214121126
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI DENGAN
DIAGNOSA MEDIS HYPERBILIRUBINEMIA
6. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan golongan darah ibu golongan darah bayi pada saat
kelahiran
b. Pemeriksaan laboratorium : kadar bilirubin, darah rutin, kadar enzim
G6PD
c. Bilirubinometer transkutan
7. Penatalaksanaan
Penelitian (Qamariah et al., 2018) menyebutkan bahwa
memberikan terapi pijat pada bayi setiap hari waktu pagi dan sore hari,
terutama pada bayi dengan hiperbilirubinemi yang menerima fototerapi
dengan tujuan untuk meningkatkan metabolisme pada bayi dan membantu
tumbuh kembang anak menjadi optimal. Kesimpulannya didapatkan
bahwa kelompok yang diberikan pemijatan memiliki kadar bilirubin yang
lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan kelompok yang hanya
diberikan breastfeeding atau susu formula.
Menurut Suriadi & Yuliani (2010) penatalaksanaan terapeutik pada
bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia yaitu :
a. Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada
bayi baru lahir disebabkan oleh infeksi.
b. Fototerapi
Tindakan fototerapi dapat dilakukan apabila telah ditegakkan
hiperbiliribunemia pada bayi baru lahir bersifat patologis. Fototerapi
berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melaui tinja dan
urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin.
c. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengekskresikan bilirubin dalam hati dan
memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil
transferase yang dapat meningkatkan bilirubin konjugasi dan
clearance hepatik pada pigmen dalam empedu, sintesis protein
dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin. Akan
tetapi fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan untuk mengatsi
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
d. Transfusi tukar
Transfusi tukar dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi
baru lahir sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi.
Adapun menurut (Heriyanti et al, 2020) terdapat 3 tatalaksana pada
penderita hiperbilirubinemia yaitu :
a. Stimulus touch
Stimulus touch dengan tehnik petrissage yaitu sentuhan lembut dan
ringan, dan vibrasi (getaran) lembut menjadi pilihan yang tepat,
karena usapan yang panjang dan lembut dapat memberikan
kesenangan serta kenyamanan bagi bayi dan usapan yang pendek dan
sirkuler cenderung lebih bersifat menstimulasi dengan durasi sentuhan
3-5 menit.
b. Feeding management
Feeding management hiperbilirubinemia pada neonatus yang
mendapatkan terapi cahaya. Salah satu tatalaksana hiperbilirubinemia
menurut panduan WHO yaitu pemberian ASI sedini mungkin.
Kebutuhan cairan akan meningkat (growth spurt) seiring dengan efek
dari paparan sinar terapi cahaya, pemberian volume cairan akan
ditambah dengan cara perah payudara (power pumping), asupan
makan yang cukup (ASI) dapat memicu geraka pristaltik usus
sehingga ekskresi bilirubin hasil pemecahan terapi cahaya dapat
segera dikeluarkan.
c. Positioning
Positioning berfokus pada tindakan merubah posisi yang menjalani
terapi cahaya. Alih baring pasien dilakukan dengan cara terlentang,
miring kanan, miring kiri. Luasnya area tubuh yang terpapar sinar
fototerapi dipengaruhi oleh proposionalnya ukuran tubuh yang
terpapar sinar. Selain itu, perubahan posisi tubuh bayi setiap 2-3 jam
dapat memaksimalkan area yang terpapar cahaya dari fototerapi.
8. Komplikasi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi
dapat mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada
keadaan lebih fatal, hiperbilirubinemia pada neonatus dapat menyebabkan
kern ikterus, yaitu kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat
menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat
mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang melengking
(Suriadi dan Yuliani, 2010). Menurut American Academy of Pediatrics
(2004) manifestasi klinis kern ikterus pada tahap kronis bilirubin
ensefalopati, bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa
bentuk atheoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran,
paralisis upward gaze, dan dysplasia dental enamel. Kern ikterus
merupakan perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen
bilirubin pada beberapa daerah otak terutama di ganglia basalis, pons,
dan cerebellum. Bilirubin ensefalopati akut menurut American Academy
of Pediatrics (2004) terdiri dari tiga fase, yaitu :
a. Fase inisial, ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya
gerakan bayi, dan reflek hisap yang buruk.
