Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak

dengan Dosen pembimbing Ns.Tina Shinta Parulian., M.Kep. Sp.KepAn

Disusun Oleh :

Ahmad Samsudin NIM 30120120045K

Neng Verra Iryani NIM 30120120036K

Elvidany Silalahi NIM 30120120038K

Cahaya Karosari NIM 30120120048K

Veronika Noviyanti NIM 30120120033K

PROGRAM STUDI S1- KEPERAWATAN NON-REGULER Tk. 1

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS

Jalan Parahyangan Kav. 8 Blok B/1, Kota Baru Parahyangan

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan
pada bayi baru lahir. Hiperbilirubin pada bayi baru lahir disebut juga ikterus neonatorum adalah
keadaaan klinis pada neonatus yang ditandai pewarnaan kuning pada kluit, mukosa, sklera
akibat dari akumulasi bilirubun (indirek maupun direk) di dalam serum atau darah yang secara
klinis akan mulai tampak didaerah muka,apabila kadarnya mencapai 5-7 mg/dl.
Kejadian hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sekitar 60-70%, bahkan pada bayi
kurang bulan (BKB) atau bayi berat badan rendah (BBLR) jauh lebih tinggi. Lebih dari 85%
bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh
keadaan ini.
Di Indonesia, ikterus masih merupakan masalah pada bayi baru lahir yang sering
dihadapi tenaga kesehatan terjadi pada sekitar 25-50% bayi cukup bulan dan lebih tinggi pada
neonatus kurang bulan. Oleh sebab itu, memeriksa ikterus pada bayi harus dilakukan pada
waktu melakukan kunjungan neonatal/pada saat memeriksa bayi di klinik (Depkes RI, 2006).
Beberapa kasus hiperbilirubinemia yang tidak teratasi dapat menimbulkan gangguan
yang menetap bahkan menyebabkan kematian,sehingga bayi dengan ikterus harus mendapat
perhatian.
WHO (2015), menjelaskan bahwa sebanyak 4,5 juta (75%) dari semua kematian bayi dan balita
terjadi pada tahun pertama kehidupan. Data kematian bayi terbanyak dalam tahun pertama
kehidupan ditemukan di wilayah Afrika, yaitu sebanyak 55/1000 kelahiran. Sedangkan di
wilayah eropa ditemukan ada 10/1000 dari kelahiran. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah
afrika merupakan kejadian tertinggi pada tahun 2015.
Beberapa penyebab kematian bayi baru lahir (BBL) yang terbanyak disebabkan oleh
kegawatdaruratan dan penyulit pada neonatus, trauma lahir, kelainan kongenital hyperbilirubin.
Bayi baru lahir di sebut juga neonatus merupakan individu yang sedang bertumbuh dan baru
saja mengalami trauma kelahiran serta harus dapat melakukan penyesuaian diri dari kehidupan
intraurine ke kehidupan ekstrauterine (Dewi, 2011).
Berdasarkan uraian diatas maka kelompok tertarik untuk membuat makalah dengan
judul “Asuhan Keperawatan Pada Bayi Hiperbilirubinemia”.
B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Mampu menerapkan asuhan keperawatan pada bayi dengan hiperbilirubinemia

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengertian, tanda dan gejala, etiologi, patofisiologi, pathway, pemeriksaan


laboratorium, tatalaksana pada bayi dengan hiperbilirubinemia
b. Melakukan pengkajian keperawatan pada bayi hiperbilirubinemia
c. Menetapkan diagnosa keperawatan pada bayi hiperbilirubinemia
d. Merencanakan intervensi keperawatan pada bayi hiperbilirubinemia
e. Melakukan tindakan keperawatan pada bayi hiperbilirubinemia
f. Melakukan evaluasi keperawatan pada bayi hiperbilirubinemia
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Konsep Dasar Medis Neonatus Hiperbilirubin


A. Definisi Neonatus Hiperbilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning
yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui
proses reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi di sistem retikulo endothelial
(Kosim, 2012). Bilirubin diproduksi oleh kerusakan normal sel darah
merah. Bilirubin dibentuk oleh hati kemudian dilepaskan ke dalam usus
sebagai empedu atau cairan yang befungsi untuk membantu pencernaan
(Mendri dan Prayogi, 2017).
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar serum bilirubin
dalam darah sehingga melebihi nilai normal. Pada bayi baru lahir biasanya
dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah
kelahiran. Keadaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan
oleh meningkatnya produksi bilirubin atau mengalami hemolisis,
kurangnya albumin sebagai alat pengangkut, penurunan uptake oleh hati,
penurunan konjugasi bilirubin oleh hati, penurunan ekskresi bilirubin, dan
peningkatan sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah
yang kadar nilainya lebih dari normal. Hiperbilirubin adalah icterus
dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus kearah terjadinya kern
icterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan
(Mansjoer, 2008).
Hiperbilirubin adalah kondisi umum pada bayi baru lahir yang
mengacu pada warna kuning pada kulit dan bagian putih mata disebabkan
terlalu banyaknya bilirubin dalam darah.
B. Anatomi Fisiologi Hati

