Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak
Disusun Oleh :
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan
pada bayi baru lahir. Hiperbilirubin pada bayi baru lahir disebut juga ikterus neonatorum adalah
keadaaan klinis pada neonatus yang ditandai pewarnaan kuning pada kluit, mukosa, sklera
akibat dari akumulasi bilirubun (indirek maupun direk) di dalam serum atau darah yang secara
klinis akan mulai tampak didaerah muka,apabila kadarnya mencapai 5-7 mg/dl.
Kejadian hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sekitar 60-70%, bahkan pada bayi
kurang bulan (BKB) atau bayi berat badan rendah (BBLR) jauh lebih tinggi. Lebih dari 85%
bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh
keadaan ini.
Di Indonesia, ikterus masih merupakan masalah pada bayi baru lahir yang sering
dihadapi tenaga kesehatan terjadi pada sekitar 25-50% bayi cukup bulan dan lebih tinggi pada
neonatus kurang bulan. Oleh sebab itu, memeriksa ikterus pada bayi harus dilakukan pada
waktu melakukan kunjungan neonatal/pada saat memeriksa bayi di klinik (Depkes RI, 2006).
Beberapa kasus hiperbilirubinemia yang tidak teratasi dapat menimbulkan gangguan
yang menetap bahkan menyebabkan kematian,sehingga bayi dengan ikterus harus mendapat
perhatian.
WHO (2015), menjelaskan bahwa sebanyak 4,5 juta (75%) dari semua kematian bayi dan balita
terjadi pada tahun pertama kehidupan. Data kematian bayi terbanyak dalam tahun pertama
kehidupan ditemukan di wilayah Afrika, yaitu sebanyak 55/1000 kelahiran. Sedangkan di
wilayah eropa ditemukan ada 10/1000 dari kelahiran. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah
afrika merupakan kejadian tertinggi pada tahun 2015.
Beberapa penyebab kematian bayi baru lahir (BBL) yang terbanyak disebabkan oleh
kegawatdaruratan dan penyulit pada neonatus, trauma lahir, kelainan kongenital hyperbilirubin.
Bayi baru lahir di sebut juga neonatus merupakan individu yang sedang bertumbuh dan baru
saja mengalami trauma kelahiran serta harus dapat melakukan penyesuaian diri dari kehidupan
intraurine ke kehidupan ekstrauterine (Dewi, 2011).
Berdasarkan uraian diatas maka kelompok tertarik untuk membuat makalah dengan
judul “Asuhan Keperawatan Pada Bayi Hiperbilirubinemia”.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu menerapkan asuhan keperawatan pada bayi dengan hiperbilirubinemia
2. Tujuan Khusus
Hepar adalah organ tubuh terbesar, terdiri dari dua lobus utama
(kanan dan kiri) dan dua apendiks lobus kanan yang lebih kecil (kuadratus
dan kaudalis). Hepar memiliki pasokan darah ganda yang unik; vena porta
menyalurkan darah dari usus dan limpa, dan arteri hepatika mengalirkan
darah arteri. Pembuluh darah masuk melalui porta hepatis di permukaan
inferior lobus kanan. Darah vena dialirkan keluar oleh vena hepatika kiri
dan kanan, yang bergabung dengan vena kava inferior dibawah atrium
kanan.
Duktus hepatikus kiri dan kanan menyatu di luar porta hepatis
untuk membentuk duktus hepatikus komunis. Kandung empedu berada di
suatu alur dibawah lobus kanan dan dihubungkan ke duktus hepatikus
komunis oleh duktus sistikus. Duktus biliaris komunis dibentuk oleh
penyatuan duktus hepatikus komunis dan duktus sistikus.
Duktus biliaris komunis berjalan di sepanjang tepi omentum minor,
berakhir di papila intramural vateri disisi kiri duodenum. Didalam papila,
duktus biliaris komunis menyatu dengan duktus pankreatikus untuk
membentuk ampula vateri, tempat empedu dan sekresi pankreas
tercampur. Ampula vateri dikelilingi oleh sfingter oddi, suatu serat otot
polos kompleks yang mengatur aliran empedu kedalam usus. Duktur
biliaris komunis dan duktus pankreatikus kadang-kadang menyatu
sebelum masuk ke bagian intramural duadenum, suatu susunan yang
mungkin mempermudah terjadinya kista koledokal di tempat tersebut.
Kandung empedu adalah suatu kantong yang dapat diregang kan
dan terlektak diantara lobus hepar kanan dan kiri. Lipatan khas mukosa
kandung empedu, yang terbentuk hanya pada akhir gestasi, sangat
memperluas permukaan absortif.
Karna hepar ibu menyalurkan nutrien dan menyingkirkan produk
sisa melalui fetoplasenta, hepar janin relatife inaktif dalam kaitannya
dengan glikolisis, sintesis asam empedu, dan pengolahan produk sisa
metabolisme. Proses enzimatik spesifik dan jalur metabolik muncul dalam
kelompok, yang masing-masing berkorelasi dengan perubahan dinamik
dalam kebutuhan fungsional. Sesuai kebutuhan, metabolisme hepar janin
diprioritaskan untuk menghasilkan protein plasma untuk menunjang
proliferasi sel. Pada akhir gestasi, kebutuhan primer neonatus adalah
produksi dan penyimpanan nutrien esensial, eksresi empedu, dan
pengembangan proses eliminasi. Induksi dan modulasi terhadat proses
perkembangan ini berlangsung karena input substrat dan hormon, baik
endogen maupun eksogen (melalui plasenta).
Hepar yang berdiferensiasi sempurna mempertahanan homeostatis
dengan mengubah nutrien yang di serap menjadi prekursor energi yang
segera di gunakan atau di simpan, sintesis protein darah untuk
mempertahankan gradien osmotik dan fungsi pembekuan darah,
pembentukan asam empedu untuk penyerapan lemak di usus, dan
transformasi metabolik yang berpotensi membahayakan misalnya amonia
dan bilirubin menjadi turunan yang dapat di eksresi. Infulks langsung
nutrien dari usus neonatus ke hepar memicu sintesis asam empedu, sekresi
empedu, dan evolusi cepat enzim mikrosom yang aktif dalam
biotransformasi toksin endogen dan eksogen.
Hati merupakan organ gastrointestinal yang paling imatur.
Penurunan aktifitas enzim glukoronil transferase mempengaruhi konjugasi
bilirubin dengan asam glukoronat dan berkontribusi terhadap jaundis
fisiologis pada bayi baru lahir. Hati juga tidak adekuat dalam membentuk
protein plasma. Kurangnya konsentrasi protein plasma mungkin berperan
pada edema yang biasanya terlihat pada saat lahir. Protombin dan faktor
pembekuan lain juga rendah. Cadangan glikogen kurang saat lahir
dibandingkan dengan kehidupan selanjutnya. Konsekuensinya, bayi baru
lahir rentan terhadap hipoglikemia, namun kondisi ini dapat dicegah
dengan pemberian makanan diri dan efektif, terutama ASI.
1) Siklus Enterohepatik
Pembentukan empedu sangat penting dalam pencernaan dan
penyerapan lemak, eksresi xenobiotik larut lemak dan racun dalam
tubuh, dan keseimbangan kadar kolesterol. Garam empedu secara
alamiah bersifat amphipilik karena memiliki gugus polar dan non
polar. Gugus polar memiliki permukaan yang bersifat hidrofilik yang
mengandung gugus hidroksil dan gugus karbonil, sedangkan gugus
non polar bersifat hidropobik.
Cairan empedu merupakan gabungan antara asam empedu dan
garam empedu. Bilirubin tetrapyrrole (berwarna coklat), merupakan
komponen pemberi warna terbesar pada empedu dan merupakan
produk akhir dari metabolisme heme. Apabila bilirubin mengalami
oksidasi akan berubah menjadi biliberdin (berwarna hijau).
Garam empedu bersama pospolipid dan kolesterol merupakan
cairan organik terbesar dalam empedu dan merupakan kunci kekuatan
dalam pembentukan empedu pada saat di ekskresikan ke canalikuli
empedu melewati membran apikal hepatosit. Komponen utama asam
empedu dalam empedu manusia yaitu asam xenodeoksilat (45%) dan
asam kolat (31%). Sebelum sebagian besar garam empedu
disekresikan ke lumen canalikuli, terlebih dulu terjadi konjugasi
dengan ikatan amida pada terminal gugus karboksil dengan asam
amino glisin dan taurin. Reaksi konjugasi ini menghasilkan
glycoconjugates dan tauroconjugates. Sebanyak 95% dari total garam
empedu yang disintesa di hati diserap oleh usus distal dan
dikembalikan lagi ke hati. Proses sekresi dari hati ke gallbadder,
kemudian ke usus, dan akhirnya diserap kembali disebut enterohepatik.
Jumlah total garam empedu yang mengalami siklus berulang-ulang
melalui siklus enterohepatik sekitar 3,5 g. Jumlah tersebut bersikulasi
dua kali per makan dan 6-8 kali per hari. Apabila empedu tidak ada di
usus, maka hampir 50% lemak yang dimakan akan keluar melalui
feses (tesis unud, 2005).
2) Metabolisme bilirubin
a. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi
hemoglobin pada system retikuloendotelial (RES). Tingkat
penghancuran hemoglobin ini pada neonates lebih tinggi dari pada
bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35
mg bilirubin indirect. Bilirubin indirect yaitu bilirubin yang
bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi Hymans
van den Borgh) yang bersifat larut dalam lemak.
B. Diagnosa keperawatan
Edukasi:
- Jelaskan cara pencegahan hipotermi karena terpapar udara
dingin
Kolaborasi : kolaborasi pemberian antipiretik jika perlu
5 D.0125 L.13119 Penampilan I.13478 Dukungan Penampilan Peran
Penampilan peran tidak efektif Peran Observasi :
berhubungan dengan perubahan peran Ekspektasi membaik - Identifikasi peran yang ada dikeluarga
orangtua Kriteria Hasil : - Identifikasi adanya peran yang tidak terpenuhi
a. Verbalisasi harapan Terapeutik :
terpenuhi meningkat - Fasilitasi adaptasi peran keluarga terhadap perubahan peran
b. Verbalisasi kepuasan yang tidak diinginkan
peran meningkat - Fasilitasi diskusi perubahan peran terhadap bayi baru lahir,
c. Adaptasi peran jika perlu
meningkat - Fasilitasi diskusi tentang peran orangtua, jika perlu
d. Strategi koipng yang Edukasi :
efektif meningkat - Diskusikan perubahan peran yang diperlukan akibat
e. Verbalisasi perasaan penyakit atau ketidakmampuan
cemas menurun - Ajarkan perilaku yang dibutuhkan oleh orangtua untuk
f. Perilaku cemas menurun memenuhi peran
Kolaborasi :
- Rujuk dalam kelompok untuk mempelajari peran baru
D. Implementasi keperawatan
Implementasi muncul jika perencanaan yang dibuat di aplikasikan pada klien.
Tindakan yang dilakukan mungkin sama mungkin juga berbeda dengan urutan yang telah
di buat pada perencanaan. Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibelitas dan
kreatifits perawat. Sebelum melakukan suatu tindakan, perawat harus mengetahui
tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan tindakan yang sudah direncanakan,
dilakukan dengan rencana yang tepat,aman,serta sesuai dengan kondisi pasien (Ode
Debora, 2013).
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah dibuat.
E. Evaluasi keperawatan
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan
dengan kriteria hasil yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masakah yang terjadi
sudah diatasi seluruhnya, hanya sebagian, atau belum teratasi semuanya. Evaluasi adalah
proses yang berkelanjutan yaitu suatu proses yang digunakan untuk mengukur dan
memonitor kondisi klien untuk mengetahui kesesuain tindakan keperawatan, perbaikan
tindakan keperawatan, kebutuhan klien saat ini,perlunya dirujuk pada tempat kesehatan
lain dan perlu menyusun ulang prioritas diagnosa supaya kebutuhan klien bisa terpenuhui
atau teratasi (Ode Debora, 2013).
BAB III
KESIMPULAN
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin >5 mg/dL pada
darah, yang sering ditandai oleh adanya ikterus. Pada bayi baru lahir, hiperbilirubinemia sering
terjadi oleh karena kemampuan hati bayi yang masih kurang untuk mengekskresikan bilirubin
yang terus diproduksi. Etiologi hiperbilirubunemia perlu dideteksi secara pasti, fisiologik atau
nonfisiologik, sebagai dasar pemeriksaan dan tindak lanjut penanganan neonatus. Pengobatan
hiperbilirubinemia bertujuan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi. Pemantauan dan
pemeriksaan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menentukan jenis pengobatan yang akan
dipergunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta : Perpustakaan
Nasional.
Lia Dewi, Vivian Nanny, 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak balita. Jakarta :
Salemba Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, ed. 1.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, ed. 1.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan, ed. 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.