Dosen Pembimbing:
Ns. Nanang Saprudin, S.Kep, M.Kep
Ns. Neneng Aria N, S.Kep, M.Kep
Oleh:
ENOK CUCU SUCIANI
JNR0200016
b. Fisiologi Hati
Vena porta hepatika mengalirkan darah keluar dari sistem venous usus
dengan membawa nutrien yang diserap di dalam saluran cerna ke hati. Hati
melaksanakan berbagai fungsi metabolik. Sebagai contoh, pada saat puasa hati akan
menghasilkan sebagian besar glukosa melalui glukoneogenesis serta glikogenolisis,
melakukan detoksifikasi, menyimpan glikogen dan memproduksi getah empedu
disamping berbagai protein serta lipid (Berkowitz, 2013).
Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:
1) Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen
dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,
glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil
perantara metabolisme karbohidrat.
2) Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain:
mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain,
membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk
lemak dari protein dan karbohidrat.
3) Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,
pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan
membentuk senyawa lain dari asam amino. d. Lain-lain Fungsi hati yang lain
diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat
menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan
untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau
mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.
3. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.
Penyebab yang sering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat
inkopatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat pula
timbul karna adanya perdarahan tertutup (hematoma cepal, perdarahan subaponeurotik)
atau inkompatibilitas golongan darah Rh. Infeksi juga memegang peranan penting dalam
terjadinya hiperbilirubinemia; keadaaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan
gastroenteritis. Faktor lain yaitu hipoksia atau asfiksia, dehidrasi dan asiosis,
hipoglikemia, danpolisitemia (Atikah & Jaya, 2016).
Nelson, (2011), secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain,
defisiensi enzim G-6-PD,piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase
(sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam
hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar.Kelainan
diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Etiologi ikterus yang sering ditemu-kan ialah: hiperbilirubinemia fisiologik,
inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk jaundice, infeksi, bayi
dari ibu penyandang diabetes melitus, dan polisitemia/hiperviskositas.
Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase,
sferositosis kongenital, sindrom Lucey-Driscoll, penyakit Crigler-Najjar, hipo-tiroid, dan
hemoglobinopati. (Mathindas, dkk , 2013)
4. Patofisiologi
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Karena sifat
hidrofobiknya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma, terikat erat pada
albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam hepatosit, terikat dengan
ligandin. Setelah diekskresikan ke dalam usus melalui empedu, bilirubin direduksi
menjadi tetrapirol tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Bilirubin tak terkonjugasi ini
dapat diserap kembali ke dalam sirkulasi, sehingga meningkatkan bilirubin plasma total
(Mathindas ,dkk, 2013).
Bilirubin mengalami peningkatan pada beberapa keadaan. Kondisi yang sering
ditemukan ialah meningkatnya beban berlebih pada sel hepar, yang mana sering
ditemukan bahwa sel hepar tersebut belum berfungsi sempurna. Hal ini dapat ditemukan
apabila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, pendeknya umur
eritrosit pada janin atau bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, dan atau
terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik (Atikah & Jaya, 2016).
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak.
Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan
dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus
gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri
pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek yang
kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi (Atikah &
Jaya, 2016).
