Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

“HIPERBILIRUBINEMIA”

Di Susun Oleh:
SILVIANA
(2214901021)

Preceptor Klinik
Preceptor Akademik

( ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
TAHUN 2022
A. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah kondisi di mana terjadi akumulasi bilirubin
dalam darah, misalnya akibat hepatitis A, anemia hemolitik, kanker pankreas,
ataupun ikterus neonatorum. Hiperbilirubinemia dapat terjadi karena produksi
bilirubin yang berlebih, gangguan fungsi hepar, atau ekskresi bilirubin yang
terganggu (Adrian, 2021). Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar
bilirubin darah lebih dari 3 mg/dL. Hiperbilirubinemia secara klinis dapat
diamati pada jaringan seperti sklera, mukosa, dan kulit, karena bilirubin
mengalami penumpukan pada jaringan-jaringan tersebut (Adrian, 2021).
Hiperbilirubinemia yang terjadi pada bayi baru lahir umumnya adalah
fisiologis, kecuali: timbul dalam 24 jam pertama kehidupan, bilirubin indirek
untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL,
peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam, kadar bilirubin direk > 2 mg/dL,
hiperbilirubinemia menetap pada umur >2 minggu dan terdapat faktor risiko
(Wahyuni, 2022).
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam
darah, baik oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis
ditandai dengan ikterus (Ihksan, 2017).

B. Anatomi dan Fisiologi


Hati merupakan organ terbesar dari system pencernan yang ada dalam
tubuh manusia. Berwarna coklat, sangat vaskules lunak. Beratnya sekitar 1300-
1550 gram. Di dalam hati terdiri dari lobulus-lobulus yang banyak sekitar
50.000-100.000 buah. Lobulus yang terbentuk segienam, setiap lobulus terdiri
dari jajaran sel hati (hematosist) seperti jari-jari roda melingkari suatu vena
sentralis diantara sel hati terdapat sinusinoid yang pada dindingnya terdapat
makrofag yang disebut sel kuffer yang dapat memfagosit sel-sel darah yang
rusak dan bakteri. Hematosit menyerap nutrient, oksigen dan zat racun dari
darah sinusinoid. Didalam hematosit zat racun akan didetoksifikasi. Diantara
hematosist terdapat saluran empedu (kanalikuli empedu) untuk menyerap
bahan pembentuk cairan empedu. Kanalikuli-kanalikuli akan bergabung
menjadi duktus hepatikus, yang bercabang menjadi dua, satu menuju kandung

1
empedu yang disebut duktus sitius, yang kedua duktus koleodokus akan
bergabung dengan duktus wisrung dari pankreas menuju duodenum.
Bagian-bagian Hati

Menurut Qorry, 2017, bagian sel-sel dari organ hati yang memiliki
peranan besar dalam menunjang fungsi dan kinerja hati yang sangat penting
bagi kesehatan tubuh, diantaranya:
1. Lobus hati
Lobus hati terbentuk dari sel parenkim dan sel non parenkim. Sel parenkim
pada hati disebut heptosit. Sel parenkim ini memiliki sekitar 80% volume
hati yang memiliki fungsi dari kinerja utama organ hati. Selain lobus hati
juga terdapat lobus sinusoidal yang memiliki 40% sel hati.
2. Hepatosis
Hepatosis merupakan bagian dari sel endodermal merupakan stimulasi dari
jaringan mesenkimal yang secara terus-menerus saat embrio sedang
berkembang yang kemudian menjadi sel parenkimal. Selama masa
perkembangan tersebut, akan terjadi peningkatan pada transkripsi mRNA
albumin yang berfungsi untuk stimulan proliferasi dan diferensiasi sel
endodermal yang menjadi hepatosit.

2
3. Lumen lobus
Lumen lobus yang terbentuk dari SEC yang memiliki 3 jenis sel lainnya,
seperti sel kupffer, sel ito, linfosit intrahepatic seperti sel pit. Sel non-
parenkimal yang memiliki volume hati sekitar 6,5% yang memproduksi
berbagai jenis substansi yang mengatur dan mengontrol dari berbagai
macam fungsi dan kerja dari Hepatosit.

