Anda di halaman 1dari 55

APLIKASI TERAPI KOMPRES DINGIN UNTUK MENURUNKAN NYERI

PASIEN SAAT KANULASI (INLET AKSES FEMORAL) HEMODIALISIS


PADA TN. W DENGAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK YANG
MENJALANI HEMODIALISIS DI RUANG HEMODIALISA
RSUD KRATON KABUPATEN PEKALONGAN
JAWA TENGAH

EDWIN SAPUTRO
G3A017176

PROGRAM STUDY PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan

etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang

progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal

ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi

ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi

pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal

(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).

Gagal ginjal kronis merupakan kerusakan ginjal progresif yang

berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen)

lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan

dialisis atau transplantasi ginjal (Nursalam, 2006). Metode terapi dialysis

menjadi pilihan utama dan merupakan perawatan umum adalah

hemodialisis (Lubis, 2006).

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu keadaan yang bersifat

progresif dimana ginjal mengalami kehilangan fungsi yang bersifat

irreversible (Smeltzer and Bare, 2002; Lewis, et al, 2011). Pasien gagal

ginjal di seluruh dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Angka

kejadian gagal ginjal di dunia secara global mencapai lebih dari 500 juta

orang dan yang harus menjalani hidup dengan hemodialisis (HD)

mencapai 1,5 juta orang. (Beverly & Akhemona, 2012; Collins A.J, 2008).

Kondisi di Indonesia, yang berpenduduk sekitar 250 juta orang, angka

2
prevalensi gagal ginjal diperkirakan 400/1 juta penduduk dan angka

insiden diperkirakan 100/1 juta penduduk. Dari data tersebut berarti

terdapat sekitar 100.000 pasien gagal ginjal (Saputra, 2014). Jumlah

penderita gagal ginjal di Indonesia sekitar 150 ribu orang dan yang

menjalani HD 10 ribu orang (Baradero, 2008).

Hemodialisa merupakan terapi pengganti ginjal yang bertujuan

untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein atau mengoreksi

gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Terapi hemodialisa yang

dijalani penderita gagal ginjal tidak mampu mengimbangi hilangnya

aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal akan

berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien (Smeltzer dan Bare, 2002).

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam

keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek atau pasien

dengan penyakit ginjal stadium terminal (End Stage Renal Disease) yang

membutuhkan terapi jangka panjang atau permanen. Proses hemodialisis

memerlukan pemasangan sebuah alat untuk mendapatkan akses vaskuler yang

akan dihubungkan dengan mesin hemodialisa. Tindakan tersebut disebut

kanulasi. (Smeltzer and Bare, 2002).

Kanulasi adalah suatu tindakan memasukkan jarum melalui kulit menuju

pembuluh darah (AV Shunt atau Femoral) sebagai sarana untuk menghubungkan

antara sirkulasi vaskular dan mesin dialisa selama proses HD (Daugirdas, Blake

& Ing, 2007). Kanulasi merupakan prosedur yang menimbulkan masalah

psikologis berupa kecemasan dan fisik berupa rasa nyeri akibat insersi jarum

yang berukuran besar saat tindakan HD (Ball, 2005). Prosedur kanulasi

menyebabkan kerusakan pada lapisan kulit dan juga pembuluh darah. Keadaan

tersebut menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin dan

3
kalium. Substansi tersebut menyebabkan nociceptor bereaksi, apabila nociceptor

mencapai ambang nyeri, maka akan timbul impuls saraf yang akan dibawa oleh

serabut saraf perifer Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. IX, No. 2,

September 2016 52 hingga transmisi saraf berakhir di pusat otak, maka individu

akan mempersepsikan nyeri pada area kanulasi (Perry & Potter, 2006).

Nyeri merupakan sensasi subjektif, rasa tidak nyaman yang berkaitan

dengan kerusakan jaringan baik aktual atau potensial, bersifat protektif,

menyebabkan individu menjauhi suatu rangsangan yang berbahaya, atau tidak

memiliki fungsi, seperti pada nyeri kronik (Carpenito, 2007). Respon nyeri

merupakan pengalaman sensoris dan emosional individu yang tidak

menyenangkan, sebagai akibat kerusakan jaringan yang bersifat potensial

uataupun actual. Pengkajian yang teliti dan tepat diperlukan untuk mengetahui

skala nyeri agar dapat diatasi dengan tindakan yang tepat (D’Arcy, 2007).

Numerical Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien

untuk menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala

numeral dari 0 – 10. Angka 0 berarti “no pain” dan 10 berarti “severe pain”

(nyeri hebat). Menurut Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR,

1992) menyatakan bahwa skala ini paling efektif digunakan saat mengkaji

intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapetik. Skala yang

direkomendasikan menggunakan ukuran 10 cm (Potter & Perry, 2006).

Dari studi observasi di RSUD Cilacap pada akhir Februari 2014,

terhadap 15 pasien yang sedang menjalani terapi HD shift pertama,

didapatkan data bahwa 100% pasien merasakan nyeri saat kanulasi (inlet-

outlet) akses femoral walaupun sudah lebih dari 3 kali tindakan HD. Hasil

wawancara kepada 3 orang pasien yang dilakukan HD, saat dilakukan

kanulasi oleh perawat didapatkan hasil bahwa pasien merasa nyeri

4
kanulasi HD dengan skala nyeri pada akses outlet berada pada rentang 4-5

dengan nilai rata-rata 4,67 dan skala nyeri saat akses inlet pada rentang 6-7

dengan nilai rata-rata 6,3. Dalam melakukan kanulasi perawat sudah

melakukan upaya pengontrolan nyeri untuk pasien dengan meminta klien

melakukan relaksasi nafas dalam, sebelum dan selama proses penusukan

jarum di daerah femoral.

Intervensi keperawatan untuk mengatasi nyeri berbentuk

farmakologis dan nonfarmakologis. Intervensi non farmakologis yang

sering digunakan untuk mengatasi nyeri adalah masase kutaneus, terapi es

dan panas (aplikasi panas dan dingin), teknik relaksasi dan distraksi,

akupuntur, deep breathing, imagery, reiky, therapeutic touch, pemberian

nutrisi (Lewis, et al, 2011; D’Arcy, 2007; Movahedi, Rostami, Salsali,

Kelkhaee & Moradi, 2006).

Pemberian kompres dingin dengan es dipandang efektif dalam

membantu Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. IX, No. 2, September

2016 53 mengendalikan nyeri, stimulasi dingin pada kulit akan

menurunkan konduksi impuls serabut syaraf sensoris nyeri, sehingga

rangsangan nyeri menuju hipotalamus akan dihambat dan diterima lebih

lama (D’Arcy, 2007). Metode untuk mengontrol nyeri dengan teknik

pemberian kompres es sebagai bentuk stimulasi dingin dipandang sebagai

bentuk intervensi keperawatan yang efektif dalam mengontrol nyeri pasien

saat kanulasi intravena.

Kompres es pada area kanulasi selama 3 menit sebelum kanulasi

dilakukan terbukti efektif untuk mengontrol respon nyeri pasien saat

5
kanulasi intravena (Movahendi, Rostami, Salsali, Kelkhaee & Moradi,

2006). Dari hasil penelitian bahwa memberikan stimulasi dingin selama 10

menit dengan kompres es yang dibungkus sarung tangan karet di daerah

antara ibu jari dan jari telunjuk pada daerah kontralateral tindakan kanulasi

HD, efektif untuk mengontrol nyeri saat kanulasi HD dengan nilai P 0,001

(Sabitha, et al., 2008). Hasil penelitian Arifiyanto (2013) menyarankan

bahwa intervensi kompres dingin 10 menit sebelum kanulasi perlu

dilakukan untuk mengontrol nyeri saat kanulasi outlet hemodialisa.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka peneliti tertarik

untuk melakukan aplikasi kompres dingin terhadap penurunan nyeri pasien

saat kanulasi inlet akses femoralis hemodialisis di RSUD Kraton

Pekalongan Jawa Tengah.

B. Tujuan

a. Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh kompres dingin tuntuk menurunkan nyeri

pasien saat kanulasi (inlet akses femoral) hemodialisis

b. Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu mengetahui penyebab nyeri, patofisiologi,

penatalaksanaan dan asuhan keperawatan pada pasien dengan

pemasangan inlet akses femoral hemodialisis

2. Mahasiswa mampu mengaplikasikan Evidence Based Nursing

sebagai intervensi yang tepat

6
BAB II

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN GAGAL GINJAL KRONIK

Gagal ginjal kronik adalah Penyakit yang bisa timbul karena

kerusakan pada filtrasi dan sekresi ginjal akan berujung pada gagal ginjal

kronik atau disebut chronic kidney disease (CKD). Chronic kidney disease

sendiri di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu hipertensi,

glomerulonefritis, nefropati analgesik, nefropati diabetic, nefropati refluk,

ginjal polikistik, obstruksi dan gout (Mansjoer, 2007)

Gagal ginjal kronis merupakan kerusakan ginjal progresif yang

berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen)

lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan

dialisis atau transplantasi ginjal (Nursalam, 2006).

Gagal ginjal kronik adalah akibat kerusakan permanen nefron oleh

semua penyakit ginjal berat (John Gibson, 2003).

Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persistren

dan irreversibel (Mansjoer, 2000).

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal progresif yang

berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen

lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan

dialisis atau transplantasi ginjal) (Nursalam, 2006).

Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan

penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan

7
cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular (LFG) kurang

dari 50 mL/menit (Suhardjono, dkk, 2001).

Insufisiensi ginjal kronik atau kegagalan dimulai ketika ginjal tidak

bisa memelihara kimia normal cairan tubuh dibawah kondisi normal.

Kemunduran secara progresif lebih dari periode bulan atau tahun

menimbulkan keanekaragaman klinis dan gangguan biokimia yang

akhirnya mencapai puncak dari sindrom klinis disebut uremia (Whaley &

Wong, 2002).

Gagal ginjal kronis suatu penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan

fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh

gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan

elektrolit sehingga terjadi uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain

lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2000).

B. ETIOLOGI

1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis.

2. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,

nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis.

3. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,

poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif.

4. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,

asidosis tubulus ginjal.

5. Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme,

amiloidosis.

8
6. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal.

7. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli

neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:

hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher

kandung kemih dan uretra.

8. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis.

C. PATOFISIOLOGI

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk

glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa

nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi

volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam

keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan

ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan

yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi

berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena

jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi

produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi

lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira

fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang

demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih

rendah itu (Barbara C Long, 1996, 368).

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang

normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi

9
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan

produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia

membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).

Klasifikasi

Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :

- Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar

kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik.

- Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan

telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin

serum meningkat.

- Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari

tingkat penurunan LFG :

- Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria

persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2

- Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan

LFG antara 60-89 mL/menit/1,73 m2

- Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59

mL/menit/1,73m2

- Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-

29mL/menit/1,73m2

- Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau

gagal ginjal terminal.

10
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance

Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )

72 x creatini serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

D. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik pada gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut:

a. Gangguan kardiovaskuler

Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi

perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan

irama jantung dan edema.

b. Gannguan Pulmoner

Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak,

suara krekels.

c. Gangguan gastrointestinal

Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan

metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran

gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau

ammonia.

11
d. Gangguan muskuloskeletal

Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu

digerakan), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar,

terutama ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan

hipertropi otot – otot ekstremitas).

e. Gangguan Integumen

kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan

akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis

dan rapuh.

f. Gangguan endokrim

Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan

menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan

metabolic lemak dan vitamin D.

g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa

biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan

natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,

hipokalsemia.

h. System hematologi

anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi

eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum

tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup

eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan

fungsi trombosis dan trombositopeni.

12
E. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :

a. Konservatif

- Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin

- Observasi balance cairan

- Observasi adanya odema

- Batasi cairan yang masuk

b. Dialysis

- Peritoneal dialysis

Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.

Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak

bersifat akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial

Dialysis )

- Hemodialisis

Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena

dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis

dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk

mempermudah maka dilakukan :

- AV fistule : menggabungkan vena dan arteri

- Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi

ke jantung )

c. Operasi

- Pengambilan batu

- Transplantasi ginjal

13
F. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DASAR

1. Pengkajian Data Fokus

Umum
a. Airway
Pertahankan kepatenan jalan nafas
Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk
mencegah penekanan/bendungan pada vena jugularis
Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
b. Breathing
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi
oksigen
c. Circulation
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill,
sianosis pada kuku, bibir)
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek
terhadap cahaya
3) Monitoring tanda – tanda vital
4) Pemberian cairan dan elektrolit
5) Monitoring intake dan output

14
2. Patways Keperawatan

Zat toksik vaskular infeksi Obstruksi saluran kemih

Reaksi antigen arteriosklerosis Tertimbun di ginjal


antibodi Retensi urin Batu besar dan kasar
Suplai darah ke ginjal

Menekan saraf perifer Iritasi/cedera jaringan

Nyeri pinggang Hematuria

Anemia

GFR

Gagal mempertahankan metabolisme dan


keseimbangan cairan dan elektrolit

GGK

Sekresi protein terganggu Retensi Na Sekresi eritropoetin

Tekanan kapiler
Sindrom uremia Produksi Hb

Volume interstisial
Gg keseimbangan asam Urokom tertimbun di kulit Suplai nutrisi dalam darah
basa Perpospatemia Edema
Perubahan warna kulit Gangguan nutrisi
Produksi asam Pruritis Pre load
lambung naik
Oksihemoglobulin
Kerusakan integritas kulit Bebanjantung