Pathway
Bilirubin indirek
Hiperbilirubin
Evaporasi
2. Diagnosa Keperawatan
a. Analisa Data
No Data Fokus Etiologi Masalah
1 DO: Faktor penyebab (pembentukan Risiko jatuh
DS: bilirubin berlebih, gangguan
o KU lemah uptake, transportasi, dll), Faktor
o Kesadaran CM risiko (faktor maternal, faktor
o Terdapat cianosis perinatal, aktor neonatus)
o Klien tampak ↓
terpasang O2 Bilirubin indirek
o Tanda-tanda vital: ↓
S: 38,2 | R: 69xpm Hiperbiliruinemia
| N: 160xpm | ↓
SpOa: 90% Otak
↓
Perlekatan bilirubin indirek
↓
Kern ikterus
↓
Kejang
↓
Risiko jatuh
2 DO: Faktor penyebab (pembentukan Diare
DS: bilirubin berlebih, gangguan
o KU lemah uptake, transportasi, dll), Faktor
o Kesadaran CM risiko (faktor maternal, faktor
o Terdapat cianosis perinatal, aktor neonatus)
o BAB 5x konsistensi ↓
cair Bilirubin berlebih
o Klien tampak ↓
terpasang O2 Hiperbiliruinemia
o Tanda-tanda vital: ↓
S: 38,2 | R: 69xpm Pencernaan
| N: 160xpm | ↓
SpOa: 90% Pengeluaran cairan empedu ke
organ usus meningkat
↓
Peristaltik usus meningkat
↓
Diare
↓
Diare
3 DO: Faktor penyebab (pembentukan Defisit Nutrisi
DS: bilirubin berlebih, gangguan
o KU lemah uptake, transportasi, dll), Faktor
o Kesadaran CM risiko (faktor maternal, faktor
o Terdapat cianosis perinatal, aktor neonatus)
o Reflek hisap lemah ↓
o Klien tampak Bilirubin berlebih
terpasang O2 ↓
o Tanda-tanda vital: Hiperbiliruinemia
S: 38,2 | R: 69xpm ↓
| N: 160xpm | Pencernaan
SpOa: 90% ↓
Anoreksia daya hisap menurun
↓
Pemberian ASI terganggu
↓
Defisit Nutrisi
4 DO: Faktor penyebab (pembentukan Ikterus
DS: bilirubin berlebih, gangguan neonatus
o KU lemah uptake, transportasi, dll), Faktor
o Kesadaran CM risiko (faktor maternal, faktor
o Sklera ikterik perinatal, aktor neonatus)
o Mukosa ikterik ↓
o Terdapat cianosis Bilirubin berlebih
o Klien tampak ↓
terpasang O2 Hiperbiliruinemia
o Tanda-tanda vital: ↓
S: 38,2 | R: 69xpm Jaringan ekstravaskuler (kulit,
| N: 160xpm | konjungtiva, mukosa dan bagian
SpOa: 90% tubuh lain)
↓
Ikterus
↓
Ikterus neonatus
5 DO: Faktor penyebab (pembentukan Defisit volume
DS: bilirubin berlebih, gangguan cairan
o KU lemah uptake, transportasi, dll), Faktor
o Kesadaran CM risiko (faktor maternal, faktor
o Turgor kulit kering perinatal, aktor neonatus)
o Terdapat cianosis ↓
o Klien tampak Bilirubin berlebih
terpasang O2 ↓
o Tanda-tanda vital: Hiperbiliruinemia
S: 38,2 | R: 69xpm ↓
| N: 160xpm | Jaringan ekstravaskuler
SpOa: 90% ↓
Ikterus
↓
Pigmentasi
↓
Fototerapi
↓
Kelembapan kulit menurun
↓
Defisit volume cairan
6 DO: Faktor penyebab (pembentukan Risiko
DS: bilirubin berlebih, gangguan kerusakan
o KU lemah uptake, transportasi, dll), Faktor integritas kulit
o Kesadaran CM risiko (faktor maternal, faktor
o Kelembapan kulit perinatal, aktor neonatus)
menurun ↓
o Terdapat cianosis Bilirubin berlebih
o Klien tampak ↓
terpasang O2 Hiperbiliruinemia
o Tanda-tanda vital: ↓
S: 38,2 | R: 69xpm Jaringan ekstravaskuler
| N: 160xpm | ↓
SpOa: 90% Ikterus
↓
Pigmentasi
↓
Fototerapi
↓
Evaporasi
↓
Kelembapan kulit menurun
↓
Kulit
↓
CRT <, turgor kulit menurun
↓
Risiko kerusakan integritas kulit
7 DO: Faktor penyebab (pembentukan Hipertermia
DS: bilirubin berlebih, gangguan
o KU lemah uptake, transportasi, dll), Faktor
o Kesadaran CM risiko (faktor maternal, faktor
o Terdapat cianosis perinatal, aktor neonatus)
o Klien dilakukan ↓
fototerapi dalam Bilirubin berlebih
inkubator ↓
o Klien tampak Hiperbiliruinemia
terpasang O2 ↓
o Tanda-tanda vital: Jaringan ekstravaskuler
S: 38,2 | R: 69xpm ↓
| N: 160xpm | Ikterus
SpOa: 90% ↓
Pigmentasi
↓
Fototerapi
↓
Vasokontriksi pembuluh darah
↓
Suhu tubuh meningkat
↓
Hipertermia
Terapeutik Terapeutik
o Lakukan oral hygiene o Agar
sebelum makan, jika meningkatkan
perlu nafsu makan
o Fasilitasi menentukan o Agar kebutuhan
pedoman diet (mis. nutrisi klien
Piramida makanan) terpenuhi
o Sajikan makanan o Menambah
secara menarik dan nafsu makan
suhu yang sesuai klien
o Berikan makan tinggi o Mencegah
serat untuk mencegah konstifasi
konstipasi
o Berikan makanan o Kebutuhan
tinggi kalori dan tinggi nutrisi klien
protein tercukupi
dengan baik
o Berikan suplemen o Untuk
makanan, jika perlu menambah
nafsu makan
o Hentikan pemberian o Agar klien
makan melalui selang dapat makan
nasigastrik jika secara normal
asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi Edukasi
o Anjurkan posisi o Agar tidak
duduk, jika mampu tersedak
o Ajarkan diet yang o Untuk
diprogramkan pemenuhan
kebutuhan
nutrisi klien
Kolaborasi Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian o Untuk
medikasi sebelum meningkatkan
makan (mis. Pereda nafsu makan
nyeri, antiemetik), jika klien
perlu
o Kolaborasi dengan o Mengetahui
ahli gizi untuk asupan nutrisi
menentukan jumlah yang masuk
kalori dan jenis kedalam tubuh
nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu.
