Anda di halaman 1dari 58

MAKALAH

KEPERAWATAN MATERNITAS
Konsep Dasar dan Asuhan Keperawatan Preeklamsia Berat

Dosen Pembimbing:
Diah Ayu Fatmawati, S.Kep., Ns., M.Kes

Di Susun Oleh :
Memi Rosida (7420055)

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM
JOMBANG
TAHUN AKADEMIK 2021

i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayah-
Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan Makalah Konsep Dasar dan Asuhan
Keperawatan Preeklamsia Berat.
Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan
Anak, yang diselesaikan sesuai sumber yang diberikan dalam penugasan.
Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjuduL
Konsep Dasar dan Asuhan Keperawatan Preeklamsia Berat.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah mendapatkan bantuan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan beribu terima kasih
kepada:
1. Rektor Unipdu Jombang : Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA
2. Dekan FIK: : Pujiyani, S.Kep.Ns.M.Kes.
3. Kaprodi Profesi Ners : Muhamad Rajin S.Kep.Ns.M.Kes.
4. Dosen pembimbing : Diah Ayu Fatmawati, S.Kep., Ns., M.Kes
Semoga dengan makalah ini dapat menunjang dalam proses belajar.
Penulispun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun penulis harapkan dari pembaca
makalah ini.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan pembaca agar mengetahui atau
menambah wawasan tentang Konsep Dasar dan Asuhan Keperawatan
Preeklamsia Berat.
Akhirnya penulis memohon petunjuk dan perlindungan kepada Allah
SWT. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.
Lamongan, 28 September 2020

(penyusun)

ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I .......................................................................................................................1
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1
1.2 Rumusan masalah ...........................................................................................4
1.3 Tujuan penelitian .......................................................................................4
1.3.1 Tujuan umum ..........................................................................................4
1.3.2 Tujuan kusus ...........................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian .....................................................................................4
BAB II ......................................................................................................................6
KONSEP TEORI .....................................................................................................6
2.1 Pengertian Preeklampsia ................................................................................6
2.2 Manefistasi Klinis ..........................................................................................7
2.3 Etiologi ...........................................................................................................8
2.4 Patofisiologi .................................................................................................14
2.5 Pathway ...................................................................................................16
2.6 Faktor Risiko ................................................................................................17
2.6 Pemeriksaan diagnostik ...........................................................................25
2.7 Komplikasi ...................................................................................................26
2.8 Penatalaksanaan ...........................................................................................31
BAB III ..................................................................................................................37
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PREEKLAMSIA BERAT ....................37
3.1 Pengkajian ....................................................................................................37
3.2 Diagnosa Keperawatan.................................................................................44
3.3 ntervensi Keperawatan .................................................................................46
3.4 Implementasi ................................................................................................53
3.5 Evaluasi ........................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................54

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan ibu merupakan salah satu isu yang diperhatikan oleh dunia
kesehatan secara global. Sustainable Development Goals (SDGs) yang
disepakati oleh dunia internasional pun mengangkat isu kesehatan ibu di
dalam poin ketiga. World Health Organization (WHO) memperkirakan
sebanyak 585.000 perempuan meninggal setiap hari akibat komplikasi
kehamilan, proses persalinan, dan aborsi yang tidak aman. Sekitar delapan
juta perempuan per tahun mengalami komplikasi kehamilan dan lebih dari
setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di negara
berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di
negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih
rendah dibandingkan di negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan
meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan (Kemenkes, 2015).
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih merupakan salah satu
yang tertinggi di negara Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI Indonesia mengalami
peningkatan yang signifikan yaitu mencapai angka 359/100.000 kelahiran
hidup, jauh meningkat dari AKI pada tahun 2007 yaitu sebanyak
228/100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan prediksi Biro Sensus
Kependudukan Amerika, penduduk Indonesia akan mencapai 255 juta
pada tahun 2015 dengan jumlah kehamilan berisiko sebesar 15-20 % dari
seluruh kehamilan (SDKI, 2013)
Menurunkan AKI menjadi salah satu prioritas utama dalam
pembangunan kesehatan di Indonesia. Tingginya AKI masih merupakan
masalah kesehatan di Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan
kesehatan selama kehamilan dan nifas. Setiap kehamilan, dalam
perkembangan mempunyai risiko mengalami penyulit atau komplikasi.
Sehingga, pemerintah memberikan pelayanan antenatal care berkualitas
yang didalamnya terdapat pemeriksaan deteksi dini risiko komplikasi.
Pemerintah menargetkan penurunan AKI pada angka 70 per 100.000

1
kelahiran pada tahun 2030 (Kemenkes, 2010).
Kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama
yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan infeksi. Namun
proporsinya telah berubah, dimana perdarahan dan infeksi cenderung
mengalami penurunan sedangkan HDK (preeklampsia dan eklampsia)
proporsinya semakin meningkat. WHO memperkirakan kasus preeklampsia
tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju.
Prevalensi preeklampsia di negara maju adalah 1,3%-6%, sedangkan di
Negara berkembang adalah 1,8%-18%.6 Insiden preeklampsia di Indonesia
sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Kematian ibu di Indonesia
pada tahun 2013 disebabkan oleh HDK (preeklampsia dan eklampsia)
sebesar 27,1%.
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria. Preeklampsia itu sendiri menjadi
faktor risiko terjadinya komplikasi pada ibu dan bayi. Komplikasinya adalah
eklampsia, edema paru, abrupsio plasenta, oligohidramnion dan dapat
menyebabkan kematian ibu. Dampak jangka panjang juga dapat terjadi pada
bayi yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, seperti berat badan lahir
rendah akibat persalinan prematur atau mengalami pertumbuhan janin
terhambat, fetal distres, serta turut menyumbangkan besarnya angka
morbiditas dan mortalitas perinatal (POGIHKFM, 2016)
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering
kedua morbiditas dan mortalilas perinatal. Bayi dengan berat badan lahir
rendah atau mengalami pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko
penyakit metabolik pada saat dewasa. Preeklampsia juga merupakan faktor
risiko untuk penyakit kardiovaskuler dan penyakit metabolik pada wanita di
masa depan. Selain itu ibu hamil dapat mengalami stroke,
disseminated intravascular coagulation, perdarahan, edema paru, dan
insufisiensi ginjal. Sehingga permasalahan preeklampsia merupakan
ancaman besar bagi ibu maupun janin yang dikandungnya (Robert et all,
2012)
Penangganan preeklampsia dan kualitasnya di Indonesia masih beragam

2
di antara praktisi dan rumah sakit. Pemberi layanan kesehatan sebaiknya
mengupdate ilmu sehingga pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan. Salah
satunya adalah ilmu tentang mendiagnosis preeklampsia yang berkembang
cukup pesat, sehinggga terkadang di daerah masih terlambat mengetahui
ilmu terbaru ini. Sekarang tidak ada lagi pengklasifikasian preeklampsia
ringan dan preeklampsia berat, berdasar ilmu terbaru yaitu preeklampsia dan
preeklampsia berat (POGIHKFM, 2016).
Penyebab pasti dari preeklamsia masih belum diketahui, namun
beberapa penelitian menyebutkan beberapa faktor yang dapat menunjang
terjadinya preeklamsia yaitu gizi buruk, kegemukan dan gangguan aliran
darah ke rahim. Dari faktor-faktor pada reeklamsia tersebut menimbulkan
gejala-gejala peerklamsia yang meliputi nyeri kepala hebat bagian depan
mata berkunang-kunang, nyeri perut bagian ulu hati, nengkak pada wajah
dan kaki,BB meningkat setiap minggu (NANDA, 2015). Walaupun edema
tidak lagi menjadi bagian kriteria diagnosis preeklamsia, namun adanya
penumpukan cairan secara berlebihan di jaringan tubuh harus tetap waspada.
Edema dapat menyebabkan kenaikan berat badan tubuh. Apabila kenaikan
berat badan melebihi normal, perlu dicurigai timbulnya
preeklamsia.
Preeklamsia pada perkembangan dapat berkambang menjadi eklamsia,
yang dapat ditandai dengan timbulnya kejang atau konvulsi.komplikasi
berupa peningkatan kerja ginjal. Nutrisi dan oksigen bagian pertumbuhan
janin disuplai ibu, bila suplai terganggu bayi bisa meninggal dan kurang
gizi. Bila bayi masih hidup dan lahir dengan selamat berat badannya sangat
rendah dan ukuran bayi sangat kecil (Mukhtar, 2012). Dampak dari
preeklamsi itu sendiri dapat merusak otak, paru-paru, jantung, ginjal, dan
kematian pada janin. Pre- eklamsia berat dapat mengakibatkan kerusakan
pada organ tubu, gangguan berfungsu perfusi plasenta yang dapat
menimbulkan gangguan pertumbuhan plansenta karena penurunan plasenta
dalam sirkulasi dan terjadi peningktan pada hematokrit sehingga banyak
dilakukan operasi section caesarea. Dari dilakukannya tindakan operasi
section caesarea muncul masalah yang biasanya dirasakan pada pasien post

3
op yaitu nyeri pada luka operasi (NANDA, 2016).

Melihat dari uraian latar belakang di atas menunjukkan masih besarnya


masalah preeklampsia. pertanyaan penelitian adalah “bagaimana konsep
Asuhan Keperawatan Preeklamsia Berat?.
1.2 Rumusan masalah
Untuk mengetahui lebih lanjut dari perawatan penyakit ini maka penulis
akan melakukan kajian lebih lanjut dengan melakukan asuhan keperawatan
dengan indikasi pre-eklamsia berat dengan membuat rumusan masalah
sebagai berikut “ Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan
dengan indikasi pre-eklamsia berat ?”
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengidentifikasi asuhan keperawatan pada pasien dengan indikasi
pre-eklamsia berat.
1.3.2 Tujuan kusus
1. Mengkaji pasien dengan indikasi pre-eklamsia berat
2. Merumuskan diagnose keperawatan pada pasien dengan indikasi Pre-
eklamsi berat.
3. Merencanakan asuhan keperawatan pada pasien indikasi pre-eklamsia
berat.
4. Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan indikasi Pre-
eklamsi berat.
5. Mengavaluasi pasien dengan indikasi PEB.
6. Mendokumentasikan asuhan keperawatan dengan indikasi pre-
eklamsia berat.
1.4 Manfaat Penelitian
Terkait deangan tujuan, maka tugas makalah ini diharapkan dapat
menberi manfaat:
1. Akademis, hasil studi kasus ini merupakan sumbangan bagi ilmu
pengetahuan khususnya dalam hal asuhan keperawatan pada pasien
dengan indikasi Pre-eklamsi berat..

