Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERBILIRUBIN PADA ANAK


Tugas Praktik Klinik Stase Keperawatan Anak

DISUSUN OLEH :
SISCA KURNIAWATI
P1337420215013

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
PRODI DII KEPERAWATAN PURWOKERTO
2017

LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERBILIRUBIN PADA BAYI

A. Definisi
a. Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2007). Nilai normal bilirubin indirek 0,3
1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 0,4 mg/dl.
b. Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana kadar billirubinemia mencapai
suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kernikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 2007).
c. Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar
bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit, konjungtiva,
mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2009).

B. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan
sebagai berikut (Ngastiyah, 2009) :
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.

2. Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.

3. Gangguan konjugasi bilirubin.

4. Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah


merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul karena
adanya perdarahan tertutup.

5. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya


Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.

6. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau


toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti :
infeksi toxoplasma. Siphilis.

7. Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor:

8. Produksi yang berlebihan

9. Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada


hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan
sepsis.
10. Gangguan proses uptake dan konjugasi hepar.

Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat


untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia
dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom
Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

11. Gangguan transportasi

12. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel
otak.

13. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu


(atresia biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia, hipotiroidjaundice
ASI

Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan


albumin; lahir prematur, asidosis.

C. Klasifikasi
a. Ikterik fisiologis
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang
tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang
membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah ikterus
yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai
yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah
ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut menurut (Hanifah, 1987),
dan (Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats, 2005):
1. Timbul pada hari kedua - ketiga.
2. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
4. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
5. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
6. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai hubungan
dengan keadaan patologis tertentu.
7. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia
dengan karakteristik sebagai berikut Menurut (Surasmi, 2003) bila
Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus <
bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu,
asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi,
hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.

b. Ikterus Patologis
Menurut Tarigan, (2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi
bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan
hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan,
dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg
%.
c. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus,
nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada
neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan
disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin
pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang
terjadi secara kronik. (Ngastiyah, 2009).

D. Patofisiologi
1. Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan .
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.

2. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan


kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z
berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.

3. Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat
sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus
sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada
umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.

4. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir
Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,2007)

E. Komplikasi

Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin indirek
pada otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara
lain : bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak
menentu (involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dn
akhirnya opistotonus

F. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium (Pemeriksan Darah)
1. Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari
14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan
yang tidak fisiologis.
2. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
3. Protein serum total.
4. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
5. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis
dan atresia billiari.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi

Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan


diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma

2. Ultrasonografi

Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra


hepatic

3. Biopsy hati

Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar


seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain
itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma

H. Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek
dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia

2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi

3. Meningkatkan Badan Serum Albumin

4. Menurunkan Serum Bilirubin

Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi


Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
a. Pemberian ASI

b. Foto terapi

Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan


Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus
pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a bound of fluorencent light
bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin
dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara
memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika
cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi
menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak
dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam
darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam
Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh
Hati (Avery dan Taeusch, 1984).

Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar


Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan
Hemolisis dapat menyebabkan Anemia. Secara umum Fototherapi harus
diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit
dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan
konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk
memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi
Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

c. Tranfusi PenggantiTransfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan


adanya faktor-faktor :

1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.

2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.

3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24


jam pertama.

4. Tes Coombs Positif


5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu
pertama.

6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam


pertama.

7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.

8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.

9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :


1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible
(rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.

2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi


(kepekaan)

3. Menghilangkan Serum Bilirubin

4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan


keterikatan dengan Bilirubin

Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera


(kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam
kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari
sampai stabil.
d. Terapi Obat

Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang


meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif
baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa
minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal
masih menja dipertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat
urinesehingga menurunkan siklus Enterohepatika(Ngastiyah, 2009).
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a. Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama, apakah
sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu baik dari
dokter maupun yang di beli sendiri, apakah ada riwayat kontak denagn
penderiata sakit kuning, adakah rwayat operasi empedu, adakah riwayat
mendapatkan suntikan atau transfuse darah. Ditemukan adanya riwayat
gangguan hemolissi darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau darah ABO),
polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi
saluran pencernaan dan ASI, ibu menderita DM.
b. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO,
Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
c. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua
merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
d. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah
mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan,
kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia .
e. Pola Kebutuhan sehari-hari.
Data dasar klien:
- Aktivitas / istirahat : Latergi, malas
- Sirkulasi : Mungkin pucat, menandakan anemia.
- Eliminasi : Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin
lambat, Feses lunak/coklat
kehijauan selama pengeluaran bilirubin,Urine
gelap pekat, hitam kecoklatan ( sindrom bayi
bronze )
- Makanan/cairan : Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih mungkin
disusui dari pada menyusu botol, Palpasi
abdomen dapat menunjukkan perbesaran limfa,
hepar.
- Neurosensori : Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan
inkompatibilitas Rh berat. Opistetanus dengan
kekakuan lengkung punggung,menangislirih,
aktivitas kejang (tahap krisis).
- Pernafasan : Riwayat afiksia
- Keamanan : Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak ikterik
pada awalnya di wajah dan berlanjut pada
bagian distal tubuh, kulit hitam kecoklatan
sebagai efek fototerapi.
- Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan etnik,
riwayat
hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya,
penyakithepar,distrasias darah (defisit glukosa-6-
fosfat dehidrogenase (G-6-PD). Faktor ibu,
mencerna obat-obat (misal: salisilat),
inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor penunjang
intrapartum, misal: persalinan pratern.
f. Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus
terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris,
jari tubuh (clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan
organ hati (tentang ukuran, tepid an permukaan); ditemukan adanya
pembesaran limpa (splenomegali), pelebaran kandung empedu, dan masa
abdominal, selaput lender, kulit nerwarna merah tua, urine pekat warna teh,
letargi, hipotonus, reflek menghisap kurang/lemah, peka rangsang, tremor,
kejang, dan tangisan melengking
g. Pemeriksaan Diagnostik
Golongan darah bayi dan ibu, mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
Bilirubin total: kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 1,5 mg/dL
kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dL dalam 24 jam,
atau tidak boleh lebih 20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL
pada bayi pratern.
Darah lengkap: Hb mungkin rendah (< 1 mg/dL) karena hemolisis.
Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang
memerlukan penentuan bilirubin serum.