Nausea/vomitus Iritasi lambung Suplai O2 kasar


Hipertrofi ventrikel kiri

Resiko infeksi Resiko perdarahan Intoleransi aktivitas


COP Bendungan atrium kiri
15
Ketidakefektifan
jaringan perifer
Gastritis Hematemesis/melena
Tekanan vena pulmonaris

Mual/muntah anemia
Kaliper paru naik

Ketidakseimbangan Keletihan
Edema paru
nurtisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Gangguan pertukaran gas

Aliran darah ginjal Suplai O2 Suplai O2 ke otak turun

RAA Metabolisme anaerob Syncope/kehilangan


kesadaran
Retensi NH dan H2O Asam laktat naik

Kelebihan volume cairan Fatique/nyeri sendi

Nyeri

16
3. Diagnosa Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan kemampuan ginjal untuk

mengeluarkan air dan menahan natrium

2. Perubahan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia,

mual dan muntah

3. Intoleransi aktifitas b.d anemia, oksigenasi jaringan tidak adekuat

4. Perubahan integritas kulit b.d uremia, edema

5. Resiko terhadap infeksi b.d depresi sistem imun, anemia

6. Kurang pengetahun b.d kurangnya informasi tentang proses

penyakit, gagal ginjal, perawatan dirumah dan instruksi evaluasi

4. Fokus Intervensi

1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan kemampuan ginjal

untuk mengeluarkan air dan menahan natrium

Hasil yang diharapkan:

- Masukan dan haluaran seimbang

- Berat badan stabil

- Bunyi nafas dan jantung normal

- Elektrolit dalam batas normal

Intervensi:

- Pantau balance cairan/24 jam

- Timbang BB harian

- Pantau peningkatan tekanan darah

- Monitor elektrolit darah

17
- Kaji edema perifer dan distensi vena leher

- Batasi masukan cairan

2. Perubahan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia,

mual dan muntah

Hasil yang diharapkan:

- Pasien dapat mempertahankan status nutrisi yang adekuat yang

dibuktikan dengan BB dalam batas normal, albumin, dalam batas

normal

Intervensi:

- Kaji status nutrisi

- Kaji pola diet nutrisi

- Kaji faktor yang berperan dalam merubah masukan nutrisi

- Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet

- Anjurkan cemilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium

diantara waktu makan

- Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama makan

- Timbang berat badan harian

- Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat

3. Intoleransi aktifitas b.d anemia, oksigenasi jaringan tidak adekuat

Hasil yang diharapkan :

- Pasien mendemonstrasikan peningkatan aktivitas yang dibuktikan

dengan pengungkapan tentang berkurangnya kelemahan dan dapat

18
beristirahat secara cukup dan mampu melakuakan kembali

aktivitas sehari-hari yang memungkinkan

Intervensi:

- Kaji faktor yang menimbulkan keletihan

- Tingkatkan kemandirian dalam aktifitas perawatan diri yang dapat

ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi

- Anjurkan aktifitas alternatif sambil istirahat

- Anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis

- Beri semangat untuk mencapai kemajuan aktivitas bertahap yang

dapat ditoleransi

- Kaji respon pasien untuk peningkatan aktivitas

4. Perubahan integritas kulit b.d uremia, edema

Hasil yang diharapkan:

- Kulit hangat, kering dan utuh, turgor baik

- Pasien mengatakan tak ada pruritus

Intervensi:

- Kaji kulit dari kemerahan, kerusakan, memar, turgor dan suhu

- Jaga kulit tetap kering dan bersih

- Beri perawatan kulit dengan lotion untuk menghindari

kekeringanBantu pasien untuk mengubah posisi tiap 2 jam jika

pasien tirah baring

- Beri pelindung pada tumit dan siku

- Tangani area edema dengan hati-hati

19
- Pertahankan linen bebas dari lipatan

5. Resiko terhadap infeksi b.d depresi sistem imun, anemia

Hasil yang diharapkan:

- pasien tetap terbebas dari infeksi lokal maupun sitemik

dibuktikan dengan tidak ada pana/demam atau leukositosis,

kultur urin, tidak ada inflamasi

intervensi:

- Pantau dan laporkan tanda-tanda infeksi seperti

demam,leukositosis, urin keruh, kemerahan, bengkak

- Pantau TTV

- Gunakan tehnik cuci tangan yang baik dan ajarkan pada pasien

- Pertahankan integritas kulit dan mukosa dengan memberiakan

perawatan kulit yang baik dan hgiene oral

- Jangan anjurkan kontak dengan orang yang terinfeksi

- Pertahankan nutrisi yang adekuat

6. Kurang pengetahun b.d kurangnya informasi tentang proses

penyakit, gagal ginjal, perawatan dirumah dan instruksi evaluasi

Hasil yang diharapkan:

- Pasien dan orang terdekat dapat mengungkapkan, mengerti

tentang gagal ginjal, batasan diet dan cairan dan rencana kontrol,

mengukur pemasukan dan haluaran urin.

20
Intervensi:

- Instruksikan pasien untuk makan makanan tinggi karbohidrat,

rendah protein, rendah natrium sesuai pesanan dan hindari

makanan yang rendah garam.

- Ajarkan jumah cairan yang harus diminum sepanjang hari

- Ajarkan pentingnya dan instrusikan pasien untuk mengukur dan

mencatat karakter semua haluaran (urin, muntah)

- Ajarkan nama obat,dosis, jadwal,tujuan serta efek samping

- Ajarkan pentignya rawat jalan terus menerus

G. NYERI

1. PENGERTIAN NYERI

Nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional

yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang

aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana

terjadi kerusakan. (Perry & Potter, 2005).

Nyeri pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan

muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau yang

digambarkan sebagai kerusakan (International Association fot the Study of

Pain); awitan yang tiba tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat

dengan akhir yang dapat di antisipasi atau diprediksi (Nanda, diagnosis

keperawatan definisi dan klasifikasi, 2015).

Nyeri pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan akual atau fungsional, dengan onset mendadak atau

21
lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung hingga

kurang dari 3 bulan (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, 2016).

2. FISIOLOGIS NYERI

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi dan perilaku. Cara

yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu

untuk menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut, yakni: resepsi,

persepsi, dan reaksi.

1. Resepsi

Adanya stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia)

akan menyebabkan pelepasan subtansi kimia seperti histamin,

bradikinin, kalium. Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor

bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang nyeri, maka akan timbul

impuls syaraf yang akan dibawa oleh serabut syaraf perifer serabut

syaraf perifer yang akan membawa impuls syaraf ada dua jenis yaitu,

serabut A-delta dan serabut C. Impuls akan dibawa sepanjang serabut

syaraf sampai ke kornu dorsalismedulla spinalis.impuls syaraf tersebut

akan menyebabkan kornu dorsalis melepaskan neurotransmiter, sepetri

substansi P dilepaskan, sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis

dari syaraf perifer (sensori) ke syaraf traktus spinotalamus. Hal ini

memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke dalam sistem

syaraf pusat.setelah impuls syaraf sampai di otak, otak akan mengolah

impuls syaraf kemudian akan timbul respon relek protektif.

22
2. Persepsi

merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Stimulus

nyeri ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke tallamus dan orak

tengah. Dari tallamus, serabut mentransmisikan pesan nyeri keberbagai

area otak, termasuk korteks sensori dan korteks asosiasi (dikedua lobus

parietalis), lobus frontalis, dan sistem limbik. Setelah transmisi syaraf

berakhir didalam pusat otak yang lebih tinggi, maka individu akan

mepersepsikan nyeri. Pada saat individu akan sadar terhadap nyeri,

maka akan terjadi reaksi yang kompleks.

3. Reaksi

Reaksi terhadap nyeri merukan respon fisiologis dan prilaku yang

terjadi setelah mempersepsikan neyri. Impuls nyeri ditransmisikan ke

medulla spinalis menuju ke batang otak dan talamus. Sistem syaraf

otonom menjadi terstimulasi, saraf simpatis dan parasimpatis bereaksi,

maka akan timbul respon fisiologis dan akan muncul prilaku.

A. Respon Fisiologis

1. Stimulus simpatik: (nyeri ringan, moderat,superficial)

- Dilatasi saluran bronkial dan peningkatan respiratory

rate

- Peningkatan heart rate

- Vasokontriksi perifer, peningkatan BP

- Peningkatan nilai gula darah

- Diaphoresis

23
- Peningkatan kekuatan otot

- Dilatasi pupil

- Penurunan mobilitas gastrointestinal

2. Stimulus Parasimpatik: ( nyeri berat dan dalam)

- Muka pucat

- Otot mengeras

- Penurunan hr dan bp

- Napas cepat dan ireguller

- Nausea dan vomitus

- Kelelahan dan keletihan

B. Respon Tingkah Laku Terhadap Nyeri

- Pernyataan verbal (mengaduh, menagis, sesak napas,

mendengkur)

- Ekspresi wajah 9 meringis, menggigit gigi, menggigit bibir)

- Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot,

peningkatan gerakan jari tangan)

- Kontak dengan orang lain/ interaksi sosial, penurunan

rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan

nyeri).

24
3. ETIOLOGI NYERI

1. Trauma

Mekanik (tergesek, terpotong, terpukul, tertusuk)

Thermis (panas dan dingin)

Chemis (zat kimia yang bersifat asam dan basa serta iritasi dan korosif

lainnya)

Elektris (listrik)

2. Inflamasi/ peradangan nyeri yang disebabkan oleh pembengkakan dan

meregang syaraf dan pelepasan mdiator kimia

3. Trauma psikologis yaitu keluhan yang berhubungan dengan psikologis

4. Gangguan sirkulasi yaitu terjadi penyempitan/ penyumbatan pada

saluran tubuh

5. Neuplasma yaitu nyeri yang tidak ada reseptor, contoh: tumor

4. KLASIFIKASI NYERI

Berdasarkan lama dan durasinya perbedaan karakteristik nyeri di bagi

menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronik

Nyeri akut Nyeri kronik

Ringan sampai berat Ringan sampai berat

Respon sistem syaraf simpatik: Respon sistem syaraf parasimpatik;


- Peningkatan nadi - Tanda tanda vital normal
- Peningkatan frekuensi napas - Kulit kering, hangat
- Peningkatan tekanan darah - Pupil normal atau dilatasi
- Diaforesis
- Dilatasi pupil

Berhubungan dengan cidera Terus berlanjut setelah


jaringan: hilang dengan penyembuhan
penyembuhan

25
Klien tapak gelisah dan cemas Klien tampak depresi dan menarik
diri

Klien melaporkan rasa nyeri Klien seringkali tidak menyebutkan


rasa nyeri kecuali ditanya

Klien menunjukan prilaku yang Prilaku nyeri seringkali tidak


mengindikasikan rasa nyeri: muncul
menagis, menggosok area nyeri,
memegang area nyeri

5. PENILAIAN SKALA NYERI

1. Sakala Angka Nyeri Numerik

0 : Tidak ada rasa nyeri / normal

1 : Nyeri hampir tidak terasa (sangat ringan) seperti gigitan nyamuk.

2 : Tidak menyenangkan (nyeri ringan) seperti dicubit.

3 : Bisa ditoleransi (nyeri sangat terasa) seperti ditonjok bagian

wajah atau disuntik.

4 : Menyedihkan (kuat, myeri yang dalam) seperti sakit gigi dan

nyeri disengat tawon.

5 : Sangat menyedihkan (kuat, dalam, nyeri yang menusuk) seperti

terkilir, keseleo.

6 : Intens (kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat sehingga

tampaknya mempengaruhi salah satu dari panca

indra)menyebabkan tidak fokus dan komunikasi terganggu.

26
7 : Sangat intens (kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat) dan

merasakan rasa nyeri yang sangat mendominasi indra

sipenderita yang menyebabkan tidak bisa berkomunikasi dengan

baik dan tidak mampu melakukan perawatan sendiri.

8 : Benar-benar mengerikan (nyeri yang begitu kuat) sehingga

menyebabkan sipenderita tidak dapat berfikir jernih, dan sering

mengalami perubahan kepribadian yang parah jika nyeri datang

dan berlansung lama.

9 : Menyiksa tak tertahankan (nyeri yang begitu kuat) sehingga

sipenderita tidak bisa mentoleransinya dan ingin segera

menghilangkan nyerinya bagaimanapun caranya tanpa peduli

dengan efek samping atau resiko nya.

10 :Sakit yang tidak terbayangkan tidak dapat diungkapkan (nyeri

begitu kuat tidak sadarkan diri) biasanya pada skala ini

sipenderita tidak lagi merasakan nyeri karena sudah tidak

sadarkan diri akibat rasa nyeri yang sangat luar biasa seperi pada

kasus kecelakaan parah, multi fraktur.

Dari sepuluh skala diatas dapat dikelompokkan menjadi tiga

kelompok yaitu:

1. Skala nyeri 1 - 3 (nyeri ringan) nyeri masih dapat ditahan dan

tidak mengganggu pola aktivitas sipenderita.

2. Skala nyeri 4 - 6 (nyeri sedang) nyeri sedikit kuat sehingga

dapat mengganggu pola aktivitas penderita

27
3. Skala nyeri 7 - 10 (nyeri berat) nyeri yang sangat kuat sehingga

memerlukan therapy medis dan tidak dapat melakukan pola

aktivitas mandiri.

2. Skala Wong-Baker (berdasarkan eksperesi wajah):

 ekspresi wajah 1 : tidak merasa nyeri sama sekali

 ekspresi wajah 2 : nyeri hanya sedikit

 ekspresi wajah 3 : sedikit lebih nyeri

 ekspresi wajah 4 : jauh lebih nyeri

 ekspresi wajah 5 : jauh lebih nyeri sangat

 ekspersi wajah 6 : sangat nyeri luar biasa hingga penderita menangis

3. VAS (Visual Analogue Scale) adalah suatu instrumen yang digunakan

untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan sebuah tabel garis

10 cm dengan pembacaan skala 0–100 mm dengan rentangan makna:

28
VAS merupakan metode pengukuran intensitas nyeri yang sensitif,

murah dan mudah dibuat, VAS lebih sensitif dan lebih akurat dalam

mengukur nyeri dibandingkan dengan pengukuran deskriptif,

Mempunyai korelasi yang baik dengan pengukuran yang lain, VAS

dapat diaplikasikan pada semua pasien, tidak tergantung bahasa

bahkan dapat digunakan pada anak-anak di atas usia 5 tahun, VAS

dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri namun VAS juga

memiliki kekurangan yaituVAS memerlukan pengukuran yang teliti

untuk memberikan penilaian, pasien harus hadir saat dilakukan

pengukuran, serta secara visual dan kognitif mampu melakukan

pengukuran.

4. Verbal Analoge Scale

Verbal Descriptive Scale (VDS) Verbal Descriptive Scale merupakan

pengukuran derajat nyeri yang sering digunakan. VDS merupakan

sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata yang

mendeskripsikan perasaan nyeri, tersusun dengan jarak yang sama di

29
sepanjang garis. Kata-kata yang digunakan untuk mendeskripsikan

tingkat nyeri di urutkan dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak

tertahankan.

5. Numerical Rating Scale

NRS adalah skala sederhana yang digunakan secara linier dan

umumnya digunakan untuk mengukur intensitas nyeri dalam praktek

klinis. NRS khas menggunakan skala 11 point dimana titik akhirnya

mewakili nyeri yang paling ekstrim. NRS ditandai dengan garis angka

nol sampai sepuluh dengan interval yang sama dimana 0 menunjukkan

tidak ada nyeri, 5 menunjukkan nyeri sedang, dan 10 menunjukkan

nyeri berat. NRS biasanya dijelaskan kepada pasien secara verbal,

namun dapat disajikan secara visual.

30
BAB III

TELAAH JURNAL

A. JUDUL

PENGARUH KOMPRES DINGIN TERHADAP PENURUNAN NYERI

PASIEN SAAT KANULASI (INLET AKSES FEMORAL)

HEMODIALISIS

B. PENELITI

Suko Pranowo , Agus Prasetyo , Neni Handayani.

C. TEMPAT PENELLITIAN

Ruang Hemodialisa RSUD Cilacap.

D. METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini adalah eksperimen dengan desain “Pre Test and Post

Test Group Design”. Pada penelitian ini yang menjadi populasi target

adalah seluruh penderita GGK yang mendapatkan terapi Hemodialisis

dengan akses vaskuler femoral di RSUD Cilacap tahun 2016. Tekhnik

yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah “Total Sampling”

dengan jumlah sampel sebanyak 38 orang.

Pengumpulan data primer didapat dengan mengukur tingkat kecemasan

sebelum dilakukan tindakan kanulasi dengan menggunakan HARS.

Responden juga diukur skala nyeri menggunakan NRS. Sebelum

pemberian kompres, responden dilakukan pre test (diukur skala nyeri saat

kanulasi akses vaskuler di femoral). Pertemuan berikutnya, kelompok

31
perlakuan pertama diberi kompres dingin selama 3 menit, lalu dilakukan

kanulasi dan diukur skala nyerinya (post test).

E. HASIL DAN KESIMPULAN

Hasil penelitian menggunakan kompres dingin untuk menurunkan

nyeri pasien saat kanulasi (inlet akses femoral) hemodialisis dijelaskan

bahwa nilai rata-rata nyeri responden saat kanulasi inlet akses femoral HD

tanpa intervensi 6,45 dengan nilai tengah 7, skala nyeri terendah 4 dan

tertinggi 8. Pada intervensi kompres dingin rata-rata 4,11 dengan nilai

tengah 4, skala nyeri terendah 3 dan tertinggi 6.

Ada perbedaan skala nyeri yang bermakna antara sebelum

pemberian kompres dingin dan setelah pemberian kompres dingin saat

kanulasi (inlet akses femoral) hemodialisis. Pasien HD perlu diberikan

tindakan kompres dingin sebelum kanulasi untuk mengurangi nyeri saat

kanulasi hemodialisis.

F. LANDASAN TEORI TERKAIT PENERAPAN EVIDENCE BASED

NURSING PRACTICE

Nyeri merupakan sensasi subjektif, rasa tidak nyaman yang

berkaitan dengan kerusakan jaringan baik aktual atau potensial, bersifat

protektif, menyebabkan individu menjauhi suatu rangsangan yang

berbahaya, atau tidak memiliki fungsi, seperti pada nyeri kronik

(Carpenito, 2007). Respon nyeri merupakan pengalaman sensoris dan

emosional individu yang tidak menyenangkan, sebagai akibat kerusakan

jaringan yang bersifat potensial uataupun actual. Pengkajian yang teliti dan

32
tepat diperlukan untuk mengetahui skala nyeri agar dapat diatasi dengan

tindakan yang tepat.

Kompres dingin merupakan metode non farmakologi untuk

mengontrol nyeri dengan teknik pemberian kompres es sebagai bentuk

stimulasi dingin, stimulasi dingin pada kulit akan menurunkan konduksi

impuls serabut syaraf sensoris nyeri, sehingga rangsangan nyeri menuju

hipotalamus akan dihambat dan diterima lebih lama.

Prosedur kanulasi menyebabkan kerusakan pada lapisan kulit dan

juga pembuluh darah. Keadaan tersebut menyebabkan pelepasan substansi

kimia seperti histamin, bradikinin dan kalium. Substansi tersebut

menyebabkan nociceptor bereaksi, apabila nociceptor mencapai ambang

nyeri, maka akan timbul impuls saraf yang akan dibawa oleh serabut saraf

perifer hingga transmisi saraf berakhir di pusat otak, maka individu akan

mempersepsikan nyeri pada area kanulasi. Kompres dingin timulasi dingin

pada kulit akan menurunkan konduksi impuls serabut syaraf sensoris

nyeri, sehingga rangsangan nyeri menuju hipotalamus akan dihambat dan

diterima lebih lama.

33
G. JUSTIFIKASI

Kanulasi femoral

Kerusakan lapisan kulit dan pembuluh darah

Pelepasan substansi kimia (histamin,


bradikinin, dan kalium)

Nociceptor bereaksi

Ditangkap reseptor nyeri perifer

Impuls ke otak

Persepsi nyeri

Nyeri akut

Kompres dingin

H. MEKANISME APLIKASI JURNAL

1. Identifikasi Identitas Klien

2. Berikan informconsent atas tindakan keperawatan yang akan

dilakukan

3. Kaji skala nyeri klien, saat dilakukan kanulasi menggunakan

Numerical Rating Scale

4. Pada pertemuan berikutnya berikan terapi kompres dingin selama 3

menit.