Gambar 2.1 Anatomi Hepar

Hepar adalah organ tubuh terbesar, terdiri dari dua lobus utama
(kanan dan kiri) dan dua apendiks lobus kanan yang lebih kecil (kuadratus
dan kaudalis). Hepar memiliki pasokan darah ganda yang unik; vena porta
menyalurkan darah dari usus dan limpa, dan arteri hepatika mengalirkan
darah arteri. Pembuluh darah masuk melalui porta hepatis di permukaan
inferior lobus kanan. Darah vena dialirkan keluar oleh vena hepatika kiri
dan kanan, yang bergabung dengan vena kava inferior dibawah atrium
kanan.
Duktus hepatikus kiri dan kanan menyatu di luar porta hepatis
untuk membentuk duktus hepatikus komunis. Kandung empedu berada di
suatu alur dibawah lobus kanan dan dihubungkan ke duktus hepatikus
komunis oleh duktus sistikus. Duktus biliaris komunis dibentuk oleh
penyatuan duktus hepatikus komunis dan duktus sistikus.
Duktus biliaris komunis berjalan di sepanjang tepi omentum minor,
berakhir di papila intramural vateri disisi kiri duodenum. Didalam papila,
duktus biliaris komunis menyatu dengan duktus pankreatikus untuk
membentuk ampula vateri, tempat empedu dan sekresi pankreas
tercampur. Ampula vateri dikelilingi oleh sfingter oddi, suatu serat otot
polos kompleks yang mengatur aliran empedu kedalam usus. Duktur
biliaris komunis dan duktus pankreatikus kadang-kadang menyatu
sebelum masuk ke bagian intramural duadenum, suatu susunan yang
mungkin mempermudah terjadinya kista koledokal di tempat tersebut.
Kandung empedu adalah suatu kantong yang dapat diregang kan
dan terlektak diantara lobus hepar kanan dan kiri. Lipatan khas mukosa
kandung empedu, yang terbentuk hanya pada akhir gestasi, sangat
memperluas permukaan absortif.
Karna hepar ibu menyalurkan nutrien dan menyingkirkan produk
sisa melalui fetoplasenta, hepar janin relatife inaktif dalam kaitannya
dengan glikolisis, sintesis asam empedu, dan pengolahan produk sisa
metabolisme. Proses enzimatik spesifik dan jalur metabolik muncul dalam
kelompok, yang masing-masing berkorelasi dengan perubahan dinamik
dalam kebutuhan fungsional. Sesuai kebutuhan, metabolisme hepar janin
diprioritaskan untuk menghasilkan protein plasma untuk menunjang
proliferasi sel. Pada akhir gestasi, kebutuhan primer neonatus adalah
produksi dan penyimpanan nutrien esensial, eksresi empedu, dan
pengembangan proses eliminasi. Induksi dan modulasi terhadat proses
perkembangan ini berlangsung karena input substrat dan hormon, baik
endogen maupun eksogen (melalui plasenta).
Hepar yang berdiferensiasi sempurna mempertahanan homeostatis
dengan mengubah nutrien yang di serap menjadi prekursor energi yang
segera di gunakan atau di simpan, sintesis protein darah untuk
mempertahankan gradien osmotik dan fungsi pembekuan darah,
pembentukan asam empedu untuk penyerapan lemak di usus, dan
transformasi metabolik yang berpotensi membahayakan misalnya amonia
dan bilirubin menjadi turunan yang dapat di eksresi. Infulks langsung
nutrien dari usus neonatus ke hepar memicu sintesis asam empedu, sekresi
empedu, dan evolusi cepat enzim mikrosom yang aktif dalam
biotransformasi toksin endogen dan eksogen.
Hati merupakan organ gastrointestinal yang paling imatur.
Penurunan aktifitas enzim glukoronil transferase mempengaruhi konjugasi
bilirubin dengan asam glukoronat dan berkontribusi terhadap jaundis
fisiologis pada bayi baru lahir. Hati juga tidak adekuat dalam membentuk
protein plasma. Kurangnya konsentrasi protein plasma mungkin berperan
pada edema yang biasanya terlihat pada saat lahir. Protombin dan faktor
pembekuan lain juga rendah. Cadangan glikogen kurang saat lahir
dibandingkan dengan kehidupan selanjutnya. Konsekuensinya, bayi baru
lahir rentan terhadap hipoglikemia, namun kondisi ini dapat dicegah
dengan pemberian makanan diri dan efektif, terutama ASI.
1) Siklus Enterohepatik
Pembentukan empedu sangat penting dalam pencernaan dan
penyerapan lemak, eksresi xenobiotik larut lemak dan racun dalam
tubuh, dan keseimbangan kadar kolesterol. Garam empedu secara
alamiah bersifat amphipilik karena memiliki gugus polar dan non
polar. Gugus polar memiliki permukaan yang bersifat hidrofilik yang
mengandung gugus hidroksil dan gugus karbonil, sedangkan gugus
non polar bersifat hidropobik.
Cairan empedu merupakan gabungan antara asam empedu dan
garam empedu. Bilirubin tetrapyrrole (berwarna coklat), merupakan
komponen pemberi warna terbesar pada empedu dan merupakan
produk akhir dari metabolisme heme. Apabila bilirubin mengalami
oksidasi akan berubah menjadi biliberdin (berwarna hijau).
Garam empedu bersama pospolipid dan kolesterol merupakan
cairan organik terbesar dalam empedu dan merupakan kunci kekuatan
dalam pembentukan empedu pada saat di ekskresikan ke canalikuli
empedu melewati membran apikal hepatosit. Komponen utama asam
empedu dalam empedu manusia yaitu asam xenodeoksilat (45%) dan
asam kolat (31%). Sebelum sebagian besar garam empedu
disekresikan ke lumen canalikuli, terlebih dulu terjadi konjugasi
dengan ikatan amida pada terminal gugus karboksil dengan asam
amino glisin dan taurin. Reaksi konjugasi ini menghasilkan
glycoconjugates dan tauroconjugates. Sebanyak 95% dari total garam
empedu yang disintesa di hati diserap oleh usus distal dan
dikembalikan lagi ke hati. Proses sekresi dari hati ke gallbadder,
kemudian ke usus, dan akhirnya diserap kembali disebut enterohepatik.
Jumlah total garam empedu yang mengalami siklus berulang-ulang
melalui siklus enterohepatik sekitar 3,5 g. Jumlah tersebut bersikulasi
dua kali per makan dan 6-8 kali per hari. Apabila empedu tidak ada di
usus, maka hampir 50% lemak yang dimakan akan keluar melalui
feses (tesis unud, 2005).
2) Metabolisme bilirubin
a. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi
hemoglobin pada system retikuloendotelial (RES). Tingkat
penghancuran hemoglobin ini pada neonates lebih tinggi dari pada
bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35
mg bilirubin indirect. Bilirubin indirect yaitu bilirubin yang
bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi Hymans
van den Borgh) yang bersifat larut dalam lemak.

Gambar 2.2 Metabolisme Bilirubin pada neonatus


b. Transportasi
Bilirubin indirect kemudian diikat oleh albumin. Bilirubin
di transfer melalui membrane sel ke dalam hepatosit sedangkan
albumin tidak. Di dalam sel bilirubin akan terikat terutama pada
ligandin dan sebagian kecil pada glutation S transferase lain dan
protein Z. proses ini merupakan proses 2 arah, tergantung dari
konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam
hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatisit
dikonjugasi dan dieksresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol
hepar, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak.
Perberian fenoarbital mempertinggi konsentrasi ligandin dan
memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin.
c. Konjugasi
Dalam sel hepar, bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi
bilirubin diglukoronide walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk
monoglukoronide. Glukoronil transferase merubah bentuk
monoglukoronide menjadi diglukoronide. Enzim yang terlibat
dalam sintesis bilirubin diglukoronide. Enzim tersebut adalah
uridin difosfat glukoronidase transferase (UPGD:T) yang
mengkatalisa pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis
dan eksresi diglukoronide terjadi di membrane kanalikulus. Isomer
bilirubin yang dapat membentuk ikatan hydrogen seperti bilirubin
natural IX dapat dieksresi langsung ke empedu tanpa konjugasi
misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto)
d. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direct
yang larut dalam air dan dieksresi cepat ke system empedu
kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin ini tidak diabsorbsi,
sebagian kecil bilirubin direct dihidrolisis menjadi bilirubin
indirect dan reabsorbsi. Silus ini disebut siklus enterohepatic.
Pada neonates karena aktivitas enzim B glukoronidase yang
meningkat, bilirubin direct banyak yang tidak diubah menjadi
urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin
indirect meningkat dengan terabsorbsi sehingga sirkulasi
enterohepatic pun meningkat.
Tabel 2.1
Perbedaan bilirubin direct dan bilirubin indirect
No Bilirubin Indirect Bilirubin Direct

1. Tidak larut dalam air Larut


2. Terikat oleh albumin Tidak terikat oleh protein
3. Tidak terdapat dalam urine Dapat ditemukan dalam urine
4. Bilirubin yang belum dikonjugasi Bilirubin yang dikonjugasi
5. Tidak dapat difiltrasi oleh Dapat difiltrasi oleh
glomerulus glomerulus

C. Klasifikasi Neonatus Hiperbilirubin


1) Hiperbilirubinemia Fisiologis
Hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir tidak muncul
pada 24 jam pertama setelah bayi dilahirkan. Biasanya pada
hiperbilirubinemia fisiologis peningkatan kadar bilirubin total tidak
lebih dari 5mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan, hiperbilirubinemia
fisiologis akan mencapai puncaknya pada 72 jam setelah bayi
dilahirkan dengan kadar serum bilirubin yaitu 6 – 8 mg/dL. Selama 72
jam awal kelahiran kadar bilirubin akan meningkat sampai dengan 2 –
3 mg/dL kemudian pada hari ke-5 serum bilirubin akan turun sampai
dengan 3mg/dL (Hackel, 2004). Setelah hari ke-5, kadar serum
bilirubin akan turun secara perlahan sampai dengan normal pada hari
ke-11 sampai hari ke-12. Pada Bayi dengan Berat Lahir Rendah
(BBLR) atau bayi kurang bulan (premature) bilirubin mencapai puncak
pada 120 jam pertama dengan peningkatan serum bilirubin sebesar 10
– 15 mg/dL dan akan menurun setelah 2 minggu (Mansjoer, 2013)
2) Hiperbilirubinemia Patologis
Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus
pada bayi baru lahir akan muncul dalam 24 jam pertama setelah bayi
dilahirkan. Pada hiperbilirubinemia patologis kadar serum bilirubin
total akan meningkat lebih dari 5 mg/dL per hari. Pada bayi cukup
bulan, kadar serum bilirubin akan meningkat sebanyak 12 mg/dL
sedangkan pada bayi kurang bulan (premature) kadar serum bilirubin
total akan meningkat hingga 15 mg/dL. Ikterus biasanya berlangsung
kurang lebih satu minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua
minggu pada bayi kurang bulan (Imron, 2015).
D. Etiologi Neonatus Hiperbilirubin
Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin
karena tingginya jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah
mengalami pemecahan sel yang lebih cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia
juga dapat disebabkan karena penurunan uptake dalam hati, penurunan
konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).
Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir
disebabkan oleh disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati
pada bayi tidak dapat berfungsi maksimal dalam melarutkan bilirubin ke
dalam air yang selanjutkan disalurkan ke empedu dan diekskresikan ke
dalam usus menjadi urobilinogen. Hal tersebut meyebabkan kadar
bilirubin meningkat dalam plasma sehingga terjadi ikterus pada bayi baru
lahir (Anggraini, 2016).
Menurut Nelson (2011) secara garis besar etiologi ikterus atau
hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi menjadi :
1) Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan
neonatus untuk mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah
lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan
sepsis.
2) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini
dapat disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar).
Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3) Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada
albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin
ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4) Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya
disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
E. Manifestasi Klinis Neonatus Hiperbilirubin
Bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila
bayi baru lahir tersebut tampak berwarna kuning dengan kadar serum
bilirubin 5mg/dL atau lebih (Mansjoer, 2013). Hiperbilirubinemia
merupakan penimbunan bilirubin indirek pada kulit sehingga
menimbulkan warna kuning atau jingga. Pada hiperbilirubinemia direk
bisanya dapat menimbulkan warna kuning kehijauan atau kuning kotor
(Ngatisyah, 2012).
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan
ikterus pada sklera, kuku, atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang
muncul pada 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi. Jaundice
yang tampak pada hari kedua atau hari ketiga, dan mencapai puncak pada
hari ketiga sampai hari keempat dan menurun pada hari kelima sampai hari
ketujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis (Suriadi dan Yuliani
2010).
Ikterus diakibatkan oleh pengendapan bilirubin indirek pada pada
kulit yang cenderung tampak kuning terang atau orange. Pada ikterus tipe
obstruksi (bilirubin direk) akan menyebabkan kulit pada bayi baru lahir
tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat
dilihat pada ikterus yang berat. Selain itu manifestasi klinis pada bayi baru
lahir dengan hiperbilirubinemia atau ikterus yaitu muntah, anoreksia,
fatigue, warna urine gelap, serta warna tinja pucat (Suriadi dan Yuliani
2010).
Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami
hiperbilirubinemia apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut :
1) Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat
penumpukan bilirubin.
2) Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
3) Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
4) Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan
12,5 mg/dL pada neonatus kurang bulan.
5) Ikterik yang disertai proses hemolisis.
6) Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa
gestasi kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan
pernafasan, infeksi trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.
F. Patofisiologi Neonatus Hiperbilirubin
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang
telah rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar
dengan cara berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi)
kemudian diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi memiliki
usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah,
sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek
yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus
bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin.
Neonatus mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap
bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan
molar yang kurang. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat
memasuki susunan syaraf pusat dan bersifat toksik (Kosim, 2012).
Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu yang terbentuk dari
pemecahan hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin, reduktase,
dan agen pereduksi non enzimatik dalam sistem retikuloendotelial. Setelah
pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein
intraseluler “Y protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada aliran
darah hepatik dan adanya ikatan protein. Bilirubin tak terkonjugasi dalam
hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin disfoglukuronat
(uridine disphoglucuronid acid) glukurinil transferase menjadi bilirubin
mono dan diglucuronida yang polar, larut dalam air (bereaksi direk).
Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melaui
ginjal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melaui membran
kanalikular. Kemudian ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh
bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin
diabsorbsi kembali menjadi sirkulasi enterohepatik (Suriadi dan Yuliani
2010).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin
yang melebihi kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang
telah diekskresikan dalam jumlah normal. Selain itu, hiperbilirubinemia
juga dapat disebabkan oleh obstruksi saluran ekskresi hati. Apabila
konsentrasi bilirubin mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka bilirubin akan
tertimbun di dalam darah. Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke dalam
jaringan yang kemudian akan menyebabkan kuning atau ikterus (Khusna,
2013).
Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin
yang larut lemak, tak terkonjugasi, non polar (bereaksi indirek). Pada bayi
dengan hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi
atau tidak aktifnya glukoronil transferase. Rendahnya pengambilan dalam
hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan
penurunan darah hepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).
Berikut ini adalah tabel hubungan kadar bilirubin dengan daerah
ikterus menurut Kramer (Mansjoer, 2013).
Tabel 2.2
Hubungan kadar bilirubin dengan daerah ikterus
Derajat Luas daerah Kadar bilirubin (mg/dL)
ikterus ikterus Preterm Aterm
I Kepala dan leher 4–8 4–8
II Dada sampai pusat 5 - 12 5 - 12
III Bagian bawah pusat 7 – 15 8 – 16
sampai lutut
IV Lutut sampai 9 – 18 11 – 18
pergelangan kaki dan
bahu sampai
pergelangan tangan
V Kaki dan tangan > 10 > 15
termasuk telapak
kaki dan telapak
tangan

Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari


hambatan kerja glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak
bebas yang terdapat dalam ASI. Terjadi empat sampai tujuh hari setelah
lahir. Dimana terdapat kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25
– 30 mg/dL selama minggu kedua sampai ketiga. Jika pemberian ASI
dilanjutkan hiperbilirubinemia akan menurun berangsurangsur dapat
menetap selama tiga sampai sepuluh minggu pada kadar yang lebih
rendah. Jika pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun
dengan cepat, biasanya mencapai normal dalam beberapa hari.
Penghentian ASI selama satu sampai dua hari dengan penggantian ASI
dengan susu formula mengakibatkan penurunan bilirubin serum dengan
cepat. (Suriadi dan Yuliani 2010).

G. Pathway Neonatus Hiperbilirubin


Terlampir
H. Penatalaksanaan Neonatus Hiperbilirubin
1) Penanganan Hiperbilirubin
Dalam penanganan ikterus cara-cara yang dipakai diantaranya :
a. Menyusui Bayi
Bilirubin juga dapat dipecah jika bayi banyak
mengeluarkan feses dan urine. Untuk itu bayi harus mendapat ASI
yang cukup. Pemberian ASI akan meningkatkan motilitas usus dan
juga menyebabkan bakteri diintroduksi ke usus. Bakteri dapat
mengubah bilirubin direk menjadi urobilin yang tidak dapat
diarbsorbsi kembali. Dengan demikian, kadar bilirubin serum akan
turun.
b. Terapi Sinar Matahari
Meletakkan bayi di bawah sinar matahari selama 15 – 20
menit, ini dilakukan setiap hari antara pukul 06.30 – 08.00.
Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit.
Selama ikterus masih terlihat, perawat harus memperhatikan
pemberian minum. Hindari posisi yang membuat bayi melihat
langsung kea rah matahari karena dapat merusak matanya
( Suriadi, 2001)
2) Penatalaksanaan
a. Fototerapi
Fototerapi rumah sakit merupakan tindakan yang efektif
untuk mencegah kadar total bilirubin serum meningkat. Terapi
sinar atau fototerapi dilakukan selama 24 jam atau setidaknya
sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas
normal. Dengan fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat
dipecah dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah
dahulu oleh organ hati dan dapat dikeluarkan melalui urine dan
feses sehingga kadar bilirubin menurun. Di samping itu, pada
terapi sinar terapi ditemukan pola peninggian konsentrasi bilirubin
indirek dalam cairan empedu duodenum dan menyebabkan
bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga
peristaltic usus meningkat dan bilirubin akan keluar bersama feses.
Penggunaan fototerapi sesuai anjuran dokter biasanya
diberikan pada neonatus dengan kadar bilirubin indirek lebih dari
10 mg%, sebelum transfusi tukar, atau sesudah transfusi tukar.
Terapi sinar tidak banyak bermanfaat untuk njeonatus dengan
gangguan motilitas usus, obstruksi usus atau saluran cerna,
neonatus yang tidak mendapat minum secara adekuat, karena
penurunan perilstaltik usus akan mengakibatkan meningkatnya
reabsorpsi enterohepatik bilirubin sehingga seolah-olah terapi sinar
tidak bekerja secara efektif.
Selama fototerapi, bayi yang tidak berpakaian diletakkan
kira-kira 36 cm sampai 40 cm dibawah cahaya selama beberapa
jam atau beberapa hari sampai kadar bilirubin serum menurun ke
nilai yang bisa diterima. Setelah terapi dihentikan, bayi harus
periksa kembali beberapa jam kemudian untuk memastikan apakah
nilai bilirubin tidak meningkat lagi (Jensen, 2005).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
terapi sinar ialah:
(1) Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500
jam, untuk menghindarkan turunnya energi yang dihasilkan
oleh lampu yang digunakan.
(2) Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin
terkena sinar.
(3) Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya untuk mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas
saat pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk
memberikan rangsang visual pada neonatus. Pemantauan iritasi
mata dilakukan tiap 6 jam dengan membuka penutup mata.
(4) Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya untuk melindungi daerah kemaluan dari
cahaya fototerapi.
(5) Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi,
untuk mendapatkan energi yang optimal.
(6) Posisi bayi diubah tiap 8 jam, agar tubuh mendapat penyinaran
seluas mungkin
(7) Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila
perlu.
(8) Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses
dan muntah diukur, di catat dan dilakukan pemantaun tanda
dehidrasi.
(9) Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan
ditingkatkan.
(10) Lamanya terapi sinar dicatat
b. Transfusi Tukar
Transfuse tukar adalah cara yang paling tepat untuk
mengobati hiperbilirubinemia pada neonatus. Transfuse tukar
dilakukan pada keadaan hiperbilirubinemia yang tidak dapat diatasi
dengan tindakan lain misalnya telah diberikan terapi sinar tetapi
kadar bilirubin tetap tinggi. Indikasi untuk melakukan transfuse
tukar adalah kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg%, kenaikan
kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3-1 mg%/ jam (Surasmi,
2013)
I. Pemeriksaan Penunjang Neonatus Hiperbilirubin
1) Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin mencapai puncak kira-kira
6 mg/dL, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 10
mmg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau
patologis. Pada bayi dengan kurang bulan, kadar bilirubin mencapai
puncaknya pada nilai 10 – 12 mg/dL, antara lima dan tujuh hari
kehidupan. Apabila nilainya diatas 14 mg/dL maka dikatakan
hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis (Suriadi & Yulliani,
2010).
2) Ultrasonograf (USG)
Pemeriksaan USG digunakan untuk mengevaluasi anatomi cabang
kantong empedu (Suriadi & Yulliani, 2010).
3) Radioscope Scan
Pemeriksaan radioscope scan dapat digunakan untuk membantu
membedakan hepatitis atau atresia biliary (Suriadi & Yulliani, 2010).