4. Filtrasi
Filtrasi yang merupakan salah satu fungsi dari lumen lobus sinusoidal yang
memisahkan antara permukaan hepatosit dari darah, SEC yang memiliki
muatan endosisitas yang sangat besar dengan berbagai ligan seperti
glikoprotein, kompleks imun, transferrin dan seruroplasmin.
5. Sel ito
Sel ito yang berada pada jaringan perisinusoidal, yang merupakan sel
dengan banyak vesikel lemak di dalam sitoplasma yang mengikat SEC
sangat kuat hingga memberikan lapisan ganda pada lumen lobus
sinusoidal. Saat hati berada pada kondisi normal, sel ito menyimpan
vitamin A guna mengendalikan kelenturan matriks ekstraseluler yang
dibetuk dengan SEC, yang juga merupakan kelenturan dari lumen
sinusoid.
6. Sel kupffer
Sel kupffer yang berada pada jaringan intrasunisoidal, yang merupakan
makrofag dengan kemampuan endositik dan fagositik yang
mencengangakan. Sel kupffer sehari-hari berinterkasi dengan material

3
yang berasal saluran pencernaan yang mengandung larutan bacterial, dan
mencegah aktivasi efek toksin senyawa tersebut kedalam hati. Paparan
larutan bacterial yang tinggi, terutama paparan LPS, membuat sel kupffer
melakukan sekresi berbagai sitokinin yang memicu proses peradangan
(Wahyuningsih and Kusmiyati, 2017).

C. Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis sering dijumpai pada bayi dengan berat lahir rendah, dan
biasanya akan timbul pada hari kedua lalu menghilang setelah minggu
kedua. Ikterus fisiologis muncul pada hari kedua dan ketiga. Bayi aterm
yang mengalami hiperbilirubin memiliki kadar bilirubin yang tidak lebih
dari 12 mg/dl, pada BBLR 10 mg/dl, dan dapat hilang pada hari ke-14.
Penyebabnya ialah karna bayi kekurangan protein Y, dan enzim glukoronil
transferase.
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis merupakan ikterus yang timnbul segera dalam 24 jam
pertama, dan terus bertamha 5mg/dl setiap harinya, kadal bilirubin untuk
bayi matur diatas 10 mg/dl, dan 15 mg/dl pada bayi prematur, kemudian
menetap selama seminggu kelahiran. Ikterus patologis sangat butuh
penanganan dan perawatan khusus, hal ini disebabkan karna ikterus
patologis sangat berhubungan dengan penyakit sepsis. Tanda-tandanya
ialah :
a. Ikterus muncul dalam 24jam pertama dan kadal melebihi 12mg/dl.
b. Terjadi peningkatan kadar bilirubin sebanyak 5 mg/dl dalam 24jam.
c. Ikterus yang disertai dengan hemolisis.
d. Ikterus akan menetap setelah bayi berumur 10 hari pada bayi aterm ,
dan 14 hari pada bayi BBLR (Ihksan, 2017).
Luasnya ikterus pada neonatus menurut daerah yang terkena dan kadar
bilirubinnya dapat dilihat pada tabel berikut :

4
D. Etiologi
Etiologi hiperbilirubinemia dibagi menjadi hiperbilirubinemia intrahepatik
dan ekstrahepatik. Hiperbilirubinemia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi dan tidak terkonjugasi.
1. Hiperbilirubinemia intrahepatik
Hiperbilirubinemia ini terutama disebabkan gangguan pada hepatosit,
seperti infeksi, drug-induced liver injury, sirosis hepatis, karsinoma
hepatoseluler. Hiperbilirubinemia terisolasi (hiperbilirubinemia tanpa
kelainan fungsi hati lain) disebabkan oleh kelainan herediter, yaitu
sindroma Gilbert, sindroma Crigler-Najjar tipe 1 dan tipe 2,
sindroma Dubin-Johnson, dan sindroma Rotor. Kolestasis intrahepatik
juga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia.
2. Hiperbilirubinemia ekstrahepatik
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh koledokolitiasis, kanker
pankreas, striktur traktus biliaris, kolangiokarsinoma, kolangitis autoimun,
atau infeksi seperti tuberkulosis dan askariasis (Adrian, 2021).

E. Patofisiologi
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir
dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Karena
sifat hidrofobiknya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma, terikat
erat pada albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam hepatosit,
terikat dengan ligandin. Setelah diekskresikan ke dalam usus melalui empedu,
bilirubin direduksi menjadi tetrapirol tak berwarna oleh mikroba di usus besar.