b. Fase intermediate, ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan
peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus) yang disertai
demam.
c. Fase lanjut, ditandai dengan stupor yang dalam atau koma,
peningkatan tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry, dan kadang
kejang
9. Pertumbuhan dan perkembangan anak
a. Definisi
Tumbuh kembang adalah proses yang kontinyu sejak dari
konsepsi sampai maturitas/dewasa yang dipengaruhi oleh faktor
bawaan dan lingkungan. Ini berarti bahwa tumbuh kembang anak
sudah terjadi sejak di dalam kandungan dan setelah kelahiran
merupakan suatu masa dimana mulai saat itu tumbuh kembang
anak dapat dengan mudah dipahami.
Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta
jaringan interseluler, yang berarti bertambahnya ukuran fisik dan
struktur tubuh sebagian atau keseluruhan, sehingga dapat diukur
dengan satuan panjang dan berat. Perkembangan adalah
bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta
sosialisasi dan kemandirian. (Depkes RI, 2005)
Pertumbuhan terjadi secara simultan dengan perkembangan.
Berbeda dengan pertumbuhan, perkembangan merupakan hasil
interaksi kematangan susunan syaraf pusat dengan organ yang
dipengaruhinya, misalnya perkembangan sistem neuromusculer,
kemampuan bicara, emosi dan sosialisasi.
b. Tahap-tahap tumbuh kembang
Walaupun terdapat variasi yang sangat besar, akan tetapi setiap
anak akan melalui suatu "milestone" yang merupakan tahapan dari
tumbuh kembang anak dan setiap tahapan mempunyai ciri-ciri
tersendiri. adapun tahap-tahap tumbuh kembang anak (Cecily, 2002) :
1) Masa pranatal
Masa mudigah / embrio : Konsepsi – 8 minggu
Masa janin / fetus : 9 minggu – lahir
2) Masa bayi
Masa neonatal : 0 – 28 hari
Masa neonatal dini : 0 – 7 hari
Masa neonatal lanjut : 8 – 28 hari
Masa pasca neonatal : 29 hari – 1 tahun
Masa prasekolah : 1 – 6 tahun
3) Masa sekolah : 6 – 10/20 tahun
Masa praremaja : 6 – 10 tahun
Masa remaja
Masa remaja dini : Wanita, usia 8-13 tahun
Masa remaja lanjut : Wanita, usia 13-18 tahun dan Pria,
usia 15-20 tahun
Menurut Sigmund Freud, periodesasi perkembangan dibagi 5 fase,
yaitu:
1) Fase oral (0-1 tahun)
Anak memperoleh kepuasan dan kenikmatan yang bersumber
pada mulutnya. Hubungan sosial lebih bersifat fisik, seperti makan
atau minum susu. Objek sosial terdekat adalah ibu, terutama saat
menyusu.
2) Fase anal (1-3 tahun)
Pada fase ini pusat kenikmatannya terletak di anus, terutama
saat buang air besar. Inilah saat yang paling tepat untuk mengajarkan
disiplin pada anak termasuk toilet training.
3) Fase falik (3-5 tahun)
Anak memindahkan pust kenikmatannya pada daerah kelamin.
Anak mulai tertarik dengan perbedaan anatomis antara laki-laki dan
perempuan. Pada anak laki-laki kedekatan dengan ibunya
menimbulkan gairah sexual perasaan cinta yang disebut Oedipus
Complex. Sedangkan pada anak perempuan disebut Electra
Complex.
4) Fase laten (5-12 tahun)
Ini adalah masa tenang, walau anak mengalami perkembangan
pesat pada aspek motorik dan kognitif. Anak mencari figure ideal
diantara orang dewasa berjenis kelamin sama dengannya.
5) Fase genital (12 ke atas)
Alat-alat reproduksi sudah mulai masak, pusat kepuasannya
berada pada daerah kelamin. Energi psikis (libido) diarahkan untuk
hubungan-hubungan heteroseksual. Rasa cintanya pada anggota
keluarga dialihkan pada orang lain yang berlawan jenis.
