Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi
dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus
produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini
dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada
BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering
terjadi adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit ( sel
darah merah). Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya,
eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk
melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang
menyebabkan kuning pada bayi.
Secara klinis, ikterus akan terlihat jika kadar bilirubin serumnya lebih dari 5 mg/dL dan
biasanya terlihat pada usia satu minggu. Ikterus terjadi pada 60% bayi aterm dan 80% bayi
preterm. (Akinbi, 2005, Sukandi 2008). Berdasarkan penelitian Tamazi et al (2013),
terdapat 55,8% ikterus fisiologis dan 44,2% ikterus patologis. Pada Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 didapatkan angka kematian neonatus pada tahun
2012 sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup dan 78,5% kematian neonatus terjadi pada usia
0-6 hari. Komplikasi terbanyak pada neonatus adalah asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus,
infeksi, trauma lahir, berat badan lahir rendah, sindroma gangguan pernafasan,
dan kelainan kongenital (Kemenkes RI, 2015).
BBLR menjadi ikterus disebabkan karena sistem enzim hatinya tidak matur dan bilirubin
tak terkonjugasi tidak dikonjugasikan secara efisien 4-5 hari berlalu. Ikterus dapat
diperberat oleh polisitemia, memar, infeksi, dan hemolisis. BBLR ini merupakan faktor
utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak
serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan di masa depan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan pada ikterus neonatorum?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan pada ikterus neonatorum.

1
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
2.1 Definisi Ikterus
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam
tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan
terjadinya gangguan fungsional dari hepar, fungsi biliary, atau sistem hematologi (Yeyeh, dkk.
2012).
Ikterus adalah warna kuning di kulit, konjungtiva, dan mukosa yang terjadi karena
meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Produksi bilirubin sebagian besar berasal dari
pemecahan sel darah merah yang menua (80%), sisanya berasal dari mioglobulin (Maryuani,
Nurhayati, 2008).
2.2 Klasifikasi Ikterus
1) Ikterus Neonatorum, yaitu disklorisasi pada kulit atau organ lain karena penumpukan
bilirubin. Ikterus neonatorum dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Ikterus fisiologis, yaitu ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan
atau mempunyai potensi menjadi “kenikterus” dan tidak menyebabkan suatu
morbiditas pada bayi.
b. Ikterus patologis, yaitu ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai satu nilai yang disebut hiperbilirubinemia.
2) Kernicterus, yaitu suatu sindroma nurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan
bilirubin tak terkonjugasi dalam sel-sel otak.
2.3 Etiologi
1) Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum adalah:
a. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya. Misalnya hemolisis yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian
golongan darah ibu dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO, defisiensi
G6PD/Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase, Kurangnya Enzim Glukoronil
Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada BBLR.
b. Gangguan dalam ambilan dan konjugasi hati. Gangguan ini dapat disebabkan oleh
imaturitas hati, gangguan fungsi hati, hipoksia, dan infeksi.

2
c. Gangguan transportasi. Bilirubin dalam darah berikatan dengan albumin kemudian
diangkut ke hati. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak bilirubin indirek
yang bebas dalam darah yang mudah melekat pada sel otak.
d. Gangguan ekresi. Gangguan ekresi dapat terjadi akibat obstruksi hati, biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hati oleh penyebab lain.
e. Faktor produksi yng berlebihan melampaui pengeluaran : hemolitik yang
meningkat
f. Gangguan uptake dan konjugasi hepar karena imaturasi hepar.
g. Gangguan transportasi ikatan bilirubin + albumin menuju hepar , defiiensi albumin
menyebabkan semakin banyak bilirubin bebas ddalam darah yang mudah melewati
sawar otak sehingga terjadi kernicterus
h. Gangguan ekskresi akibat sumbatan dalam hepar atau diluar hepar, karena kelainan
bawaan/infeksi atau kerusakan hepar karena penyakit lain.
2) Fisiologi
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah bilirubin yang larut
dalam lemak menjadi bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi
dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta
jumlah tempat ikatan albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat
serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil
Transferase yang memadai sehingga serum bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
3) Patologis
a. Penyakit hemolitik
b. Kelainan sel darah merah
c. Hemolisis : hematoma, Polisitemia, perdarahan karena trauma jalan lahir.
d. Infeksi
e. Kelainan metabolic : hipoglikemia, galaktosemia
f. Obat-obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti :
sulfonaamida, salisilat, sodium bensoat, gentamisin,
g. Pirau enterohepatik yang meninggi : obstruksi usus letak tinggi, hirschsprung.
2.4 Manifestasi Klinis
1) Fisiologi
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga (setelah 24 jam lahir)
b. Kadar bilirubin indirek sesudah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus
kurang bulan dan 10 mg% pada neonatus cukup bulan