4 D.0130 Setelah tilakukan Manajemen Hipertermia
Hipertermia tindakan (I.15506)
keperawatan selama Observasi
Definisi: 3 x 24 jam o Identifkasi penyebab o Agar dapat
Suhu tubuh diharapkan: hipertermi (mis. mengetahui
meningkat diatas o L. 14134 Dehidrasi terpapar bagaimana
rentang normal Termoregulasi lingkungan panas hipertermi
tubuh Membaik, penggunaan terjadi
dengan kriteria incubator)
Penyebab hasil:kejang o Monitor suhu tubuh o Agar selalu
o Dehidrasi menurun, terpantau,
o Terpapar takikardi mencegah
lingkungan panas menurun. kejang
o Proses penyakit o Monitor kadar o Agar selalu
(mis. Infeksi, elektrolit terpantau
kanker) o Monitor haluaran o Agar
o Ketidaksesuaian urine mengetahui
pakaian dengan haluaran urin
tubuh
o Peningkatan laju
metabolisme Terapeutik Terapeutik:
o Respon trauma o Sediakan lingkungan o Mencegah
o Aktivitas yang dingin hipertermi
berlebihan berulang
o Penggunaan o Longgarkan atau o Melebarkan
incubator lepaskan pakaian pembuluh
darah
o Basahi dan kipasi o Mencegah
permukaan tubuh syok
o Berikan cairan oral o Mempertahank
an cairan
o Ganti linen setiap hari o Agar merasa
atau lebih sering jika nyaman
mengalami
hiperhidrosis
(keringat berlebih)
o Lakukan pendinginan o Menurunkan
eksternal (mis. panas
Selimut hipotermia
atau kompres dingin
pada dahi, leher,
dada,
abdomen,aksila)
o Hindari pemberian o Mencegah
antipiretik atau komplikasi
aspirin
Edukasi Edukasi:
o Anjurkan tirah baring o Agar banyak
istirahat
Kolaborasi Kolaborasi:
o Kolaborasi cairan dan o Mempertahank
elektrolit intravena, an asupan
jika perlu cairan
Terapeutik
o Pastikan roda tempat o Mencegah
tidur selalu terkunci pasien jatuh
o Pasang handrell o Mencegah
tempat tidur pasien jatuh
o Gunakan alat bantu o Mencegah
jalan jatuh
Edukasi
o Anjurkan o Mencegah
berkonsenterasi jatuh
untuk menjaga
keseimbangan tubuh
7 Risiko kerusakan Setelah dilakukan Perawatan Integritas
integritas tindakan Kulit (I.11353)
jaringan keperawatan selama Observasi Observasi:
3 x 24 jam o Identifikasi penyebab o Mengetahui
Definisi: diharapkan : gangguan integritas perubahan
Kerusakan kulit o Integritas kulit kulit (mis. Perubahan integritas kulit
(dermis dan/atau membaik dengan sirkulasi, perubahan
epidermis) atau kriteria hasil: status nutrisi,
jaringan (membran peneurunan
mukosa, kornea, kelembaban, suhu
fasia, otot, tendon, lingkungan ekstrem,
tulang, kartilago, penurunan mobilitas)
kapsul sendi Terapeutik Terapeutik:
dan/atau ligamen). o Ubah posisi setiap 2 o Mencegah
jam jika tirah baring dekubitus
Penyebab: o Bersihkan perineal o Mencegah
o Perubahan dengan air hangat, ruam
sirkulasi terutama selama
o Perubahan periode diare
status nutrisi o Gunakan produk o Menjaga
(kelebihan atau berbahan kelembaban
kekurangan) petrolium atau
o Kekurangan/kele minyak pada kulit
bihan volume kering
cairan o Hindari produk o Mencegah
o Penurunan berbahan dasar iritasi
mobilitas alkohol pada kulit
o Bahan kimia kering
iritatif Edukasi Edukasi:
o Suhu lingkungan o Anjurkan o Menjaga
yang ekstrem menggunakan kelembaban
o Faktor pelembab (mis. Lotin,
mekanis (mis. serum)
Penekanan o Anjurkan minum air o Mempertahank
pada tonjolan yang cukup an turgor kulit
tulang, gesekan) o Anjurkan o Menjaga
atau faktor meningkatkan keseimbangan
elektris asupan nutrisi o Menjaga