Menurut Erik H. Erikson perkembangan anak dibagi menjadi 8
tahap, yaitu:
1) Masa oral-sensorik yaitu masa kepercayaan vs ketidakpercayaan.
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada
umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini
adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus
menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan.
2) Masa anal-muskular yaitu kebebasan vs perasaan malu-malu
atau ragu-ragu.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages),
masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari
usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan
pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat
memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu.
3) Masa genital-locomotor yaitu inisiatif vs rasa bersalah
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-
locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini
pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau
6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini
ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu
melakukan kesalahan.
4) Masa laten yaitu ada gairah vs rendah diri
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah
dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang
diperlukan dalam tahap ini ialah mengembangkan kemampuan
bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri.
5) Masa remaja yaitu identitas vs kekaburan peran
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai
pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun.
melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam
pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan
bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.
6) Masa dewasa yaitu kemesraan vs keterasingan
yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun.
Adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha
menghindar dari sikap menyendiri.
7) Masa dewasa muda yaitu generativitas vs kehampaan
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan
ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun.
salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna
keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan
tidak berbuat apa-apa (stagnasi).
8) Masa kematangan yaitu integritas ego vs kesedihan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja
yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke
atas. Yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan
berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan.
Tabel 2. Ringkasan Kemajuan Perkembangan Anak dari Lahir
Sampai 5 Tahun (Sacharin, 1996)
Umur Motorik/Sensorik Sosial Bahasa Manipulatif
Sampai 1 Reflek-reflek
bulan primitif
Dapat enghisap
Menggenggam,
Memberikan
respon terhadap
suara-suara
mengejutkan
c) Perasaan frustasi
Putus asa dan frustasi : anak yang telah dirawat cukup lama dan
tidak mengalami perubahan, tidak adekuatnya dukungan
psikologis.
Perilaku : tidak kooperatif, putus asa, menolak tindakan,
menginginkan pulang paksa.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Sering ditemukan pada bayi baru lahir sampai minggu I,
Kejadian ikterus : 60 % bayi cukup bulan & 80 % pada bayi kurang
bulan. Perhatian utama : ikterus pada 24 jam pertama & bila kadar
bilirubin > 5mg/dl dalam 24 jam.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia menurut Widagdo, 2012 meliputi:
1) Pemeriksaan Umum
a) Keadaan umum : tingkat keparahan penyakit, kesadaran,
status nutrisi, postur/aktivitas anak, dan temuan fisis sekilas
yang prominen dari organ/sistem, seperti ikterus, sianosis,
anemi, dispneu, dehidrasi, dan lain-lain.
b) Tanda vital : suhu tubuh, laju nadi, tekanan darah, dan laju
nafas.
c) Data antropometri : berat badan, tinggi badan, lingkar kepala,
tebal lapisan lemak bawah kulit, serta lingkar lengan atas.
2) Pemeriksaan Organ
a) Kulit : warna, ruam kulit, lesi, petekie, pigmentasi,
hiper/hipohidrolisis, dan angiektasis.
b) Kepala : bentuk, ubun-ubun besar, sutura, keadaan rambut,
dan bentuk wajah apakah simestris kanan atau kiri.
c) Mata : ketajaman dan lapangan penglihatan, hipertelorisme,
supersilia, silia, esksoptalmus, strabismus, nitagmus, miosis,
midriasis, konjungtiva palpebra, sclera kuning, reflek cahaya
direk/indirek, dan pemeriksaan retina dngan funduskopi.
d) Hidung : bentuk, nafas cuping hidung, sianosis, dan sekresi.
e) Mulut dan tenggorokan : warna mukosa pipi/lidah, ulkus,
lidah kotor berpeta, tonsil membesar dan hyperemia,
pembengkakan dan perdarahan pada gingival, trismus,
pertumbuhan/ jumlah/ morfologi/ kerapatan gigi.
f) Telinga : posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan nyeri
tekan.
g) Leher : tiroid, kelenjar getah bening, skrofuloderma, retraksi,
murmur,bendungan vena, refluks hepatojugular, dan kaku
kuduk.