4
2. Secara praktis, tugas akhir ini akan bermanfaat bagi:
a. Bagi pelayanan keperawatan di rumah sakit
Hasil studi kasus ini, dapat menjadi masukan bagi pelayanan di
RS agar dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
indikasi Pre-eklamsi berat.dengan baik.
b. Bagi penelitian.
Hasil penelitian ini dapa menjadi salah satu rujukan bagi
penelitian berikutnya, yang akan melakukan studi kasus pada asuhan
keperawatan pada pasien dengan indikasi Pre-eklamsi berat.
c. Bagi profesi kesehatan
Sebagai tambahan ilmu bagi profesi keperawatan dan
memberikan pemahaman yang baik tentang asuhan keperawatan
pada pasien dengan indikasi Pre-eklamsi berat.

5
BAB II
KONSEP TEORI
2.1 Pengertian Preeklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu

kehamilan disertai proteinuria. Preeklampsia adalah penyakit hipertensi

kehamilan spesifik dengan keterlibatan multisistem. Biasanya terjadi setelah

20 minggu kehamilan, lebih sering pada umur kehamilan yang semakin

matang, dan dapat tumpang tindih dengan gangguan hipertensi lainnya.

(Saifudin, 2009)

Preeklampsia, bentuk paling umum dari tekanan darah tinggi yang

mempersulit kehamilan, terutama didefinisikan dengan terjadinya hipertensi

yang baru dan proteinuria yang baru. Namun, dua kriteria ini dianggap

definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita dengan hipertensi dan

multisistemik tanda-tanda biasanya menunjukkan adanya kondisi berat dari

preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak adanya proteinuria.

Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik

karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.

(POGIHKFM, 2016).

Dengan tidak adanya proteinuria, preeklampsia didiagnosa hipertensi

dalam hubungan dengan trombositopenia (trombosit kurang dari

100.000/mikroliter), gangguan fungsi hati (peningkatan kadar darah

transaminase hati dua kali konsentrasi normal), pengembangan baru dari

insufisiensi ginjal (peningkatan serum kreatinin lebih besar dari 1,1 mg/dL

atau dua kali lipat dari kreatinin serum dengan tidak adanya penyakit ginjal

6
lainnya), edema paru, nyeri kepala, dan gangguan penglihatan.

(POGIHKFM, 2016).

Penegakkan diagnosis hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140

mmHg atau lebih, tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih, atau keduanya.

Diagnosis hipertensi membutuhkan setidaknya dua penentuan minimal 4

jam terpisah, ketika berhadapan dengan hipertensi berat, diagnosis dapat

dikonfirmasi dalam interval yang lebih pendek (bahkan menit) untuk

memfasilitasi terapi antihipertensi tepat waktu (Robets et al, 2012).

Proteinuria didiagnosis ketika 24 jam eksresi atau melebihi 300 mg

dalam 24 jam atau rasio protein diukur untuk kreatinin dalam urin tunggal

kosong atau melebihi 3,0 mg/dL. Pembacaan dipstick kualitatif +1

menunjukkan proteinuria, tetapi mempunyai banyak hasil positif palsu dan

negatif palsu dan harus digunakan ketika metode kuantitatif tidak ada atau

keputusan yang cepat diperlukan. Eklampsia adalah fase kejang dan salah

satu manifestasi yang lebih parah dari preeklampsia. hal ini sering didahului

dengan tanda sakit kepala berat dan hiperrefleksia, tetapi itu dapat terjadi

tanpa adanya gejala (Robets et al, 2012).

2.2 Manefistasi Klinis


1. Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg

2. Proteinuria : Dispstick > +1 atau > 300 mg/24 jam

3. Proteinuria terjadi karena terdapat lesi pada glomerulus. Peningkatan

permeabilitas membran basal glomerulus terhadap protein. Pada tubulus

proksimal juga mengalami gangguan reabsorbsi protein. Ekskresi ini

berhubungan dengan pengeluaran protein dengan BM kecil karena

gangguan ekskresi dan reabsorbsi tubulus tetapi juga protein dengan BM

7
besar. Proteinuria merupakan tanda pada preeklampsia karena kehilangan

protein pada pasien yang hamil merupakan penyebab utama

hipoproteinemia.

4. Gangguan ginjal: keratin serum > 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan

kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal

lainnya.

5. Edema Paru

6. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi traminase 2 kali normal dan atau

adanya nyeri di daerah epigastrik/region kanan atas abdomen

7. Trombositopenia: trombosit < 100.000/mikroliter

8. Didapatkan gejala neurologis : nyeri kepala, stroke, dan gangguan

penglihatan

9. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau

didapatkan adanya absent or reversed and diastolic velocity (ARDV)

(Cuningham et all,2013).

2.3 Etiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui

dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi

dalam kehamilan.

1) Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta

Pada kehamilan normal, rahim, dan plasenta mendapat aliran darah

dari cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh

darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri

arkuata memberi cabang arteri radialis. Arteria radialis menembus

8
endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang

arteria spiralis (Saifudin, 2009).

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi

trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan

degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis.

Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga

jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis

mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri

spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan

resisten vascular. dan peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta.

Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga

meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik.

Proses ini dinamakan “remodeling arteri spiralis” (Saifudin, 2009).

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas

pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan

otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri

spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.

Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokontriksi dan terjadi

kegagalan “remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah

uteroplasenta menurun, dan perubahan- perubahan yang dapat

menjelaskan patogenesis HDK selanjutnya (Cuningham et all,2013).

Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500

mikron, sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil

normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali

9
aliran darah ke uteroplasenta.9

2) Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel

1) Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas Sebagaimana

dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam

kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”, dengan akibat

plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan

hipoksia akan menghasilkan oksidan atau radikal bebas. Oksidan atau

radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul

yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan

penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang

sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh

darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses

normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh.

Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap

sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi

dalam kehamilan disebut “toksemia”. Radikal hidroksil akan merusak

membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh

menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak nucleus

dan protein sel endotel. Produksi oksidan atau radikal bebas dalam

tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi

antioksidan.9

2) Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan Pada

hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,

khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal

10
vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi

dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida

lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar

di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel

endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh

peroksida lemak yang relatif lemak karena letaknya langsung

berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak

tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan

radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak

(Cuningham et all,2013).

3) Disfungsi sel endotel

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi

kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel

endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya

fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan

ini disebut “disfungsi endotel” (Cuningham et all,2013).

4) Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin

Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak

adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya

human leukocyte antigen protein G (HLA-G) menolak hasil konsepsi

atau plasenta. Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi

trofoblas janin dari lisis pleh sel Natural Killer (NK) ibu. Selain itu,

adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam

jaringan desidua ibu. Jadi, HLA-G merupakan prakondisi untuk

11
terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, disamping

untuk menghadapi sel Natural Killer (Cuningham et all,2013).

Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan

ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta,

menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat

penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga

memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga

merangsang poduksi sitikon, sehingga memudahkan terjadinya reaksi

inflamasi. Kemungkinana terjadi Immune-Maladaption pada

preeklampsia. Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang

mempunyai kecenderungan terjadinya preeklampsia, ternyata

mempunyai proporsi Helper Sel yang lebih rendah di banding pada

normotensif (Cuningham et all,2013).

5) Teori Adaptasi Kardiovaskuler

Pada hamil normal pembuluh darah darah refrakter terhadap bahan-

bahan vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka

terhadap rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar

vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokontriksi.

Pada kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap

bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis

prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan

bahwa daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila diberi

prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yang menghambat produksi

prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata adalah

12
prostasiklin. Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya

refrakter terhadap bahan vasokontriksi dan ternyata terjadi peningkatan

kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter

pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh

darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor (Saifudin, 2009).

6) Teori Genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal.

Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan

secara familial jika dibandingkan dengan genotype janin.

Preeklampsia merupakan penyakit multifaktorial dan poligenik. Dalam

suatu ulasan yang komprehensif, Ward dan Lindheimer mengutip

risiko insiden preeklampsia sebesar 20 hingga 40 persen pada anak

dari ibu yang pernah mengalami preeklampsia, 11 hingga 37% pada

saudara perempuaan seorang penderita preeklampsia dan 22 hingga

47% pada kembar. Pada suatu penelitian yang dilakukan Nilson, dkk

pada hampir 1,2 juta pelahiran di Swedia, mereka melaporkan adanya

komponen genetik untuk hipertensi gestasional sekaligus

preeklampsia. Mereka juga melaporkan angka kejadian bersama

sebesar 60% pada kembar monozigotik perempuan (Cuningham et

all,2013).

Kecenderungan herediter ini mungkin merupakan akibat interaksi

ratusan gen yang diwariskan baik dari ayah maupun ibu yang

mengendalikan sejumlah besar fungsi metabolik dan enzimatik di

setiap sistem organ. Karena itu, manifestasi klinis pada tiap

13
perempuan yang mengalami sindrom preeklampsia akan menempati

suatu titik pada spectrum. Berkaitan, dengan hal ini, ekspresi fenotipik

akan berbeda meskipun genotype sama, bergantung pada interaksi

dengan faktor lingkungan (Cuningham et all,2013).

