Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI DENGAN

DIAGNOSA MEDIS HYPERBILIRUBINEMIA

Carla Kania Norman

214121126

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU TEKNOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI

2021
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI DENGAN
DIAGNOSA MEDIS HYPERBILIRUBINEMIA

A. Konsep Dasar Hyperbilirubinemia


1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana meningkatnya kadar
bilirubin dalam darah secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan
perubahan pada bayi baru lahir yaitu warna kuning pada mata dan kulit,
atau biasa disebut dengan jaundice. Hiperbilirubinemia merupakan
peningkatan kadar bilirubin serum yang disebabkan oleh salah satunya
yaitu kelainan bawaan sehingga menyebabkan ikterus (Imron, 2015).
Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah penyakit yang
disebabkan karena tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga
menyebabkan bayi baru lahir berwarna kuning pada kulit dan pada
bagian putih mata (Mendri dan Prayogi, 2017).
Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning
yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui
proses reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi di sistem retikulo endothelial
(Kosim, 2012). Bilirubin diproduksi oleh kerusakan normal sel darah
merah. Bilirubin dibentuk oleh hati kemudian dilepaskan ke dalam usus
sebagai empedu atau cairan yang befungsi untuk membantu pencernaan
(Mendri dan Prayogi, 2017).
2. Etiologi
Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin
karena tingginya jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah
mengalami pemecahan sel yang lebih cepat. Selain itu,
hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan karena penurunan uptake
dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi
enterohepatik (IDAI, 2013).
Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir
disebabkan oleh disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati
pada bayi tidak dapat berfungsi maksimal dalam melarutkan bilirubin ke
dalam air yang selanjutkan disalurkan ke empedu dan diekskresikan ke
dalam usus menjadi urobilinogen. Hal tersebut menyebabkan kadar
bilirubin meningkat dalam plasma sehingga terjadi ikterus pada bayi baru
lahir (Anggraini, 2016).
Menurut Nelson (2011) secara garis besar etiologi ikterus atau
hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi menjadi :
a. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan
neonatus untuk mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan
darah lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvat kinase, perdarahan
tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini
dapat disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar).
Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada
albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan
albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat
obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar
biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain
3. Manifestasi klinis
Bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila bayi
baru lahir tersebut tampak berwarna kuning dengan kadar serum bilirubin
5mg/dL atau lebih (Mansjoer, 2013). Hiperbilirubinemia merupakan
penimbunan bilirubin indirek pada kulit sehingga menimbulkan warna
kuning atau jingga. Pada hiperbilirubinemia direk bisanya dapat
menimbulkan warna kuning kehijauan atau kuning kotor (Ngatisyah,
2012).
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan ikterus
pada sklera, kuku, atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang
muncul pada 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi. Jaundice
yang tampak pada hari kedua atau hari ketiga, dan mencapai puncak pada
hari ketiga sampai hari keempat dan menurun pada hari kelima sampai
hari ketujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis (Suriadi dan
Yuliani 2010).
Ikterus diakibatkan oleh pengendapan bilirubin indirek pada kulit
yang cenderung tampak kuning terang atau orange. Pada ikterus tipe
obstruksi (bilirubin direk) akan menyebabkan kulit pada bayi baru lahir
tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat
dilihat pada ikterus yang berat. Selain itu manifestasi klinis pada bayi
baru lahir dengan hiperbilirubinemia atau ikterus yaitu muntah, anoreksia,
fatigue, warna urine gelap, serta warna tinja pucat (Suriadi dan Yuliani
2010).
Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami
hiperbilirubinemia apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut :
a. Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat
penumpukan bilirubin.
b. Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
c. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
d. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan
dan 12,5 mg/dL pada neonatus kurang bulan.
e. Ikterik yang disertai proses hemolisis.
f. Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa
gestasi kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan
pernafasan, infeksi trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia
4. Klasifikasi Hiperbilirubinemia
a. Hiperbilirubinemia Fisiologis
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada
hari ke-7. Penyebabnya organ hati yang belum matang dalam
memproses bilirubin.
b. Hiperbilirubinemia Patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu
badan yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.
c. Kern ikterus
Suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada
otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus  Subtalamus,
Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
5. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang
telah rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke
hepar dengan cara berikatan dengan albumin. Bilirubin direk
(terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus gastrointestinal.
Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri
pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi
bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga
bilirubin terus bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin.
Neonatus mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap
bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan
molar yang kurang. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat
memasuki susunan syaraf pusat dan bersifat toksik (Kosim, 2012).
Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu yang terbentuk dari
pemecahan hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin, reduktase,
dan agen pereduksi non enzimatik dalam sistem retikuloendotelial.
Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh
protein intraseluler “Y protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada
aliran darah hepatik dan adanya ikatan protein. Bilirubin tak terkonjugasi
dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin
disfoglukuronat (uridine disphoglucuronid acid) glukurinil transferase
menjadi bilirubin mono dan diglucuronida yang polar, larut dalam air
(bereaksi direk). Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat
dieliminasi melaui ginjal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam
empedu melaui membran kanalikular. Kemudian ke sistem
gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri menjadi urobilinogen
dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali menjadi
sirkulasi enterohepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin
yang melebihi kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang
telah diekskresikan dalam jumlah normal. Selain itu, hiperbilirubinemia
juga dapat disebabkan oleh obstruksi saluran ekskresi hati. Apabila
konsentrasi bilirubin mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka bilirubin akan
tertimbun di dalam darah. Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke dalam
jaringan yang kemudian akan menyebabkan kuning atau ikterus (Khusna,
2013).
Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin
yang larut lemak, tak terkonjugasi, non polar (bereaksi indirek). Pada bayi
dengan hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi
atau tidak aktifnya glukoronil transferase. Rendahnya pengambilan dalam
hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan
penurunan darah hepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).
Berikut ini adalah tabel hubungan kadar bilirubin dengan daerah
ikterus menurut Kramer (Mansjoer, 2013) :

Derajat Kadar Bilirubin (mg/dL)


Luas Daerah Ikterus
Ikterus Preterm Aterm
I Kepala dan leher 4–8 4–8
II Dada sampai pusat 5 – 12 5 – 12

III Bagian bawah pusat sampai


lutut 7 – 15 8 – 16
Lutut sampai pergelangan kaki
IV dan bahu sampai pergelangan 9 – 18 11 – 18
tangan
Kaki dan tangan termasuk
telapak kaki dan telapak
V > 10 > 15
Tangan

6. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan golongan darah ibu golongan darah bayi pada saat
kelahiran
b. Pemeriksaan laboratorium : kadar bilirubin, darah rutin, kadar enzim
G6PD
c. Bilirubinometer transkutan
7. Penatalaksanaan
Penelitian (Qamariah et al., 2018) menyebutkan bahwa
memberikan terapi pijat pada bayi setiap hari waktu pagi dan sore hari,
terutama pada bayi dengan hiperbilirubinemi yang menerima fototerapi
dengan tujuan untuk meningkatkan metabolisme pada bayi dan membantu
tumbuh kembang anak menjadi optimal. Kesimpulannya didapatkan
bahwa kelompok yang diberikan pemijatan memiliki kadar bilirubin yang
lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan kelompok yang hanya
diberikan breastfeeding atau susu formula.
Menurut Suriadi & Yuliani (2010) penatalaksanaan terapeutik pada
bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia yaitu :
a. Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada
bayi baru lahir disebabkan oleh infeksi.
b. Fototerapi
Tindakan fototerapi dapat dilakukan apabila telah ditegakkan
hiperbiliribunemia pada bayi baru lahir bersifat patologis. Fototerapi
berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melaui tinja dan
urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin.
c. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengekskresikan bilirubin dalam hati dan
memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil
transferase yang dapat meningkatkan bilirubin konjugasi dan
clearance hepatik pada pigmen dalam empedu, sintesis protein
dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin. Akan
tetapi fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan untuk mengatsi
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
d. Transfusi tukar
Transfusi tukar dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi
baru lahir sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi.
Adapun menurut (Heriyanti et al, 2020) terdapat 3 tatalaksana pada
penderita hiperbilirubinemia yaitu :
a. Stimulus touch
Stimulus touch dengan tehnik petrissage yaitu sentuhan lembut dan
ringan, dan vibrasi (getaran) lembut menjadi pilihan yang tepat,
karena usapan yang panjang dan lembut dapat memberikan
kesenangan serta kenyamanan bagi bayi dan usapan yang pendek dan
sirkuler cenderung lebih bersifat menstimulasi dengan durasi sentuhan
3-5 menit.
b. Feeding management
Feeding management hiperbilirubinemia pada neonatus yang
mendapatkan terapi cahaya. Salah satu tatalaksana hiperbilirubinemia
menurut panduan WHO yaitu pemberian ASI sedini mungkin.
Kebutuhan cairan akan meningkat (growth spurt) seiring dengan efek
dari paparan sinar terapi cahaya, pemberian volume cairan akan
ditambah dengan cara perah payudara (power pumping), asupan
makan yang cukup (ASI) dapat memicu geraka pristaltik usus
sehingga ekskresi bilirubin hasil pemecahan terapi cahaya dapat
segera dikeluarkan.
c. Positioning
Positioning berfokus pada tindakan merubah posisi yang menjalani
terapi cahaya. Alih baring pasien dilakukan dengan cara terlentang,
miring kanan, miring kiri. Luasnya area tubuh yang terpapar sinar
fototerapi dipengaruhi oleh proposionalnya ukuran tubuh yang
terpapar sinar. Selain itu, perubahan posisi tubuh bayi setiap 2-3 jam
dapat memaksimalkan area yang terpapar cahaya dari fototerapi.

8. Komplikasi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi
dapat mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada
keadaan lebih fatal, hiperbilirubinemia pada neonatus dapat menyebabkan
kern ikterus, yaitu kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat
menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat
mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang melengking
(Suriadi dan Yuliani, 2010). Menurut American Academy of Pediatrics
(2004) manifestasi klinis kern ikterus pada tahap kronis bilirubin
ensefalopati, bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa
bentuk atheoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran,
paralisis upward gaze, dan dysplasia dental enamel. Kern ikterus
merupakan perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen
bilirubin pada beberapa daerah otak terutama di ganglia basalis, pons,
dan cerebellum. Bilirubin ensefalopati akut menurut American Academy
of Pediatrics (2004) terdiri dari tiga fase, yaitu :
a. Fase inisial, ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya
gerakan bayi, dan reflek hisap yang buruk.
b. Fase intermediate, ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan
peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus) yang disertai
demam.
c. Fase lanjut, ditandai dengan stupor yang dalam atau koma,
peningkatan tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry, dan kadang
kejang
9. Pertumbuhan dan perkembangan anak
a. Definisi
Tumbuh kembang adalah proses yang kontinyu sejak dari
konsepsi sampai maturitas/dewasa yang dipengaruhi oleh faktor
bawaan dan lingkungan. Ini berarti bahwa tumbuh kembang anak
sudah terjadi sejak di dalam kandungan dan setelah kelahiran
merupakan suatu masa dimana mulai saat itu tumbuh kembang
anak dapat dengan mudah dipahami.
Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta
jaringan interseluler, yang berarti bertambahnya ukuran fisik dan
struktur tubuh sebagian atau keseluruhan, sehingga dapat diukur
dengan satuan panjang dan berat. Perkembangan adalah
bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta
sosialisasi dan kemandirian. (Depkes RI, 2005)
Pertumbuhan terjadi secara simultan dengan perkembangan.
Berbeda dengan pertumbuhan, perkembangan merupakan hasil
interaksi kematangan susunan syaraf pusat dengan organ yang
dipengaruhinya, misalnya perkembangan sistem neuromusculer,
kemampuan bicara, emosi dan sosialisasi.
b. Tahap-tahap tumbuh kembang
Walaupun terdapat variasi yang sangat besar, akan tetapi setiap
anak akan melalui suatu "milestone" yang merupakan tahapan dari
tumbuh kembang anak dan setiap tahapan mempunyai ciri-ciri
tersendiri. adapun tahap-tahap tumbuh kembang anak (Cecily, 2002) :
1) Masa pranatal
 Masa mudigah / embrio : Konsepsi – 8 minggu
 Masa janin / fetus : 9 minggu – lahir
2) Masa bayi
 Masa neonatal : 0 – 28 hari
 Masa neonatal dini : 0 – 7 hari
 Masa neonatal lanjut : 8 – 28 hari
 Masa pasca neonatal : 29 hari – 1 tahun
 Masa prasekolah : 1 – 6 tahun
3) Masa sekolah : 6 – 10/20 tahun
 Masa praremaja : 6 – 10 tahun
 Masa remaja
 Masa remaja dini : Wanita, usia 8-13 tahun
 Masa remaja lanjut : Wanita, usia 13-18 tahun dan Pria,
usia 15-20 tahun
Menurut Sigmund Freud, periodesasi perkembangan dibagi 5 fase,
yaitu:
1) Fase oral (0-1 tahun)
Anak memperoleh kepuasan dan kenikmatan yang bersumber
pada mulutnya. Hubungan sosial lebih bersifat fisik, seperti makan
atau minum susu. Objek sosial terdekat adalah ibu, terutama saat
menyusu.
2) Fase anal (1-3 tahun)
Pada fase ini pusat kenikmatannya terletak di anus, terutama
saat buang air besar. Inilah saat yang paling tepat untuk mengajarkan
disiplin pada anak termasuk toilet training.
3) Fase falik (3-5 tahun)
Anak memindahkan pust kenikmatannya pada daerah kelamin.
Anak mulai tertarik dengan perbedaan anatomis antara laki-laki dan
perempuan. Pada anak laki-laki kedekatan dengan ibunya
menimbulkan gairah sexual perasaan cinta yang disebut Oedipus
Complex. Sedangkan pada anak perempuan disebut Electra
Complex.
4) Fase laten (5-12 tahun)
Ini adalah masa tenang, walau anak mengalami perkembangan
pesat pada aspek motorik dan kognitif. Anak mencari figure ideal
diantara orang dewasa berjenis kelamin sama dengannya.
5) Fase genital (12 ke atas)
Alat-alat reproduksi sudah mulai masak, pusat kepuasannya
berada pada daerah kelamin. Energi psikis (libido) diarahkan untuk
hubungan-hubungan heteroseksual. Rasa cintanya pada anggota
keluarga dialihkan pada orang lain yang berlawan jenis.
Menurut Erik H. Erikson perkembangan anak dibagi menjadi 8
tahap, yaitu:
1) Masa oral-sensorik yaitu masa kepercayaan vs ketidakpercayaan.
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada
umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini
adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus
menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan.
2) Masa anal-muskular yaitu kebebasan vs perasaan malu-malu
atau ragu-ragu.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages),
masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari
usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan
pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat
memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu.
3) Masa genital-locomotor yaitu inisiatif vs rasa bersalah
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-
locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini
pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau
6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini
ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu
melakukan kesalahan.
4) Masa laten yaitu ada gairah vs rendah diri
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah
dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang
diperlukan dalam tahap ini ialah mengembangkan kemampuan
bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri.
5) Masa remaja yaitu identitas vs kekaburan peran
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai
pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun.
melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam
pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan
bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.
6) Masa dewasa yaitu kemesraan vs keterasingan
yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun.
Adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha
menghindar dari sikap menyendiri.
7) Masa dewasa muda yaitu generativitas vs kehampaan
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan
ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun.
salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna
keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan
tidak berbuat apa-apa (stagnasi).
8) Masa kematangan yaitu integritas ego vs kesedihan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja
yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke
atas. Yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan
berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan.
Tabel 2. Ringkasan Kemajuan Perkembangan Anak dari Lahir
Sampai 5 Tahun (Sacharin, 1996)
Umur Motorik/Sensorik Sosial Bahasa Manipulatif
Sampai 1  Reflek-reflek
bulan primitif
 Dapat enghisap
 Menggenggam,
 Memberikan
respon terhadap
suara-suara
mengejutkan

Umur Motorik/Sensorik Sosial Bahasa Manipulatif

1-3 bulan  Menegakkan  Memberikan


kepala respon senyum
sebentar,
 Mengadakan
gerakan-
gerakan
merangkak jika
tengkurap
3-4 bulan  Mengangkat  Tersenyum.  Bersuara jika  Mulai
kepala dari diajak bicara. mengamati
posisi tangan
tengkurap sendiri
dalam waktu  Mampu
yang singkat. untuk
 Memalingkan memegang
kepala ke arah kerincingan.
suara.

5-9 bulan  Berguling dari  Memperlihatkan  Bervokalisasi  Mulai


sisi ke sisi kegembiraan suara-suara memindahka
ketika dengan berlagak bergumam, n benda dari
terlentang. dan tersipu- suaraseperti satu tangan
 Memalingkan sipu. "da", "ma". ke tangan
kepala pada lainnya.
orang yang  Mampu
berbicara. memanipulas
i benda-
benda.

9-10  Duduk dari  Mengenal dan  Ngoceh dan  Memungut


bulan posisi menolak orang bervokalisasi benda
berbaring asing  Mengatakan diantara jari-
 Berpindah  Meniru kata-kata jari dan ibu
 Merangkak.  Berteriak untuk seperti da-da, jari.
menarik mam- mam.
perhatian.

Umur Motorik/Sensorik Sosial Bahasa Manipulatif


1 tahun  Merangkak  Menurut perintah  Mengucapkan  Memegang
dengan baik sederhana kata-kata gelas untuk
 menarik badan  meniru orang tunggal minum.
sendiri untuk dewasa.
berdiri  Memperlihatkan
 Dapat berjalan berbagai emosi.
dengan
dibimbing.
1½  Berjalan  Ingin bermain  Telah  Mencoret-
tahun tanpa dekat anak-anak menggunakan coret,
ditopang lain. 20 kata-kata  Membalik-
 Menaiki  Meminta yang dapat balik
tangga atau minum. dimengerti. halaman,
peralatan  Mengenal  Bermain
rumah tangga gambar- gambar dengan
(kursi) binatang. balok-balok
 Mengenal bangunan
beberapa bagian ecara
tubuhnya konstruktif.

2 tahun  Mampu  Mulai bernain  Mulai  Berpakaian


berlari dengan anak- menggunakan sendiri, tidak
 Memanjat anak lain dua atau tiga mampu
 Menaiki kata secara untuk
tangga bersamaan mengikat
 Membuka atau
pintu. memasang
kancing.
3 tahun  Berlari bebas  Mengetahui  Berbicara  Menggamba
 Melompat nama dan jenis dengan r lingkaran
 Mengendari kelaminnya kalimat-  Menggamba
sepeda roda sendiri dapat kalimat r gambar-
tiga. diberi pengertian pendek. gambar
 Bermain secara yang dapat
konstruktif dan dikenal.
imitatif.
4-5 tahun  Mengetahui  Bernyanyi
banyak huruf-  Berdendang
huruf dari
alphabet
 Mengetahui lagu
kanak-kanak
 Dapat
menghitung
sampai 10.

1) Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang


1) Keturunan
Jenis kelamin dan determinan keturunan lain secara kuat
mmpengaruhi hasil akhir pertumbuhan dan laju perkembangan
untuk mendapatkan hasil akhir tersebut. Terdapat hubungan yang
besar antara orangtua dan anak dalam hal sifat seperti tinggi
badan, berat badan, dan laju pertumbuhan.
2) Neuroendokrin
Beberapa hubungan fungsional diyakini ada diantara
hipotalamus dan system endokrin yang memengaruhi
pertumbuhan. Tiga hormon-hormon pertumbuhan, hormone
tiroid, dan endrogen. Tampak bahwa setiap hormone yang
mempunyai pengaruh bermakna pada pertumbuhan
memanifestasikan efek utamanya pada periode pertumbuhan
yang berbeda.
3) Nutrisi
Nutrisi mungkin merupakan satu-satunya pengaruh paling
penting pada pertumbuhan. Faktor diet mengatur pertumbuhan
pada semua tahap perkembangan, dan efeknya ditujukan pada
cara beragam dan rumit.
4) Hubungan Interpersonal
Hubungan dengan orang terdekat memainkan peran penting
dalam perkembangan, terutama dalam perkembangan emosi,
intelektual, dan kepribadian. luasnya rentang kontak penting
untuk pembelajaran dan perkembangan kepribadian yang sehat.
5) Tingkat Sosioekonomi
Riset menunjukkan bahwa tingkat sosioekonomi keluarga
anak mempunyai dapak signifikan pada pertumbuhan dan
perkembangan.
6) Penyakit
Banyak penyakit kronik dan Gangguan apapun yang
dicirikan dengan ketidakmampuan untuk mencerna dan
mengabsorbsi nutrisi tubuh akan member efek merugikan pada
pertumbuhan dan perkembangan.
7) Bahaya lingkungan
Bahaya dilikungan adalah sumber kekhawatiran pemberi
asuhan kesehatan dan orang lain yang memerhatikan kesehatan
dan keamanan. Bahaya dari residu kimia ini berhubungan dengan
potensi kardiogenik, efek enzimatik, dan akumulasi. (Baum dan
Shannon, 1995)
8) Stress pada masa kanak-kanak
Stress adalah ketidakseimbagan antara tuntutan lingkungan
dan sumber koping individu yang menggangggu ekuiibrium
individu tersebut ( mastern dkk, 1998). Usia anak, temperamen
situasi hidup, dan status kesehatan mempengaruhi kerentanan,
reaksi dan kemampuan mereka untuk mengatasi stress. Koping
adalah tahapan khusus dari reaksi individu terhadap stressor.
Strategi koping adalah cara khusus anak mengatasi stersor ang
dibedakan dari gaya koping yang relative tidak mengubah
karakteristik kepribadian atau hasil koping (Ryan-wengger,
1992).
9) Pengaruh media masa
Terdapat peningkatan kekhawatiran mengenai berbagai
pengaruh media pada perkembangan anak. (Rowitz, 1996)
11. Hospitalisasi
a. Pengertian
Menurut Wong (2000), hospitalisasi adalah suatu proses yang
karena suatu alasan yang berencana atau darurat mengharuskan anak
untuk tinggal di RS, menjalani terapi dan perawatan sampai
pemulangannya kembali ke rumah. Perasaan yang sering muncul pada
anak adalah cemas, marah, sedih, takut dan rasa bersalah.
Penyebab timbul reaksi hospitalisasi pada anak menurut (Wong,
2000) :
 Menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialaminya 
 Rasa tidak aman dan nyaman
 Perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya dan sesuatu
yang dirasakan menyakitkan
1) Reaksi anak terhadap hospitalisasi
a) Masa bayi ( 0 - 1 tahun )
 Perpisahan dengan orang tua : gangguan pembentukan rasa
percaya dan kasih sayang.
 Terjadi stranger anxiety (usia 6 bulan) : cemas apabila
berhadapan dengan orang asing dan perpisahan.
 Reaksinya : menangis, marah, banyak melakukan gerakan.
b) Masa toddler (2 – 3 tahun)
 Sumber stress yang utama : cemas akibat perpisahan
 Respon : tahap protes, putus asa dan pengingkaran
 Tahap protes : menangis kuat, menjerit memanggil orang tua
atau menolak perhatian yang diberikan orang lain
 Tahap putus asa : menangis berkurang,anak tidak aktif,
kurang menunjukkan minat bermain dan makan, sedih dan
apatis
 Tahap pengingkaran : mulai menerima perpisahan,membina
hubungan secara dangkal, anak mulai terlihat menyukai
lingkungannya
c. Masa prasekolah
 Perawatan di RS : anak untuk berpisah dari lingkungan yang
dirasakannya aman, penuh kasing sayang dan menyenagkan.
 Reaksi terhadap perpisahan : menolak makan, sering bertanya,
menagis secara perlahan dan tidak kooperatif terhadap petugas
kesehatan
d. Masa sekolah
 Timbul kecemasan : berpisah dengan lingkungan yang dicintainya
Kehilangan kontrol karena adanya pembatasan aktivitas
 Kehilangan kontrol : perubahan peran dalam keluarga, kehilangan
kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan bermain
atau pergaulan sosial, perasaan takut mati dan adanya kelemahan
fisik
 Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri : ekspresi baik secara
verbal maupun nonverbal : anak sudah mampu
mengkomunikasikannya, sudah mampu mengontrol perilaku jika
merasa nyeri : menggigit bibir/menggigit dan memegang sesuatu
dengan erat.
e. Masa remaja
 Timbul perasaan cemas : harus berpisah dengan teman sebayanya
 Pembatasan aktivitas di RS : anak kehilangan kontrol terhadap
dirinya dan menjadi tergantung pada keluarga atau pertugas
kesehatan.
 Reaksi yang sering muncul : menolak perawatan atau tindakan
yang dilakukan, anak tidak mau kooperatif dengan petugas
kesehatan atau menarik diri dari keluarga, sesama pasien dan
petugas kesehatan.
 Perasaan sakit : respon anak bertanya-tanya, menarik diri dari
lingkungannya / menolak kehadiran orang lain.
2) Reaksi orang tua terhadap hospitalisasi anak
a) Perasaan cemas dan takut 
 Perasaan cemas dan takut : mendapat prosedur menyakitkan
 Cemas paling tinggi : menunggu informasi tentang diagnosa
penyakit anaknya.
 Takut muncul : takut kehilangan anak pada kondisi sakit terminal
 Perilaku : sering bertanya/bertanya tentang hal yang sama secara
berulang-ulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah
tegang dan marah.
b) Perasaan sedih
 Muncul pada saat anak dalam kondisi terminal
 Perilaku : isolasi, tidak mau didekati orang lain, tidak kooperatif
terhadap petugas kesehatan.