h) Thorax : bentuk, simetrisisitas, pembengkakan, dan nyeri
tekan.
i) Jantung : tonjolan prekordial, pulsasi, iktus kordis, batas
jantung/kardiomegali. Getaran, bunyi jantung, murmur, irama
gallop, bising gesek perikard (pericard friction rub).
j) Paru-paru : Simetrsitas static dan dinamik,
pekak, hipersonor, fremitus, batas paru-hati, suara nafas, dan
bising gesek pleura (pleural friction rub)
k) Abdomen : bentuk, kolteral, dan arah alirannya, smiling
umbilicus, distensi, caput medusa, gerakan peristaltic,
rigiditas, nyeri tekan, masa abdomen, pembesaran hati dan
limpa, bising/suara peristaltik usus, dan tanda-tanda asites.
l) Anogenetalia : atresia anus, vesikel, eritema, ulkus, papula,
edema skrotum.
m) Ekstremitas : tonus/trofi otot, jari tabuh, sianosis, bengkak
dan nyeri otot/tulang/sendi, edema pretibial, akral dingin,
capillary revill time, cacat bawaan.
c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin mencapai puncak
kira-kira 6 mg/dL, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Apabila
nilainya diatas 10 mmg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia
non fisiologis atau patologis. Pada bayi dengan kurang bulan,
kadar bilirubin mencapai puncaknya pada nilai 10 – 12 mg/dL,
antara lima dan tujuh hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 14
mg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau
patologis (Suriadi & Yulliani, 2010).
2) Pemeriksaan golongan darah ibu golongan darah bayi pada saat
kelahiran
3) Pemeriksaan laboratorium : kadar bilirubin, darah rutin, kadar
enzim G6PD
4) Bilirubinometer transkutan
2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
a. Ikterik neonatus berhubungan dengan kesulitan transisi ke kehidupan
ekstra uterin, keterlambatan pengeluaran mekonium, penurunan berat
badan, pola makan tidak tepat dan usia kurang dari 7 hari
b. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan suhu lingkungan dan
tubuh akibat fototerapi
c. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan jaundice
d. Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan fototerapi
e. Risiko cedera berhubungan fototerapi
3. Intervensi keperawatan
N Standar Diagnosis Standar Luaran Standar Intervensi Keperawatan
o Keperawatan Keperawatan Indonesia (SIKI)
Indonesia (SDKI) Indonesia (SLKI)
1 (D.0024) (Hal.66) (L.10098) (Hal.15) Fototerapi neonatus (I.03091) (Hal.119)
Ikterik neonatus Setelah dilakukan Observasi
berhubungan tindakan keperawatan 1. Monitor ikterik pada sklera dan kulit
dengan kesulitan selama 2 x 24 jam, bayi
transsisi ke diharapkan adaptasi 2. Monitor suhu tubuh dan tanda vital
kehidupan ekstra neonatus membaik setiap 4 jam sekali
uterin, Indikator: 3. Monitor efek samping foto terapi
keterlambatan - Membran Terapeutik
mukosa kering 1. Siapkan lampu fototerapi atau an
pengeluaran
menurun inkubator atau kotak bayi
mekonium, 2. Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
- Kulit kuning
penurunan berat 3. Berikan penutup mata
menurun
badan, pola - Sklera kuning 4. Ukur jarak antara lampu dan permukaan
makan tidak tepat mneurun kulit bayi
dan usia kurang - Keterlambatan 5. Biarkan tubuh bayi terpapar sinar
dari 7 hari pengeluaran fototerapi secara berkelanjutan
feses menurun 6. Ganti segera alas dan popok bayi jika
BAB/BAK
- Berat badan
Edukasi
mneingkat
1. Anjurkan ibu menyusui sesering
mungkin
2. Kolaborasi pemeriksaan darah vena
bilirubin direk dan indirek