5
Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diserap kembali ke dalam sirkulasi,
sehingga meningkatkan bilirubin plasma total (Ihksan, 2017).
Bilirubin mengalami peningkatan pada beberapa keadaan. Kondisi yang
sering ditemukan ialah meningkatnya beban berlebih pada sel hepar, yang
mana sering ditemukan bahwa sel hepar tersebut belum berfungsi sempurna.
Hal ini dapat ditemukan apabila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, pendeknya umur eritrosit pada janin atau bayi, meningkatnya
bilirubin dari sumber lain, dan atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
enterohepatik. Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang
telah rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar
dengan cara berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi)
kemudian diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus
yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah, sehingga
pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek yang
kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi
(Ihksan, 2017).

6
F. Pathway

Ikterus Neonatus

Gangguan Integritas
Kulit/Jaringan

Sumber : (Harismi, 2019).

7
G. Manifestasi Klinis
Gejala bilirubin yang tinggi pada bayi baru lahir berbeda-beda, namun
pada umumnya bayi menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Kulit dan bagian putih mata bayi (sklera) berubah menjadi kuning. Warna
pigmen kuning ini biasanya terjadi pada area wajah terlebih dahulu
kemudian turun ke badan dan seluruh tubuh bayi
2. Menolak menyusu
3. Lemas (Harismi, 2019).

H. Komplikasi
Prognosis hiperbilirubinemia tergantung pada penyakit yang mendasari
terjadinya hiperbilirubinemia. Timbulnya komplikasi akan memperburuk
prognosis. Hiperbilirubinemia dapat menyebabkan komplikasi bilirubin
induced neurologic damage (BIND), terutama pada neonatus dan
sindrom Crigler-Najjar tipe 1. Hiperbilirubinemia juga dapat menyebabkan
terbentuknya batu empedu bila terjadi supersaturasi dengan garam kalsium atau
kolesterol (Adrian, 2021).

I. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia (indirek dan direk)
pada neonatus diperlukan pemeriksaan penunjang: darah tepi, gol darah, Rh,
coombs tes direk indirek, bil total dan direk, enzim G6PD, kultur darah,
TORCH, USG abdomen.
Dalam menegakan diagnosis hiperbilirubinemia pada neonatus harus
ditentukan apakah patologis/fisiologis. Hiperbilirubinemia patologis adalah:
1. Kuning terjadi sebelum/dalam 24 jam pertama
2. Setiap peningkatan bilirubin serum memerlukan foto terapi.
3. Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam.
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi
(muntah,letargi, malas menetek, BB turun cepat, apnea, tahipnea, suhu
labil).
5. Terdapat faktor resiko.
6. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada BCB, setelah 14 hari BKB.

8
7. Bilirubin direk >2mg/dL. Diluar kriteria tersebut di atas adalah batasan
fisiologis (Ihksan, 2017).

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia bertujuan untuk menurunkan kadar
bilirubin dalam darah dan tata laksana penyakit yang mendasari.Contohnya
adalah fototerapi pada ikterus neonatorum, operasi untuk obstruksi, dan
antivirus pada kasus yang disebabkan virus. Tujuan tata laksana lainnya adalah
perbaikan status nutrisi, keluhan subjektif, kualitas hidup, dan mencegah atau
mengobati komplikasi terkait sirosis (Adrian, 2021).
1. Farmakologi
a. Fototerapi
Saat bayi mengalami hiperbilirubin, tidak jarang dokter langsung
merekomendasikan fototerapi atau dikenal dengan terapi sinar. Padahal,
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengingatkan bahwa tidak semua
bayi dengan hiperbilirubin harus menjalani perawatan ini. Pemberian
fototerapi baru direkomendasikan dalam kondisi berikut:
1) Pada bayi berusia 25-48 jam, total serum bilirubin mencapai 15 mg/dL
atau lebih.
2) Pada bayi berusia 49-72 jam, total serum bilirubin mencapai 18 mg/dL
atau lebih.
3) Pada bayi berusia lebih dari 72 jam, total serum bilirubin mencapai 20
mg/dL atau lebih.
Hiperbilirubin bayi tinggi atau dianggap berbahaya (patologis)
jika mencapai 17 mg/dL di hari pertama kelahirannya. Bayi yang
mengalami kenaikan bilirubin lebih dari 5 mg/dL dalam kurun kurang
dari 24 jam juga harus mendapat penanganan segera, begitu pula bayi
yang memperlihatkan tanda-tanda hiperbilirubin serius.
b. Transfusi tukar
Apabila fototerapi kurang efektif untuk mengatasi kadar bilirubin
yang tinggi, dokter akan menyarankan transfusi tukar. Prosedur ini
dapat meningkatkan jumlah sel darah bayi sekaligus mengurangi kadar
bilirubin bayi. (Harismi, 2019).