7) Teori Stimulus Inflamasi

Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas,


sebagai sisa-sisa proses apotosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi
stress oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian
merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal,
jumlah debris trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas
plasenta, misalnya pada plasenta besar pada hamil ganda, maka stress
oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas
juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi
inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi
inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan
mengaktivasi sel endotel dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih
besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang
menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu (Saifudin, 2009).
2.4 Patofisiologi
Dalam perjalanannya beberapa faktor di atas tidak berdiri sendiri,
tetapi kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast
dan terjadinya iskemia plasenta. Pada preeklampsia ada dua tahap
perubahan yang mendasari patogenesianya. Tahap pertama adalah: hipoksia
plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis.
Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri
spiralis pada awal kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan sehingga
arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat
penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus diplasenta sehingga
terjadilah hipoksia plasenta (Uzan et all, 2011).
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat
toksis seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam

14
sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif yaitu
suatu keadaan di mana radikal bebas jumlahnya lebih dominan
dibandingkan antioksidan. Stress oksidatif pada tahap berikutnya bersama
dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada
sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi endothel yang dapat
terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah pada organ-organ
penderita preeklampsia (Uzan et all, 2011).
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat
yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida,
dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan
angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah
hipertensi. Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan
sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan
thrombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endothel di dalam
tubuh penderita preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi
dan kegagalan organ seperti:
 Pada ginjal: hiperurisemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
 Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru
dan oedema menyeluruh.
 Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.
 Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
 Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang,
kebutaan, pelepasan retina, dan pendarahan.
 Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia
janin, dan solusio plasenta. (Manuaba et all, 2013).

15
2.5 Pathway

Merangsang area Gangguan rasa


Luka post op Jaringan terputus
sensorik nyaman
Preeklamsia Sectio caesarea

Nyeri
Tekanan darah ↑ ↓ progesteron Merangsang pertumbuhan
Post partum
& estrogen kelenjar susu
nifas ↑ hormon
prolaktin
Perpusi kejaringan ↓

Kurang informasi
Defisiensi Ejeksi ASI Merangsang laktasi
tentang pearawatan Nutrisi bayi terpenuhi
pengetahuan efektif oksitosin
payudara

Kurang
Aliran darah berkurang Paru informasi
mengenai
Gangguan pertukaran gas prosedur
Penumpukan darah operasi
Co2 menurun ↑ permeabelitas
albumin Timbul edema
Proses perpindahan cairan karena perbedaan tekanan gangguan alveoli Takut
Akral dingin Perpindahan cairan daro ruang intravaskuler ke eksta
Gelisah
Pucat Edema Vasospasme pembuluh darah
Proses cardiac output ↓
Ansietas
↓ pengisian darah di
Gangguan ventrikel kiri
Kelebihan Cairan
perfusi jaringan
16
2.6 Faktor Risiko
Wanita hamil cenderung mudah dan mengalami preeklampsia bila

mempunyai faktor risiko preeklampsia antara lain13,8

a. Usia <20 tahun atau >35 tahun

Usia merupakan bagian dari status reproduksi yang penting. Usia

berkaitan dengan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh sehingga

mempengaruhi status kesehatan. Usia reproduksi sehat dikenal bahwa usia

yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-35 tahun.

Preeklampsia lebih sering didapatkan pada masa awal dan akhir usia

reproduktif yaitu usia remaja atau di atas 35 tahun. Umur berisiko (<20

tahun dan >35tahun) lebih besar mengalami preeklampsia. Ibu hamil <20

tahun mudah mengalami kenaikan tekanan darah dan lebih cepat

menimbulkan kejang. Sedangkan umur ibu >35 tahun seiring

bertambahnya usia rentan untuk terjadinya peningkatan tekanan darah

(Nursal et all, 2015).

Pada usia <20 tahun, keadaan alat reproduksi belum siap untuk

menerima kehamilan, selain itu diduga karena adanya suatu mekanisme

imunologi disamping endokrin dan genetik hal ini akan meningkatkan

terjadinya keracunan kehamilan dalam bentuk preeklampsia dan

eklampsia. Usia >35 tahun menurunnya fungsi organ tubuh salah satunya

ginjal, sehingga menyebabkan protein dalam urin. Ibu hamil dengan usia

sangat muda umur <20 tahun, maupun umur >35 tahun cenderung

mengalami preeklampsia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan

patologis, yaitu terjadinya spasme pembuluh darah arteriol menuju organ

penting dalam tubuh sehingga menimbulkan gangguan metabolisme

17
jaringan, gangguan peredaran darah menuju retroplasenter, sedang tubuh

ibu belum siap untuk terjadinya kehamilan. Penelitian Ananth et al

menunjukkan usia mempunyai risiko yang kuat. (Nursal et all, 2015).

Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali

lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih baik pada primipara

(RR 1,68 95%CI 1,23-2,29), maupun multipara (RR 1,96 95%CI 1,34-

2,87). Usia muda tidak meningkatkan risiko preeklampsia secara

bermakna. Ibu hamil yang berusia <20 tahun dan >35 tahun berisiko 4,886

kali berisiko untuk terkena preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil

yang berusia antara 20-35 tahun. Penelitian Bej et al menunjukkan bahwa

preeklampsia berisiko 2,28 kali pada wanita dengan usia <20 tahun

(Nursal et all, 2015).

b. Status Gravida

Gravida adalah wanita yang sedang hamil. Primigravida adalah wanita

yang hamil untuk pertama kali. Angka kejadian sebanyak 6% dari seluruh

kehamilan dan 12% pada kehamilan primigravida. Menurut beberapa

penelitian penulis lain frekuensi dilaporkan sekitar 3-10%. Lebih banyak

dijumpai pada primigravida daripada multigravida, terutama primigravida

usia muda. Primigravida, kira-kira 85% preeklampsia terjadi pada

kehamilan pertama. Primigravida lebih berisiko untuk mengalami

preeklampsia daripada multigravida karena preeklampsia biasanya timbul

pada wanita yang pertama kali terpapar virus korion. Hal ini terjadi karena

pada wanita tersebut mekanisme imunologik pembentukan blocking

antibody yang dilakukan oleh HLA-G (Human Leukocyte Antigen G)

18
terhadap antigen plasenta belum terbentuk secara sempurna, sehingga

proses implantasi trofoblas ke jaringan desidual ibu menjadi terganggu.

Primigravida juga rentan mengalami stress dalam menghadapi persalinan

yang akan menstimulasi tubuh untuk mengeluarkan kortisol. Efek kortisol

adalah meningkatkan respon simpatis, sehingga curah jantung dan tekanan

darah juga akan meningkat (Bej P et all, 2013).

c. Riwayat Preeklampsia Sebelumnya

Hubungan sistem imun dengan preeklampsia menunjukkan bahwa

faktor-faktor imunologi memainkan peran penting dalam perkembangan

preeklampsia. Keberadaan protein asing, plasenta, atau janin bisa

membangkitkan respon imunologis lanjut. Teori ini didukung oleh

peningkatan insiden preeklampsia-eklampsia pada ibu baru (pertama kali

terpapar jaringan janin) dan pada ibu hamil dari pasangan yang baru

(materi genetik yang berbeda) (Chuningham, 2013).

Perempuan mempunyai risiko lebih besar mengalami preeklampsia

pada ibu yang pernah mengalami preeklampsia pada kehamilan dahulu

atau yang telah mengidap hipertensi kurang lebih 4 tahun. Riwayat

preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko

utama. Menurut Duckitt risiko meningkat hingga 7 kali lipat (RR 7,19

95% CI 5,85- 8,83). Kehamilan pada wanita dengan riwayat

preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian

preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal yang

buruk. Riwayat preeklampsia memiliki risiko preeklampsia yang lebih

tinggi. Preeklampsia berisiko 4 kali lebih tinggi untuk wanita dengan

19
riwayat preeklampsia (Bej P et all, 2013).

d. Riwayat Preeklampsia Keluarga

Wanita hamil yang ibunya pernah mengalami preeklampsia,

cenderung berisiko terhadap preeklampsia. Predisposisi genetik

merupakan faktor immunologi yang menunjukkan gen resesif autosom,

yang mengatur respon imun maternal. Risiko ibu hamil yang ibunya

mengalami preeklampsia, dapat terjadi satu diantara empat kemungkinan

ibu preeklampsia. Menurut penelitian Mahran et al, preeklampsia 3,07 kali

berisiko terjadi pada ibu yang ibu kandungnya mempunyai riwayat

preeklampsia sedangkan berisiko 3,11 kali pada ibu yang mempunyai

saudara perempuan dengan riwayat preeklampsia (Mahran et all, 2017).

e. Hipertensi Kronik

Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg

sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15

menit menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi berat adalah

peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik

atau 110 mmHg diastolik. Hipertensi kronis terjadi sebelum kehamilan

atau dapat terlihat pada kehamilan sebelum 20 minggu. Pada sebagian

besar wanita dengan hipertensi sebelum kehamilan, peningkatan tekanan

darah merupakan satu-satunya temuan. Namun, beberapa mengalami

komplikasi yang meningkatkan risiko selama kehamilan dan dapat

menurunkan angka harapan hidup. Hal ini meliputi penyakit jantung

hipertensif atau penyakit jantung sistemik, insufiensi ginjal atau kelainan

20
serebrovaskular sebelumnya. Gangguan tersebut lebih sering terjadi pada

wanita yang lebih tua (Mahran et all, 2017).