2 (D.014) (Hal.316) (L.14135) (Hal.130) Regulasi temperatur (I.1458) (Hal.38)
Termoregulasi Setelah dilakukan Obeservasi
tidak efektif tindakan keperawatan 1. Monitor suhu tubuh sampai stabil
berhubungan selama 2 x 24 jam, 2. Monitor warna dan suhu kulit
dengan proses diharapkan Terapeutik
penyakit pengaturan suhu 1. Tingkatkan asupan cairan dn ntrisi yang
tubuh neonatus adekuat
membaik 2. Hindari meletakan bayi di dekat jendela
Indikator: terbuka atau di area aliran pendingin
- Suhu tubuh ruangan atau kipas angin
membaik
- Suhu kulit
membaik
3 (D.0192) (L.14125) (Hal.33) Perawatan integritas kulit
(Hal.282) Setelah dilakukan (I.11353) (Hal.316)
Gangguan tindakan keperawatan Observasi
integritas kulit selama 2 x 24 jam, 1. Identifikasi penyebab gangguan
berhubungan diharapkan keutuhan integritas kulit
dengan jaundice kulit meningkat Terapeutik
Indikator: 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
- Elastisitas 2. Gunakan produk berbahan
mneingkat ringan/alami dan hipoalergik pada kulit
- Hidrasi sensitif
meningkat 3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Kerusakan Edukasi
lapiran kulit 1. Anjurkan mneingkatkan asupan utrii
menurun (ASI)
- Suhu kulit
membaik
- Sensasi membaik
- Tekstur membaik
4 (D.0036) (Hal.87) (L.05020) (Hal.41) Manajemen cairan (I.03098) (Hal.159
Risiko Setelah dilakukan Observasi
ketidakseimbangan tindakan keperawatan 1. Monitor status hidrasi
cairan selama 2 x 24 jam, 2. Monitor berat badan harian
berhubungan diharapkan 3. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
dengan fototerapi keseimbangan cairan Terapeutk
meningkat 1. Catat intake-output dan hitung balans
Indikator: cairan 24 jam
- Asupan cairan 2. Berikan asupan cairan ASI
ASI meningkat
- Kelembaban
membran
mukosa
meningkat
- Dehidrasi
menurun
- Membran
mukosa
membaik
- Turgor kulit
membaik
5 (D.0136) (L.14138) (Hal.140) Manajemen keselamatan lingkungan
(Hal.294) Setelah dilakukan (I.14513) (Hal.192)
Risiko cedera tindakan keperawatan Observasi
berhubungan selama 2 x 24 jam, 1. Identifikasi kebutuhan keselamatan
dengan fototerapi diharapkan derajat Terapeutik
jatuh menurun 1. Hilangkan bahaya keselamatan
Indikator: lingkungan
- Jatuh dari 2. Modifikasi lingkungan untuk
tempat tidur meminimalkan bahaya dan risiko
menurun 3. Gunakan perangkat pelindung
- Jatuh saat Edukasi
dipindahkan 1. Ajarkan keluarga risiko tinggi bahaya
menurun lingkungan
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah proses pengelolaan dan
perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
perencanaan. (Solica, 2016).
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah proses kontinu yang paling penting
untuk memanajemen kualitas dan tetepatan tindakan asuhan keperawatan
yang dilakukan dan keefektifan rencana keperawatan dalam memenuhi
kebutuhan klien selalu berubah dengan cepat dan perencanaan pun selalu
memerlukan revisi dan pembaharuan dengan menambah informasi klien
yang baru berkembang (Doengoes, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
A. Tujuan
1. Mengurangi/menurunkan kadar bilirubin yang patogen
2. Mencegah penumpukan bilirubin indirek dalam sel otak
B. Persiapan Pasien
1. Pastikan klien memerlukan pemenuhan kebutuhan dasar manusia
(minum, aktivitas, tidur, terhindar infeksi, personal hygiene,
keseimbangan suhu)
2. Amati seluruh tubuh klien (warna kulit, mata, aktivitas, kotoran atau
bau)