3
c. Peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% per hari
d. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%
e. Kadar tertinggi pada hari kelima untuk bayi cukup bulan dan pada hari ketujuh untuk
bayi kurang bulan
f. Ikterus yang menghilang pada 10 hari pertama tidak terbukti terkait dengan keadaan
patologis
g. Hilang tanpa perlu pengobatan
2) Patologis: Ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin mencapai nilai
yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus dikatakan patologis apabila:
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
b. Peningkatan kadar konsentrasi bilirubin >5 mg/dl/hari
c. Kadar bilirubin > 15 mg/dl
d. Ikterus berlkangsung lebih dari 14 hari
e. Warna feses pucat dan urine kuning tua
f. Bilirubin direk >2 mg/dl
g. Hiperbilirubinemia: Menurt pengamatan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo,
hiperbilirubinemia terjadi bila kadar ikterus mencapai lebih dari 12,5 mg% pada bayi
baru lahir kurang bulan
h. Dapat berkembang menjadi kernikterus (kerusakan otak akibat peningkatan kadar
bilirubin indirek pada otak)
2.5 Patofisiologi

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh oleh tubuh.
Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi
berasal dari hem bebas atau dari proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan
bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa
zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau
bilirubin IX alfa.

Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang
sulit diekskresi dan mudah melalui membrane biologic seperti placenta dan sawar darah
otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar.
Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat dengan oleh reseptor
membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi

4
persenyawaan dengan ligandin ( protein-Y), protein-Z, dan glutation hati lain yang
membawanya ke reticulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan
bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat
diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskesi
melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dari tinja sebagai sterkobilin.Dalam usus sebagian diarbsorbsi
kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses arbsorpsi enterohepatik.

Sebagian besar neonatus mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada
neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup
eritrosit yang lebuh pendek (80–90hari), dan belum matangnya fungsi hepar. Peningkatan
kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian tersering adalah
apabila terdapat pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya
umur eritrosit bayi/janin, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasienterohepatik.

Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan protein-
Y dan protein-Z terikat oleh anion lain, misalkan pada bayi dengan asidosis atau keadaan
anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang dapat memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin
adalah apabila ditemukan konjugasi hepar ( defisiensi enzim glukoronil transferase ) atau
bayi menderita gangguan eksresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan
saluran empedu ekstra/intrahepatik.

5
2.6 Pathway

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1) USG, radiologi
2) Kadar bilirubin serum (total)
3) Penentuan glongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
4) Pemeriksaan kadar enzim G6DP
2.8 Penatalaksanaan
1) Bidan dan perawat dapat memberi nasehat mengenai penanganan ikterus fisiologis
dengan memberitahu gejala dini ikterus patologi pada para ibu sebelum memulangkan
bayi. Hal ini mengingat kemungkinan karena 60% bayi baru lahir menderita
kuning/ikterus. Hal-hal yang perlu dijelaskan pada ibu diantaranya:
- Ruangan bayi harus mendapat sinar matahari yang cukup
- Anjurkan pada ibu untuk menyusui bayi sesering mungkin