Pada penelitian hipertensi kronik termasuk ke tiga utama yang

menyebabkan preeklampsia berulang yaitu 19,83% kasus preeklampsia

berulang adalah disebabkan oleh hipertensi kronik. Sebagian besar

kehamilan dengan hipertensi esensial berlangsung normal sampai cukup

bulan. Pada kira-kira sepertiga diantara para wanita penderita tekanan

darah tinggi setelah 30 minggu tanpa disertai gejala lain. Kira- kira 20%

menunjukkan kenaikan yang lebih mencolok dan dapat disertai satu gejala

preeklampsia atau lebih, seperti edema, proteinuria, nyeri kepala, nyeri

epigastrium, muntah, gangguan visus (superimposed preeklampsia),

bahkan dapat timbul eklampsia dan perdarahan otak. Pada penyakit

kencing manis terjadi perubahan pembuluh darah permeabilitasnya

terhadap protein makin tinggi, sehingga terjadinya kekurangan protein ke

jaringan.31

Protein ekstravaskuler menarik air dan garam menimbulkan edema.

Hemokonsentrasi darah yang menganggu fungsi metabolisme tubuh.

Hipertensi kronik berisiko 7 kali terjadinya preeklampsia pada ibu.

Hipertensi kronik dan anomali kongenital lebih kuat hubungannya dengan

preeklampsia pada usia kehamilan ≤ 33 minggu. Wanita dengan hipertensi

kronik mempunyai risiko lebih dari 10 kali lipat untuk mengalami

preeklampsia pada usia kehamilan ≤ 33 minggu dan sekitar 5 kali lipat

lebih tinggi pada usia kehamilan ≥34 minggu (Mahran et all, 2017).

f. Diabetes Melitus

21
Penyakit diabetes melitus merupakan kelainan herediter dengan ciri

infisiensi atau absennya insulin dalam sirkulasi darah, konsentrasi gula

darah tinggi dan berkurangnya glikogenesis. Diabetes dalam kehamilan

akan menyebabkan banyak kesulitan. Pengaruh diabetes dalam kehamilan

adalah abortus dan partus prematurus, hidramnion, preeklampsia,

kesalahan letak janin, dan insufisiensi plasenta. Pada ibu dengan diabetes

melitus patofisiologinya buka preeklampsia murni, melainkan disertai

kelainan ginjal/vaskuler primer akibat diabetes melitus tersebut. Pada

penyakit kencing manis terjadi perubahan pembuluh darah

permeabilitasnya terhadap protein makin tinggi, sehingga terjadinya

kekurangan protein ke jaringan. Protein ekstravaskuler menarik air dan

garam menimbulkan edema. Hemokonsentrasi darah yang menganggu

fungsi metabolisme tubuh (Cuningham, 2013).

Preeklampsia cenderung terjadi pada wanita yang menderita diabetes

melitus karena diabetes merupakan penyakit yang dapat menjadi faktor

pencetus terjadinya preeklampsia. Penyakit diabetes melitus hampir 50%

yang terjadi pada wanita hamil berkembang menjadi preeklampsia. Hal ini

terjadi karena saat hamil, plasenta berperan untuk memenuhi semua

kebutuhan janin. Preeklamspia terjadi pada ibu dengan diabetes melitus

karena adanya peningkatan produksi deoksikortikosteron (DOC) yang

dihasilkan dari progesterone di darah plasma dan meningkat tajam selama

trimester ketiga. Ibu dengan diabetes kehamilan terdapat peningkatan

insiden hipertensi dan preeklampsia yang akan memperburuk perjalanan

persalinan serta peningktana risiko diabetes tipe II di kemudian hari.

22
Hipertensi sering dijumpai dari wanita diabetes dengan penyakit ginjal

sehingga berisiko tingii mengalami preeklampsia (Mahran et all, 2017).

g. Kehamilan Ganda

Wanita dengan gestasi kembar dua, bila dibandingkan dengan gestasi

tunggal, memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13 versus 6 %)

dan preeklampsia (13 versus 5 %) yang secara bermakna lebih tinggi.

Dengan adanya kehamilan kembar dan hidramnion, menjadi penyebab

meningkatnya resiten intramural pada pembuluh darah myometrium, yang

dapat berkaitan dengan peninggian teganggan myometrium dan

menyebabkan tekanan darah meningkat. Wanita dengan kehamilan

kembar berisiko tinggi mengalami preeklampsia hal ini biasanya

disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan produksi hormon.

(Mahran et all, 2017).

h. Penyakit Jantung

Wanita hamil dengan preeklampsia juga berisiko lebih tinggi

mengalami penyakit jantung, gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah

sering terjadi pada wanita preeklampsia, gangguan tersebut pada dasarnya

berkaitan dengan meningkatnya afterload jantung akibat hipertensi,

preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara

patologis hipervolemia kehamilan atau secara iatrogic ditingkatkan oleh

larutan kristaloid intravena(Cuningham, 2013).

i. Penyakit Ginjal

Pada kehamilan normal, ginjal bekerja keras untuk melayani sirkulasi

cairan dan darah yang jumlahnya sangat besar. Pembesaran atau pelebaran

23
ginjal dan pembuluh darah akan membuat ginjal mampu bekerja ekstra.

Pada wanita hamil, ginjal dipaksa bekerja keras sampai ke titik di mana

ginjal tak mampu lagi memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat.

Wanita hamil dengan gagal ginjal kronik memiliki ginjal yang semakin

memperburuk status dan fungsinya. Beberapa tanda yang menunjukkan

menurunnya fungsi ginjal antara lain hipertensi yang semakin tinggi dan

terjadi peningkatan jumlah produk buangan yang sudah disaring oleh

ginjal di dalam darah (seperti potassium, urea, dan keratin). Ibu hamil

yang menderita sakit ginjal dalam jangka waktu lama biasanya

juga menderita tekanan darah tinggi. Ibu hamil dengan riwayat ginjal atau

tekanan darah tinggi memiliki risiko lebih besar mengalami preeklampsia

(Saifudin, 2009).

j. Obesitas

Overweight atau obesitas didefinisikan sebagai keadaan abnormal atau

kelebihan akumulasi lemak/kegemukan yang mungkin dapat

mempengaruhi kesehatan. Body Mass Index (BMI) adalah rumus

sederhana yang digunakan untuk mengklarifisikan overweight dan obesitas

(Mahran et all, 2017).

Seseorang dikatakan overweight jika BMI ≥ 25 dan obesitas jika

BMI ≥ 30. Obesitas sangat berkaitan erat dengan berbagai macam

komplikasi penyakit terlebih jika diamlami oleh wanita hamil yang mana

akan berdampak buruk baik terhadap ibu maupun janin yang dikandung.

Menurut penelitian ada hubungan wanita hamil obesitas dengan kejadian

preeklampsia (Mahran et all, 2017).

24
Obesitas sebelum kehamilan dan Indeks Massa Tubuh saat pertama

kali Antenatal Care (ANC) merupakan faktor risiko preeklampsia dan

risiko ini semakin besar dengan semakin besarnya IMT pada wanita

hamil karena obesitas berhubungan dengan penimbunan lemak yang

berisiko munculnya penyakit degenerative. Obesitas adalah adanya

penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh. Obesitas dapat

memicu terjadinya preeklampsia melalui pelepasan sitokin-

sitokin inflamasi dari sel jaringan lemak, selanjutnya

sitokin menyebabkan inflamasi pada endotel sistemik (Mahran et all,

2017).

2.6 Pemeriksaan diagnostik


Diagnosis preeklampsia berat ditegakkan bila ditemukan keadaan
hipertensi berat/hipertensi urgensi (TD≥160/110) dengan proteinuria berat
(≥ 5 g/hr atau tes urin dipstik ≥ positif 2), atau disertai dengan keterlibatan

organ lain10,11. Kriteria lain preeklampsia berat yaitu bila ditemukan gejala
dan tanda disfungsi organ, seperti kejang, edema paru, oliguria,
trombositopeni (<100.000/ul), hemolisis mikroangiopati, peningkatan enzim
hati yaitu SGOT dan SGPT, nyeri perut epigastrik atau kuadran kanan atas
dengan mual dan muntah, serta gejala serebral menetap (sakit kepala
persisten, pandangan kabur, penurunan visus atau kebutaan kortikal dan
penurunan kesadaran), edem paru dan /atau gagal jantung kongestif, gagal
ginjal akut yang ditandai dengan oliguria (≤ 500 ml/24 jam) dan kreatinin ≥
1,2 mg/dL dan pada janin terjadi pertumbuhan yang terhambat dan
oligohidramnion (Cuningham, 2013).
Sedangkan kriteria menurut ACOG 2013 preeklampsia berat adalah
peningkatan tekanan darah setelah 20 minggu kehamilan dengan proteinuria
atau salah satu gejala yang memperberat preeklampsia. Tekanan sistolik
darah ≥ 160 mmHg, atau tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg pada dua kali
pemeriksaan dengan interval 4 jam pada pasien istirahat (kecuali

25
antihipertensi terapi dimulai sebelum waktu ini), proteinuria didefinisikan
sebagai ekskresi >300 mg protein urin tamping 24 jam atau rasio protein /
kreatinin minimal 0,3 (masing-masing diukur sebagai mg/dL). Metode
dipstick tidak disarankan untuk digunakan diagnostik kecuali pendekatan
lain tidak tersedia. 1+ dianggap sebagai cutoff untuk diagnosis proteinuria.
Diagnosis preeklampsia berat tidak lagi tergantung pada temuan proteinuria.
Jangan menunda manajemen preeklampsia walaupun tidak ada proteinuria.
Proteinuria masif (>5 g) telah dieliminasi dari pertimbangan preeklampsia
berat (Bilano et all, 2014).
Trombositopenia (trombosit <100.000/mikroliter), fungsi hati terganggu
seperti yang ditunjukkan oleh konsentrasi darah abnormal dari enzim-enzim
hati (dua kali konsentrasi normal), nyeri persisten berat pada kuadran kanan
atas atau epigastrium yang tidak responsif terhadap obat dan tidak
diperhitungkan oleh diagnosis alternatif, atau keduanya, konsentrasi
insufisiensi ginjal yang progresif (serum kreatinin lebih dari 1,1 mg/dL),
edema paru dan gangguan otak atau visual yang akut. Fetal growth restriction
sudah tidak dipakai lagi sebagai temuan indikasi preeklampsia berat (Bilano
et all, 2014).
Kriteria yang di butuhkan untuk mendiagnosis sindrom HELLP adanya
Hemolysis yaitu anemia hemolitik mikroangiopatik dengan apusan darah
perifer abnormal, bilirubin total >1,2 mg/dL atau jumlah laktat dehidrogenase
(LDH) serum >600 U/L. Elevated Liver enzymes dimana Aspartat
aminotransferase >70 U/L atau LDH >600 U/L. Dan Low

Platelets yaitu kadar platelet <150.000/mm(M).14 Apabila terdapat satu


atau dua diantara gejala tersebut maka disebut sindrom HELLP partial dan
apabila seluruh kriteria terpenuhi disebut sindrom HELLP total (Bilano et all,
2014).
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin. Komplikasi

berikut ini dapat terjadi pada preeklampsia:

1. Komplikasi Maternal

26
a. Eklampsia

Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia,

yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma, eklampsia selalu

didahului preeklampsia. Timbulnya kejang pada perempuan dengan

preeklampsia yang tidak disebabkan oleh penyebab lain dinamakan

eklampsia (Cuningham, 2013).

b. Sindrom Hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet count

(HELLP)

Pada preeklampsia sindrom HELLP terjadi karena adanya

peningkatan enzim hati dan penurunan trombosit, peningkatan enzim

kemungkinan disebabkan nekrosis hemoragik periporta di bagian

perifer lobules hepar. Perubahan fungsi dan integritas hepar termasuk

perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar aspartat

amniotransferase serum (Cuningham, 2013).

c. Ablasi retina

Ablasi retina merupakan keadaan lepasnya retina sensoris dari

epitel pigmen retina. Gangguan penglihatan pada wanita dengan

preeklampsia juga dapat disebabkan karena ablasi retina dengan

kerusakan epitel pigmen retina karena adanya peningkatan

permeabilitas dinding pembuluh darah akibat penimbunan cairan yang

terjadi pada proses peradangan. (Cuningham, 2013).

Gangguan pada penglihatan karena perubahan pada retina. Tampak

edema retina, spasme setempat atau menyeluruh pada satu atau

beberapa arteri. Jarang terjadi perdarahan atau eksudat atau spasme.

27
Retinopatia arteriosklerotika pada preeklampsia akan terlihat bilamana

didasari penyakit hipertensi yang menahun. Spasmus arteri retina yang

nyata menunjukkan adanya preeklampsia berat. Pada preeklampsia

pelepasan retina karena edema intraokuler merupakan indikasi

pengakhiran kehamilan segera. Biasanya retina akan melekat kembali

dalam dua hari sampai dua bulan setelah persalinan (Cuningham, 2013).

d. Gagal ginjal

Selama kehamilan normal, aliran darah ginjal dan laju filtrasi

glomerulus meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia,

perfusi ginjal dan glomerulus menurun. Pada sebagian besar wanita

dengan preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun.

Pada sebagian besar wanita dengan preeklampsia penurunan ringan

sampai sedang laju filtrasi glomerulus terjadi akibat berkurangnya

volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat

dibanding kadar normal selama hamil (Cuningham, 2013).

Perubahan pada ginjal disebabkan oleh karena aliran darah ke

dalam ginjal menurun, sehingga filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan

ginjal berhubungan dengan terjadinya proteinuria dan retensi garam

serta air. Pada kehamilan normal penyerapan meningkat sesuai dengan

kenaikan filtrasi glomerulus. Penurunan filtrasi akibat spasme arteriolus

ginjal menyebabkan filtrasi natrium menurun yang menyebabkan

retensi garam dan juga terjadi retensi air. Filtrasi glomerulus pada

preeklampsia dapat menurun sampai 50% dari normal sehingga

28
menyebabkan dieresis turun. Pada keadaan yang lanjut dapat terjadi

oliguria sampai anuria (Cuningham, 2013).

e. Edema Paru

Penderita preeklampsia mempunyai risiko besar terjadinya edema

paru disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada

pembuluh darah kapiler paru dan menurunnya dieresis. Kerusakan

vascular dapat menyebabkan perpindahan protein dan cairan ke dalam

lobus-lobus paru. Kondisi tersebut diperburuk dengan terapi sulih

cairan yang dilakukan selama penangganan preeklampsia dan

pencegahan eklampsia. Selain itu, gangguan jantung akibat hipertensi

dan kerja ekstra jantung untuk memompa darah ke dalam sirkulasi

sistemik yang menyempit dapat menyebabkan kongesti paru

(Cuningham, 2013).

f. Kerusakan hati

Vasokontriksi menyebabkan hipoksia sel hati. Sel hati mengalami

nekrosis yang diindikasikan oleh adanya enzim hati seperti

transaminase aspartat dalam darah. Kerusakan sel endothelial pembuluh

darah dalam hati menyebabkan nyeri karena hati membesar dalam

kapsul hati. Hal ini dirasakan oleh ibu sebagai nyeri epigastrik

(Cuningham, 2013).

g. Penyakit kardiovaskuler

Gangguan berat pada fungsi kardiovaskuler normal lazim terjadi

pada preeklampsia atau eklampsia. Gangguan ini berkaitan dengan

peningkatan afterload jantung yang disebabkan hipertensi, preload

29
jantung, yang sangat dipengaruhi oleh tidak adanya hipervolemia pada

kehamilan akibat penyakit atau justru meningkat secara iatrogenik

akibat infus larutan kristaloid atau onkotik intravena, dan aktivasi

endotel disertai ekstravasasi cairan intravascular ke dalam ruang

ekstrasel, dan yang penting ke dalam paru-paru (Cuningham, 2013).

h. Gangguan Saraf

Tekanan darah yang meningkatkan pada preeklampsia dan

eklampsia menimbulkan gangguan sirkulasi darah ke otak dan

menyebabkan perdarahan atau edema jaringan otak atau terjadi

kekurangan oksigen (hipoksia otak). Manifestasi klinis dari gangguan

sirkulasi, hipoksia atau perdarahan otak menimbulkan gejala

gangguan saraf di antaranya gejala objektif yaitu kejang (hiperrefleksia)

dan koma. Kemungkinan penyakit yang dapat menimbulkan gejala

yang sama adalah epilepsi dan gangguan otak karena infeksi, tumor

otak, dan perdarahan karena trauma (Cuningham, 2013).

2. Komplikasi pada janin

1) Pertumbuhan janin terhambat

Ibu hamil dengan preeklampsia dapat menyebabkan pertumbuhan

janin terhambat karena perubahan patologis pada plasenta, sehingga

janin berisiko terhadap keterbatasan pertumbuhan (Churucil, 2013).

2) Prematuritas

Preeklampsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin yang

disebabkan oleh menurunnya perfusi uteroplasenta, pada waktu lahir

plasenta terlihat lebih kecil daripada plasenta yang normal untuk usia

30
kehamilan, premature aging terlihat jelas dengan berbagai daerah yang

sinsitianya pecah, banyak terdapat nekrosis iskemik dan posisi fibrin

intervilosa (Saifudin, 2009).

3) Fetal Distress

Preeklampsia dapat menyebabkan kegawatan janin seperti

sindroma distress napas. Hal ini dapat terjadi karena vasospasme

yang merupakan akibat kegagalan invasi trofoblas kedalam

lapisan otot pembuluh darah sehingga pembuluh darah

mengalami kerusakan dan menyebabkan aliran darah dalam

plasenta menjadi terhambat dan menimbulkan hipoksia pada

janin yang akan menjadikan gawat janin (Saifudin, 2009).

2.8 Penatalaksanaan
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala
preeklampsia berat selama perawatan maka perawatan dibagi menjadi:
a. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi
ditambah pengobatan medisinal.
b. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan
ditambah pengobatan medisinal.
1. Perawatan Aktif
Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita
dilakukan pemeriksaan fetal assesment (NST & USG).
a. Indikasi (salah satu atau lebih)
1) Ibu
a) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih
b) Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia,
kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan
medisinalis terjadi kenaikan tekanan darah atau setelah 24
jam perawatan medisinal, ada gejala-gejala status quo (tidak
ada perbaikan).

31
2) Janin
a) Hasil fetal assesment jelek (NST & USG)
b) Adanya tanda IUGR
3) Laboratorium Adanya “Sindrom HELLP” (hemolisis dan
peningkatan fungsi hepar, trombositopenia).
b. Pengobatan Medisinal
Pengobatan medisinal pasien preeklampsia berat yaitu:
1) Segera masuk rumah sakit
2) Tirah baring miring ke satu sisi. Tanda vital diperiksa setiap
30 menit, reflex patella setiap jam.
3) Infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus
RL (60-125 cc/jam) 500 cc.
4) Antasida
5) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
6) Pemberian obat anti kejang: magnesium sulfat
7) Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda
edema paru, payah jantung kongestif atau edema anasarka.
Diberikan furosemid injeksi 40 mg/im.
8) Antihipertensi diberikan bila:
a) Tekanan darah sistolik lebih 180 mmHg, diastolik lebih 110
mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Sasaran pengobatan
adalah tekanan diastolik kurang 105 mmHg (bukan kurang
90 mmHg) karena akan menurunkan perfusi plasenta.
b) Dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada
umumnya.
c) Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya, dapat
diberikan obat-obat antihipertensi parenteral (tetesan
kontinyu), catapres injeksi. Dosis yang biasa dipakai 5
ampul dalam 500 cc cairan infus atau press disesuaikan
dengan tekanan darah.
d) Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan
tablet antihipertensi secara sublingual diulang selang 1 jam,

32
maksimal 4-5 kali. Bersama dengan awal pemberian
sublingual maka obat yang sama mulai diberikan secara
oral.
9) Kardiotonika
Indikasinya bila ada tanda-tanda menjurus payah jantung,
diberikan digitalisasi cepat dengan cedilanid D.
10) Lain-lain:
a) Konsul bagian penyakit dalam / jantung, mata.
b) Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal lebih 38,5
derajat celcius dapat dibantu dengan pemberian kompres
dingin atau alkohol atau xylomidon 2 cc IM.
c) Antibiotik diberikan atas indikasi. Diberikan ampicillin 1
gr/6 jam/IV/hari.
d) Anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena
kontraksi uterus. Dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg
sekali saja, selambat- lambatnya 2 jamsebelum janin
lahir.
11) Pemberian Magnesium Sulfat
Cara pemberian magnesium
sulfat:
a) Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading
magnesium sulfat 4 g selama 5 – 10 menit, dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam post
partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan
tertentu untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat.
Pemantauan produksi urin, refleks patella, frekuensi napas
dan saturasi oksigen penting dilakukan saat memberikan
magnesium sulfat.
b) Dosis ulangan: 2 g bolus dapat dilakukan apabila terjadi
kejang berulang.
c) Syarat-syarat pemberian MgSO4
i) Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas

33
10%, 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan intravenous
dalam 3 menit.
ii) Refleks patella positif kuat
iii) Frekuensi pernapasan lebih 16 kali per menit.
iv) Produksi urin lebih 100 cc dalam 4 jam sebelumnya
(0,5 cc/kgBB/jam).
d) MgSO4 dihentikan bila
i) Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot,
hipotensi, refleks fisiologis menurun, fungsi jantung
terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan selanjutnya
dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot-
otot pernapasan karena ada serum 10 U magnesium
pada dosis adekuat adalah 4-7 mEq/liter. Refleks
fisiologis menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter.
Kadar 12-15 mEq terjadi kelumpuhan otot-otot
pernapasan dan lebih 15 mEq/liter terjadi kematian
jantung.
ii) Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat
 Hentikan pemberian magnesium sulfat
 Berikan calcium gluconase 10% 1 gram (10% dalam 10
cc) secara IV dalam waktu 3 menit.
 Berikan oksigen.
 Lakukan pernapasan buatan.
iii) Magnesium sulfat dihentikan juga bila setelah 4 jam
pasca persalinan sudah terjadi perbaikan (normotensif).
c. Pengobatan Obstetrik
Cara Terminasi Kehamilan yang Belum Inpartu
1) Induksi persalinan: tetesan oksitosin dengan syarat nilai
Bishop 5 atau lebih dan dengan fetal heart monitoring.
2) Seksio sesaria bila:
a) Fetal assesment jelek
b) Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai Bishop kurang

34
dari 5) atau adanya kontraindikasi tetesan oksitosin.
c) 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk
fase aktif.
Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan
terminasi dengan seksio sesaria.
Cara Terminasi Kehamilan yang
Sudah Inpartu Kala I
1) Fase laten: 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan seksio
sesaria.
2) Fase aktif:
a) Amniotomi saja
b) Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan
lengkap maka dilakukan seksio sesaria (bila perlu dilakukan
tetesan oksitosin).
Kala II
Pada persalinan pervaginam maka kala II diselesaikan dengan
partus buatan. Amniotomi dan tetesan oksitosin dilakukan
sekurang-kurangnya 3 menit setelah pemberian pengobatan
medisinal. Pada kehamilan 32 minggu atau kurang; bila keadaan
memungkinkan, terminasi ditunda 2 kali 24 jam untuk
memberikan kortikosteroid.
2. Perawatan Konservatif
a) Indikasi: Bila kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai
tanda-tanda inpending eklampsia dengan keadaan janin baik.
b) Pengobatan medisinal: Sama dengan perawatan medisinal pada
pengelolaan aktif. Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan
intravenous, cukup intramuskuler saja dimana 4 gram pada
bokong kiri dan 4 gram pada bokong kanan.
c) Pengobatan obstetrik:
1. Selama perawatan konservatif: observasi dan evaluasi sama
seperti perawatan aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.
2. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda pre

35
eklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.
3. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap
pengobatan medisinal gagal dan harus diterminasi.
4. Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi
lebih dahulu MgSO4 20% 2 gram intravenous.
d) Penderita dipulangkan bila:
1. Penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda preeklampsia
ringan dan telah dirawat selama 3 hari.
2. Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan preeklampsia
ringan penderita dapat dipulangkan dan dirawat sebagai
preeklampsia ringan (diperkirakan lama perawatan 1-2
minggu) (Cuningham, 2013).
.

36
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PREEKLAMSIA BERAT

3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dalam prosses keperawatan dengan
mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui
berbagai permasalahan yang ada.
a. Data Biografi
Identitas umum ibu meliputi nama, tempat tanggal lahir,/umur, alamat,
suku bangsa, pekerjaan, agama.
• Nama
Untuk mengetahui nama jelas dan lengkap, bila perlu nama
panggilan sehari-hari agar tidak keliru dalammemberikan
penanganan.
• Umur
Dicatat dalam tahun untuk mengetahui biasanya sering terjadi
pada primigravida < 20 tahun atau > 35 tahun.
• Agama
Untuk mengetahui keyakinan pasien tersebut untuk
membimbing atau mengarahkan pasien dalam berdoa.
• Suku Bangsa
Berpengaruh pada adat istiadat atau kebiasaan sehari-hari.

• Pendidikan
Berpengaruh dalam tindakan keperawatan untuk mengetahui
sejauh mana tingkat intelektualnya, sehingga perawat dapat
memberikan konseling sesuai dengan pendidikannya.
• Pekerjaan
Untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial ekonominya,
karena ini juga mempengaruhi dalam gizi pasien tersebut.
• Alamat
Ditanyakan untuk mempermudah kunjungan rumah bila
diperlukan.

37
b. Riwayat Kehamilan
Biasanya hipertensi dalam kehamilan paling sering terjadi pada ibu
hamil primigravida, kehamilan ganda, hidramnion, dan
molahidatidosa dan semakin tuanya usia kehamilan (Chandranita,
2006).
c. Riwayat Kesehatan
• Keluhan Utama
Biasanya klien dengan preeklamsia mengeluh demam, sakit
kepala dan peningkatan tekanan darah (Chandranita, 2006).
• Riwayat Kesehatan Sekarang
Terjadi peningkatan tekanan darah, oedema bisa pada ektremitas
bahkan wajah, pusing, nyeri pada epigastrium, mual muntah,
penglihatan kabur, skotoma, diplopia, tidak ada nafsu makan,
gangguan serebral lainnya (tidak tenang, reflek tinggi), tengkuk
terasa sakit, kenaikan berat badan mencapai 1 kg dalam seminggu.

• Riwayat Kesehatan Dahulu


Kemungkinan biasanya klien pernah menderita hipertensi sebelum
hamil, mempunyai riwayat preeklamsia pada kehamilan dahulu,
penyakit ginjal, vaskuler esensial, Diabetes melitus, biasanya
mudah terjadi pada ibu dengan obesitas.
• Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya mempunyai riwayat preeklamsia dan eklamsia dalam
keluarga.
d. Riwayat Menstruasi
Untuk mengetahui kapan mulai menstruasi, siklus mentruasi, lamanya
menstruasi, banyaknya darah menstruasi, teratur / tidak menstruasinya,
sifat darah menstruasi, keluhan yang dirasakan sakit waktu menstruasi
disebut disminorea (Estiwidani, 2008).
e. Riwayat Perkawinan
Pada status perkawinan yang ditanyakan adalah kawin syah, berapa
kali, usia menikah berapa tahun, dengan suami usia berapa, lama
perkawinan, dan sudah mempunyai anak belum (Estiwidani, 2008).

38
f. Riwayat Kehamilan Sekarang
• Hari pertama, haid terakhir serta kapan taksiran persalinannya
• Keluhan-keluhan pada trisemester I, II, III.
• Dimana ibu biasa memeriksakan kehamilannya.
• Selama hamil berapa kali ibu periksa

g. Riwayat KB
Perlu ditanyakan pada ibu apakah pernah / tidak megikuti KB jika ibu
pernah ikut KB maka yang ditanyakan adalah jenis kontrasepsi, efek
samping. Alasan pemberhentian kontrasepsi (bila tidak memakai lagi)
serta lamanya menggunakan kontrasepsi.
Jenis-jenis alat kontrasepsi :
• Kondom
Perlu ditanyakan pada ibu apakah pernah / tidak megikuti KB jika
ibu pernah ikut KB maka yang ditanyakan adalah jenis
kontrasepsi, efek samping. Alasan pemberhentian kontrasepsi
(bila tidak memakai lagi) serta lamanya menggunakan
kontrasepsi.
• Kb suntik
Kontrasepsi suntikan adalah cara untuk mencegah terjadinya
kehamilan dengan melalui suntikan hormonal. KB suntik terdapat
dua macam, yaitu suntik 1 bulan dan suntik 3 bulan.
• KB pil
Pil adalah obat pencegah kehamilan yang diminum. Pil
diperuntukkan bagi wanita yang tidak hamil dan menginginkan
cara pencegah kehamilan sementara yang paling efektif bila
diminum secara teratur.
• AKDR atau IUD (Intra Uterine Device)
Alat ini sangat efektif dan tidak perlu diingat setiap hari seperti
halnya pil. Bagi ibu yang menyusui, AKDR tidak akan
mempengaruhi isi, kelancaran ataupun kadar air susu ibu (ASI).
AKDR terdapat dalam berbagai jenis, yaitu (copper T, copper 7,
multi load, lipppes loap).

39
• Kontrasepsi Implant
Disebut alat kontrasepsi bawah kulit, karena dipasang di bawah
kulit pada lengan atas, alat kontrasepsi ini disusupkan di bawah
kulit lengan atas sebelah dalam.Bentuknya semacam tabung-
tabung kecil atau pembungkus plastik berongga dan ukurannya
sebesar batang korek api. Susuk dipasang seperti kipas dengan
enam buah kapsul atau tergantung jenis susuk yang akan dipakai.
Di dalamnya berisi zat aktif berupa hormon. Susuk tersebut akan
mengeluarkan hormon sedikit demi sedikit. Jadi, konsep kerjanya
menghalangi terjadinya ovulasi dan menghalangi migrasi sperma.
Pemakaian susuk dapat diganti setiap 5 tahun, 3 tahun, dan ada
juga yang diganti setiap tahun(Manuaba, 2012).
h. Pola aktivitas sehari-hari
• Pola Aktivitas
Biasanya pada preeklamsi terjadi kelemahan, penambahan berat
badan atau penurunan BB, reflek fisiologis +/+, reflek patologis -
/- biasanya ditandai dengan pembengkakan kaki, jari tangan, dan
muka (Saifuddin, 2012)
• Nutrisi
Ibu dianjurkan untuk memperhatikan asupan garam dan protein.
Garam diberikan sesuai dengan berat-ringannya retensi garam
atau air, protein tinggi 1,5-2 gr/kg BB, cairan diberikan 2500 ml
sehari, mineral cukup terutama kalsium dan kalium. Anjurkan
untuk mengkonsumsi tambahan

seperti kalori tiap hari sebanyak 500 kalori, minum minimal 3 liter
setiap hari terutama setelah menyusui (Saifuddin, 2012).
• Eliminasi
Menggambarkan pola fungsi sekresi yaitu kebiasaan buang air
besar meliputi frekuensi, jumlah, konsistensi dan bau serta
kebiasaan buang air kecil meliputi frekuensi, warna,
jumlah(Ambarwati, 2017).Biasanya pada klien dengan
preeklamsia terdapat proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes

40
celup,oliguria(Saifuddin, 2012)
• Istirahat dan tidur
Menggambarkan pola istirahat dan tidur pasien, berapa jam pasien
tidur, kebiasaan sebelum tidur, kebiasaan mengkonsumsi obat
tidur, kebiasaan tidur siang. Istirahat sangat penting bagi ibu post
partum karena dengan istirahat yang cukup dapat mempercepat
penyembuhan (Yoga, 2013).
• Keadaan psikologis
Untuk mengetahui tentang perasaan ibu sekarang, apakah ibu
merasa takut atau cemas dengan keadaan sekarang (Yoga, 2013).
• Riwayat Sosial Budaya
Untuk mengetahui kehamilan ini direncanakan / tidak, diterima /
tidak, jenis kelamin yang diharapkan dan untuk mengetahui pasien
dan keluarga yang menganut adat istiadat yang akan
menguntungkan atau merugikan pasien (Yoga, 2013).
• Pengunaan obat-obatan dan rokok
Untuk mengetahui apakah ibu mengkonsumsi obat terlarang
ataukah ibu merokok (Yoga, 2013).

i. Pemeriksaan Umum
• Keadaan Umum
Untuk mengetahui apakah ibu dalam keadaan baik, cukup atau
kurang pada kasus umum biasanya lemah (Saifuddin, 2012).
Biasanya pada klien dengan preeklamsia berat keadaan umum
lemah.
• Kesadaran
Untuk mengetahui tingkat kesadaran ibu apakah composmentis
(sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang
keadaan sekelilingnya), apatis (tidakmenanggapi rangsangan/acuh
tak acuh, tidak peduli) somnolen (kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengansekitarnya, sikapnya acuh tak acuh), spoor
(keadaan yang menyerupai tidur), koma (tidak bisa dibangunkan,
tidak ada respon terhadap rangsangan apapun, tidak ada respon

41
kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya) Pada kasus biasanya ditemui kesadaran
composmentis (Yoga, 2013).
• Tanda-tanda Vital
• Tekanan darah
Untuk mengetahui tekanan darah klien. Biasanya pada
preeklamsia ditemui tekanan darah hingga TD 160/100
mmHg bahkan lebih. Batas normalnya 110/60-140/90 mmHg
(Pudiastuti, 2013).
• Nadi
Untuk mengetahui nadi pasien yang dihitung dalam menit.
Batas normal nadi berkisar antara 60 - 80 x/menit. Denyut
nadi di atas 100 x/menit pada masa nifas adalah
mengindikasikan adanya suatu

infeksi, hal ini salah satunya bisa diakibatkan oleh proses


persalinan sulit atau karena kehilangan darah yang berlebihan
(Yoga, 2013).
• Suhu
Suhu normal tubuh manusia adalah 36,6°C-37,6°C. Suhu
pada klien dengan preeklamsia berat seharusanya dibawah
37,6°C, jika sudah mencapai 38°C dapat menyebabkan ibu
mengalami eklamsia atau kejang (Pudiastuti, 2013).
• Pernafasan
Untuk mengetahui frekuensi pernapasan pasien yang dihitung
dalam 1 menit. Batas normalnya 12 - 20 x/menit. klien
biasanya mengalami sesak sehabis melakukan
aktifitas(Pudiastuti, 2013).
• Tinggi badan
Untuk mengetahui tinggi badan klien (Yoga, 2013).
• Berat badan
Untuk mengetahui berat badan klien, apakah bertambah atau
berkurang. Untuk klien dengan preeklamsia berat badan

42
diharuskan menurun (Yoga, 2013).
j. Pemeriksaan Fisik
• Rambut
Untuk mengetahui warna, kebersihan, mudah rontok atau
tidak(Yoga, 2013).
• Wajah
Untuk mengetahui keadaan muka pucat atau tidak adakah
kelainan, adakah edema (Yoga, 2013).

• Mata
Untuk mengetahui edema atau tidak, conjungtiva, anemia atau
tidak, sklera ikterik atau tidak, ada gangguan penglihatan atau
tidak (Yoga, 2013).
• Mulut / gigi / gusi
Untuk mengetahui ada stomatitis atau tidak, keadaan gigi, gusi
berdarah atau tidak, mukosa bibir kering/lembab(Yoga, 2013).
• Abdomen
Untuk mengetahui ada luka bekas operasi/tidak, adastrie/tidak,
ada tidaknya linea alba nigra (Yoga, 2013).
• Genetalia
Untuk mengetahui keadaan vulva adakah tanda-tanda infeksi,
varices, pembesaran kelenjar bartolini dan perdarahan. Adakah
pengeluaran pervaginam berupa lendir (Yoga, 2013).
• Fundus uteri
Fundus harus berada dalam midline, keras dan 2 cm dibawah
umbilicus. Bila uterus lembek , lakukan masase sampai keras. Bila
fundus bergeser kearah kanan midline , periksa adanya distensi
kandung kemih(Yoga, 2013).
• Leher
Untuk mengetahui adakah pembesaran kelenjar thyroid, ada
benjolan atau tidak, adakah pembesaran kelenjar limfe (Yoga,
2013).

• Dada

43
Untuk mengetahui keadaan payudara, simetris atau tidak, ada
benjolan atau tidak, ada nyeri atau tidak (Yoga, 2013).
• Ekstremitas
Untuk mengetahui ada cacat atau tidak, edema atau tidak terdapat
varices atau tidak (Yoga, 2013).
k. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan yang dilakukan
untuk mendukung penegakan diagnosa,
1 Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap ( Penurunan Hemoglobin,
Hematokrit meningkat, Trombosit menurun).
b. Urinalisis : ditemukan protein dalam urine
c. Pemeriksaan fungsi hati
1. Bilirubin meningkat N= < 1 mg/dl
2. LDH (laktat dehidrogenase) meningkat
3. AST (Aspartat aminomtransferase) > 60 ul
4. SGPT (serum glutamat pirufat transaminase)
meningkat N= 15-45 u/ml
5. SGOT (serum glutamat oxaloacetic transaminase)
meningkat N
= <31 u/l
6. Total protein menurun N= 6,7-8,7 g/dl
7. Tes kimia darah : asam urat meningkat N=2,4-2,7 mg/dl
2 USG : untuk mengetahui keadaan janin
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b.d penimbunan cairan pada paru (edema paru)
2. Kelebihan volume cairan b.d kerusakan fungsi glomerolus sekunder
terhadap penurunan cardiac output
3. Perfusi jaringan perifer tidak efektif b.d terjadinya vasospasme arterional,
edema serebral, perdarahan
4. Ansietas b.d rencana operasi
5. Gangguan rasa nyaman b.d kontraksi uterus dan pembukaan jalan lahir

44
6. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
7. Defisiensi pengetahuan b.d penatalaksanaan terapi dan perawatan
(SDKI, 2016).

45
3.3 ntervensi Keperawatan

Tabel 2.1
Intervensi Keperawatan
No. Standar Diagnosa Standar Luaran Keperawatan Indonesia Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Keperawatan Indonesia (SLKI) (SIKI)
(SDKI)
1. Gangguan pertukaran gas b.d Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pemantauan respirasi
penimbunan cairan pada paru selama 3x24 jam diharapkan pertukaran gas Tindakan :
(edema paru) meningkat . Observasi :
1. Monitor frekuensi, iraam , kedalaman dan
Kriteria hasil : upaya nafas
1. Tingkat kesadaran meningkat 2. Monitor pola nafas seperti (bradipnea,
2. Dispnea menurun takipnea, hiperventilasi, kusmaul,
3. Bunyi napas tambahan menurunpusing cheyne-stokes, blot)
menurun 3. Monitor kemampuan batuk efektkif
4. Penglihatan kabur menurun 4. Monitor adanya produksi sputum
5. Gelisah menurun 5. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
6. Napas cuping hidung menurun 6. Auskultasi bunyi nafas
7. Sianosis membaik 7. Monitor hasil AGD
8. Pola napas membaik 8. Monitor hasil x-ray toraks
9. Warna kulit membaik
Teraupetik :
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

46
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
2. Kelebihan volume cairan b.d Tujuan : Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan Tindakan :
retensi cairan dan edema selama 3x24 jam diharapkan keseimbangan cairan Observasi :
klien meningkat. 1. Monitor status hidrasi (misal frekuensi nadi,
kekuatan nadi, akral, kelembaban mukosa,
Kriteria Hasil : turgor kulit, tekanan darah)
1. Kelembaban membran mukosa meningkat 2. Monitor berat badan
2. Asupan makanan meningkat 3. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
3. Edema menurun (misal hematokrit, berat jenis urine, BUN, Na,
4. Tekanan darah membaik K, CI)
5. Berat badan membaik
Teraupetik :
1. Catat intake-output dan hitung balans cairan
24 jam
2. Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
3. Berikan cairan intravena, jika perlu

Kaloborasi :
Kaloborasi pemberian diuretik, jika perlu
3. Perfusi jaringan perifer tidak Tujuan : Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan Perawatan sirkulasi :
efektif b.d edema serebral. selama 3x24 jam diharapkan perfusi perifer Tindakan :
meningkat. Observasi :
1. Periksa sirkulasi perifer (misal nadi perifer,
Kriteria hasil : edema, pengisian kapiler, warna, suhu)
1. Denyut nadi perifer meningkat 2. Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
2. Warna kulit pucat menurun (misal diabetes, perokok, orang tua, hipertensi,
3. Edema perifer menurun dan kadar kolesterol tinggi)
4. Nyeri ekstremitas menurun 3. Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau
5. Akral membaik bengkak pada ektremitas
6. Tekanan darah sistolik membaik

47
7. Tekanan darah diastolik membaik Teraupetik :
1. Hindari pemasangan infus atau pengambilan
darah di area keterbatasan perfusi
2. Hindari pengukuran tekanan darah pada
ektremitas dengan keterbatasan perfusi
3. Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet
pada area yang cidera
4. Lakukan pencegahan infeksi
5. Lakukan perawatan kaki dan kuku

Edukasi :
1. Anjurkan berhenti merokok
2. Anjurkan berolahraga rutin
3. Anjurkan menggunakan obat penurunan
tekanan darah, antikoagulan, dan penurunan
kolesterol, jika pelu
4. Anjurkan minum obat penurun tekanan darah
secara teratur
5. Informasikan tanda dan gejala darurat yang
harus dilaporkan (misal rasa sakit yang tidak
hilang saat istirahat, luka tidak sembuh,
hilangnya rasa.
4. Ansietas b.d prosedur operasi Tujuan : Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan Terapi relaksasi
Sectio Caesarea selama 3x24 jam diharapkan tingkat ansietas Tindakan :
menurun Observasi :
1. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
Kriteria Hasil : efektif digunakan
1. Verbalisasi kebingungan menurun 2. Periksa frekuensi nadi, tekanan darah, dan
2. Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang suhu sebelum dan sesudah latihan
dihadapi menurun 3. Monitor respon terhadap terapi relaksasi

48
3. Perilaku gelisah menurun
4. Perilaku tegang menurun Teraupetik :
5. Frekuensi pernafasan sedang 1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa
6. Frekuensi nadi cukup menurun gangguan dengan pencahayaan dan suhu yang
7. Tekanan darah menurun nyaman, jika memungkinkan
8. Pucat menurun 2. Berikan informasi tertulis persiapan dan
prosedur teknik relaksasi
3. Gunakan pakaian longgar
4. Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambat

Edukasi :
1. Jelaskan tujuan, manfaat, jenis relaksasi yang
tersedia (terapi tarik nafas dalam)
2. Anjurkan mengambil posisi yang nyaman
3. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
4. Anjurkan sering mengulangi atau mealtih tenik
yang dipilih
5. Demonstrrasikan dan latih teknik relaksasi
(tarik nafas dalam)
5. Gangguan rasa nyaman b.d Tujuan : Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan Tindakan :
kontraksi uterus dan selama 3x24 jam diharapkan status kenyamanan Observasi :
pembukaan jalan lahir pascapartum meningkat. 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
kualitas, intensitas nyeri
Kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan tidak nyaman menurun 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
2. Meringis menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
3. Merintih menurun memperingan nyeri
4. Tekanan darah menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan

49
5. Frekuensi nadi sedang tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
7. Monitor keberhasilan terapi komplementer
yang sudah diberikan
8. Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik :
1. Berikan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri (misal tens, hipnosis,
akupresur, terapi musik, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
myeri (misal suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredekan nyeri

Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Anjurkan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri

Kaloborasi :
Kaloborasi pemberian analgetik, jika perlu
6. Nyeri akut b.d agen pencedera Tujuan : Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan Tindakan :

50
Fisik selama 3x24 jam diharapkan nyeri menurun. Observasi :
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Kriteria hasil : kualitas, intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri
2. Meringis menurun 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
3. Kesulitan tidur menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
4. Frekuensi nadi sedang memperingan nyeri
5. Pola napas sedang 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
6. Tekanan darah membaik tentang nyeri
7. Fungsi berkemih sedang 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
8. Pola tidur membaik nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer
yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik :
1. Berikan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri (misal tens, hipnosis,
akupresur, terapi musik, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
myeri (misal suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredekan nyeri

Edukasi :

51
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Anjurkan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri

Kaloborasi :
1. Kaloborasi pemberian analgetik, jika perlu
7. Defisiensi pengetahuan b.d Tujuan : Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan selama Tindakan :
penatalaksanaan terapi dan 3x24 jam diharapkan tingkat pengetahuan meningkat. Observasi :
perawatan 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
Kriteria hasil : informasi
(SDKI DPP PPNI, 2016) 1. Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu 2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan
topik meningkat dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan
2. Kemampuan menggambarkan pengalaman sehat
sebelumnya sesuai dengan topik meningkat
3. Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi Teraupetik :
meningkat 1. Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
4. Persepsi yang keliru terhadap masalah menurun 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
3. Berikan kesempatan untuk bertanya
(SLKI DPP PPNI, 2016)
Edukasi :
1. Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi
kesehatan
2. Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
3. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat

(SIKI DPP PPNI, 2018).

52
3.4 Implementasi

Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik, Tahap pelaksanaan dimulai

setelah rencana tindakan disusun dan berguna untuk memenuhi kebutuhan klien mencapai tujuan yang diharapkan secara

optimal.

Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam

proses keperawatan. Dokumentasi tindakan keperawatan ini berguna untuk komunikasi antar tim kesehatan sehingga

memungkinkan pemberian tindakan keperawatan yang berkesinambungan(Nursalam,2011).

3.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari

rencana keperawatan tercapai atau tidak (Nursalam, 2011).

53
DAFTAR PUSTAKA

Bej P, Chhabra P, Sharma A, Guleria K. (2013). Determination of risk factors for


pre-eclampsia and eclampsia in a tertiary hospital of India: A case control
study. J Fam Med Prim Care. 2(4):371. Available from:
http://www.jfmpc.com/text.asp?2013/2/4/371/123924
Bilano VL, Ota E, Ganchimeg T, Mori R, Souza JP. (2014). Risk factors of pre-
eclampsia/eclampsia and its adverse outcomes in low- and middle-income
countries: A WHO secondary analysis. PLoS One.;9(3):1–9.
Chandranita, A. B. (2006). Patologi Obstetri Untuk Mahasiswa
Kebidanan.Jakarta: EGC.

Cuningham FG, Leveno K, Bloom S, Harth J, Rouse D, Spong C.( 2013).


Obstetri William Ed.23 Vol 2. Jakarta: EGC.
Churchill D, Duley L, Thornton JG, Jones L (2013). Interventionist versus
expectant care for severe pre-eclampsia between 24 and 34 weeks’
gestation. Cochrane Database Syst Rev.;(7). Available from:
http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.CD003106.pub2
Kemenkes RI.( 2013). Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Kementrian
Kesehatan, Direktur Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. 1 of
40.Availablefrom:http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/wpcontent/upload
s/downloads/2020/12/Pedoman-ANC-Terpadu.pdf
Kemenkes RI. (2015). Kesehatan dalam Kerangka Sustainable Development
Goals (SDGs). Rakorpop Kementeri Kesehat RI.;(97):24. Available from:
http://www.pusat2.litbang.depkes.go.id/pusat2_v1/wpcontent/uploads/201
5/12/SDGs-Ditjen-BGKIA.pdf
Mahran A, Fares H, Elkhateeb R, Ibrahim M, Bahaa H, Sanad A , et al. (2017).
Risk factors and outcome of patients with eclampsia at a tertiary hospital in
Egypt.;1–7.
Manuaba, I. B. (2012). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Nursalam. (2011). Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Salemba

Medika.

Nursal, Dien GA, Pratiwi Tamela, Fitrayeni. (2015). Faktor Risiko Kejadian
Preeklampsia pada Ibu Hamil di RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun
2014.38–44.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto
Maternal. (2016). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan
Tata Laksana Preeklampsia. Jakarta: ECG.
Pudiastuti, R. D. (2013). Penyakit-Penyakit Mematikan. Yogyakarta: Nuha
Medika. Puskesmas Ngaliyan Semarang. (1).

54
Roberts JM, Druzin M, August PA, Gaiser RR, Bakris G, Granger JP, et al.
(2012). ACOG Guidelines: Hypertension in pregnancy. American College
of Obstetricians and Gynecologists.. 1-100 p.
Saifuddin A. (2009). Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Jakarta: EGC.
Saifuddin, A. B. (2012). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina PustakaSarwono Prawirohardjo.
SDKI. (2013). Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencanan
Nasional, Departemen Kesehatan, Macro International. Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia 2012.
SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi
dan Indikator Diagnostik (Edisi 1). Jakarta: PPNI.
SLKI DPP PPNI. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: PPNI
Uzan J, Carbonnel M, Piconne O, Asmar R, Ayoubi JM. (2011). Pre-eclampsia:
Pathophysiology, diagnosis, and management. Vasc Health Risk
Manag.;7(1):467–74.
SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi
dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: PPNI.
Yoga. (2013). Askep Preeklamsia Berat. Retrieved January 12, 2019, from
www.blogspot.comwebsite:https://yogasrondeng.blogspot.com/2013/09/as
kep-pre-eklamsi beratpeb.html.

55

Anda mungkin juga menyukai