J. Komplikasi Neonatus Hiperbilirubin


Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi
dapat mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada
keadaan lebih fatal, hiperbilirubinemia pada neonatus dapat menyebabkan
kern ikterus, yaitu kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat
menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat
mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang melengking
(Suriadi dan Yuliani, 2010).
Menurut American Academy of Pediatrics (2004) manifestasi
klinis kern ikterus pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang
selamat biasanya menderita gejala sisa berupa bentuk atheoid cerebral
palsy yang berat, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze, dan
dysplasia dental enamel. Kern ikterus merupakan perubahan neuropatologi
yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah otak
terutama di ganglia basalis, pons, dan cerebellum.

2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Neonatus Hiperbilirubin


A. Pengkajian
1) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia menurut Widagdo, 2012 meliputi:
a. Pemeriksaan umum
(1) Keadaan umum : tingkat keparahan penyakit, kesadaran, status
nutrisi, postur/aktivitas anak, dan temuan fisis sekilas yang
prominen dari organ/sistem, seperti ikterus, sianosis, anemi,
dispneu, dehidrasi, dan lain-lain.
(2) Tanda vital : suhu tubuh, laju nadi, tekanan darah, dan laju
nafas.
(3) Data antropometri : berat badan, tinggi badan, lingkar kepala,
tebal lapisan lemak bawah kulit, serta lingkar lengan atas.
b. Pemeriksaan organ
(1) Kulit : warna, ruam kulit, lesi, petekie, pigmentasi,
hiper/hipohidrolisis, dan angiektasis
(2) Kepala : bentuk, ubun-ubun besar, sutura, keadaan rambut, dan
bentuk wajah apakah simestris kanan atau kiri.
(3) Mata : ketajaman dan lapangan penglihatan, hipertelorisme,
supersilia, silia, esksoptalmus, strabismus, nitagmus, miosis,
midriasis, konjungtiva palpebra, sclera kuning, reflek cahaya
direk/indirek, dan pemeriksaan retina dngan funduskopi.
(4) Hidung : bentuk, nafas cuping hidung, sianosis, dan sekresi.
(5) Mulut dan tenggorokan : warna mukosa pipi/lidah, ulkus, lidah
kotor berpeta, tonsil membesar dan hyperemia, pembengkakan
dan perdarahan pada gingival, trismus, pertumbuhan/ jumlah/
morfologi/ kerapatan gigi.
(6) Telinga : posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan nyeri
tekan.
(7) Leher : tiroid, kelenjar getah bening, skrofuloderma, retraksi,
murmur,bendungan vena, refluks hepatojugular, dan kaku
kuduk.
(8) Thorax : bentuk, simetrisisitas, pembengkakan, dan nyeri
tekan.
(9) Jantung : tonjolan prekordial, pulsasi, iktus kordis, batas
jantung/kardiomegali. Getaran, bunyi jantung, murmur, irama
gallop, bising gesek perikard (pericard friction rub)
(10) Paru-paru : Simetrsitas static dan dinamik, pekak,
hipersonor, fremitus, batas paru-hati, suara nafas, dan bising
gesek pleura (pleural friction rub)
(11) Abdomen : bentuk, kolteral, dan arah alirannya, smiling
umbilicus, distensi, caput medusa, gerakan peristaltic, rigiditas,
nyeri tekan, masa abdomen, pembesaran hati dan limpa,
bising/suara peristaltik usus, dan tanda-tanda asites.
(12) Anogenetalia : atresia anus, vesikel, eritema, ulkus, papula,
edema skrotum.
(13) Ekstremitas : tonus/trofi otot, jari tabuh, sianosis, bengkak
dan nyeri otot/tulang/sendi, edema pretibial, akral dingin,
capillary revill time, cacat bawaan

B. Diagnosa keperawatan

1) Ikterik neonatus berhubungan dengan penurunan berat badan abnormal


(>7-8% pada bayi baru lahir yang menyusu ASI, > 15% pada bayi
cukup bulan); pola makan tidak ditetapkan dengan baik; kesulitan
transisi ke kehidupan ekstra uterin, usia kurang dari 7 hari;
keterlambatan pengeluaran feses (mekonium)
2) Resiko gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan faktor
mekanis / faktor elektris (fototerapi)
3) Hipovolemia berhubungan dengan evaporasi, kehilangan cairan aktif
4) Hipertermi berhubungan dengan terpapar lingkungan panas;
penggunaan inkubator
5) Penampilan peran tidak efektif berhubungan dengan perubahan peran
orangtua (D.0125)
C. Intervensi keperawatan

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN LUARAN INTERVENSI KEPERAWATAN

(SDKI) (SLKI) (SIKI)


1 D.0024 L.10095 Adaptasi Fototerapi neonatus
Ikterik Neonatus berhubungan dengan Neonatus 1. Observasi
penurunan berat badan abnormal (7- Ekspektasi: membaik a. Monitor ikterik pada sklera dan kulit bayi
8% pada bayi baru lahir yang Kriteria hasil: b. Monitor suhu tubuh dan tanda vital setiap 4 jam sekali
menyusu, ASI > 15% pada bayi cukup a. Berat badan c. Monitor efek samping fottoterapi (misalnya : hipertermi,
bulan); meningkat diare, rush pada kulit, penurunan berat badan lebih dari
pola makan tidak ditetapkan dengan b. Membran mukosa 8-10%)
baik; kesulitan transisi ke kehidupan kuning menurun 2. Terapeutik
ekstra uterin, usia kurang dari 7 hari; c. Kulit kuning menurun a. Siapkan lampu fototerapi dan inkubator atau kotak bayi
keterlambatan pengeluaran feses d. Sklera kuning b. Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
(mekonium) menurun c. Berikan penutup mata (eye protectoe/biliband) pada bayi
e. Aktivitas ekstremitas d. Biarkan tubuh bayi terpapar sinar fototerapi secara
membaik berkelanjutan
e. Ganti segera popok bayi bila BAB/BAK
f. Gunakan linen berwarna putih agar memantulkan cahaya
sebanyak mungkin.
3. Edukasi
a. Anjurkan ibu untuk menyusui sekitar 20-30 menit dan
sesering mungkin
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemeriksaan darah vena bilirubin direk dan
indirek

2 D.0139 Risiko Gangguan integritas L.14125 I.11353 Perawatan Integritas Kulit


kulit/ jaringan berhubungan dengan Integritas kulit dan 1. Observasi: identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (misal:
faktor mekanis/ faktor elektris jaringan perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan
(fototerapi) Ekspektasi: meningkat kelembaban, suhu lingkungan)
Kriteria hasil: 2. Terapeutik :
a. Elastisitas meningkat - gunakan produk minyak untuk kulit kering
b. Hidrasi meningkat - gunakan produk hipoalergik pada kulit sensitif
c. Kerusakan jaringan/ Hindari produk berbahan dasar alkohol untuk kulit kering
kerusakan lapisan 3. Edukasi:
kulit menurun - Anjurkan OT untuk menggunakan lotion pada bayi
d. Suhu kulit membaik - Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi / minum yang cukup
- Anjurkan memandikan bayi menggunakan sabun
secukupnya