5. Lakukan kanulasi inlet akses femoral

6. Kaji skala nyeri klien saat dilakukan inlet akses femoral menggunakan

Numerical Rating Scale

7. Catat hasil yang didapatkan dari klien

34
BAB IV

RESUME ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN FOKUS

Nama : Tn. W

Umur : 51 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa, Indonesia

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Alamat : Jeruk Sari Tirto, Pekalongan

Dx. Medis : Cronic Kidney Deseasse Stage V

No. RM : 466480

Tanggal Pengkajian :14 Januari 2019

1. Keluhan utama

Klien mengatakan napasnya sesak

2. Riwayat penyakit saat ini

Klien mengatakan sudah satu tahun menderita penyakit gagal ginjal

kronis, dan hrus menjalani cuci darah seminggu 2x.

3. Riwayat penyakit dahulu

Klien mengatakan memiliki riwayat penyakit diabetes melitus sudah 5

tahun, dan tidak pernah dikontrol

35
4. Riwayat penyakit keluarga

Klien mengatakan tidak ada keluarga yang memiliki riwayat sakit

seperti yang diderita dirinya.

5. Pemeriksaan fisik

Tn. W
Px fisik Hasil
TD 140/90
N 90
RR 24
BB 77
Mesocepal, tidak ada nyeri
Kepala
kepala.
Rambut pendek, kulit kepala
bersih, distribusi rambut merata,
Rambut
rambut hitam sedikit putih, tidak
mudah dicabut.
Pupil isokor,
Tekanan intraokuler : tidak ada
nyri tekan
Mata
Konjungtiva anemis
Mata kanan mengalami
kebutaan akibat diabetes
Tidak ada peningkatan vena
Leher
jugularis
Hidung Tidak ada polip
Telinga Tidak ada impaksi serumen
Mulut Mukosa bibir kering
I : Napas cepat RR 24x/mnt.
Pengembangan dada simetris,
tidak ada pegeon chest, barell
chest.
Dada
P : suara sonor.
P : tidak ada nyeri tekan, taktil
fremitus positif

36
A : suara napas vesikuler.
tidak ada suara napas tambahan

I : denyut apek berada di ics V,


VI
P : suara dullnes
Jantung P : tidak ada nyeri tekan
A : suara SI dan SII, tidak ada
suara napas tambahan.

I : Tidak ada lesi, tidak ada


benjolan, ada asites
A : Bising usus nornal 9x/menit
(n=5-14 x/menit),
Abdomen
P : tidak ada nyeri tekan pada
abdomen.
P : suara redup

Terdapat edema pada kedua


ektremitas bawah, tonus otot D
Ekstremitas
5/ S 5, ROM aktif, pitting edem
+, tidak ada clubing finger
Kulit Coklat kehitaman, tidak ada lesi

6. Riwayat Psikososial

- Tidak ada keyakinan/ tradisi yang berhubungan dengan masalah

kesehatan dan pengobatan

- Tidak ada gangguan komunikasi

- Klien dirawat oleh keluarga

- Kondisi saat ini tenang

37
7.Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hematologi

Leukosit 4,61 10^3/ul 4,80 - 10,80

Eritrosit 3,52 Juta/mm3 4,70 - 6,10

Hemoglobin 9,9 g/dl 14 - 18

Hematokit 30,6 % 42,0 - 52,0

MCV 86,90 um3 78,00 - 98,00

MCH 28,10 pg 25,00 - 35,00

MCHC 32,40 g/dl 31,00 - 37,00

Trombosit 161,000 /mm3 150,000 - 450,000

Kimia Klinik

Ureum 62,6 mg/dl 17 - 49

Creatinin 5,60 mg/dl 0,80 - 1,30

GDS 174 mg/dl

Radiologi

Thorax AP : Cardiomegali dengan edema pulmo dan efussi pleura

dupleks

38
Analisa data

No Analisa Data Masalah Etiologi

1. Ds : Nyeri Akut Agen pencedera


- Klien mengatakan nyeri fisik prosedur
saat dilakukan pemasangan inlet
pemasangan jarum di access femoral
area femoral
- Nyeri dirasakan dengan
skala 7, nyeri seperti
ngenyut sampai ke
kepala, perih, nyeri
hilang setelah 2 menit
Do :
- Klien tampak menahan
nyeri saat dilakukan
pemasangan inlet access
femoral
- Raut wajah tegang
ketika dilakukan
pemasangan inlet access
femoral

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik prosedur

pemasangan inlet access femoral

39
C. PATWAYS KEPERAWATAN KASUS

GFR

Gagal mempertahankan keseimbangan


metabolisme dan cairan dan elektrolit

Gagal Ginjal Kronik

Sekresi protein terganggu, retensi Na

Tekanan kapiler

Tekanan interstisiel

Edema

Beban kerja jantung

Hipertropi ventrikel kiri

CPO

Aliran darah ke ginjal

RAA

Retensi NH dan H2O

Kelebihan Volume cairan

Hemodialisa

Kanulasi Femoral

40
Kerusakan lapisan kulit dan pembuluh darah

Pelepasan subtansi kimia, histamin,bradikinin, kalium

Nociceptor bereaksi

Ditangkap reseptor nyeri perifer

Impuls ke otak

Persepsi nyeri

Nyeri akut

D. FOKUS INTERVENSI

Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Rencana Tindakan NIC


Keperawatan NOC
Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan - Kontrol Nyeri Pain Management
dengan agen - Tingkat Nyeri - Kaji nyeri, lokasi
pencedera fisik Kriteria Hasil : karakteristik, durasi
prosedur dan frekuensi
pemasangan inlet - Nyeri berkurang - Observasi reaksi non
access femoral setelah dilakukan verbal dari
kompres dingin ketidaknyamanan
- Observasi TTV
- Melaporkan nyeri
- Berikan kompres
berkurang dengan dingin pada area
menggunakan yang akan di
manajemen nyeri kanulasi (inlet
- Mengtakan rasa accsess femoral)
nyaman setelah nyeri - Ajarkan teknik
berkurang relaksasi dan
distraksi
- Kolaborasikan
dengan dokter dalam
pemberian terapi
farmakologi

41
Implementasi Keperawatan

No Waktu Implementasi Respon

1 Senin - Mengkaaji nyeri, lokasi S:


14 karakteristik, durasi dan - klien mengatakan
januari frekuensi nyeri saat dilakukan
penusukan, nyeri
2019
dirasakan dengan
skala 7, nyeri seperti
ngenyut sampai
kekepala, nyeri
hilang setelah 1
menit
O:
- klien tampak
menahan nyeri
- Klien tampak tegang