6
- Jemur bayi di pagi hari tanpa baju antara pukul selama 20 – 30 menit sampai bayi
berumur 10 – 14 hari.
- Meskipun sudah banyak menyusu dan sudah dijemur, namun bayi masih tampak
kuning, apalagi bila disertai gejala malas minum, anjurkan bayi segera dibawa ke
dokter atau rumah sakit.
- Terapi sinar (fototerapi) biasanya diberikan bila kadar bilirubin 12 mg%
- Transfusi tukar biasanya dilakukan bila kadar bilirubin indirek diatas 20 mg%.
- Jika setelah 3 – 4 hari kelebihan bilirubin masih terjadi maka bayi harus segera
mendapat terapi.
2) Fototerapi
Ikterus klinis dan hiperbilirubin indirek akan berkurang kalau bayi dipaparkan pada
sinar dalam spectrum cahaya yang mempunyai intensitas tinggi. Bilirubin akan
menyerap cahaya secara maksimal dalam batas wilayah warna biru atau disebut blue
light oleh Cremer pada tahun 195. Sinar yang bermanfaat adalah sinar spektrum biru
(mulai dari 420 – 470 nm) biasanya digunakan 8 – 10 lampu neon @ 20 watt dengan
jarak kira-kira 60 – 80 cm dari perut bayi. Lampu yang dipakai tidak melebihi 500 jam
(maksimal sampai 500 jam). Bilirubin dalam kulit akan menyerap energi cahaya, yang
melalui fotoisomerasi mengubah bilirubin tak terkonjugasi yang bersifat toksik menjadi
isomer-isomer terkonjugasi yang dikeluarkan ke empedu dan melalui otosensitisasi
yang melibatkan oksigen dan mengakibatkan reaksi oksidasi yang menghasilkan
produk-produk pemecahan yang akan diekskresikan oleh hati dan ginjal tanpa
memerlukan konjugat. Indikasi fototerapi hanya setelah dipastikan adanya
hiperbilirubin patologik. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi sinar
adalah:
- Tutup kedua mata bayi dengan penutup yang tidak tembus cahaya. Penutup
dapat dibuat dengan menggunakan kain kassa yang dilipat lipat dan dibalut atau
saat ini telah tersedia penutup mata khusus untuk ini di pasaran. Sebelumnya
katupkan dulu kelopak mata bayi untuk mencegah kerusakan retina. Penutup
mata tidak boleh terlalu lebar supaya tidak menutupi seluruh muka.
- Baringkan bayi telanjang, posisi dapat diubah tiap 4 jam supaya seluruh
permukaan terkena merata oleh sinar.
- Terapi sinar dimatikan saat bayi dimandikan atau disusui oleh ibu.
- Pada waktu memberikan minum bayi atau menyusui bayi, bayi dikeluarkan dan
dipangku.

7
- Efek samping terapi sinar bisa berupa hipertermia, dehidrasi, ruam kulit dan
diare, namun bersifat sementara. Terapi sinar dapat dilanjutkan dengan
pemberian minum ekstra. Bila bayi sangat gelisah dan suhu badan naik,
matikanlah lampu selama 30 menit, setelah itu dapat dinyalakan kembali.
- Bila kadar bilirubin tidak menurun setelah pemberian terapi 100 jam, perlu
diwaspadai adanya penyebab patologik lain dan kemungkinan memerlukan
transfusi tukar.
- Agar tidak menyilauka sekitarnya, bayi yang mendapat terapi sinar sebaiknya
ditempatkan agak jauh dari bayi lain dan diberi pembatas.
- Jumlah penggunaan satu set lampu harus dicatat dengan teliti.
3) Transfusi Tukar
Tranfusi tukar dilakukan pada keadaan hiperbilirubinemia yang tidak dapat diatasi
dengan tindakan lain, misalnya setelah pemberian terapi sinar, tetapi kadar bilirubin
tetap tinggi. Transfusi tukar biasanya dilakukan pada bayi dengan kadar bilurin
diperkirakan akan mencapai batas sawar darah otak. Bilirubin ini harus cepat
dikeluarkan sebelum terjadi kernikterus atau enselopati biliaris, karena dapat
menyebabkan kelainan yang bersifat menetap. Kelainan paling ringan berupa
spastisitas, gangguan pendengaran sampai kerusakan saraf yang berat.
Pada bayi yang sangat prematur, berat badan sangat rendah, hipoksia, hipoglikemi,
asidosis, bilirubin juga lebih mudah melalui sawar darah otak. Pada bayi-bayi seperti
ini biasanya juga dilakukan transfusi tukar sebelum kadar bilirubin mencapai 20 mg%.
Transfusi tukar juga biasanya dilakukan pada bayi yang ikterus atau hiperbilirubinemia
yang disebabkan oleh karena proses hemolisis yang terdapat pada ketidakselarasan
Rhesus, ABO, difisiensi G6PD, dan sebagainya.
Transfusi tukar bertujuan untuk menggantikan eritrosit yang dapat menjadi hemolisis,
membuang antibodi yang menyebabkan hemolisis, menurunkan kadar bilirubin indirek,
dan memperbaiki anemia.
Darah yang digunakan adalah darah yang paling sesuai. Bila terdapat inkompalbilitas,
maka dipakai darah golongan O, sesuai darah ibu. Transfusi tukar dilakukan oleh dokter
anak atau perinatologi yang berpengalaman di dalam kamar yang aseptik. Perawat
membantu dokter dan mengawasi keadaan umum bayi sambil mencatat setiap selesai
memasukkan darah. Yang perlu diperhatikan selama transfusi tukar berlangsung,
diantaranya:

