Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HIPERBILIRUBINEMIA

Diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Keperawatan Anak I


Dosen Koordinator : Siti Dewi Rahmayanti, S.Kp., M.Kep.
Dosen Pembimbing : Chatarina, S.Kep., Ners., M.Kep.

Oleh
Kelompok 3
Anisa Maulida 213120121 Fahiza Fauziah A 213120147
Septin Mardiana 213120128 Nayla Putri Amelia 213120148
Resti Apriani 213120131 Meira 213120154
Irna Risnawati 213120132 Farida Noer Laila 213120160
Nabila Zukhruf H 213120135 Alina Regina Putri 213120161
Zahra Nurraihanisa 213120144 Rachel Maharani 213120162
Luthfi M. Haris 213120146 Nuri Mustika 213120164

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN S-1


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik dan tepat waktu, tanpa ridha dan petunjuk dari-Nya mustahil makalah ini dapat
diselesaikan.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Keperawatan anak I. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan mengenai “hiperbilirubinemia”.

Besar harapan kami bahwa makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan
sebagai pegangan dalam mempelajari materi tentang “hiperbilirubinemia”. Juga
merupakan harapan kami dengan hadirnya makalah ini akan mempermudah semua
pihak dalam proses perkuliahannya pada mata kuliah Keperawatan anak I.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Cimahi, 29 maret 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

A
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak
41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat
2010”, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan
morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi
18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir
adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati
bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain
memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa
cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup.

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya


produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus.
Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang
dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih
banyak dan usianya lebih pendek.

Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g
atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama
kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi
baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu
pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar
bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak
memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang
pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil
memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-
fisiologis).

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit


pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum
Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan
prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5
mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama
kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat
mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memilikikadar bilirubin di
atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan
kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada
82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan
ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003
terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat
dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hiperbilirubinemia
2. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit hiperbilirubinemia
3. Untuk mengetahui gejala dari penyakit hiperbilirubinemia
4. Untuk mengetahui penanganan/ pencegahan dari penyakit hiperbilirubinemia

C. Manfaat Penulisan
1. Pendidikan
Sebagai bahan pustaka atau referensi dan sumber bacaan untuk
meningkatatkan kualitas pendidikan kesehatan tentang asuhan keperawatan
pada pasien dengan hiperbilirubinemia.
2. Petugas kesehatan
Sebagai bahan referensi dalam pemberian asuhan keperawatan yang sangat
signifikan pada pasien dengan hiperbilirubinemia.

3. Keluarga
Sebagai bahan informasi pengetahuan untuk meningkatkan mutu kualitas
status kesehatan tentang penanganan pada kasus berat hiperbilirubinemia.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi Hiperbilirubinemia
Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning yang
merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi
oksidasi-reduksi yang terjadi di sistem retikulo endothelial (Kosim, 2012).
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam darah, baik
oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis ditandai dengan
ikterus. Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir
dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Karena sifat
hidrofobiknya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma, terikat erat pada
albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam hepatosit, terikat
dengan ligandin. Setelah diekskresikan ke dalam usus melalui empedu, bilirubin
direduksi menjadi tetrapirol tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Bilirubin tak
terkonjugasi ini dapat diserap kembali ke dalam sirkulasi, sehingga meningkatkan
bilirubin plasma total. Pengobatan pada kasus hiperbilirubinemia dapat berupa
fototerapi, intravena immunoglobulin (IVIG), transfusi pengganti, penghentian
ASI sementara, dan terapi medikamentosa.

B. Etiologi Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin karena
tingginya jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah mengalami pemecahan
sel yang lebih cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan karena
penurunan uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan
sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).

Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh
disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak dapat
berfungsi maksimal dalam melarutkan bilirubin ke dalam air yang selanjutkan
disalurkan ke empedu dan diekskresikan ke dalam usus menjadi urobilinogen. Hal
tersebut menyebabkan kadar bilirubin meningkat dalam plasma sehingga terjadi
ikterus pada bayi baru lahir (Anggraini, 2016).

Menurut Nelson (2011) secara garis besar etiologi ikterus atau


hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi menjadi :

1. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan neonatus


untuk mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada hemolisis yang meningkat
pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim
G6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi
protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke
sel hepar.
3. Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam
darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain.

Penyebab Hiperbilirubinemia pada Neonatal

Dasar Penyebab
- Peningkatan produksi bilirubin - Incompatibilitas darah fetomaternal
(Rh, ABO)
- Peningkatan penghancuran bilirubin - Defisiensi enzim konginetal
- Perdarahan tertutup (sefalhematom,
memar), sepsis.
- Peningkatan jumlah hemoglobin - Polisitemia (twin-to-twin
transfusion, SGA)
- Keterlambatan klem tali pusat
- Peningkatan sirkulasi enterohepatik - Keterlambatan pasase mukonium,
ileus mukonium, muconium plug
syndrome.
- Puasa atau keterlambatan minum
- Atrrsia atau stenosis intestinal.
- Perubahan clearance bilirubin hati - Imaturitas
- Perubahan produksi atau aktifitas - Gangguan metabolik/endokrin
uridine diphosphoglucoroyl transverase
- Perubahan fungsi dan perfusi hati - Asfiksia, hipoksia, hipotermi, sepsi
(kemampuan konjugasi) (juga proses inflamasi)
- Obat-obatan dan hormon
(novobiasin, pregnanediol)
- Statis biliaris (hepatitis, sepsis)
- Bilirubin load berlebihan (sering
pada hemofisis berat)

C. Patofisiologis Hiperbilirubinemia
Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan
hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin, reduktase, dan agen
pereduksi non enzimatik dalam sistem retikuloendotelial. Setelah pemecahan
hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein intraseluler “Y
protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada aliran darah hepatik dan
adanya ikatan protein. Bilirubin tak terkonjugasi dalam hati diubah atau
terkonjugasi oleh enzim asam uridin disfoglukuronat (uridine disphoglucuronid
acid) glukurinil transferase menjadi bilirubin mono dan diglucuronida yang
polar, larut dalam air (bereaksi direk). Bilirubin yang terkonjugasi yang larut
dalam air dapat dieliminasi melaui ginjal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk
dalam empedu melaui membran kanalikular. Kemudian ke sistem
gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja
dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali menjadi sirkulasi enterohepatik
(Suriadi dan Yuliani 2010).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang telah
diekskresikan dalam jumlah normal. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat
disebabkan oleh obstruksi saluran ekskresi hati. Apabila konsentrasi bilirubin
mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka bilirubin akan tertimbun di dalam darah.
Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian akan
menyebabkan kuning atau ikterus (Khusna, 2013).Pada bayi dengan
hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi atau tidak
aktifnya glukoronil transferase. Rendahnya pengambilan dalam hepatik
kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan penurunan darah
hepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).
Berikut ini adalah tabel hubungan kadar bilirubin dengan daerah ikterus
menurut Kramer (Mansjoer, 2013).
Derajat Luas Daerah Ikterus Kadar Bilirubin (mg/dL)
Ikterus Preterm Aterm
I Kepala dan leher 4–8 4–8
II Dada sampai pusat 5 - 12 5 – 12
III Bagian bawah pusat sampai lutut 7 – 15 8 – 16

Lutut sampai pergelangan kaki


IV dan bahu sampai pergelangan 9 – 18 11 – 18
tangan
Kaki dan tangan termasuk
V telapak kaki dan telapak tangan > 10 > 15

Sumber : Mansjoer (2013)

Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan
kerja glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang
terdapat dalam ASI. Terjadi empat sampai tujuh hari setelah lahir. Dimana
terdapat kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25 – 30 mg/dL selama
minggu kedua sampai ketiga. Jika pemberian ASI dilanjutkan hiperbilirubinemia
akan menurun berangsur- angsur dapat menetap selama tiga sampai sepuluh
minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika pemberian ASI dihentikan, kadar
bilirubin serum akan turun dengan cepat, biasanya mencapai normal dalam
beberapa hari. Penghentian ASI selama satu sampai dua hari dengan
penggantian ASI dengan susu formula mengakibatkan penurunan bilirubin
serum dengan cepat. (Suriadi dan Yuliani 2010).

D. Klasifikasi Hiperbilirubinemia
1. Hiperbilirubinemia Fisiologis
Hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir tidak muncul pada 24
jam pertama setelah bayi dilahirkan. Biasanya pada hiperbilirubinemia
fisiologis peningkatan kadar bilirubin total tidak lebih dari 5mg/dL per hari.
Pada bayi cukup bulan, hiperbilirubinemia fisiologis akan mencapai
puncaknya pada 72 jam setelah bayi dilahirkan dengan kadar serum bilirubin
yaitu 6 – 8 mg/dL. Selama 72 jam awal kelahiran kadar bilirubin akan
meningkat sampai dengan 2 – 3 mg/dL kemudian pada hari ke-5 serum
bilirubin akan turun sampai dengan 3mg/dL (Hackel, 2004).
Setelah hari ke-5, kadar serum bilirubin akan turun secara perlahan sampai
dengan normal pada hari ke-11 sampai hari ke-12. Pada Bayi dengan Berat
Lahir Rendah (BBLR) atau bayi kurang bulan (premature) bilirubin
mencapai puncak pada 120 jam pertama dengan peningkatan serum bilirubin
sebesar 10 – 15 mg/dL dan akan menurun setelah 2 minggu (Mansjoer,
2013).