- Mengobservasi reaksi non verbal S:-


dari ketidaknyamanan O:
- klien tampak tegang
menahan nyeri saat
penusukan inlet
access femoral
- Mengobservasi Vital Sign S :-
O : TD : 150/100 mmHg
N : 87x/menit
RR : 23x/menit
S : 36,6oC

- Mengajarkan teknik relaksasi S:


- Klien mengatakan
sudah melakukan
tarik napas dalam
O:
- klien tampak
melakukan tarik
napas dalam saat
dilakukan inlet
access femoral

42
Evaluasi

No Waktu Evaluasi Paraf

1 Senin 14 S :
- Klien mengatakan nyeri saat dilakukan
januari penusukan, nyeri dirasakan dengan skala
7, nyeri seperti ngenyut sampai kekepala,
2019 nyeri hilang setelah 1 menit

O:
- Klien tampak menahan nyeri
- Klien tampak tegang
- Klien tampak tegang menahan nhyeri
saat penusukan inlet access femoral
- Vital Sign : TD : 150/100 mmHg
- N: 87x/menit, RR: 23x/menit, S: 36,6oC

A : Masalah Belum Teratasi


P : Lanjutkan intervensi
- Kaji nyeri, lokasi karakteristik, durasi
dan frekuensi
- Observasi reaksi non verbal dari
ketidaknyamanan
- Observasi Vital Sign
- Berikan kompres dingin pada area yang
akan di kanulasi (inlet accsess femoral)
- Ajarkan teknik relaksasi

43
Implemestasi

No Waktu Implementasi Respon

2 Kamis - Memberikan kompres dingin S:


17 pada area yang akan di kanulasi - Klien mengatakan
januari (inlet accsess femoral) nyaman saat
dilakukan kompres
2019
dingin
O:
- Klien tampak
nyaman saat
dilakukan kompres
dingin selama 3
menit pada area
femoral yang akan
dilakukan
penusukan

- Mengkaaji nyeri, lokasi S:


karakteristik, durasi dan - Klien mengatakan
frekuensi tidak nyeri saat
dilakukan
penusukan, nyeri
dirasakan dengan
skala 0.
O:
- Klien tampak
terdiam tenang tidak
menahan nyeri sama
sekali
- Klien tampak rileks
seperti biasa.
- Mengobservasi reaksi non verbal
dari ketidaknyamanan S:-
O:
- klien tampak tenang
tidak menahan nyeri
saat penusukan inlet
access femoral
- Mengobservasi Vital Sign
S :-
O : TD : 160/90 mmHg
N : 84x/menit
RR : 21x/menit
S : 36,3oC

44
- Mengajarkan teknik relaksasi
S:
- Klien mengatakan
sudah melakukan
tarik napas dalam
O:
- klien tampak
melakukan tarik
napas dalam saat
dilakukan inlet
access femoral

Evaluasi

No Waktu Evaluasi Paraf

2 Kamis S:
- Klien mengatakan tidak nyeri saat
17 dilakukan penusukan, skala nyeri 0

januari O:
- Klien tampak tidak menahan nyeri
2019 - Klien tampak tenang dan terdiam
- Klien tampak rileks seperti biasa saat
penusukan inlet access femoral
- Vital Sign : TD : 160/90 mmHg
- N: 84x/menit, RR: 21x/menit, S: 36,3oC

A : Masalah Teratasi
P : Pertahankan intervensi
- Berikan kompres dingin pada area yang
akan di kanulasi (inlet accsess femoral)
- Kaji nyeri, lokasi karakteristik, durasi
dan frekuensi
- Observasi reaksi non verbal dari
ketidaknyamanan
- Observasi Vital Sign
- Ajarkan teknik relaksasi

45
Imlementasi

No Waktu Implementasi Respon

3 Senin - Memberikan kompres dingin S:


21 pada area yang akan di kanulasi - Klien mengatakan
januari (inlet accsess femoral) nyaman saat
dilakukan kompres
2019
dingin, klien
mengatakan senang
jika diberikan
kompres dingin
karena tidak sakit
waktu ditusuk jarum
O:
- Klien tampak
nyaman saat
dilakukan kompres
dingin selama 3
menit pada area
femoral yang akan
dilakukan
penusukan

- Mengkaji nyeri, lokasi S:


karakteristik, durasi dan - Klien mengatakan
frekuensi tidak nyeri saat
dilakukan
penusukan, skala
nyeri dirasakan
dengan skala 0.
O:
- Klien tampak tenang
tidak menahan nyeri
sama sekali nyeri
- Klien tampak rileks
seperti biasa.

- Mengobservasi reaksi non verbal S:-


dari ketidaknyamanan O:
- klien tampak
terdiam tidak
merasakan menahan
nyeri saat

46
penusukan inlet
access femoral

- Mengobservasi Vital Sign S :-


O : TD : 140/100 mmHg
N : 86x/menit
RR : 21x/menit
S : 36,5oC

- Mengajarkan teknik relaksasi S:


- Klien mengatakan
menarik napas saat
ditusuk
O:
- klien tampak
melakukan tarik
napas saat dilakukan
inlet access femoral

Evaluasi

No Waktu Evaluasi Paraf

3 Senin 21 S :
- Klien mengatakan tidak nyeri saat
januari dilakukan penusukan, skala nyeri 0
O:
2019 - Klien tampak tidak menahan nyeri
- Klien tampak tenang tidak merasakan
nyeri sama sekali
- Klien tampak rileks seperti biasa saat
penusukan inlet access femoral
- Vital Sign : TD : 140/100 mmHg
- N: 86x/menit, RR: 21x/menit, S: 36,5oC

A : Masalah Teratasi
P : Pertahankan intervensi
- Berikan kompres dingin pada area yang
akan di kanulasi (inlet accsess femoral)
- Kaji nyeri, lokasi karakteristik, durasi
dan frekuensi
- Observasi reaksi non verbal dari
ketidaknyamanan
- Observasi Vital Sign
- Ajarkan teknik relaksasi

47
BAB V

APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING PRACTIC

A. Identitas Klien

Nama : Tn. W

Umur : 51 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa, Indonesia

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Alamat : Jeruk Sari Tirto, Pekalongan

Dx. Medis : Cronic Kidney Deseasse Stage V

No. RM :466480

Tanggal Pengkajian :14 Januari 2019

B. Data Fokus

No Analisa Data Masalah Etiologi

1. Ds : Nyeri Akut Agen pencedera


- Klien mengatakan nyeri fisik prosedur
saat dilakukan pemasangan inlet
pemasangan jarum di access femoral
area femoral
- Nyeri dirasakan dengan
skala 7, nyeri seperti
ngenyut sampai ke
kepala, perih, nyeri

48
hilang setelah 1 menit
Do :
- Klien tampak menahan
nyeri saat dilakukan
pemasangan inlet access
femoral tanpa dilakukan
kompres dingin
- Raut wajah tegang
ketika dilakukan
pemasangan inlet access
femoral tanpa kompres
dingin

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN

JURNAL EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE YANG

DIAPLIKASIKAN

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ( pemasangan

inlet access femoral )

D. MEKANISME APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING

PRACTICE YANG DIAPLIKASIKAN

1. Memberikan informconcent untuk dilakukan penelitian kompres

dingin terhadap nyeri saat pemasangan inlet access femoral.

