2017.
https://doi.org/10.1161/HYP.0000000000000065.
Whelton, P. K., Carey, R. M., Mancia, G., Kreutz, R., Bundy, J. D., & Williams, B. (2022).
Harmonization of the American College of Cardiology/American Heart Association and
European Society of Cardiology/European Society of Hypertension Blood
Pressure/Hypertension Guidelines: Comparisons, Reflections, and Recommendations.
Circulation, 146(11), 868–877. https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.121.054602
30