3. Atur posisi sesuai prosedur yang akan dilakukan
C. Persiapan Alat
1. Siapkan pemberian minum ASI/PASI
2. Pemeriksaan fisik
3. Alat tenun dan pakaian bayi
4. Alat memandikan
5. Tempat sampah
D. Penutup mata dan testis (bahan tak tembus cahaya)
1. Persiapan Lingkungan
2. Amati instalasi yang berhubungan dengan listrik
3. Tidak menempatkan bayi dekat pintu atau jendela yang terbuka
4. Amati lampu foto terapi, lama pemakaian dan keutuhannya
E. Pelaksanaan
1. Perawat mencuci tangan, alat didekatkan
2. Keluarga diberitahu, lampu fototerapi dimatikan.
3. Lepaskan pelindung mata, amati kotoran dan warna sclera dan
bersihkan dengan kapas mata. Catat bila ada hal-hal yang tidak wajar
4. Pastikan bayi apakah badannya kotor, bau urin atau baung air besar
5. Bersihkan badan bayi dengan mandi lap didalam incubator kemudian
keringkan dengan handuk
6. Mengganti pakaian/alat tenun/popok basah sesudah
dimandikan
7. Observasi TTV, amati seluruh tubuh bayi terutama warna kuning.
8. Lanjutkan pemberian tindakan lainnya, bila harus mendapat antibiotic
melalui infus, berikan terapi sesuai program (5 benar). Check kembali
TTV. Dokumentasikan pemberian
terapi
9. Berikan pemenuhan kebutuhan cairan melalui minum sesuai jadwal
dan kebutuhan bayi. Bila diperkirakan ada kehilangan cairan karena
peningkatan suhu, berikan cairan extra (10 – 15 ml/kgBB)
10. Posisikan kembali bayi untuk melanjutkan pemberian sinar
foto terapi.
11. Pakaian bayi dilepas dalam box/incubator
12. Menutup mata dan testis dengan bahan tidak tembus cahaya.
13. Tidurkan bayi terlentang atau tengkurap
14. Atur jarak bayi 45 – 50 cm dari lampu
15. Atur posisi bayi dalam 3 posisi (mika – miki – tengkurap) setiap 3 – 8
jam
16. Ukur suhu, HR, RR setiap 2 jam
17. Matikan fototerapi bila memberikan minum, penutup mata dibuka,
observasi mata (kotoran), ijinkan ibu kontak dengan bayi.
18. Catat intake dan output
19. Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit (timbang BB 2x sehari) dan
efek samping fototerapi
20. Alat-alat rapihkan dan dibereskan
21. Periksa kadar bilirubin setiap 12-24 jam.
Lampiran 2
Lampiran 3
rista.andaruni90@gmail.com
Abstrak
Bayi baru lahir memiliki risiko mengalami hiperbilirubinemia yang terjadi pada sekitar 80% bayi
prematur dan 60 % pada bayi aterm selama minggu pertama setelah kelahiran, yang disebabkan
oleh tingginya kadar bilirubin dalam darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian pijat bayi dan breastfeeding terhadap penurunan kadar bilirubin pada neonatus
dengan hiperbilirubinemia. Jenis penelitian desain Quasi Eksperimental dengan rancangan Non-
Equivalent Control Group. Sampel dalam penelitian ini neonatus hiperbilirubinemia yang
menerima fototerapi sebanyak 70 bayi dibagi menjadi 4 kelompok. Bayi yang mendapatkan pijat
dan breastfeeding (Kelompok I), bayi yang mendapat pijat dan susu formula (Kelompok II), bayi
yang hanya mendapat breastfeeding (Kelompok III) dan bayi yang hanya mendapat susu formula
(Kelompok IV). Pemberian intervensi dilakukan selama 3 hari/sampel. Analisis data
menggunakan uji Paired T Test dan uji Anova. Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan kadar
bilirubin antara keempat kelompok setelah intervensi dengan p value 0,000<0,05. Setelah
intervensi diperoleh rata-rata penurunan kadar bilirubin pada kelompok pijat+breastfeeding
sebesar 7.82 mg/dl, kelompok pijat+susu formula sebesar 9.22 mg/dl, kelompok breastfeeding
sebesar 14.68 mg/dl dan kelompok susu formula sebesar 13.69 mg/dl. Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa kelompok yang diberikan pemijatan lebih efektif menurunkan kadar bilirubin
dibandingkan hanya diberikan breastfeeding atau susu formula. Pijat bayi bisa membantu
mengurangi kadar bilirubin dengan meningkatkan frekuensi defekasi pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia yang menerima fototerapi.