2. Hiperbilirubinemia Patologis
Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus pada bayi
baru lahir akan muncul dalam 24 jam pertama setelah bayi dilahirkan. Pada
hiperbilirubinemia patologis kadar serum bilirubin total akan meningkat lebih
dari 5 mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan, kadar serum bilirubin akan
meningkat sebanyak 12 mg/dL sedangkan pada bayi kurang bulan (premature)
kadar serum bilirubin total akan meningkat hingga 15 mg/dL. Ikterus biasanya
berlangsung kurang lebih satu minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua
minggu pada bayi kurang bulan (Imron, 2015).

E. Tanda dan Gejala Hiperbilirubinemia


Gejala bilirubin yang tinggi pada bayi baru lahir berbeda-beda, namun pada
umumnya bayi menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:

1. Kulit dan bagian putih mata bayi (sklera) berubah menjadi kuning. Warna
pigmen kuning ini biasanya terjadi pada area wajah terlebih dahulu kemudian
turun ke badan dan seluruh tubuh bayi
2. Menolak menyusu
3. Lemas.

Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami


hiperbilirubinemia apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut :
1. Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat
penumpukan bilirubin.
2. Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
3. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
4. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5
mg/dL pada neonatus kurang bulan.
5. Ikterik yang disertai proses hemolisis.
6. Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi
kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi
trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.
F. Komplikasi Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat
mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Bilirubin
ensefalopati akut menurut American Academy of Pediatrics (2004) terdiri dari
tiga fase, yaitu:

1. Fase inisial, ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan bayi,


dan reflek hisap yang buruk.
2. Fase intermediate, ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan
peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus) yang disertai demam.
3. Fase lanjut, ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan
tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry, dan kadang kejang.

G. Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia
Menurut Suriadi dan Yuliani (2010) penatalaksanaan terapeutik pada bayi baru
lahir dengan hiperbilirubinemia yaitu :
1. Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru
lahir disebabkan oleh infeksi.
2. Fototerapi
Tindakan fototerapi dapat dilakukan apabila telah ditegakkan
hiperbiliribunemia pada bayi baru lahir bersifat patologis. Fototerapi berfungsi
untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melaui tinja dan urine dengan oksidasi
foto pada bilirubin dari biliverdin. Pemberian fototerapi baru direkomendasikan
dalam kondisi berikut:
a. Pada bayi berusia 25-48 jam, total serum bilirubin mencapai 15 mg/dL atau
lebih.
b. Pada bayi berusia 49-72 jam, total serum bilirubin mencapai 18 mg/dL atau
lebih.
c. Pada bayi berusia lebih dari 72 jam, total serum bilirubin mencapai 20
mg/dL atau lebih.

Fototerapi dapat dihentikan tergantung kondisi dan usia bayi itu sendiri.
Untuk bayi yang dirawat di rumah sakit pertama kali setelah lahir (misalnya
dengan kadar bilirubin lebih dari 18 mg/dL), maka terapi sinar dapat dihentikan
setelah kadar bilirubin bayi mencapai 13-14 mg/dL. Sementara bagi kasus
hiperbilirubinemia pada bayi yang disebabkan hemolisis atau kondisi lain, bayi
dapat dipulangkan setelah disinar maksimal 3-4 hari kemudian dipantau
perkembangannya dalam 24 jam di rumah.

3. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengekskresikan bilirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang dapat
meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam
empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat
bilirubin. Akan tetapi fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan untuk
mengatsi hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
4. Transfusi Tukar
Transfusi tukar atau disebut juga dengan terapi pertukaran plasma darah
(therapeutic plasma exchange) dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi
baru lahir sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi.
BAB III

PEMBAHASAN

A. A
B. A
C. A

A
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan
B. Saran

A
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2575/4/Chapter%202.pdf

https://www.academia.edu/28136550/MAKALAH_HIPERBILIRUBINEMIA

A
LAMPIRAN JURNAL

Anda mungkin juga menyukai