9
2. Non Farmakologi
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara alami :
a. Bilirubin Indirek
Penatalaksanaanya dengan metode penjemuran dengan sinar ultraviolet
ringan yaitu dari jam 7.oo – 9.oo pagi. Karena bilirubin fisioplogis jenis
ini tidak larut dalam air.
b. Bilirubin Direk
Penatalaksanaannya yaitu dengan pemberian intake ASI yang adekuat.
Hal ini disarankan karna bilirubin direk dapat larut dalam air, dan akan
dikeluarkan melalui sistem pencernaan.
a)

10
ASKEP TEORITIS
I. PENGKAJIAN
a. Identitas Pasien

Terdiri dari nama, nomor rekam medis, agama, jenis kelamin (pria lebih
beresiko daripada wanita), pekerjaan, status perkawinan, alamat, tanggal
masuk, pihak yang mengirim, cara masuk RS, diagnosa medis, dan
identitas penanggung jawab meliputi : Nama, umur, hubungan denga
pasien, pekerjaan dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh pasien
sebelum masuk ke Rumah sakit. Biasanya keluhan utama klien
dengan hiperbilirubinemia seperti bayi terlihat kuning dikulit dan
sklera, letargi, malas menyusu, tampak lemah, dan BAB berwarna
pucat.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Menjelaskan riwayat penyakit yang dialami biasanya keadaan umum
bayi lemah, sklera tampak kuning, letargi, refleks hisap kurang, pada
kondisi bilirubin indirek yang sudah .20mg/dl dan sudah sampai ke
jaringan serebral maka bayi akan mengalami kejang dan peningkatan
tekanan intrakranial yang ditandai dengan tangisan melengking.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Antenatal care yang kurang baik, kelahiran prematur yang dapat
menyebabkan maturitas pada organ dan salah satunya hepar, neonatus
dengan berat badan lahir rendah, hipoksia dan asidosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubin, neonatus dengan APGAR score
rendah juga memungkinkan terjadinya hipoksia serta asidosis yang
akan menghambat konjugasi bilirubin
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya penyakit serupa atau penyakit lain yang diderita
oleh keluarga. Biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat
gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau

11
golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme
hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM. Mungkin
praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi dengan letardasio
pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia gestasi (LGA)
seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi pria
daripada bayi wanita.

c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum dan tanda-tanda vital
a) Keadaan umum pasien lemah, letih.
b) Tingkat kesadaran pasien menurun
c) TTV : RR meningkat, TD meningkat, Nadi menurun, Suhu
tubuh meningkat
2) Kepala
a) Rambut : biasanya pasien berambut tipis
b) Mata :
I : Konjungtiva anemis, Skelera ikterik, pupil isokor
P : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.
c) Hidung :
I : Tampak simetris
P : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

d) Mulut & Bibir :


I : Membrane mukosa dan bibir kering
e) Telinga
I : Simetris, tidak ada serumen, tidak ada alat bantu
pendengaran.
P : tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.
f) Leher :
I : Warna kulit merata dan menguning, tidak ada lesi
: Tidak ada pembesaran Tyroid, ada nyeri tekan, arteri carotis
P teraba jelas
g) Dada/Thorak

12
I : Bentuk thorax normal, simetris kiri dan kanan
P : Vocal fremitus teraba sama kiri dan kanan
P : Sonor
A : wheezing
Kardiovaskular

h
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis teraba di sela iga V, linea medioclavicularis kiri.
P : Batas Jantung
A : Bunyi jantung I&II normal (Lup Dup), tidak ada suara
tambahan
i. Perut/Abdomen
I : Perut membucit, muntah, kadang mencret yang disebabkan oleh
gangguan metabolisme bilirubin enterohepatik.
P : biasanya ada nyeri tekan
P : Tympani

A : biasanya bising usus normal, antara 5-35 kali/menit


j) Genitourinaria
Biasanya terjadi perubahan BAB dan BAK
k) Ekstremitas
Biasanya didapatkan kelemahan
l ) Kulit
Kulit bewarna kuning

II. Diagnosa Keperawatan (SDKI)


1) Hipertermi b/d Proses penyakit /d Suhu tubuh meningkat
2) Gangguan Integritas Kulit/Jaringan b/d efeksamping terapi radiasi d/d kulit
kemerahan
3) Ikterus Neonatus b/d usia kurang dari tujuh hari d/d sklera ikterik &kulit
menguning
4) Risiko Hivopolemia b/d Kekurangan intake cairan d/d mukosa bibir kering