Kata kunci: Pijat bayi, Hiperbilirubinemia, Neonatus, Fototerapi, Bilirubin, Breastfeeding
Abstract
The newly born baby has the risk undergoing hyperbilirubinemia which occurs on approximately
80% premature babies and 60% aterm babies for the first week of post partum, caused by the
bilirubin content height in the blood. The research aimed at investigating the effect of the babies’
massage treatment and breastfeeding on the bilirubin content decrease of the neonates with the
hyperbilirubinemia. This was a quasi experimental design research with the non-equivalent
control group design. The research samples were the hyperbilirubinemia neonates who obtained
the phototherapy as many as 70 babies, they were divided into four groups. The babies who
obtained the massage and breastfeeding were (Group I), the babies who obtained the massage and
formulated milk were (Group II), the babies who only obtained breastfeeding were (Group III)
and the babies who only obtained the formulated milk were (Group IV). The intervention delivery
was conducted for 3 day/sample. The data analysis used the paired t-test and anova test. The
research result indicates that there are the bilirubin content differences among the four groups
Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin
after the intervention with the p value of 0.000<0.05. After the intervention, the average bilirubin
content decrease is obtained on the massage+breastfeeding group of 7.82 mg/dl, the
massage+formulated milk is 9.22 mg/dl, the breastfeeding group is 14.68 mg/dl and the
formulated milk group is 13.69 mg/dl. The research result can be concluded that the groups given
the more effective massages decrease the bilirubin content compared with the groups who are only
given the breastfeeding or formulated milk. The baby massage can help reduce the bilirubin
content with improve the defecation frequency on the neonates with the hyperbilirubinemia
obtaining the phototherapy. Key word: Baby Massage, Hyperbilirubinemia, Neonates,
Phototherapy, Bilirubin, Breastfeeding.
TUJUAN
Untuk mengetahui pengaruh pijat
bayi terhadap penurunan kadar
billirubin pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia.
RANCANGAN/METODE
Penelitian ini menggunakan
desain quasi eksperimental dengan
Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin
Paritas
Primipara 11 (55%) 10 (66.7%) 10 (50%) 8 (53.3%) 0.797**
Multipara 9 (45%) 5 (33.3%) 10 (50%) 7 (46.7%)
bahwa pada hari pertama kelompok I, II, perbedaan frekuensi defekasi sebelum
III dan IV masing-masing diperoleh nilai intervensi dan setelah intervensi pada
p>0.05 artinya tidak ada perbedaan kelompok I dan II pada hari kedua dan
Tabel 2. Perubahan Frekuensi Defekasi Sebelum dan Setelah Intervensi Pada Masing-Masing
Kelompok Pada Hari Pertama Sampai Hari Ketiga
No. Kelompok Pretest Posttest I P Posttest II P Posttest III P
Mean±SD Mean±SD Mean±SD Mean±SD
1 Pijat+Breasfeeding 2±0.44 2±0.50 0.083 4±0.51 0.000* 5±0.51 0.00
0*
2 Pijat+Susu Formula 2±0.25 2±0.41 0.164 3±0.29 0.000* 3±0.48 0.00
0*
3 Breastfeeding 2±0.44 2±0.48 0.163 2±0.48 0.330 2±0.51 0.05
5
4 Susu Formula 2±0.70 2±0.64 0.334 2±0.74 0.334 2±0.45 0.18
9
Pengaruh Pijat Bayi Dan Breastfeeding Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin
ketiga. Sedangkan, kelompok III dan IV penurunan kadar bilirubin pada hari
masing-masing diperoleh nilai p>0.05 ketiga paling tinggi pada kelompok I
artinya tidak ada perbedaan frekuensi yaitu 57,46% dan terendah pada
defekasi sebelum intervensi dan setelah kelompok IV yaitu 22,08%. Hasil uji
intervensi pada masing-masing statistik dengan uji paired t test
kelompok pada hari *Significant menunjukan bahwa kelompok I, II, III
Difference dan IV masing-masing diperoleh nilai p
sama yaitu 0,000 (p<0.05) artinya ada
Sumber : Data Primer 2017
perbedaan kadar bilirubin sebelum
intervensi dan setelah intervensi pada
KADAR BILIRUBIN masing-masing kelompok pada hari
ketiga.