2. Pengelompokan Data
a. Data Subjektif
Riwayat afiksia
Riwayat trauma lahir
b. Data Objektif
Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian
distal tubuh.
Kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi
Hepatosplenomegali.
Tahap krisis: epistetanus, aktivitas kejang
Urine gelap pekat
Bilirubin total:
- Kadar direk > 1,0 1,5 mg/dL
- Kadar indirek > 5 mg/dL dalam 24 jam, atau < 20 mg/dL
pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi pratern.
Protein serum total: < 3,0 g/dL
Golongan darah bayi dan ibu inkompatibilitas ABI, Rh.

B. PATHWAY
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder
fototherapi.
2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek
fototerapi.
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
7. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi)
berhubungan dengan tranfusi tukar.
8. PK : Kern Ikterus

D. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta
peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi deficit volume cairan dengan kriteria :
- Jumlah intake dan output seimbang
- Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
- Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
a. Kaji reflek hisap bayi
( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
c. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
( R : mengetahui kecukupan intake )
d. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda
dehidrasi )
e. Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).

2. Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi


Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-
37 0 C.
Intervensi dan Rasional :
a. Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin )
b. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan
kompres dingin serta ekstra minum
( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
c. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari
hipertermi ).

3. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek


fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria :
tidak terjadi decubitus
Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
a. Kaji warna kulit tiap 8 jam
(R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
b. Ubah posisi setiap 2 jam
(R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu
lama ).
c. Masase daerah yang menonjol
(R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di
daerah tersebut ).
d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion
pelembab
( R : mencegah lecet )
e. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin
turun menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan
(R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku Attachment , orang tua
dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi :
a. Bawa bayi ke ibu untuk disusui
( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
b. Buka tutup mata saat disusui
(R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )
c. Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya
(R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ).
d. Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan
( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).
e. Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya
(R: mengurangi beban psikis orangtua)

5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.


Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua
menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan
kooperatif dalamperawatan.
Intervensi :
a. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
b. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan
perawatannya
( R : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
c. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
(R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam
erawat bayi)

6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi


Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi injury akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan
jaringan kornea )
Intervensi :
a. Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya
( R : mencegah iritasi yang berlebihan).
b. Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan
daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat
memantulkan cahaya usahakan agar penutup mata tidak menutupi
hidung dan bibir
(R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif )
c. Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya
konjungtivitis tiap 8 jam
(R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
d. Buka penutup mata setiap akan disusukan.
( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu
).
e. Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan
( R : memberi rasa aman pada bayi ).

7. Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan
tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
a. Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan
(R : menjamin keadekuatan akses vaskuler )
b. Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum
melakukan tindakan
( R : mencegah trauma pada vena umbilical ).
c. Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan
(R: mencegah aspirasi )
d. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah
prosedur
( R : mencegah hipotermi
e. Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang
akan ditranfusikan adalah darah segar
( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang
berlebihan 0
f. Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan
cairan dan elektrolit, kejang
selama dan sesudah tranfusi
(R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan
dapat melakukan tindakan lebih dini )
g. Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif
(R : dapat melakukan tindakan segera bila terjadi
kegawatan )

8. PK Kern Ikterus
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tanda-
tanda awal kern ikterus bisa dipantau
Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda awal Kern Ikterus ( mata berputar, letargi
, epistotonus, dll )
b. Kolaborasi dengan dokter bila ada tanda-tanda kern ikterus.

D. IMPLEMENTASI
Adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dan sebuah rencana yang sudah disusun
secara matang dan terperinci. Pada implementasi maka tindakan yang dilakukan
mengacu kepada intervensi yang dibuat untuk mengatasi masalah.
E. EVALUASI
a. Resiko tinggi cedera terhadap keterlibatan system saraf pusat tidak terjadi
b. Resiko tinggi cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi dapat dicegah
c. Resiko tinggi cedera terhadap komplikasi dari transfuse tukar tidak terjadi
d. Pengetahuan klien bertambah

DAFTAR PUSTAKA

Betz, & Linda. (2009). Buku Saku Keperawatan Pediatri edisi 5. Ahli bahasa, Eny Meiliya
Editor edisi bahasa Indonesia, Egi Komara Yudha. Jakarta : EGC

R Dwienda octa, & Liva maita, dkk. (2012). Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi/Balita dan
Anak Prasekolah untuk Bidan ed 1. Yogyakarta : ECG

Hidayat A Aziz Alimul. (2005). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Suryanah. (1996). Keperawatan Anak Untuk Siswa SPK. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai