DISUSUN OLEH :
SARI WAHYUNI
NPM. 201922074
B. ETIOLOGI
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu
ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi
RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu
prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.. Surfaktan
biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga
agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala
tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini
dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan
disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru yang
menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,
penyakit membran hialin (PMH).
C. PATOFISIOLOGI
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang,
pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah,
produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan
kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut
menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru
(compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting
intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang
menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan
10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan
menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru
nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab
itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk
mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara
bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli
sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi
duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi
surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau
volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial
dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan
eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang
meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium
mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir.
Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan
mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Martin, 1999 manifestasi klinis antara lain :
1. Kesulitan dalam memulai respirasi normal
2. Dengkingan (grunting) pada saat ekspirasi, diamati pada saat bayi
tidak dalam keadaan menangis (disebabkan oleh penutupan glotis)
merupakan tanda/indikasi awal penyakit, berkurangnya dengkingan
mungkin merupakan tanda pertama perbaikan.
3. Refraksi sternum dan interkosta
4. Nafas cuping hidung
5. Sianosis pada udara kamar
6. Respiarasi cepat atau kadang lambat jika sakit parah
7. Auskultasi; udara yang masuk berkurang
8. Edema ekstremitas
9. Pada foto rontgen ditemukan retikulogranular, gambaran bulat-bulat
kecil dengan corakan bronkogram udara.
Kelainan-kelainan fisiologis:
1. Daya kembang paru-paru berkurang hingga mencapai seperlima sampai
sepersepuluh nilai normal.
2. Daerah paru-paru yang tidak mengalami perfusi luas mencapai 50-60%
3. Aliran darah kapiler pulmonal kurang
4. Ventilasi alveolus berkurang dan usaha nafas meningkat
5. Volume paru-paru berkurang
Perubahan-perubahan ini menyebabkan hipoksemia, seringkali hiperkarbia
dan jika mengalami hipoksemia berat menimbulakan asidosis.
E. KOMPLIKASI
Menurut Nelson, 2000 komplikasi yang dapat terjadi adalah :
1. Acidosis, baik respiratorik atau metabolik
2. Displasia bronchopulmonal
3. Apnoe
4. Merupakan penyabab kematian utama BBL dengan angka 30 % dari
semua kematian neonatus oleh RDS atau komplikasinya.
F. PENATALAKSANAAN
Peran Perawat Terhadap RDS
Setiap bayi dengan gangguan pernafasan memerlukan penangan secara umum berupa
:
1. Pemberian oksigen dengan aliran sedang.
2. Bila frekuensi pernafasan kurang dari 30 kali per menit, harus diobservasi
ketat. Bila kurang dari 20 kali per menit setiap saat resusitasi bayi dengan
menggunakan balon sungkup (Alat Balon-Sungkup Alat kantong-sungkup
terdiri atas sebuah kantong yang terhubungkan dengan sebuah sungkup).
3. Bila apnu :
Stimulasi bayi untuk bernafas dengan menggosok-gosok punggung
bayi selama 10 detik.
Bila belum mulai bernafas resusitasi bayi dengan menggunakan
balon dan sungkup.
4. Indikasi penggunaan balon dan sungkup adalah apnu atau megap-megap,
frekuensi jantung kurang dari 100 kali per menit dan sianosis sentral
persisten walaupun diberi aliran oksigen bebas 100%. Periksa kadar
glukosa darah bila kurang dari 45 g/dl, segera terapi sebagai hipoglikemi.
5. Bila didapatkan tanda-tanda lainya misalnya: kesulitan minum, BBLR, tada-
tanda kejang, sepsis dan lain-lain, usahakan menentukan penyebab gangguan
nafas ini sambil meneruskan pemberian oksigennya.
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan
kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik
atau menajemen lanjut :
1. Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada
waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the
Newborn” (TTN). Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi
tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun
demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda awal
dari infeksi sistemik.
2. Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak
dapat diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup. Bayi jangan diberi minum.
3. Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk
terapi kemungkinan besar sepsis.
Suhu aksiler <> 39˚C
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
1. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
2. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran
paru
3. Fenobarbital
4. Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
Perawatan suportif awal bayi terutama penanganan hipoksia, hipotermia,
sangat mengurangi tingkat keparahan RDS :
1. Bayi ditempatkan didalam inkubator dengan suhu didalamnya
dipertahankan 35-36 C.
2. Kalori dan cairan diberikan glukosa 10 % dengan kecepatan
65-75 ml/kg/24 jam
3. Oksigen yang hangat dan dilembabkan dengan kadar yang
cukup
4. Bayi dengan RDS yang berat dan apnoe memerlukan bantuan
ventilasi mekanis (pH arteri <7,20; pCO2 60 mmHg atau lebih;
pO2 darah arteri 50 mmHg atau kurang pada kadar O2 70-100
%)
5. Pemasukan surfaktan eksogen kedalam endotrakea bayi dan
ventilasi mekanis untuk pengobatan (rescue terapi) dapat
memperbaiki ketahanan hidup dan mengurangi incidens
kebocoran udara paru (Survanta adalah surfaktan eksogen yang
dpersiapkan dari paru sapi yang dicincang halus dengan ekstra
lipid ditambahkan fosfatidilkolin, asam palmitat dan
trigliserida; sedangkan eksosurf adalah surfaktan sintesis yang
mengandung dipalmitiodilfosfatidilkolin, heksadekanol dan
tiloksapol)
A. PENGKAJIAN
1. Identitas : lengkap, termasuk orang tua bayi
2. Riwayat kesehatan :
a. Keluahan utama, terutama sistem pernafasan : cyanosis,
grunting , RR, cuping hidung
b. Riwayat kesehatan : terutama umur kehamilan dan proses
persalinan
3. Pemeriksaan Fisik :
a. Keadaan umum : kesadaran, vital sign
b. Pemeriksaan persistem : terutama pada sistem yang terlibat
langsung
Sistem pernafasan : kesulitan dalam respirasi normal.
Refraksi strenum dan interkosta, nafas cuping hidung,
cyanosis pada udara kamar, grunting, respirasi cepat atau
lambat
Sistem kardiovaskulaer : takikardia, nadi lemah/cepat, akral
dingin/hangat, cyanosis perifer
Sistem gastrointestinal : muntah, kembung, peristaltik
menurun/meningkat
Sistem perkemihan : keluaran urine, warna
B. DIAGNOSE KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas neurologis
(defisiensi surfaktan dan ketidakstabilan alveolar)
2. Hipotermia berhubungan dengan berada di lingkungan yang dingin
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
kapiler-alveolar
4. Resiko infeksi
C. INTERVENSI
Rencana Keperawatan
2 Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Nafas (3140) :
efektif b.d keperawatan selama …..x 24
1. Bebaskan jalan nafas dengan posisi leher ektensi
imaturitas jam diharapkan pola nafas jika memungkinkan.
(defisiensi efektif denga kriteria hasil :2. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
surfaktan dan dan mengurangi dispnea
ketidak-stabilan 3. Auskultasi suara nafas
Status Respirasi : Ventilasi
alveolar). (0403) : 4. Monitor respirasi dan status oksigen
Batasan Termoregulasi Neonatus dengan pakaian yang hangat dan kering, berikan
Penurunan suhu Suhu axila 36-37˚ C 3. Monitor gejala dari hopotermia : fatigue, lemah,
ren-tang normal Warna kulit merah muda 4. Monitor status pernafasan
Pucat Tidak ada distress respirasi5. Monitor intake dan output
DAFTAR PUSTAKA
Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta :
EGC
Leifer, Gloria. 2007. Introduction to maternity & pediatric nursing. Saunders
Elsevier : St. Louis Missouri
Prwawirohardjo, Sarwano. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Mansjoer. (2002). Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Jakarta: FKUI.: EGC.
Wong. Donna L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.
Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2009