c) Perasaan frustasi
 Putus asa dan frustasi : anak yang telah dirawat cukup lama dan
tidak mengalami perubahan, tidak adekuatnya dukungan
psikologis.
 Perilaku : tidak kooperatif, putus asa, menolak tindakan,
menginginkan pulang paksa.

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Sering ditemukan pada bayi baru lahir sampai  minggu I,
Kejadian ikterus  :  60 % bayi cukup bulan & 80 % pada bayi kurang
bulan. Perhatian utama  :  ikterus pada 24 jam pertama & bila kadar
bilirubin > 5mg/dl dalam 24 jam.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia menurut Widagdo, 2012 meliputi:
1) Pemeriksaan Umum
a) Keadaan umum : tingkat keparahan penyakit, kesadaran,
status nutrisi, postur/aktivitas anak, dan temuan fisis sekilas
yang prominen dari organ/sistem, seperti ikterus, sianosis,
anemi, dispneu, dehidrasi, dan lain-lain.
b) Tanda vital : suhu tubuh, laju nadi, tekanan darah, dan laju
nafas.
c) Data antropometri : berat badan, tinggi badan, lingkar kepala,
tebal lapisan lemak bawah kulit, serta lingkar lengan atas.
2) Pemeriksaan Organ
a) Kulit : warna, ruam kulit, lesi, petekie, pigmentasi,
hiper/hipohidrolisis, dan angiektasis.
b) Kepala : bentuk, ubun-ubun besar, sutura, keadaan rambut,
dan bentuk wajah apakah simestris kanan atau kiri.
c) Mata : ketajaman dan lapangan penglihatan, hipertelorisme,
supersilia, silia, esksoptalmus, strabismus, nitagmus, miosis,
midriasis, konjungtiva palpebra, sclera kuning, reflek cahaya
direk/indirek, dan pemeriksaan retina dngan funduskopi.
d) Hidung : bentuk, nafas cuping hidung, sianosis, dan sekresi.
e) Mulut dan tenggorokan : warna mukosa pipi/lidah, ulkus,
lidah kotor berpeta, tonsil membesar dan hyperemia,
pembengkakan dan perdarahan pada gingival, trismus,
pertumbuhan/ jumlah/ morfologi/ kerapatan gigi.
f) Telinga : posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan nyeri
tekan.
g) Leher : tiroid, kelenjar getah bening, skrofuloderma, retraksi,
murmur,bendungan vena, refluks hepatojugular, dan kaku
kuduk.
h) Thorax : bentuk, simetrisisitas, pembengkakan, dan nyeri
tekan.
i) Jantung : tonjolan prekordial, pulsasi, iktus kordis, batas
jantung/kardiomegali. Getaran, bunyi jantung, murmur, irama
gallop, bising gesek perikard (pericard friction rub).
j) Paru-paru : Simetrsitas static dan dinamik,
pekak, hipersonor, fremitus, batas paru-hati, suara nafas, dan
bising gesek pleura (pleural friction rub)
k) Abdomen : bentuk, kolteral, dan arah alirannya, smiling
umbilicus, distensi, caput medusa, gerakan peristaltic,
rigiditas, nyeri tekan, masa abdomen, pembesaran hati dan
limpa, bising/suara peristaltik usus, dan tanda-tanda asites.
l) Anogenetalia : atresia anus, vesikel, eritema, ulkus, papula,
edema skrotum.
m) Ekstremitas : tonus/trofi otot, jari tabuh, sianosis, bengkak
dan nyeri otot/tulang/sendi, edema pretibial, akral dingin,
capillary revill time, cacat bawaan.