2. Pertemuan pertama melakukan pemasangan inlet acces femoral tanpa

dilakukan kompres dingin

3. Kaji skala nyeri menggunakan numeric rating scale

4. Pertemuan kedua dilakukan kompres dingin dengan menggunakan es

batu selama 3 menit

49
5. Melakukan pemasangan inlet access femoral pada bagian yang telah

dikompres dingin

6. Kaji skala nyeri menggunakan numeric rating scale

7. Pertemuan ketiga melakukan kompres dingin dengan menggunakan es

batu selama 3 menit

8. Melakukan pemasangan inlet access femoral pada bagian yang telah

dikompres dingin

9. Kaji skala nyeri menggunakan numeric rating scale

10. Evaluasi hasil

50
BAB VI

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Pertemuan Pertama Pertemuan Kedua Pertemuan Ketiga

Ds : Ds : Ds :
- Klien - Klien - Klien
mengatakan mengatakan mengatakan
nyeri saat tidak nyeri tidak nyeri
dilakukan sama sekali saat sama sekali saat
penusukan inlet dilakukan dilakukan
access femoral.. penusukan inlet penusukan inlet
access femoral. access femoral.
- Nyeri dirasakan
dengan skala 7, - Klien - Klien
nyeri seperti mengatakan mengatakan
ngenyut sampai skala nyeri 0 saat skala nyeri 0 saat
ke kepala, perih, dilakukan dilakukan
nyeri hilang penusukan jarum penusukan jarum
setelah 2 menit. pada area pada area
femoral femoral
Do :
Do : Do :
- Klien tampak
meringis - Klien tampak - Klien tampak
menahan nyeri tenang tidak terdiam tidak
saat dilakukan merasakan apa- merasakan apa-
penusukan apa, tidak ada apa, tidak ada
jarum inlet tanda-tanda tanda-tanda
access femoral raut wajah raut wajah
menahan nyeri menahan nyeri
saat dilakukan saat dilakukan
penusukan penusukan
jarum inlet jarum inlet
acces femoral acces femoral

51
B. Pembahasan
Hasil dari penggunaan kompres dingin pada Tn. W di ruang

hemodialisa RSUD KRATON Kabupaten Pekalongan saat dilakukan

pemasangan inlet femoral access klien mersakan nyeri dengan skala NRS

7 dari 0-10. Setelah dilakukan pemberian kompres dingin selama 3 menit

saat dilakukan pemsangan inlet acces femoral didapatkan hasil skala nyeri

NRS 0 atau tidak merasakan nyeri sama sekali.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suko

Pranowo, Agus Prasetyo , Neni Handayani. Yaitu skala nyeri saat

pemasangan inlet access femoral rata-rata 7, setelah dilakukan tindakan

kompres dingin, memiliki rata-rata 4 dari skala 0-10. Terdapat penurunan

skala nyeri pada saat dilakukan tindakan pemasangan inlet femoral access

pada saat pasien akan menjalani hemodialisis.

C. Kelebihan dan kekurangan atau hambatana yang ditemui selama aplikasi

Evidence Based Nursing Practice

- Kelebihan pada penelitian ini adalah klien tidak menggunakan

bahan kimia sehingga tidak menimbulkan efek samping bagi klien.

- Kekurangan pada saat penelitian ini adalah Evidence Based

Nursing Practice adalah es mencair dan membasahi laken pasien.

- Hambatan yang ditemui selama melakukan Evidence Based

Nursing Practice adalah tidak ada hambatan yang berarti saat

melakukan eksperimen Evidence Based Nursing Practice pada

pasien, dikarenakan pasien koperatif saat dilakukan eksperimen.

52
BAB VII

PENUTUP

A. SIMPULAN
Kompres dingin merupakan bentuk metode intervensi keperawatan

yang efektif dalam mengontrol nyeri saat akan dilakukan prosedur

pemasangan inlet access femoral pada pasien dengan Gagal Ginjal Kronik

yang akan melakukan Hemodialisa, dikarenakan kompres dingin dapat

memberikan stimulasi pada kulit untuk menurunkan konduksi impuls

serabut syaraf sensoris nyeri, sehingga rangsangan nyeri menuju

hipotalamus akan dihambat dan diterima lebih lama. Metode kompres

dingin ini merupakan bentuk intervensi keperawatan yang efektif dalam

mengontrol nyeri pasien saat kanulasi. Dibandingkan dengan

menggunakan obat kimia penurun nyeri, kompres dingin lebih aman

dikarenakan tidak memiliki efek samping negatif dari bahan-bahan kimia.

B. SARAN
Bagi Tenaga Kesehatan Perawat

Perawat lebih meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam

melakukan praktik keperawatan berdasarkan jurnal penelitian update serta

dapat mengaplikasikan kepada pasien yang akan dilakukan tindakan

pemasangan inlet access femoral kepada pasien yang akan menjalani

Hemodialisa.

53
Bagi Rumah Sakit
Diharapkan rumah sakit dapat memberi pelayanan kesehatan dan

menjalin hubungan dan kerjasama yang baik antar tim kesehatan maupun

dengan pasien sehingga dapat meningkatkan pemberian asuhan

keperawatan yang optimal pada umumnya yaitu dengan melakukan

kompres dingin pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang akan dilakukan

pemasangan inlet access femoral pada saat akan menjalani Hemodialisa.

Bagi Penulis
Setelah melakukan tindakan keperawatan pada pasien yang akan

dilakukan pemasangan inlet access femoral pada saat akan menjalani

Hemodialisa diharapkan penulis dapat lebih mengetahui dan menambah

pengalaman, wawasan dalam penurunan skala nyeri pada pasien yang akan

dilakukan pemasangan inlet access femoral pada saat akan menjalani

hemodialisa.

54
DAFTAR PUSTAKA

Aprisunadi. 2016.Standar diagnosis keperawatan indonesia definisi dan indikator

diagnostik. Jakarta.

Fadhillah Harif, Mustikasari, (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia

Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta.

Haryono, R. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Perkemihan.

Yogyakarta: Rapha publishing.

Nurarif, A.H. dan Kusuma. H. (2013). APLIKASI Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NI-NOC. Jogjakarta:

MediAction.

Potter, Perry,(2005).fundamental of nursing: consep, proces and practice. Edisi

4.vol 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S., & Bare, B. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Suko Pranowo, Agus Prasetyo, Neni Handayani.(2016). Pengaruh Kompres

Dingin Terhadap Penurunan Nyeri Pasien Saat Kanulasi (Inlet Akses

Femoral) Hemodialisis. Cilacap.

55

Anda mungkin juga menyukai