HIPERBILIRUBIN / IKTERUS
2. Epidemologi
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu
pertama kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat
pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada
sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik
yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan
kematian.
3. Klasifikasi
a. Ikterik fisiologis
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan
ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati
kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi
“kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau
kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis
adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) Timbul pada hari kedua - ketiga.
2) Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg%
pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg%
perhari.
4) Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
5) Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
6) Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
7) Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau
hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut Menurut
(Surasmi, 2003) bila
a) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
b) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
c) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus <
bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
d) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
e) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36
minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan,
infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
b. Ikterus Patologis
Menurut Tarigan, (2003) adalah suatu keadaan dimana kadar
konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan
keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila
kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg%
pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
c. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada
otak terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus,
hipokampus, nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada
neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20
mg%) dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy
ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis
berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik
(Ngastiyah, 2012).
4. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena
keadaan sebagai berikut (Ngastiyah, 2012) :
a. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
b. Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.
c. Gangguan konjugasi bilirubin.
d. Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel
darah merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula
timbul karena adanya perdarahan tertutup.
e. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan,
misalnya Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
f. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah
seperti : infeksi toxoplasma. Siphilis.
g. Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor:
h. Produksi yang berlebihan
i. Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal
pada hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO,
golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.
j. Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi
protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin
ke sel hepar.
k. Gangguan transportasi
l. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
mudah melekat ke sel otak.
m. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi
empedu (atresia biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia,
hipotiroidjaundice ASI
5. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%)
terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari
senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks
haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah
merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai
cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang
tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk
diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan
melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat
(bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2008).
6. Manifestasi Klinis
Menurut Surasmi (2013) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan
menjadi :
a. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus
pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
b. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala
sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran,
paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis)
Sedangakan menurut Handoko (2013) gejalanya adalah warna kuning
(ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata
terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.
7. Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin
indirek pada otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak
jelas antara lain : bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar,
gerakan tidak menentu (involuntary movements), kejang tonus otot
meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin
lebih dari 14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl
merupakan keadaan yang tidak fisiologis.
b. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c. Protein serum total.
d. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
e. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan
hapatitis dan atresia billiari.
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan
diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau
hepatoma.
b. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstra hepatic
c. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang
sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra
hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis,
serosis hati, hepatoma
10. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :
a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat
ini kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar
bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh
proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin
(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau
(menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin).
Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia.
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar
bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin
tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan
dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral
dini.
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang
tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut
dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar
(Mansjoer et al, 2007).
Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs
direct positif (Hassan et al, 2005).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air
(IWL) tanpa disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu.
b. Resiko terjadi komplikasi; kernikterus b.d peningkatan kadar bilirubin.
c. Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat
pengobatan/terapi sinar.
d. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan komplikasi tranfusi tukar.
e. Resiko injuri pada mata dan genetalia berhubungan dengan foto terapi.
f. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi.
g. Resiko injuri berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin
sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan eksresi
bilirubin.
3. Rencana Keperawatan
a. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air
(IWL) tanpa disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu.
Tujuan : Memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi
Intervensi
1) Pertahankan intake : beri minum sesuai kebutuhan karena bayi
malas minum berikan berulang-ulang, jika tidak mau menghisap
dapat diberikan menggunakan sendok atau sonde.
2) Berikan terapi infus sesuai program bila indikasi : meningkatnya
temperatur, meningkatnya konsentrasi urin, dan cairan hilang
berlebihan.
3) Perhatikan frekuensi BAB, mungkin susu tidak cocok (jika bukan
ASI) .
4) Kaji adanya dehidrasi: membran mukosa, ubun-ubun, turgor kulit,
mata.
5) Monitor suhu tiap 2 jam.
Intervensi
1) Jika bayi sudah terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi
(sekitar jam 7– 8 selama 15 – 30 menit).
2) Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah 7 mg%
ulang keesokan harinya.
3) Berikan minum banyak.
4) Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg%/lebih segera
hubungi dokter, bayi perlu terapi.
c. Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat
pengobatan/terapi sinar
Tujuan : Untuk memenuhi kebutuhan psikologik, dengan memangku
bayi setiap memberikan minum dan mengajak berkomunikasi secara
verbal
Intervensi :
1) Mengusakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan
2) Memelihar kebersihan tempat tidur bayi dan lingkungannya
3) Mencegah terjadinya infeksi (memperhatikan cara bekerja aseptik)
Intervensi
1) Perhatikan kondisi tali pusat bayi sebelum tranfusi bila vena
umbilikal digunakan.
2) Pertahankan puasa selama 4 jam sebelum prosedur tindakan atau
aspirasi isi lambung.
3) Jamin ketersedian alat resusitatif
4) Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan sesudah prosedur
tindakan
5) Pastikan golongan darah serta faktor Rh bayi dan ibu
6) Pantau tekanan vena, nadi, warna, frekuensi pernafasan selama dan
setelah
7) Tranfusi
8) Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
9) Pantau tanda ketidakseimbangan elektrolit
10) Kolaborasi :
a) Pantau peneriksaan laboratorium sesuai indikasi ( kadar
bilirubin serum, protein total serum, kalsium dan kalium,
glukosa, kadar Ph serum
b) Berikan albumin sesuai indikasi
c) Kalsium
d) Glukonat 5 %
e) Natium bikarbonat
f) Protein sulfat
e. Resiko injuri pada mata dan genetalia berhubungan dengan foto terapi.
Tujuan : tidak terjadi kecelakaan pada mata selama terapi diberikan
Intervensi
1) Gunakan pelindung pada mata dan genetalia pada saat fototerapi.
2) Pastikan mata tertutup, hindari penekanan mata yang berlebihan
karena dapat menimbulkan jejas pada mata yang tertutup atau pada
kornea .
Intervensi :
1) Inspeksi kulit setiap 4 jam.
2) Gunakan sabun bayi.
3) Merubah posisi bayi dengan sering.
4) Gunakan pelindung daerah genetal.
5) Gunakan pengalas yang lembut.
g. Resiko injuri berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin
sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan eksresi
bilirubin.
Tujuan : bayi tidak mengalami kecelakaan selama perawatan
Intervensi
1) Cegah adanya injuri (internal).
2) Kaji hiperbilirubin tiap ( 1-4 jam) dan catat.
3) Berikan fototerapi sesuai program.
4) Monitor kadar bilirubin 4 – 8 jam sesuai program.
5) Antisipasi kebutuhan tranfusi tukar.
6) Monitor Hb da Hct.
DAFTAR PUSTAKA
Hassan, R.,. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir.
Jakarta : Percetakan Infomedika.
Sacher, Ronald, A., Richard A., McPherson. 2004. Tinjaun Klinis Hasil
Pemeriksaan Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia: Hartonto,
Huriawati. Jakarta: EGC
Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition.
Alih bahasa Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC
Sarwono, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu
Kesehatan Anak. Ikterus Neonatorum(Hyperbilirubinemia Neonatorum).
Surabaya: RSUD Dr.Soetomo.