Anda di halaman 1dari 8

FOTOTERAPI DALAM MENURUNKAN HIPERBILIRUBIN PADA ASUHAN

KEPERAWATAN BAYI Ny. V DI RUANG PERINATOLOGI RS.KARYA HUSADA


CIKAMPEK

DI SUSUN OLEH:

1. Santi Megasari, S.Kep

2. Suparman Supriyadi, S.Kep

3. Tatat Permana, S.Kep

4. Wahyu Suhartanto, S.Kep

5. Wasinah, S.Kep

6. Yayuk Triana, Amd.Keb, S.Kep

Program Studi Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon

Abstrak: Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam darah, baik
oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis ditandai dengan ikterus.
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari katabolisme
heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Karena sifat hidrofobiknya, bilirubin tak
terkonjugasi diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Ketika mencapai hati,
bilirubin diangkut ke dalam hepatosit, terikat dengan ligandin. Setelah diekskresikan ke
dalam usus melalui empedu, bilirubin direduksi menjadi tetrapirol tak berwarna oleh mikroba
di usus besar. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diserap kembali ke dalam sirkulasi,
sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Pengobatan pada kasus hiperbilirubinemia
dapat berupa fototerapi, intravena immunoglobulin (IVIG), transfusi pengganti, penghentian
ASI sementara, dan terapi medikamentosa.

Tindakan keperawatan utama untuk mengatasi Hiperbilirubin adalah tindakan fototerapi.


Fototerapi hanya diberikan kepada bayi yang mengalami sakit kuning yang parah dan
dicurigai kadar bilirubin tak terkonjugasi yang dapat membahayakan bayi jika bilirubin
meningkat. Tujuan dalam melakukan Fototerapi adalah untuk menurunkan kadar
Hiperbilirubin tak terkonjugasi didalam sirkulasi darah.

Tujuan: Untuk menganalisis fototerapi dalam menurunkan hiperbilirubin pada asuhan


keperawatan ikterus neonatorum.

Metode: Penulis menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Sampel
studi kasus ini adalah bayi Ny. V. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara,
observasi, pemeriksaan, serta dokumentasi.

Hasil: Diagnosis pada kasus bayi Ny. V adalah Risiko injury (internal) berhubungan

dengan peningkatan serum bilirubin sekunder dari pemecahan sel darah merah dan

gangguan sekresi bilirubin, Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan

hilangnya air(insensible water loss) tanpa disadari dari fototerapi, Risiko gangguan

integritas kulit berhubungan dengan fototerapi, Kecemasan orang tua berhubungan dengan

kondisi bayi dan gangguan bonding, Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan

kurangnya pengalaman orang tua.

Sebelum dilakukan perawatan fototerapi pada bayi Ny. V bayi tampak kuning dari kepala,
badan, ekstremitas, pergelangan tangan dan kaki (derajat IV), mukosa kuning, sclera kuning,
dan hasil laboratorium menunjukkan kadar bilirubin indirek 13,06 mg/dl (tanggal 17-04-
2001). Setelah dilakukan perawatan fototerapi bayi sudah tidak kuning, sclera anikterik,
mukosa dan kulit tidak kuning. Simpulan: Fototerapi dapat menurunkan kadar serum
bilirubin dalam sirkulasi darah pada pasien: Hiperbilirubin.
A. PENOMENA