c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin mencapai puncak
kira-kira 6 mg/dL, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Apabila
nilainya diatas 10 mmg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia
non fisiologis atau patologis. Pada bayi dengan kurang bulan,
kadar bilirubin mencapai puncaknya pada nilai 10 – 12 mg/dL,
antara lima dan tujuh hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 14
mg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau
patologis (Suriadi & Yulliani, 2010).
2) Pemeriksaan golongan darah ibu golongan darah bayi pada saat
kelahiran
3) Pemeriksaan laboratorium : kadar bilirubin, darah rutin, kadar
enzim G6PD
4) Bilirubinometer transkutan
2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
a. Ikterik neonatus berhubungan dengan kesulitan transisi ke kehidupan
ekstra uterin, keterlambatan pengeluaran mekonium, penurunan berat
badan, pola makan tidak tepat dan usia kurang dari 7 hari
b. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan suhu lingkungan dan
tubuh akibat fototerapi
c. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan jaundice
d. Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan fototerapi
e. Risiko cedera berhubungan fototerapi
3. Intervensi keperawatan
N Standar Diagnosis Standar Luaran Standar Intervensi Keperawatan
o Keperawatan Keperawatan Indonesia (SIKI)
Indonesia (SDKI) Indonesia (SLKI)
1 (D.0024) (Hal.66) (L.10098) (Hal.15) Fototerapi neonatus (I.03091) (Hal.119)
Ikterik neonatus Setelah dilakukan Observasi
berhubungan tindakan keperawatan 1. Monitor ikterik pada sklera dan kulit
dengan kesulitan selama 2 x 24 jam, bayi
transsisi ke diharapkan adaptasi 2. Monitor suhu tubuh dan tanda vital
kehidupan ekstra neonatus membaik setiap 4 jam sekali
uterin, Indikator: 3. Monitor efek samping foto terapi
keterlambatan - Membran Terapeutik
mukosa kering 1. Siapkan lampu fototerapi atau an
pengeluaran
menurun inkubator atau kotak bayi
mekonium, 2. Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
- Kulit kuning
penurunan berat 3. Berikan penutup mata
menurun
badan, pola - Sklera kuning 4. Ukur jarak antara lampu dan permukaan
makan tidak tepat mneurun kulit bayi
dan usia kurang - Keterlambatan 5. Biarkan tubuh bayi terpapar sinar
dari 7 hari pengeluaran fototerapi secara berkelanjutan
feses menurun 6. Ganti segera alas dan popok bayi jika
BAB/BAK
- Berat badan
Edukasi
mneingkat
1. Anjurkan ibu menyusui sesering
mungkin
2. Kolaborasi pemeriksaan darah vena
bilirubin direk dan indirek
2 (D.014) (Hal.316) (L.14135) (Hal.130) Regulasi temperatur (I.1458) (Hal.38)
Termoregulasi Setelah dilakukan Obeservasi
tidak efektif tindakan keperawatan 1. Monitor suhu tubuh sampai stabil
berhubungan selama 2 x 24 jam, 2. Monitor warna dan suhu kulit
dengan proses diharapkan Terapeutik
penyakit pengaturan suhu 1. Tingkatkan asupan cairan dn ntrisi yang
tubuh neonatus adekuat
membaik 2. Hindari meletakan bayi di dekat jendela
Indikator: terbuka atau di area aliran pendingin
- Suhu tubuh ruangan atau kipas angin
membaik
- Suhu kulit
membaik
3 (D.0192) (L.14125) (Hal.33) Perawatan integritas kulit
(Hal.282) Setelah dilakukan (I.11353) (Hal.316)
Gangguan tindakan keperawatan Observasi
integritas kulit selama 2 x 24 jam, 1. Identifikasi penyebab gangguan
berhubungan diharapkan keutuhan integritas kulit
dengan jaundice kulit meningkat Terapeutik
Indikator: 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
- Elastisitas 2. Gunakan produk berbahan
mneingkat ringan/alami dan hipoalergik pada kulit
- Hidrasi sensitif
meningkat 3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Kerusakan Edukasi
lapiran kulit 1. Anjurkan mneingkatkan asupan utrii
menurun (ASI)
- Suhu kulit
membaik
- Sensasi membaik
- Tekstur membaik
4 (D.0036) (Hal.87) (L.05020) (Hal.41) Manajemen cairan (I.03098) (Hal.159
Risiko Setelah dilakukan Observasi
ketidakseimbangan tindakan keperawatan 1. Monitor status hidrasi
cairan selama 2 x 24 jam, 2. Monitor berat badan harian
berhubungan diharapkan 3. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
dengan fototerapi keseimbangan cairan Terapeutk
meningkat 1. Catat intake-output dan hitung balans
Indikator: cairan 24 jam
- Asupan cairan 2. Berikan asupan cairan ASI
ASI meningkat
- Kelembaban
membran
mukosa
meningkat
- Dehidrasi
menurun
- Membran
mukosa
membaik
- Turgor kulit
membaik
5 (D.0136) (L.14138) (Hal.140) Manajemen keselamatan lingkungan
(Hal.294) Setelah dilakukan (I.14513) (Hal.192)
Risiko cedera tindakan keperawatan Observasi
berhubungan selama 2 x 24 jam, 1. Identifikasi kebutuhan keselamatan
dengan fototerapi diharapkan derajat Terapeutik
jatuh menurun 1. Hilangkan bahaya keselamatan
Indikator: lingkungan
- Jatuh dari 2. Modifikasi lingkungan untuk
tempat tidur meminimalkan bahaya dan risiko
menurun 3. Gunakan perangkat pelindung
- Jatuh saat Edukasi
dipindahkan 1. Ajarkan keluarga risiko tinggi bahaya
menurun lingkungan

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah proses pengelolaan dan
perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
perencanaan. (Solica, 2016).

5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah proses kontinu yang paling penting
untuk memanajemen kualitas dan tetepatan tindakan asuhan keperawatan
yang dilakukan dan keefektifan rencana keperawatan dalam memenuhi
kebutuhan klien selalu berubah dengan cepat dan perencanaan pun selalu
memerlukan revisi dan pembaharuan dengan menambah informasi klien
yang baru berkembang (Doengoes, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Dongoes. M. E, Et Al. Editor Monica, E. 2020. Nursing Care Plans Guidelines


For Planning And Documenting Patient Care, Edii 3. Alih Bahasa: Kariasa
IM. Jakarta: EGC
Heriyanti, A., Widiasih, R., & Murtiningsih, M. (2020). Efektifitas Terapi Caring
Support Neobil terhadap Perubahan Kadar Bilirubin Serum Total
Hyperbilirubinemia pada Neonatus Di Rumah Sakit Dustira Cimahi. Health
Information : Jurnal Penelitian, 12(1), 30–37.
https://doi.org/10.36990/hijp.vi.154
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2013. Indikasi Terapi Sinar Pada Bayi Menyusui
Yang Kuning.
Imron R, Metti D. (2015). Peningkatan Angka Kejadian Hiperbilirubinemia Pada
Bayi Baru Lahir Dikarenakan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Jurnal
Keperawatan, 9(1), pp 4-49
Jannah R. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Bayi Ny.L Dengan Iperbilirubin Di
Ruang Perinatologi Rsud Arifin Achmad Provinsi Riau Tahun 2020.
Mansjoer A.(2013). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi III. Jakarta: Medika
aesculapius fakultas kedokteran universitas Indonesia
Mendri NK, Prayogi AS. Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit dan Bahaya
Resiko Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. 2017
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi
dan Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP
PPNI. PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI):
Definisi dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Qamariah, N., Andaruni, R., & Alasiry, E. (2018). Pengaruh Pijat Bayi dan
Breastfeeding terhadap Penurun Kadar Bilirubin pada Neonatus dengan
Hiperbilirubinemia. Jurnal Ilmiah Bidan, 3(2), 45–51.
Lampiran 1

Standar Operasional Prosedur (SOP)


Fototerapi Pada Penderita Hiperbilirubinemia

A. Tujuan
1. Mengurangi/menurunkan kadar bilirubin yang patogen
2. Mencegah penumpukan bilirubin indirek dalam sel otak
B. Persiapan Pasien
1. Pastikan klien memerlukan pemenuhan kebutuhan dasar manusia
(minum, aktivitas, tidur, terhindar infeksi, personal hygiene,
keseimbangan suhu)
2. Amati seluruh tubuh klien (warna kulit, mata, aktivitas, kotoran atau
bau)
3. Atur posisi sesuai prosedur yang akan dilakukan
C. Persiapan Alat
1. Siapkan pemberian minum ASI/PASI
2. Pemeriksaan fisik
3. Alat tenun dan pakaian bayi
4. Alat memandikan
5. Tempat sampah
D. Penutup mata dan testis (bahan tak tembus cahaya)
1. Persiapan Lingkungan
2. Amati instalasi yang berhubungan dengan listrik
3. Tidak menempatkan bayi dekat pintu atau jendela yang terbuka
4. Amati lampu foto terapi, lama pemakaian dan keutuhannya
E. Pelaksanaan
1. Perawat mencuci tangan, alat didekatkan
2. Keluarga diberitahu, lampu fototerapi dimatikan.
3. Lepaskan pelindung mata, amati kotoran dan warna sclera dan
bersihkan dengan kapas mata. Catat bila ada hal-hal yang tidak wajar
4. Pastikan bayi apakah badannya kotor, bau urin atau baung air besar
5. Bersihkan badan bayi dengan mandi lap didalam incubator kemudian
keringkan dengan handuk
6. Mengganti pakaian/alat tenun/popok basah sesudah
dimandikan
7. Observasi TTV, amati seluruh tubuh bayi terutama warna kuning.
8. Lanjutkan pemberian tindakan lainnya, bila harus mendapat antibiotic
melalui infus, berikan terapi sesuai program (5 benar). Check kembali
TTV. Dokumentasikan pemberian
terapi
9. Berikan pemenuhan kebutuhan cairan melalui minum sesuai jadwal
dan kebutuhan bayi. Bila diperkirakan ada kehilangan cairan karena
peningkatan suhu, berikan cairan extra (10 – 15 ml/kgBB)
10. Posisikan kembali bayi untuk melanjutkan pemberian sinar
foto terapi.
11. Pakaian bayi dilepas dalam box/incubator
12. Menutup mata dan testis dengan bahan tidak tembus cahaya.
13. Tidurkan bayi terlentang atau tengkurap
14. Atur jarak bayi 45 – 50 cm dari lampu
15. Atur posisi bayi dalam 3 posisi (mika – miki – tengkurap) setiap 3 – 8
jam
16. Ukur suhu, HR, RR setiap 2 jam
17. Matikan fototerapi bila memberikan minum, penutup mata dibuka,
observasi mata (kotoran), ijinkan ibu kontak dengan bayi.
18. Catat intake dan output
19. Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit (timbang BB 2x sehari) dan
efek samping fototerapi
20. Alat-alat rapihkan dan dibereskan
21. Periksa kadar bilirubin setiap 12-24 jam.
Lampiran 2

Foto Penderita Hiperbilirubin


Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin

Lampiran 3

PENGARUH PIJAT BAYI DAN BREASTFEEDING


TERHADAP
PENURUNAN KADAR BILIRUBIN PADA NEONATUS
DENGAN
HIPERBILIRUBINEMIA

Nurul Qamariah Rista Andaruni,1 Ema Alasiry,2


1
Bagian Kebidanan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah
Mataram 2 Bagian Perinatologi, Fakultas Kedokteran,Universitas
Hasanuddin

rista.andaruni90@gmail.com

Abstrak
Bayi baru lahir memiliki risiko mengalami hiperbilirubinemia yang terjadi pada sekitar 80% bayi
prematur dan 60 % pada bayi aterm selama minggu pertama setelah kelahiran, yang disebabkan
oleh tingginya kadar bilirubin dalam darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian pijat bayi dan breastfeeding terhadap penurunan kadar bilirubin pada neonatus
dengan hiperbilirubinemia. Jenis penelitian desain Quasi Eksperimental dengan rancangan Non-
Equivalent Control Group. Sampel dalam penelitian ini neonatus hiperbilirubinemia yang
menerima fototerapi sebanyak 70 bayi dibagi menjadi 4 kelompok. Bayi yang mendapatkan pijat
dan breastfeeding (Kelompok I), bayi yang mendapat pijat dan susu formula (Kelompok II), bayi
yang hanya mendapat breastfeeding (Kelompok III) dan bayi yang hanya mendapat susu formula
(Kelompok IV). Pemberian intervensi dilakukan selama 3 hari/sampel. Analisis data
menggunakan uji Paired T Test dan uji Anova. Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan kadar
bilirubin antara keempat kelompok setelah intervensi dengan p value 0,000<0,05. Setelah
intervensi diperoleh rata-rata penurunan kadar bilirubin pada kelompok pijat+breastfeeding
sebesar 7.82 mg/dl, kelompok pijat+susu formula sebesar 9.22 mg/dl, kelompok breastfeeding
sebesar 14.68 mg/dl dan kelompok susu formula sebesar 13.69 mg/dl. Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa kelompok yang diberikan pemijatan lebih efektif menurunkan kadar bilirubin
dibandingkan hanya diberikan breastfeeding atau susu formula. Pijat bayi bisa membantu
mengurangi kadar bilirubin dengan meningkatkan frekuensi defekasi pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia yang menerima fototerapi.
Kata kunci: Pijat bayi, Hiperbilirubinemia, Neonatus, Fototerapi, Bilirubin, Breastfeeding

Abstract
The newly born baby has the risk undergoing hyperbilirubinemia which occurs on approximately
80% premature babies and 60% aterm babies for the first week of post partum, caused by the
bilirubin content height in the blood. The research aimed at investigating the effect of the babies’
massage treatment and breastfeeding on the bilirubin content decrease of the neonates with the
hyperbilirubinemia. This was a quasi experimental design research with the non-equivalent
control group design. The research samples were the hyperbilirubinemia neonates who obtained
the phototherapy as many as 70 babies, they were divided into four groups. The babies who
obtained the massage and breastfeeding were (Group I), the babies who obtained the massage and
formulated milk were (Group II), the babies who only obtained breastfeeding were (Group III)
and the babies who only obtained the formulated milk were (Group IV). The intervention delivery
was conducted for 3 day/sample. The data analysis used the paired t-test and anova test. The
research result indicates that there are the bilirubin content differences among the four groups
Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin

after the intervention with the p value of 0.000<0.05. After the intervention, the average bilirubin
content decrease is obtained on the massage+breastfeeding group of 7.82 mg/dl, the
massage+formulated milk is 9.22 mg/dl, the breastfeeding group is 14.68 mg/dl and the
formulated milk group is 13.69 mg/dl. The research result can be concluded that the groups given
the more effective massages decrease the bilirubin content compared with the groups who are only
given the breastfeeding or formulated milk. The baby massage can help reduce the bilirubin
content with improve the defecation frequency on the neonates with the hyperbilirubinemia
obtaining the phototherapy. Key word: Baby Massage, Hyperbilirubinemia, Neonates,
Phototherapy, Bilirubin, Breastfeeding.

JURNAL ILMIAH BIDAN, VOL.III, NO.2, 2018 | 45


PENDAHULUAN Pemberian ASI yang sering akan
meningkatkan peristaltik usus dan
Hiperbilirubinemia pada bayi
frekuensi defekasi sehingga peredaran
baru lahir pada minggu pertama terjadi
enterohepatik bilirubin berkurang.4
pada 60% bayi cukup bulan dan 80%
bayi kurang bulan. Hal ini adalah Selain pemberian ASI dapat
keadaan yang fisiologis. Walaupun menurunkan kadar bilirubin, bisa juga
demikian, sebagian bayi akan ditangani dengan pemberian terapi pijat
mengalami hiperbilirubinemia sehingga pada bayi dengan hiperbilirubinemia
memerlukan pemeriksaan dan tata yang menerima fototerapi. Ilmu
laksana yang benar untuk mencegah kesehatan modern telah membuktikan
kesakitan dan kematian.1 secara ilmiah bahwa terapi pijat pada
Hiperbilirubinemia tidak berbahaya jika bayi mempunyai banyak manfaat.
kadar bilirubin tidak tinggi tetapi Terapai pijat juga memiliki efek biokimia
berbahaya bagi otak jika kadar bilirubin dan dampak klinis yang positif, sehingga
terlalu tinggi, karena meningkatnya dapat merangsang fungsi pencernaan
toksisitas bilirubin tak terkonjugasi di dan dapat merangsang metabolisme
otak. Diagnosis dan pengobatan dari sehingga racun dalam tubuh dapat
neonatal dengan hiperbilirubinemia dengan mudah terurai dan di keluarkan
sangat penting untuk mencegah melalui fases dan urin.5
komplikasi berbahaya.2
Terapi pijat pada area dada dan
Faktor risiko terjadinya perut akan merangsang nervus vagus,
hiperbilirubinemia antara lain saraf ini akan meningkatkan kerja dari
sefalhematoma atau memar, usia otot-otot sfinkter dan mengoptimalkan
kehamilan dini, tidak optimal dalam kerja dari kelenjar di dalam traktus
pemberian ASI (terutama menyusui intestinalis, hepar dan pankreas. Selain
tidak berhasil dan atau penurunan berat itu nervus vagus juga dapat
badan >8%), isoimmune atau anemia meningkatkan produksi enzim
hemolitik dan keturunan riwayat pencernaan sehingga penyerapan
jaundice.3 Ada hubungan yang jelas makanan maksimal. Fungsi lainnya juga
antara frekuensi menyusui dengan dapat memperlancar peredaran darah
penurunan insidensi hiperbilirubinemia. dan meningkatkan metabolisme sel. Hal
Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin

tersebut akan mengurangi teradinya rancangan NonEquivalent Control


peningkatan kadar bilirubin pada Group. Penelitian ini menggunakan
neonatus, sehingga peredaran kelompok perlakuan I
enterohepatik bilirubin berkurang.6
(pijat+breastfeeding), kelompok
Beberapa penelitian Perlakuan II (pijat+susu formula),
sebelumnya telah menunjukkan bahwa kelompok III (breastfeeding) dan
pijat bayi berpengaruh menurunkan kelompok IV (susu formula).
kadar bilirubin neonatus secara
signifikan pada bayi cukup bulan dan
Jumlah sampel sebesar 70 bayi dengan
kurang bulan.7,8 Namun, beberapa
teknik purposive sampling yang
penelitian tidak mengkonfirmasi efek
memenuhi kriteria
pijat bayi pada penurunan kadar
bilirubin pada bayi cukup bulan, tetapi
hanya dapat Frekuensi Defekasi
9,10,12
meningkatkan frekuensi defekasi. inklusi yaitu bayi hiperbilirubinemia
Terlepas dari kenyataan bahwa yang menerima fototerapi, bayi dengan
studi klinis sebelumnya mendukung berat badan ≥ 2000 gram dan usia
penggunaan pijat untuk mengurangi kehamilan ≥ 35 minggu, bayi dengan
penyakit kuning neonatal, korelasi yang peningkatan kadar bilirubin minimal 2-3
jelas belum diperiksa secara luas di mg/dl di bawah cut off, tidak disertai
antara neonatus dengan dengan penyakit lain dan orang tua
hiperbilirubinemia yang menerima bersedia bayinya menjadi responden.
fototerapi. Selain itu, di Indonesia masih
kurangnya penelitian terkait pijat bayi
dan breastfeeding terhadap penurunan
kadar bilirubin dan penelitian ini masih
kontradiksi. Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui apakah
ada pengaruh pijat bayi dan
breastfeeding terhadap penurunan
kadar billirubin pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia.

TUJUAN
Untuk mengetahui pengaruh pijat
bayi terhadap penurunan kadar
billirubin pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia.

RANCANGAN/METODE
Penelitian ini menggunakan
desain quasi eksperimental dengan
Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin

HASIL Karakteristik adalah 4 hari. Sebagian besar jenis


Sampel persalinan dari keempat kelompok
adalah secara Sectio Caesarea (81.4%).
Tabel 1 menunjukan bahwa
Sebagian besar paritas ibu dari keempat
rerata usia responden saat mulai
kelompok adalah primipara (56.2%).
fototerapi dari keempat kelompok

*Uji One-Way Anova frekuensi defekasi sebelum intervensi


**Uji Kruskal-Wallis H dan setelah intervensi pada masing-
Sumber : Data Primer 2017 masing kelompok pada hari pertama.
Pada hari kedua dan ketiga menunjukan
bahwa kelompok I dan II artinya ada
Tabel 2 menunjukan menunjukan
Tabel 1. Karakteristik Neonatus dengan Hiperbilirubinemia yang di Fototerapi di Unit Perinatologi
Karakteristik Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV P
(PB) (PS) (B) (S)
Usia Bayi (Hari) 3 ± 0.83 4 ± 1.67 4 ± 1.0 4 ± 0.8 0.086*
Jenis Persalinan
Sectio Caesarea 15 (75%) 12 (80%) 14 (70%) 13 (86.7%) 0.694**
Pervaginam 5 (25%) 3 (20%) 6 (30%) 2 (13.3%)

Paritas
Primipara 11 (55%) 10 (66.7%) 10 (50%) 8 (53.3%) 0.797**
Multipara 9 (45%) 5 (33.3%) 10 (50%) 7 (46.7%)

bahwa pada hari pertama kelompok I, II, perbedaan frekuensi defekasi sebelum
III dan IV masing-masing diperoleh nilai intervensi dan setelah intervensi pada
p>0.05 artinya tidak ada perbedaan kelompok I dan II pada hari kedua dan

masing-masing diperoleh nilai p<0.05, kedua dan ketig


.

JURNAL ILMIAH BIDAN, VOL.III, NO.2, 2018 | 47

Tabel 2. Perubahan Frekuensi Defekasi Sebelum dan Setelah Intervensi Pada Masing-Masing
Kelompok Pada Hari Pertama Sampai Hari Ketiga
No. Kelompok Pretest Posttest I P Posttest II P Posttest III P
Mean±SD Mean±SD Mean±SD Mean±SD
1 Pijat+Breasfeeding 2±0.44 2±0.50 0.083 4±0.51 0.000* 5±0.51 0.00
0*
2 Pijat+Susu Formula 2±0.25 2±0.41 0.164 3±0.29 0.000* 3±0.48 0.00
0*
3 Breastfeeding 2±0.44 2±0.48 0.163 2±0.48 0.330 2±0.51 0.05
5
4 Susu Formula 2±0.70 2±0.64 0.334 2±0.74 0.334 2±0.45 0.18
9
Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin

ketiga. Sedangkan, kelompok III dan IV penurunan kadar bilirubin pada hari
masing-masing diperoleh nilai p>0.05 ketiga paling tinggi pada kelompok I
artinya tidak ada perbedaan frekuensi yaitu 57,46% dan terendah pada
defekasi sebelum intervensi dan setelah kelompok IV yaitu 22,08%. Hasil uji
intervensi pada masing-masing statistik dengan uji paired t test
kelompok pada hari *Significant menunjukan bahwa kelompok I, II, III
Difference dan IV masing-masing diperoleh nilai p
sama yaitu 0,000 (p<0.05) artinya ada
Sumber : Data Primer 2017
perbedaan kadar bilirubin sebelum
intervensi dan setelah intervensi pada
KADAR BILIRUBIN masing-masing kelompok pada hari
ketiga.
Tabel 3 menunjukkan
menunjukan bahwa rata-rata

tidak terdapat perbedan antara


Tabel 3. Perubahan Total Serum kelompok tersebut terhadap
Bilirubin penghentian fototerapi hari ketiga.
Sebelum dan Setelah Intervensi Pada
Masing- Hasil analisis antara kelompok
Masing Kelompok Pada Hari Ketiga pijat+breastfeeding dengan kelompok
N Kelompok Pretest Posttest thitung yang hanya diberikan breastfeeding
o Mean±SD Mean±S
menunjukkan nilai p=0.000 yang berarti
D
1 Pijat+Breasfe 18.36±2.36 7.81±1.74 60.82 0.000terdapat perbedaan antara kelompok
e ding tersebut terhadap penghentian
2 Pijat+Susu 18.68±3.85 9.22±2.52 22.77 0.000fototerapi hari ketiga dan nilai
Formula
3 Breastfeeding 19.26±2.63 14.68±2.90 14.95 0.000OR : 3.3yang berarti penghentian
fototerapi 3.3 kali lebih banyak pada
4 Susu Formula 17.57±1.61 13.69±1.84 20.43 0.000kelompok pijat+breastfeeding
dibandingkan kelompok breastfeeding
Sumber : Data Primer 2017 saja.