13
5) Risiko Infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder (respon
inflamasi)

14
C. Intervensi
NO Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI

.
1 Hipertermi b/d Proses Termoregulasi Manajemen Hipertermia
penyakit /d Suhu tubuh Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x8 jam Observasi:
meningkat  Identifikasi penyebab hipertermia (mis. dehidrasi,
diharapkan suhu tubuh tetap berada pada rentang terpapar lingkungan panas, penggunaan inkubator)
 Monitor suhu tubuh
normal
 Monitor kadar elektrolit
Kriteria Hasil:  Monitor haluaran urine
 Monitor komplikasi akibat hipertermia
1) Menggigil
Terapeutik:
2) Suhu tubuh
 Sediakan lingkungan yang dingin
3) Suhu kulit
 Longgarkan atau lepaskan pakaian
 Basahi dan kipasi permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Hindari pemberian antipiretik atau asprin
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena,
jika perlu

2 Risiko Hipovolemia b/d Status Cairan Manajemen Hipovolemia


Kekurangan intake Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam Observasi:
cairan d/d mukosa bibir diharapkan status cairan membaik  Periksa tanda dan gejala hypovolemia (mis. frekuensi
kering Kriteria Hasil: nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah
a. Kekuatan nadi menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit
b. Turgor kulit menurun, membran mukosa, kering, volume urin
c. Output urine menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah)
d. Edema perifer  Monitor intake dan output cairan

13
e. Tekanan darah Terapeutik
f. Frekuensi nadi  Hitung kebutuhan cairan
g. Membrane mukosa  Berikan posisi modified trendelenburg
h. Kadar Hb  Berikan asupan cairan oral
i. Kadar Ht Edukasi
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan IV isotons (mis. Nacl, RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. glukosa
2,5%, Nacl 0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. albumin,
plasmanate)
Kolaborasi pemberian produk darah

3 Risiko Infeksi b/d Tingkat Infeksi Pencegahan infeksi


ketidakadekuatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 Observasi:
pertahanan tubuh jam glukosa derajat infeksi menurun.  Monitor tanda gejala infeksi lokal dan sistemik
Kriteria Hasil: Terapeutik
sekunder (respon
a. Demam
inflamasi)  Batasi jumlah pengunjung
b. Kemerahan
 Berikan perawatan kulit pada daerah edema
c. Nyeri
d. Bengkak  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
e. Kadar sel darah putih dan lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara memeriksa luka
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi

14
Kolaborasi pemberian imunisasi, Jika perlu

15
DAFTAR PUSTAKA

Adrian, S. J. (2021) Hiperbilirubinemia, https://www.alomedika.com/. Available


at:
https://www.alomedika.com/penyakit/gastroentero-hepatologi/hiperbilirub
inemia. Diakses 22 November 2022

Harismi, A. (2019) Hiperbilirubinemia pada Bayi: Penyebab, Ciri-Ciri, dan


Pengobatannya, https://www.sehatq.com/. Available at:
https://www.sehatq.com/artikel/hiperbilirubin-penyebab-bayi-baru-lahir-
kuning. Diakses 22 November 2022

Ihksan, Z. (2017) Asuhan Keperawatan Pada Neonatus Dengan


Hiperbilirubinemia Di Ruang Perinatologi Irna Kebidanan Dan Anak
Rsup Dr. M. Djamil Padang. Poltekes Kemenkes Padang.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
Definisi Dan Indikator Diagostik Edisi I. Jakarta. Dewan Pengurus Pusat
PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi Dan Indikator Diagostik Edisi I. Jakarta. Dewan Pengurus Pusat
PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi Dan Indikator Diagostik Edisi I. Jakarta. Dewan Pengurus Pusat
PPNI

Wahyuni, N. S. (2022) Kenalan Yuk Dengan Hiperbilirubinemia Neonatus,


https://yankes.kemkes.go.id/. Available at:
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/593/kenalan-yuk-dengan-
hiperbilirubinemia-neonatus-kuning-bayi-baru-lahir.

Wahyuningsih, H. P. and Kusmiyati, Y. (2017) Anatomi Fisiologi. Jakarta


Selatan: Pusdik SDM Kesehatah.

17
18

Anda mungkin juga menyukai