Prevalensi kematian bayi disumbangkan pada masa bayi baru lahir sebanyak
57% (usia dibawah 1 bulan). penyebab kematian yang terbanyak disebabkan oleh bayi
berat lahir rendah, asfiksia, trauma lahir, ikterus neonatorum/Hiperbilirubinemia,
infeksi lain dan kelainan kongenital. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir
mengalami Hiperbilirubinemia dan hampir 1 juta bayi ini kemudian meninggal.
Menurut United Nations Childrens Fund (UNICEF) terdapat 1,8% kematian
bayi yang disebabkan oleh hiperbilirubin dari seluruh kasus perinatal yang terjadi di
dunia.
Angka kematian bayi di Indonesia dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012 sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup. Kematian neonatus
terbanyak di Indonesia di sebabkan oleh asfiksia (37%), bayi berat lahir rendah
(BBLR) dan prematuritas (34%), sepsis (12%), hipotermi(7%), ikterus neonatorum/
Hiperbilirubinemia (6%), postmatur (3%), dan kelainan kongenital (1%) per 1000
kelahiran hidup.
Menurut SDKI 2017 Angka kematian bayi (AKB) yaitu 24 per 1000 kelahiran
hidup. Sedangkan target SDGs adalah mengakhiri angka kematian bayi dan balita
dengan cara menurunkan angka kematian balita 25 per 1000 kelahiran. Berdasarkan
data Riskesdas, 2015 angka hiperbilirubin pada bayi baru lahir di Indonesia sebesar
51,47%.
Jumlah bayi lahir hidup adalah 950.541 dengan 20.465 bayi lahir dengan berat
badan rendah (2,15%). Sedangkan jumlah balita adalah 4.435.523. Tingginya angka
berat badan bayi lahir rendah dapat memicu terjadinya peningkatan angka bayi ikterus
atau hiperbilirubin pada bayi. Penting untuk memantau pertambahan berat badan janin
untuk mencegah bayi resiko tinggi pada saat setelah terpisah dari rahim ibu
Peningkatan bilirubin disebabkan oleh infeksi, kelainan sel darah merah, dan
toksin dari luar tubuh serta dari tubuh itu sendiri. Apabila tidak segera dilakukan
penanganan akan menyebabkan terjadinya kern ikterus (ensefalopati biliaris) adalah
suatu kerusakan otak akibat adanya bilirubin indirect pada otak.
Faktor risiko untuk mengalami hiperbilirubinemia indirek meliputi : diabetes
pada ibu, ras (Cina, Jepang, Amerika Asli), prematuritas, obatobatan (vitamin k3,
novobiosin), jenis persalinan, sefalhematoma, pemberian ASI, dan berat badan.
Secara keseluruhan, 6-7% bayi cukup bulan mempunyai kadar bilirubin indirek lebih
besar dari 12,9 mg/dl dan kurang bulan 3% mempunyai kadar bilirubin yang lebih
besar dari 15 mg/dl.8 Bayi lahir cukup bulan mempunyai risiko terjadi ikterus
neonatorum/hiperbilirubinemia mencapai 60% dan peningkatan risiko terjadi pada
bayi lahir prematur sebanyak 80%. Hiperbilirubinemia secara klinis akan mulai
tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.12 Prematur
meningkat dari 7,5% (2 juta kelahiran) menjadi 8,6% (2,2 juta kelahiran) di dunia.
Prematur disebabkan karena adanya masalah kesehatan ibu dan bayi, maka dari itu
bayi dengan lahir prematur dapat menyebabkan hiperbilirubin.
Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang (2019), menyebutkan bahwa Angka
Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2019 sebanyak 157 kasus. Penyebabnya adalah
BBLR sebanyak 65 kasus (41,4%), asfiksia sebanyak 37 kasus (23,5%), kelainan
kongenital sebanyak 17 kasus (10,8%), infeksi atau sepsis sebanyak 2 kasus (1,27%),
pneumonia 2 kasus (1,27%), diare 1 kasus (0,6%) dan penyebab lainnya sebanyak 33
kasus (21%). (Dinkes Kabupaten Karawang,2019).
Berdasarkan data Rekam Medik Rumah Sakit Karya Husada Karawang di
bagian perawatan perinatologi didapatkan 82 kejadian Hiperbilirubin pada bulan
Agustus sampai dengan Desember 2020 dan tidak terdapat bayi yang meninggal.
Hal ini menunjukan bahwa Hiperbilirubin merupakan fenomena klinis yang
paling sering ditemukan pada bayi baru lahir dan menyebabkan bayi berwarna kuning
pada sklera dan kulit. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara
optimal sehingga proses glukoronil transferase bilirubin tidak terjadi secara maksimal.
Berdasarkan uraian tersebut, inilah yang melatarbelakangi pengkaji tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul Analisis Asuhan Keperawatan Pada Bayi Ny. A
dengan Hiperbilirubin di Rumah Sakit Karya Husada Karawang tahun 2021.

B. TINJAUAN JURNAL

C. METODE PENELITIAN
Metode Penelitian Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan case
study research (Studi Kasus). Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Karya Husada
Karawang pada tanggal 09-24 april 2021. Subjek penelitian dalam Jurnal ini adalah
bayi baru lahir dengan diagnosis medis Hiperbilirubin. Pemilihan subjek dilakukan
dengan cara melihat bayi diruang Perinatologi Di Rumah Sakit Karya Husada
Cikampek dengan diagnosis medis Hiperbilirubin kemudian penulis mengambil satu
sampel untuk dijadikan subjek sudi kasus.