8
- Cegah bayi agar tidak kedinginan bisa digunakan lampu sorot untuk
menghangatkan (karena bayi dalam keadaan telanjang di kamar yang terbuka),
tetapi jangan sampai terlalu panas.
- Kontrol suhu bayi selama transfusi berlangsung dan observasi denyut jantung
bayi setiap setengah jam.
- Suhu bayi sebaiknya sekitar 36,2 – 36,5 C. Denyut jantung bayi yang makin
melemah, biasanya transfusi tukar dihentikan sementara.
Perlu diketahui, transfusi tukar adalah tindakan yang relatif mudah dilakukan,
namun memiliki resiko yang cukup besar, seperti infeksi ataupun emboli udara,
karena tindakannya dengan memasukkan kateter ke dalam vena umbilikalis.
Transfusi tukar tidak dapat menyembuhkan kerusakan otak yang sudah terjadi pada
bayi yang sudah terlanjur menderita ensefalopati biliaris.
4) Terapi obat-obatan
Misalnya obat phenobarbital atau luminal untuk menigkatkan peningkatan bilirubin di
sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga
obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin berguna untuk mengurangi
timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya terapi ini
dilakukan dengan terapi seperti fototerapi.
5) Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine, untuk itu
bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik
bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan buang air kecilnya. Akan tetapi,
pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus,
ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice).
Kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan
berakhir pada minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tidak boleh menyusui
bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru boleh disusui lagi.
6) Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan
setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam
dengan posisi yang berbeda-beda. Caranya seperempat jam dalam keadaaan terlentang,
misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 07.00 sampai
09.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Di

9
bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas jam sembilan
kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak
matanya. Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.
2.9 Asuhan Keperawatan Ikterus Neonatorum
A. Pengkajian
1) Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO,
Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2) Riwayat kelahiran:
Kelahiran Prematur berhubungan juga dengan prematuritas organ tubuh
(hepar)
3) Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4) Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)
5) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum bayi tampak lemah, bayi terlihat pucat dan ikterus
dan aktivitas menurun
b. Kepala leher: Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput
/ mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi ikterus dengan
melakukan Tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi
dengan kulit bersih ( kuning)
Dapat juga dijumpai cianosis pada bayi yang hypoksia
c. Dada : Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan
tanda peningkatan frekuensi nafas.
d. Status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia, kususnya
ikterus yang disebabkan oleh adanya infeksi
e. Perut: Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu
dicermati. Hal ni berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan
photo terapi.
f. Gangguan Peristaltik tidak diindikasikan photo terapi. Perut
membuncit, muntah , mencret merupakan akibat gangguan
metabolisme bilirubun enterohepatic
10
g. Splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan dengan Sepsis
bacterial, tixoplasmosis, rubella
h. Urogenital : Urine kuning dan pekat, adanya faeces yang pucat /
acholis / seperti dempul atau kapur merupakan akibat dari
gangguan / atresia saluran empedu
i. Ekstremitas: Menunjukkan tonus otot yang lemah
j. Kulit : Tanda dehidrasi titunjukkan dengan turgor tangan jelek.
Elastisitas menurun, perdarahan baah kulit ditunjukkan dengan
ptechia, echimosis.
k. Pemeriksaan Neurologis adanya kejang, epistotonus, lethargy dan
lain – lain menunjukkan adanya tanda – tanda kern – ikterus
B. Diagnosa Keperawatan
1) Kekurangan volume cairan b.d tidak adekuatnya intake cairan
2) Ketidakefektifan termoregulasi b.d efek fototerapi
3) Kerusakan integritas kulit b.d hiperbilirubinemia
4) Resiko cidera