Tabel 3 menunjukkan
menunjukan bahwa rata-rata
n % n %
Kelompok Pijat+Breastfeeding 0 0% 20 100% 0.093 1.2
Pijat+Susu Formula 2 13.3% 13 86.7%
*Significant Difference
Sumber : Data Primer 2017
Hasil analisis antara kelompok pijat+susu nilai p=0.000 yang berarti terdapat
formula dengan kelompok yang hanya perbedaan antara kelompok tersebut
diberikan breastfeeding menunjukkan nilai terhadap
p=0.001 yang berarti terdapat perbedaan penghentian fototerapi dan nilai OR : 4.3
antara kelompok tersebut terhadap yang berarti penghentian fototerapi hari
penghentian fototerapi dan nilai OR : 2.8 ketiga 4.3 kali lebih banyak pada
yang berarti penghentian fototerapi hari kelompok pijat+susu formula
ketiga 2.8 kali lebih banyak pada dibandingkan kelompok susu formula
kelompok pijat+susu formula saja.
dibandingkan kelompok breastfeeding Sedangkan, hasil analisis antara kelompok
Tabel 5. Uji Post Hoc Total Serum Bilirubin Pada Pemeriksaan Posttest
Kelompok p
eksklusif pada bayi dan pentingnya inisiasi 8. Dalili H., Sheikhi S., Shariat M., &
menyusu dini serta tidak perlu mengganti Haghnazarian E. (2016). Effects of
ASI dengan susu formula pada ibu yang baby massage on neonatal jaundice in
ASInya cukup, dengan tujuan untuk healthy Iranian infants: A pilot study.
mempercepat metabolisme dan Infant
pengeluaran bilirubin. Behavior & Development, 42 (2016)
22– 26
DAFTAR PUSTAKA 9. Seyyedrasooli A., Valizadeh L.,
1. Suradi R. & Letupeirissa D. (2013). Air Hosseini MB., Asgari JM., &
Susu Ibu dan Ikterus. Buku Bedah ASI Mohammadzad M. (2014). Effect of
IDAI. Vimala Massage on Physiological
2. Nourozi E., Fallah R., & Eidi MR. Jaundice in Infants: A Randomized
(2011). Nelson Textbook of Pediatrics, Controlled Trial. J Caring Sci. 3(3):165-
Kliegman R. 19 th ed. Tehran: Andishe 734
rafi; (Persian)
10. Keshavarz M. & Haghighi NB. (2010).
3. Muchowski KE., Hospital N.,
Effects of Kangaroo Contact on Some
Pendleton C., Medicine F., Program R.,
Physiological Parameters In Term
& Pendleton C. (2014). Evaluation and
Neonates And Pain Score in Mothers
Treatment of Neonatal
With Cesarean Section. Faslnamahi
Hyperbilirubinemia, 89(11), 873–878.
Kumish. 11(2):91-84 (Persian)
4. Martiza I. (2012). Buku Ajar
11. Chen J., Sadakata M., Ishida M.,
Gastroenterologi-Hepatologi. Jakarta :
Sekizuka N., & Sayama M. (2011).
CV. Badan Penerbit IDAI.
Baby massage ameliorates neonatal
5. Kianmehr M., Moslem A., Moghadam jaundice in full-term newborn infants.
KB., Naghavi M., Noghabi SP., & Tohoku J Exp Med. 223:97–102.
Moghadam MB. (2014). The Effect of
12. Karbandi S., Lotfi M., Boskabadi H., &
Massage on Serum Bilirubin Levels in Esmaily H. (2015). The Effects of Field
Term Neonates With Massage Technique on Bilirubin Level
Hyperbilirubinemia Undergoing and the Number of Defecations in
Preterm Infants. Evidence Based Care
Phototherapy. Nautikus. Vol 108, no
Journal, 5 (4): 7-16
1. 459-465