D. PEMBAHASAN
Bayi Ny. Y lahir secara normal dengan berat badan 3500 Gr. Bayi Ny. Y lahir
dengan masa gestasi < 36 minggu yaitu 33 minggu. Hal ini sesuai teori Nurarif dan
Kusuma (2015), bahwa bayi yang lahir dengan masa gestasi < 36 minggu dapat
beresiko mengalami Hiperbilirubin. Hal ini dijelaskan oleh Nurarif dan Kusuma
bahwa bayi yang mengalami prematuritas pada organ-organ nya belum berfungsi
dengan baik, terutama pada organ hati, fungsi hati yang belum sempurna
menyebabkan konjugasi bilirubin juga belum sempurna, sehingga terjadi
hyperbilirubinemia.
Tanda klinis Hiperbilirubin pada bayi Ny. V muncul pada usia 6 hari.
Sedangkan menurut Royyan (2012), bahwa hiperbilirubin dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu Hiperbilirubin fisiologis dan Hiperbilirubin patologis. Pada
Hiperbilirubin fisiologis, warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga dan
tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai hari kesepuluh,
sedangkan pada Hiperbilirubin patologis, ikterus timbul dalam 24 jam pertama
kehidupan. Bayi Ny. V minum ASI sejak lahir dikarenakan ASI Ny. Y sudah keluar
akan tetapi asi Ny. V tidak banyak keluar sehingga di dukung Bersama susu
formula/MPASI, menurut Hal ini dapat dijelaskan oleh Nurarif & Kusuma (2015),
bahwa Hiperbilirubin bisa muncul pada hari kelima sampai hari kesepuluh
dikarenakan ASI yang tidak efektif. Maka dari itu dapat disimpulkan kasus pada bayi
Ny. V termasuk Hiperbilirubin fisiologis karena bayi Ny. V mengalami Hiperbilirubin
pada hari ke enam kehidupan.
Pada bayi Ny. V setiap minum tidak tentu, tapi rata-rata minum 5x30 cc/hari
dan tidak pernah habis. Bayi Ny. V minum ASI dan atau susu formula selama dirawat
di Perinatologi. Menurut England (2012), Hiperbilirubin fisiologis disebabkan oleh
asupan kalori yang lebih rendah, pengeluaran mekonium yang lebih lambat, dan
adaptasi fisiologis yang berlangsung terhadap tipe susu tertentu, misalnya perubahan
dari ASI ke susu formula bersifat mengganggu seluruh proses fisiologis bayi. Jadi
dapat disimpulkan pada kasus bayi Ny. V Hiperbilirubin terjadi karena rendahnya
asupan kalori. Hal ini dibuktikan dengan bayi minum tidak tentu minum, minum 5x30
cc/hari namun tidak pernah habis, dan adaptasi fisiologis yang berlangsung terhadap
tipe susu tertentu (dibuktikan dengan bayi Ny. V minum ASI dan atau susu formula
selama dirawat).
Pada bayi Ny. V mau minum dengan refleks hisap yang lemah, letargi, dan
refleks moro lemah. Ini sesuai menurut Royyan (2012), bahwa bayi dengan
Hiperbilirubin ditemukan bayi tidak mau minum, letargi, dan reflek moro lemah atau
tidak sama sekali. Terjadinya refleks moro lemah dijelaskan Shapiro (2008) dalam
Hutahaean (2011), bahwa dari beberapa penelitian secara garis besar rata-rata kadar
bilirubin total serum >20 mg/dl berpotensi terjadinya gangguan perkembangan
neurologis walaupun kadar dengan bilirubin dan juga faktorfaktor risiko yang ada.
Tujuan fototerapi neonatus yaitu untuk menurunkan kadar bilirubin serum
dalam sirkulasi darah. hal ini juga sesuai menurut teori Royyan (2012), yang
menjelaskan bahwa salah satu penatalaksanaan dari hiperbilirubin adalah fototerapi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan fototerapi neonatus selama tiga hari
warna kulit sudah tidak ikterik, mata anikterik, reflek hisap adekuat, bayi minum ASI
± 35 cc, menggunakan botol sebanyak 30 cc, gerak aktif, bayi minum 8x35 cc, bayi
sudah tidak gumoh.

E. KESIMPULAN
Pada studi kasus ini didapatkan bahwa Fototerapi Neonatus dapat menurunkan
kadar biirubin serum dalam sirkulasi darah. Rumah sakit hendaknya meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan melalui media penkes tentang fototerapi dirumah
sehingga pelayanan dan pengobatan akan maksimal.
F. DAFTAR PUSTAKA
England, Carole. 2012. Asuhan Kebidanan pada Bayi yang Baru Lahir. Perawatan
Bayi yang Sakit Kuning. Hilary Lumsden and Debbie Holmes (Ed). Pustaka Pelajar.
Yogyakarta

Royyan, A. 2012. Asuhan Keperawatan Klien Anak. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Hutahaean, Baginda P. 2011. Gangguan Perkembangan Neurologis pada Bayi


dengan Riwayat Hiperbilirubinemia. Tesis.Program Pasca Sarjana Fakultas
Kesehatan.Universitas Diponegoro. Semarang. http://eprints.undip.a
c.id/16667/1/Baginda_P_Hutah aean.pdf (diakses pada 20 april 2021)

_________________(2019).Internet.Hiperbilirubin pada neonatus,


https://ejournal.unsrat.ac.id

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa barat. 2015. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa
barat
Tahun2015http://diskes.jabarprov.go.id/dmdocuments/01b3018430a412a520e2b4a4b
9d9864f.pdf _Pro fil_Kes.Prov.Jawa barat_201 5.pdf (Di akses tanggal 20 November
2017)

Anda mungkin juga menyukai