Hasil analisis antara kelompok


Tabel 4 menunjukkan bahwa
pijat+breastfeeding dengan kelompok
sebagian besar responden yang sudah
yang hanya diberikan susu formula
tidak diberikan fototerapi pada hari
menunjukkan nilai p=0.000 yang berarti
ketiga ialah dari kelompok yang
terdapat perbedaan antara kelompok
diberikan pijat+breastfeeding (100%)
tersebut terhadap penghentian
dan dari kelompok yang diberikan
fototerapi dan nilai OR : 5 yang berarti
pijat+susu formula (86.7%) sedangkan
penghentian fototerapi hari ketiga 5 kali
terendah pada kelompok yang hanya
lebih banyak pada kelompok
diberikan breastfeeding (30%) dan yang
pijat+breastfeeding dibandingkan
hanya diberikan susu formula (20%).
kelompok susu formula saja.
Kemudian hasil analisis antara
kelompok pijat+breastfeeding dengan
kelompok pijat+susu formula juga
menunjukkan nilai p=0.093 yang berarti
Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin

Tabel 4. Hubungan Masing-Masing Kelompok Terhadap Pemberian Fototerapi Pada


Neonatus Hari Ketiga
Fototerapi P OR Convidence
Ya Tidak Interval
(CI) 95%
0.9 - 1.4

n % n %
Kelompok Pijat+Breastfeeding 0 0% 20 100% 0.093 1.2
Pijat+Susu Formula 2 13.3% 13 86.7%

Kelompok Pijat+Breastfeeding 0 0% 20 100% 0.000* 3.3 1.7 -


6.5
Breastfeeding 1 70% 6 30%
4
Kelompok Pijat+Breastfeeding 0 0% 20 100% 0.000* 5.0 1.8 -
13.8
Susu Formula 1 80% 3 20%
2
Kelompok Pijat+Susu Formula 2 13.3% 13 86.7% 0.001* 2.8 1.4 -
5.8
Breastfeeding 1 70% 6 30%
4
Kelompok Pijat+Susu Formula 2 13.3% 13 86.7% 0.000* 4.3 1.5 -
12.2
Susu Formula 1 80% 3 20%
2
Kelompok Breastfeeding 1 70% 6 30% 0.503 1.5 0.4 -
4 5.04
Susu Formula 1 80% 3 20%
2

*Significant Difference
Sumber : Data Primer 2017

Hasil analisis antara kelompok pijat+susu nilai p=0.000 yang berarti terdapat
formula dengan kelompok yang hanya perbedaan antara kelompok tersebut
diberikan breastfeeding menunjukkan nilai terhadap
p=0.001 yang berarti terdapat perbedaan penghentian fototerapi dan nilai OR : 4.3
antara kelompok tersebut terhadap yang berarti penghentian fototerapi hari
penghentian fototerapi dan nilai OR : 2.8 ketiga 4.3 kali lebih banyak pada
yang berarti penghentian fototerapi hari kelompok pijat+susu formula
ketiga 2.8 kali lebih banyak pada dibandingkan kelompok susu formula
kelompok pijat+susu formula saja.
dibandingkan kelompok breastfeeding Sedangkan, hasil analisis antara kelompok

JURNAL ILMIAH BIDAN, VOL.III, NO.2, 2018 | 29


Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin

saja. breastfeeding dengan kelompok yang


hanya diberikan susu formula
Hasil analisis antara kelompok pijat+susu menunjukkan nilai p=0.503 yang berarti
formula dengan kelompok yang hanya tidak terdapat perbedaan antara
diberikan susu formula saja menunjukkan kelompok tersebut terhadap penghentian
fototerapi.

Tabel 5. Uji Post Hoc Total Serum Bilirubin Pada Pemeriksaan Posttest
Kelompok p

Pijat+Breastfeeding Pijat+Susu Formula 0.301


Breastfeeding 0.000
*
Susu Formula 0.000
*
Pijat+Susu Formula Breastfeeding 0.000
*
Susu Formula 0.000
*
Breastfeeding Susu Formula 0.593
*Significant Difference
Sumber : Data Primer 2017

Perbedaan Rata-Rata Kadar Bilirubin KESIMPULAN


Tabel 5 Menunjukkan bahwa
Ada perbedaan kadar bilirubin
antara kelompok Pijat Bayi+Breastfeeding
antara keempat kelompok setelah
dengan kelompok Pijat Bayi+Susu Formula
intervensi. Namun kelompok yang
dan antara kelompok
diberikan pemijatan memiliki penurunan
breastfeeding dengan kelompok susu
kadar bilirubin yang lebih tinggi dan lebih
formula tidak terdapat perbedaan yang
cepat dibandingkan kelompok yang hanya
signifikan dengan nilai masing-masing p
diberikan breastfeeding atau susu formula
yaitu 0.301 dan 0.593 (p>0.005).
saja.
Sedangkan, antara kelompok pijat
Bayi+breastfeeding dengan kelompok
Memberikan terapi pijat pada bayi setiap
breastfeeding dan dengan kelompok susu
hari waktu pagi dan sore hari, terutama
formula terdapat perbedaan yang
pada bayi dengan hiperbilirubinemia yang
signifikan dengan nilai p yaitu 0.000
menerima fototerapi dengan tujuan untuk
(p<0.005). Antara kelompok pijat
meningkatkan metabolisme pada bayi dan
bayi+susu formula dengan kelompok
membantu tumbuh kembang anak menjadi
breastfeeding dan dengan kelompok
lebih optimal.
susu formula terdapat perbedaan yang
signifikan dengan nilai p yaitu 0.000
Meningkatkan pemberian edukasi kepada
(p<0.005).
ibu terutama pada ibu primipara
tentang pentingnya pemberian ASI

JURNAL ILMIAH BIDAN, VOL.III, NO.2, 2018 | 30


Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin

eksklusif pada bayi dan pentingnya inisiasi 8. Dalili H., Sheikhi S., Shariat M., &
menyusu dini serta tidak perlu mengganti Haghnazarian E. (2016). Effects of
ASI dengan susu formula pada ibu yang baby massage on neonatal jaundice in
ASInya cukup, dengan tujuan untuk healthy Iranian infants: A pilot study.
mempercepat metabolisme dan Infant
pengeluaran bilirubin. Behavior & Development, 42 (2016)
22– 26
DAFTAR PUSTAKA 9. Seyyedrasooli A., Valizadeh L.,
1. Suradi R. & Letupeirissa D. (2013). Air Hosseini MB., Asgari JM., &
Susu Ibu dan Ikterus. Buku Bedah ASI Mohammadzad M. (2014). Effect of
IDAI. Vimala Massage on Physiological
2. Nourozi E., Fallah R., & Eidi MR. Jaundice in Infants: A Randomized
(2011). Nelson Textbook of Pediatrics, Controlled Trial. J Caring Sci. 3(3):165-
Kliegman R. 19 th ed. Tehran: Andishe 734
rafi; (Persian)
10. Keshavarz M. & Haghighi NB. (2010).
3. Muchowski KE., Hospital N.,
Effects of Kangaroo Contact on Some
Pendleton C., Medicine F., Program R.,
Physiological Parameters In Term
& Pendleton C. (2014). Evaluation and
Neonates And Pain Score in Mothers
Treatment of Neonatal
With Cesarean Section. Faslnamahi
Hyperbilirubinemia, 89(11), 873–878.
Kumish. 11(2):91-84 (Persian)
4. Martiza I. (2012). Buku Ajar
11. Chen J., Sadakata M., Ishida M.,
Gastroenterologi-Hepatologi. Jakarta :
Sekizuka N., & Sayama M. (2011).
CV. Badan Penerbit IDAI.
Baby massage ameliorates neonatal
5. Kianmehr M., Moslem A., Moghadam jaundice in full-term newborn infants.
KB., Naghavi M., Noghabi SP., & Tohoku J Exp Med. 223:97–102.
Moghadam MB. (2014). The Effect of
12. Karbandi S., Lotfi M., Boskabadi H., &
Massage on Serum Bilirubin Levels in Esmaily H. (2015). The Effects of Field
Term Neonates With Massage Technique on Bilirubin Level
Hyperbilirubinemia Undergoing and the Number of Defecations in
Preterm Infants. Evidence Based Care
Phototherapy. Nautikus. Vol 108, no
Journal, 5 (4): 7-16
1. 459-465

6. Roesli. (2013). Pedoman Pijat Bayi.


Cetakan keempat belas. Jakarta : PT.
Trubus Agriwidya
7. Moghadam MB., Moghadam KB.,
Kianmehr M., Jani S. (2015). The
Effects of massage on Neonatal
Jaundice in Stable Preterm Newborn
Infants. J Pak Med Asso. Vol 65, no 6.
602-206

JURNAL ILMIAH BIDAN, VOL.III, NO.2, 2018 | 31


Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin

JURNAL ILMIAH BIDAN, VOL.III, NO.2, 2018 | 24

Anda mungkin juga menyukai