3 D.0034 Resiko hipovolemia L.05020 Keseimbangan Manajemen Cairan


berhubungan dengan kehilangan Cairan 1. Observasi
cairan aktif; evaporasi Ekspektasi : meningkat a. Monitor tanda hidrasi (mis. Frekuensi nadi, kekuatan
Kriteria hasil: nadi, akral, pengisian kapiler, kelembapan mukosa,
a. Kelembaban turgor kulit)
membran mukosa b. Monitor berat badan harian
meningkat c. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
b. Asupan cairan 2. Terapeutik
meningkat a. Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
c. Dehidrasi menurun b. Berikan asupan vairan sesuai kebutuhan
d. Tekanan darah, c. Jika perlu berikan cairan intravena
denyut nadi membaik 3. Kolaborasi
e. Membran mukosa a. Kolaborasi pemberian diuretik jika perlu.
membaik Pemantauan Cairan
f. Turgor kulit membaik 1. Observasi
a. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
b. Monitor frekuensi nafas
c. Monitor berat badan
d. Monitor elastisitas turgor kulit
e. Monitor jumlah, warna dan jenis urine
f. Monitor intake-output
2. Terapeutik
a. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi
pasien
b. Dokumentasi hasil pemantauan
3. Edukasi
a. Informasikan hasil pemantauan, jikaperlu
Pemantauan Tanda-tanda Vital
1. Observasi
a. Monitor nadi (frekuensi, kekuatan,irama)
b. Monitor pernafasan
c. Monitor suhu tubuh
d. Identifikasi penyebab perubahan tanda vital
2. Terapeutik
a. Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
b. Dokumentasi hasil pemantauan
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan jika perlu
Informasikan hasil pemantauan, jika
4 D.0130 Hipertermia berhubungan L.14135 Termoregulasi I.14578 Regulasi Temperatur
dengan terpapar lingkungan panas; Neonatus Observasi:
penggunaan inkubator Ekspektasi: membaik - Monitor suhu bayi sampai stabil
Gejala dan tanda mayor: Kriteria hasil: - Monitor warna dan suhu kulit
Objektif: suhu tubuh diatas normal a. Kutis memorata - Monitor dan catat tanda dan gejala hipotermi/ hipertermi
Gejala dan tanda minor: meningkat Terapeutik:
Kulit merah, kulit teraba hangat b. Suhu tubuh menurun - Tingkatkan asupan cairan adekuat
c. Suhu kulit menurun - Pertahankan kelembaban inkubator 50% atau lebih untuk
mengurangi kehilangan panas karena proses evaporasi
- Tur suhu inkubator sesuai kebutuhan
- Sesuaikan suhu linngkungan dengan kebutuhan pasien
- Hindari meletakan bayi di dekat jendela terbuka/ AC/ kipas
angin

Edukasi:
- Jelaskan cara pencegahan hipotermi karena terpapar udara
dingin
Kolaborasi : kolaborasi pemberian antipiretik jika perlu
5 D.0125 L.13119 Penampilan I.13478 Dukungan Penampilan Peran
Penampilan peran tidak efektif Peran Observasi :
berhubungan dengan perubahan peran Ekspektasi membaik - Identifikasi peran yang ada dikeluarga
orangtua Kriteria Hasil : - Identifikasi adanya peran yang tidak terpenuhi
a. Verbalisasi harapan Terapeutik :
terpenuhi meningkat - Fasilitasi adaptasi peran keluarga terhadap perubahan peran
b. Verbalisasi kepuasan yang tidak diinginkan
peran meningkat - Fasilitasi diskusi perubahan peran terhadap bayi baru lahir,
c. Adaptasi peran jika perlu
meningkat - Fasilitasi diskusi tentang peran orangtua, jika perlu
d. Strategi koipng yang Edukasi :
efektif meningkat - Diskusikan perubahan peran yang diperlukan akibat
e. Verbalisasi perasaan penyakit atau ketidakmampuan
cemas menurun - Ajarkan perilaku yang dibutuhkan oleh orangtua untuk
f. Perilaku cemas menurun memenuhi peran
Kolaborasi :
- Rujuk dalam kelompok untuk mempelajari peran baru
D. Implementasi keperawatan
Implementasi muncul jika perencanaan yang dibuat di aplikasikan pada klien.
Tindakan yang dilakukan mungkin sama mungkin juga berbeda dengan urutan yang telah
di buat pada perencanaan. Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibelitas dan
kreatifits perawat. Sebelum melakukan suatu tindakan, perawat harus mengetahui
tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan tindakan yang sudah direncanakan,
dilakukan dengan rencana yang tepat,aman,serta sesuai dengan kondisi pasien (Ode
Debora, 2013).
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah dibuat.

E. Evaluasi keperawatan
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan
dengan kriteria hasil yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masakah yang terjadi
sudah diatasi seluruhnya, hanya sebagian, atau belum teratasi semuanya. Evaluasi adalah
proses yang berkelanjutan yaitu suatu proses yang digunakan untuk mengukur dan
memonitor kondisi klien untuk mengetahui kesesuain tindakan keperawatan, perbaikan
tindakan keperawatan, kebutuhan klien saat ini,perlunya dirujuk pada tempat kesehatan
lain dan perlu menyusun ulang prioritas diagnosa supaya kebutuhan klien bisa terpenuhui
atau teratasi (Ode Debora, 2013).
BAB III
KESIMPULAN

Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin >5 mg/dL pada
darah, yang sering ditandai oleh adanya ikterus. Pada bayi baru lahir, hiperbilirubinemia sering
terjadi oleh karena kemampuan hati bayi yang masih kurang untuk mengekskresikan bilirubin
yang terus diproduksi. Etiologi hiperbilirubunemia perlu dideteksi secara pasti, fisiologik atau
nonfisiologik, sebagai dasar pemeriksaan dan tindak lanjut penanganan neonatus. Pengobatan
hiperbilirubinemia bertujuan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi. Pemantauan dan
pemeriksaan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menentukan jenis pengobatan yang akan
dipergunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta : Perpustakaan
Nasional.

Lia Dewi, Vivian Nanny, 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak balita. Jakarta :
Salemba Medika.

Markum, H. (1991). Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. FKUI, Jakarta.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, ed. 1.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, ed. 1.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan, ed. 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai