OLEH:
JHON FRENTIN AOA0160806
DEWI RISKI AMALIYAH AOA0170845
OKTAVIA DWI SULISTIANI AOA0170851
1.2 Tujuan
Dengan adanya makalah ini pembaca diharapkan dapat mengetahui
tentang hiperbilirubinemia pada anak. Mulai dari pengertian, etiologi, manifestasi
klinik, patofisiologi dan klasifikasi, pemerisaan penunjang, komplikasi, dan
penatalaksanaan dari hiperbilirubinemia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Hiperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah
yang kadar nilainya lebih dari normal. (Suriadi dan Rita, 2001).
Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin serum total lebih dari 10mg% pada minggu pertama yang ditandai
dengan ikterus, yang dikenal dengan ikterus neonatorum
patologis. Hiperbilirubinemia yang merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar
bilirubin didalam jaringan ekstravaskular, sehingga konjungtiva, kulit, dan
mukosa akan berwarna kuning. (Aziz, 2002)
Hiperbilirubinemia adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin di dalam
darah. (Wong, 2003). Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar bilirubin
serum yang dihubungkan dengan hemolisis sel darah merah dari bilirubin yang
tidak terkonjugasi dari usus kecil, yang ditandai dengan jaundice pada kulit,
sclera mukosa, dan urine. (Mitayani, 2012)
Hiperbilirubinemia adalah bayi dismatur lebih sering menderita
hiperbilirubinemia dibanding bayi yang bertanya sesuai engan masa kehamilan.
Berat hati bayi dismatur kurang dibandingkan bayi biasa, mungkin disebabkan
gangguan pertumbuhan hati
2.3 Etiologi
Menurut Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek (bilirubin bebas) yaitu bilirubin
tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen
bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati
sawar darah otak.
2. Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin terikat) yaitu bilirubin larut
dalam air dan tidak toksik untuk otak.
Penyebab lain yaitu peningkatan bilirubin dapat terjadi karena; polycetlietnia,
isoimmun hemolytic disease, kelainan struktur dan enzim sel darah merah,
keracunan obat (hemolisis kimia: salisilat, kortikoseteroid,
klorampenikol ), hemolisis ekstravaskuler; cephalhematome, ecchyumosis
Gangguan fungsi hati ; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu/atresia
biliari, infeksi, masalah inetabolik; galaktosemia hypothyroidisme, jaundice ASI.
2.5 Patofisiologi
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada
sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z
berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan
peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar
atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran
empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya
dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila
kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar
darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia,
dan Hipoglikemia.
2.6 Klasifikasi
Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan
dapat disusun sebagai berikut:
- Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
- Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
- Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
- Kadar Bilirubin Serum berkala.
- Darah tepi lengkap.
- Golongan darah ibu dan bayi.
- Test Coombs.
- Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila
perlu.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya :
1. Tes Coomb pada tali pusat bayi baru lahir. Hasil positif tes Coomb indirek
menandakan adanya antibodi Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah ibu.
Hasil positif dari tes Coomb direk menandakan adanya sentisasi (Rh-positif, anti-
A, anti-B) sel darah merah dari neonatus.
2. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5
mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tidak
terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam, atau tidak
boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi praterm
(tergantung pada berat badan).
4. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan
kapasitas ikatan, terutama pada bayi praterm.
5. Hitung darah lengkap: Hemoglobin (Hb) mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl)
karena hemolisis. Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (lebih besar dari 65 %)
pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45 %) dengan hemolisis dan anemia
berlebihan.
6. Glukosa : kadar Dextrostix mungkin kurang dari 45 % glukosa darah lengkap
kurang dari 30 mg/dl, atau tes glukosa serum kurang dari 40 mg/dl bila bayi baru
lahir hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam
lemak.
7. Daya ikat karbon dioksida. Penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
8. Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan
bilirubin seru.
9. Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi
SDM dalam respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh.
10. Smear darah perifer : dapat menunjukkan SDM abnormal atau imatur,
eritroblastosis pada penyakit Rh, atau sferositis pada inkompabilitas ABO.
11. Tes Betke-Kleihauer: evaluasi smear darah maternal terhadap eritrosit janin.
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang biasa terjadi adalah sebagai berikut :
1. Ikterik ASI.
2. Kernik ikterus (bilirubin ensefalitis).
Menghilangkan bilirubin yang terkontaminasi, menggantikan faktor koagulasi
pada kernik ikterus, menghilangkan antibodi (Rh, ABO), dan hemolisis yang
menghasilkan sel darah merah, serta tersensititasi dari sel darah merah dilakukan
dengan cara berikut ini.
a. Menghilangkan bahan yang kurang dalam proses metabolisme bilirubin
(misalnya menambahkan glukosa pada keadaan hipoglikemia) atau menambahkan
bahan untuk memperbaiki transportasi bilirubin (misalnya albumin). Penambahan
albumin dilakukan walaupun tidak terdapat hipoalbuminemia, tetapi perlu diingat
adanya zat-zat yang merupakan kompetitor albumin yang juga dapat mengikat
bilirubin (misalnya sulfonamid atau obat-obatan lainnya).
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstrasi bilirubin
jaringan ke dalam plasma. Hal ini mengakibatkan kadar bilirubin plasma
meningkat, ini tidak berbahaya karena bilirubin tersebut berada dalam ikatan
dengan albumin. Albumin diberikan dalam dosis yang tidak melebihi 1
gram/kgBB sebelum maupun sesudah tindakan transfusi untuk mengganti darah.
b. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
c. Fototerapi
Ikterus klinis dan hiperbilirubinemia indirek berkurang pada perpanjangan cahaya
yang berintensitas tinggi pada spektrum yang dapat dilihat. Bilirubin menyerap
cahaya secara maksimal pada kisaran biru (dari 420-470 mm). Cahaya putih yang
berspektrum luasan berwarna biru (super). Spektrum sempit khusus dan hijau
efektif menurunkan kadar bilirubin dapat memengaruhi foto reaksi bilirubin yang
terikat oleh albumin. Bilirubin dalam kulit menyerap energi cahaya yang dengan
foto isomerisasi mengubah bilirubin (-42 sampai dengan -15) tak terkonjugasi
alamiah yang bersifat toksik menjadi isometer konfigurasi terkonjugasi, yaitu
bilirubin (-42 sampai -15e). Foto terapi mengubah bilirubin alamiah melalui suatu
reaksi yang menetap pada ismer bilirubin struktural yang diekskresi oleh ginjal
pada keadaan yang tidak terkonjugasi.
Indikasi tranfusi untuk mengganti darah bayi dapat dilakukan pada keadaan
berikut ini :
1. Hidrops.
2. Adanya riwayat penyakit berat.
3. Adanya riwayat sensitisasi.
Tujuan dilakukannya transfusi adalah sebagai berikut :
1. Mengoreksi anemia.
2. Menghentikan hemolisis.
3. Mencegah peningkatan bilirubin.
2.8 Penatalaksanaan
a. Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital.
Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam
baru terjadi penurunan bilirubin yangberarti. Mungkin lebih bermanfaat bila
diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.
b. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya
: pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti
dengan plasma dosis 15 – 20 ml/kgbb. Pemebrian glukosa perlu untuk kojugasi
hepar sebagai sumber energi.
c. Melakukan dekompensasi bilirubin dengan fototerapi
Terapi sinar diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg
%. Terapisinar menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol
yang sulitlarut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air dan
dikeluarkan melalui urin, tinja, sehingga kadr bilirubin menurun. Selain itu pada
terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan
empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu
kedalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan keluar
bersama feses.
Pelaksanaan Terapi Sinar :
1. Baringkan bayi telanjang, hanya genitalia yang ditutup (maksmal 500 jam) agar
sinar dapat merata ke seluruh tubuh.
2. Kedua mata ditutup dengan penutup yang tidak tembus cahaya. Dapat dengan
kain kasa yang dilipat lipat dan dibalut. Sebelumnya katupkan dahulu kelopak
matanya. (untuk mencegah kerusakan retina)
3. Posisi bayi sebaiknya diubah ubah, telentang, tengkurap, setiap 6 jam bila
mungkin, agar sinar merata.
4. Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-37 C, dan observasi suhu tiap 4- 6 jam
sekali. Jika terjadi kenaikan suhu matikan sebentar lampunya dan bayi diberikan
banyak minum. Setelah 1 jam kontrol kembali suhunya. Jika tetap hubungi dokter.
5. Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan meningkatkan suhu
tubuh bayi.
6. Pada waktu memberi bayi minum, dikeluarkan, dipangku, penutup mata dibuka.
Perhatikan apakah terjadi iritasi atau tidak.
7. Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam setelah pemberian terapi 24 jam
8. Bila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 mg % atau kurang, terapi dihentikan
walaupun belum 100 jam.
9. Jika setelah terapi selama 100 jam bilirubin tetap tinggi / kadar bilirubin dalam
serum terus naik, coba lihat kembali apakah lampu belum melebihi 500 jam
digunakan. Selanjutnya hubungi dokter. Mungkin perlu transfusi tukar.
10. Pada kasus ikterus karena hemolisis, kadar Hb diperiksa tiap hari.
Komplikasi terapi sinar :
1. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan peningkatan
insesible water loss.
2. Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya bilirubin indirek
dalam cairan empedu dan meningkatkan peristaltik usus.
3. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar (berupa kulit
kemerahan) tetapi akan hilang jika terapi selesai.
4. Gangguan retina jika mata tidak ditutup.
5. Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian sinar lampu
dimatikan terapi diteruskan. Jika suhu naik terus lampu semua dimatikan
sementara, bayi dikompres dingin, dan berikan ektra minum.
6. Komplikasi pada gonad yang menurut dugaan dapat menimbulkan kelainan
( kemandulan ) tetaapi belum ada bukti.
7. Transfusi tukar.
Indikasi untuk melakukan transfusi tukar adalah :
1. kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg %
2. kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3 – 1 mg % / jam
3. anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4. bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat kurang 14 mg % dan uji coomb’s
positif.
Tujuan transfusi tukar adalah mengganti eritrosit yang dapat menjadi hemolisis,
membuang natibodi yang menyebabkan hemolisis, menurunkan kadar bilirubin
indirek, dan memperbaiki anemia.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Letargi, malas.
b. Sirkulasi
- Mungkin pucat, menandakan anemia.
- Bertempat tinggal di atas ketinggian 5000 ft.
c. Eliminasi
- Bising usus hipoaktif.
- Pasase mekonium mungkin lambat.
- Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin.
- Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
d. Makanan/cairan
- Riwayat pelambatan/makan oral buruk, lebih mungkin disusui daripada
menyusu botol.
- Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
e. Neurosensori
- Sefalhematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal
yang berhubungan dengan trauma kelahiran/kelahiran ekstraksi vakum.
- Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada dengan
inkompatibilitas Rh berat.
- Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat.
- Opistotonus dengan kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol,
menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
f. Pernapasan
- Riwayat asfiksia.
- Krekels, mukus bercak merah muda (edema pleural, hemoragi pulmonal).
g. Keamanan
- Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus.
- Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan intrakranial.
- Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian
distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze) sebagai efek samping
fototerapi.
h. Seksualitas
- Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan retardasi
pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi besar usia gestasi (LGA), seperti bayi
dengan ibu diabetes.
- Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stres dingin, asfiksia,
hipoksia, asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia.
- Terjadi lebih sering pada pria daripada bayi wanita.
B. Diagnosa keperawatan
1. Risiko tinggi cedera terhadap keterlibatan sistem saraf pusat berhubungan
dengan prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia, asidosis, hipoproteinemia, dan
hipoglikemia.
2. Risiko tinggi cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi berhubungan
dengansifat fisik dari intervensi terapeutik dan efek mekanisme regulasi tubuh.
3. Risiko tinggi terhadap komplikasi dari transfusi tukar berhubungan dengan
prosedur invasif, profil darah abnormal, ketidakseimbangan kimia.
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan tindakan
berhubungan dengan kurang pemajanan, kesalahan interpretasi, tidak mengenal
sumber informasi dibuktikan dengan pernyataan masalah/kesalahan konsep,
meminta informasi, ketidaktepatan mengikuti instruksi.
C. Intervensi
1. Risiko tinggi cedera terhadap keterlibatan sistem saraf pusat berhubungan
dengan prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia, asidosis, hipoproteinemia, dan
hipoglikemia.
Tujuan : system saraf pusat tidak terganggu
Kriteria hasil : a. menunjukan kadar bilirubin indirek di bawah 12 mg/dl pada bayi
cukup
bulan pada usia 3 hari
b. resolusi ikterik pada akhir minggu pertama kehidupan
c. bebas dari keterlibatan SSP
intervensi :
a. Pertahankan bayi tetap hangat dan kering: pantau kulit dan suhu inti dengan
sering
Rasional : stress dingi berpotensi melepaskan asam lemak, yang bersaing pada sisi
ikatan pada albumin, sehingga meningkatkan kadar bilirubin yang bersirkulasi
dengan bebas ( tidak berikatan ).
b. Observasi bayi dalam sinar alamiah, perhatikan sclera dan mukosa oral, kulit
menguning segera setelah pemutihan, dan bagian tubuh tertentu terlibat. Kaji
mukosa oral, bagian posterior dari palatum keras, dan kantung konjungtiva pada
bayi baru lahir yang berkulit gelap.
Rasional : Mendeteksi bukti / derajat ikterik. Penampilan klinis dari ikterik jelas
pada kadar bilirubin lebih besar dari 7 – 8 mg/dl pada bayi cukup bulan. Perkiraan
derajat ikterik adalah sebagai berikut, dengan ikterik yang dimulai dari kepala ke
jari kaki, 4 – 8 mg/dl ; batang tubuh 5 – 12 mg/dl; lipat paha, 8 – 16 mg/dl;
lengan / kaki, 11 – 18 mg/dl; dan tangan / kaki, 15 – 20 mg/dl. Pigmen dasar
kuning mungkin normal pada bayi berkulit gelap.
c. Evaluasi bayi terhadap pucat, edema atau hepatomegali.
Rasional : Tanda – tanda ini mungkin berhubungan dengan hidrops fetalis,
inkompatibilitas Rh, dan pada hemolisis uterus SDM janin.
d. Pantau kadar bilirubin
Rasional : untuk mengetahui jumlah bilirubin yang ada dalam tubuh anak tersebut.
E. Evaluasi
a. Resiko tinggi cedera terhadap keterlibatan system saraf pusat tidak terjadi
b. Resiko tinggi cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi dapat dicegah
c. Resiko tinggi cedera terhadap komplikasi dari transfuse tukar tidak terjadi
d. Pengetahuan klien bertambah
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hiperbilirubinemia adalah bayi dismatur lebih sering menderita
hiperbilirubinemia dibanding bayi yang bertanya sesuai engan masa kehamilan.
Berat hati bayi dismatur kurang dibandingkan bayi biasa, mungkin disebabkan
gangguan pertumbuhan hati. Penyebabnya yaitu dari Bilirubin tidak terkonjugasi
atau bilirubin indirek (bilirubin bebas) yaitu bilirubin tidak larut dalam air,
berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen bebas larut dalam lemak
serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati sawar darah otak. Sedangkan
Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin terikat) yaitu bilirubin larut
dalam air dan tidak toksik untuk otak. Manifestasi klinik dari hiperbilirubinemia
adalah Letargi, Tonus otot meningkat, Leher kaku,Opistotonus, Muntah, anorexia,
fatigue, warna urine gelap, warna tinja pucat.
4.2 Saran
Kami selaku penulis berharap kepada pembaca khususnya kami sendiri agar dapat
menambah pengetahuan dan keterampilan tentang asuhan keperawatan pada anak
khususnya dengan hiperbilirubinemia.
DAFTAR PUSTAKA
Betz, & Linda. (2009). Buku Saku Keperawatan Pediatri edisi 5. Ahli bahasa, Eny
Meiliya