11
REANCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan NOC NIC Rasional
Kekurangan volume Tujuan: Cairan tubuh neonatus 1. Kolaborasikan pemberian cairan IV 1. Memenuhi kebutuhan cairan
cairan b.d tidak adekuat 2. Monitor vital sign sehingga tubuh akan terpenuhi
adekuatnya intake cairan Kriteria Hasil: 3. Monitor status hidrasi (kelembapan untuk menjamin keadekuatan
1.Mempertahankan urine output membran mukosa, nadi adekuat, cairan
sesuai dengan usia dan BB, BJ tekanan darah ortostatik), jika 2. Mengetahui status
urine normal, HT normal diperlukan perkembangan pasien
2.TTV normal 4. Pertahankan catatan intake dan 3. Mengetahui tanda-tanda
3.Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, output yang akurat dehidrasi dengan tepat
elastisitas turgor kulit baik, 5. Kolaborasi dengan dokter 4. Menjaga keadaan pasien tetap
membran mukosa lembab, tidak stabil
ada rasa haus yang berleihan 5. Menunjang kesembuhan
Ketidakefektifan Tujuan: Diharapkan suhu tubuh 1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam 1. Mengetahui perubahan suhu
kembali stabil 2. Monitor TD, suhu, dan RR pasien
termoregulasi b.d efek
Kriteris Hasil: 3. Monitor warna dan suhu kulit 2. Mengetahui status
fototerapi 1.Keseimbangan antara produksi 4. Monitor tanda-tanda hipertermi dan perkembangan pasien
panas, panas yang diterima, dan hipotermi 3. Mengetahui tanda-tanda
kehilangan panas selama 28 hari 5. Berikan antipiretik jika perlu hipertermi dan hipotermi
kehidupan 4. Mengetahui keadaan pasien
2.Keseimbangan asam basa bayi 5. Menunjang kesembuhan pasien
baru lahir
3.Temperature stabil 36,5 – 37 C
4.Tidak ada kejang
5.Tidak ada perubahan warna kulit
Kerusakan integritas kulit Tujuan: Memepertahankan 1. Mobilisasi pasien (ubah posisi 1. Menjaga kenormalan kulit
kenormalan kulit bayi pasien) setiap dua jam sekali pasien
b.d hiperbilirubinemia
Kriteria Hasil: 2. Monitor kulit akan adanya 2. Mengetahui tanda-tanda
1. Integritas kulit yang baik dapat kemerahan abnormal kulit
dipertahankan (sensasi, elastisitas, 3. Jaga kebersihan kuit agar tetap bersih 3. Menunjang kenormalan kulit
temperatur, hidrasi, pigmentasi) dan kering

12
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit
3. Perfusi jaringan baik
4. Menunjukkan pemahaman dalam
proses perbaikan kulit dan
mencegah terjadinya sedera
berlubang
5. Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembapan kulit
dan perawatan alami

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin.
Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang
tidak dikendalikan. Penanganan ikterus neonatorum sangat tergantung pada saat terjadinya
ikterus, intensitas ikterus (kadar bilirubin serum) jenis bilirubin,dan sebab terjadinya ikterus.
Untuk mendaptkan peganagn yang baik,pengobatan dan pemeriksaan-pemeriksaan yang perlu
dilakukan didasarkan pada timbulnya ikterus naiknya kadar bilirubin serum.
3.2 Saran
Waspadai tanda dan gejala sedini mungkin anak mengalami ikterus, orang tua perlu perhatikan
pada anak jika terjadi dehidrasi/asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-
muntah), pucat sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. ketidakcocokan golongan
darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular, trauma lahir:
bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya. Pletorik
(penumpukan darah) : polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali
pusat, bayi KMK Letargik dan gejala sepsis lainnya serta Petekiae (bintik merah di kulit). Jika
bayi dalam keadaan seperti ini maka orang tua perlu mencurigai akan tanda-tanda bahwa bayi
mengalami ikterus dan segera konsultasikan ke dokter atau dokter spesialis anak.

14
DAFTAR PUSTAKA
Akinbi H (2005). Ikterus pada bayi baru lahir. Dalam: Schwartz MW (ed). Pedoman klinis
pediatri. Jakarta: EGC.
Sukadi (2008). Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A (eds). Buku ajar neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, pp: 147-169.
Tamazi RM, Mustarim, Syah S (2013). Gambaran faktor risiko ikterus neonatorum pada
neonatus di ruang perinatology RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2013. Jambi
Medical Journal
Maryunani, Nurhayati. 2008. Buku Saku Asuhan Bayi Baru Lahir Normal. Jakarta: Trans
Info Media.
Deslidel, dkk. 2011. Buku Ajar Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita. Jakarta: ECG.
Yeyeh, dkk. 2012. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Trans Info Media.
Judith, A. 2013. LP Teori Askep Ikterus Neonatorum.
http://andyjuddith.blogspot.com/2013/05/lp-teori-askep-ikterus-neonatorum_7.html.
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2018.
Author. 2018. Laporan Pendahuluan dan Askep.
https://askep77.blogspot.com/2018/08/laporan-pendahuluan-lp-dan-askep.html.
Diakses pada tanggal 15 Oktober 2018.
Lalu, 2016. Laporan Pendahuluan Ikterus Neonatus.
http://laluners.blogspot.com/2016/03/laporan-pendahuluan-ikterus-neunatus.html.
Diakses pada tanggal 15 Oktober 2018.
Asnari, Y. 2014. Makalah Askep Neonatus.
http://yuniasnari.blogspot.com/2014/11/makalah-askeb-neonatus.html. Diakses pada
tanggal 18 Oktober 2018.
Nurarif, Kusuma. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis. Jogjakarta: Mediation Jogja.

15

Anda mungkin juga menyukai