(elektrodiatermi, o Anjurkan meningkat keseimbangan
energi listrik asupan buah dan cairan dan
bertegangan
tinggi) saur nutrisi tubuh
o Efek samping
terapi radiasi
o Kelembaban
o Proses penuaan
o Neuropati perifer
o Perubahan
pigmentasi
o Perubahan
hormonal
o Kurang terpapar
informasi
tentang upaya
memperthankan/
melindungi
integritas
jaringan
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan
pada nursing order untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
Ada 3 tahap implementasi :
a. Fase Orientasi
Fase orientasi terapeutik dimulai dari perkenalan klien pertama kalinya
bertemu dengan perawat untuk melakukan validasi data diri.
b. Fase Kerja
Fase kerja merupakan inti dari fase komunikasi terapeutik, dimana perawat
mampu memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan, maka dari itu perawat
diharapakan mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam tentang klien dan
masalah kesehatanya.
c. Fase Terminasi
Pada fase terminasi adalah fase yang terakhir, dimana perawat meninggalkan
pesan yang dapat diterima oleh klien dengan tujuan, ketika dievaluasi nantinya klien
sudah mampu mengikuti saran perawat yang diberikan, maka dikatakan berhasil
dengan baik komunikasi terapeutik perawat-klien apabila ada umpan balik dari
seorang klien yang telah diberikan tindakan atau asuhan keperawatan yang sudah
direncanakan.
Atikah,M,V & Jaya,P. 2015. Buku Ajar Kebidanan Pada Neonatus, Bayi, danBalita. Jakarta.
CV.Trans Info Media
Aviv,J. 2015. Researchers Submit Patent Application."Bilirubin Hematofluorometer and
Reagent Kit” . Perpustakaan Nasional RI. DiaksesPada 10 Januari 2017
Dinkes Kota Padang. 2015. Profil Kesehatan Kota padang 2014. SumateraBarat.
Kementrian kesehatan RI
Gusni, S,R. 2016. Perbedaan Kejadian Ikterus Neonatorum Antara Bayi
Prematur Dan Bayi Cukup Bulan Pada Bayi Dengan BBLR Di RSPK
Muhammadiyah Surakarta. Naskah Publikasi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Herdman. 2015. Diagnosis Keperawatan Defenisi & Klasifikasi Edisi 10.
Jakarta. ECG
Hidayat, A,A . 2009. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta. SalembaMedika
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas) 2013.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Kristanti ,H,M. Etika,R. Lestari,P . 2015. Hyperbilirubinemia Treatment OfNeonatus. Folia
Medica Indonesian Vol. 51
Lynn, B, C & Sowden, L,A . 2009. Keperawatan Pediatri. Jakarta. EGC Mathindas, S. Wiliar,R.
Wahani,A . 2013. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Jurnal Biomedik, Volume
5, Nomor 1, Suplemen
Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M, L. Swanson, E. 2016. Nursing interventionsclasification
(NIC). United Kingdom. Mocomedia
Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M, L. Swanson, E. 2016. Nursing outcomesclasification
(NOC). United Kingdom. Mocomedia
Nelson. Waldo E. dkk. 2011. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta.
EGCSurasmi, A. Handayani, S. Kusuma, H, N. 2003. Perawatan bayi risiko tinggi.
Jakarta . EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Widagdo. 2012. Tatalaksana Masalah Penyakit Anak Dengan Ikterus. Jakarta. Sagung Seto
Wong, D, L. Eaton, M, H. Wilson, D. Winkelstein, M, L. Schwartz. 2009. Bukuajar keperawatan
pediatrik. Jakarta. EGC.