Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi dalam usia 28

hari pertama kehidupan per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi menurut

WHO (World Health Organization) (2015) pada negara ASEAN (Association of

South East Asia Nations) seperti di Singapura 3 per 1000 kelahiran hidup,

Malaysia 5,5 per 1000 kelahiran hidup, Thailand 17 per 1000 kelahiran hidup,

Vietnam 18 per 1000 kelahiran hidup, dan Indonesia 27 per 1000 kelahiran hidup.

Angka kematian bayi di Indonesia masih tinggi dari negara ASEAN lainnya, jika

dibandingkan dengan target dari MDGs (Millenium Development Goals) tahun

2015 yaitu 23 per 1000 kelahiran hidup.

Berdasarkan penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu dalam

kandungan dan luar kandungan. Kematian bayi dalam kandungan adalah kematian

bayi yang dibawa oleh bayi sejak lahir seperti asfiksia. Sedangkan kematian bayi

luar kandungan atau kematian post neonatal disebabkan oleh faktor-faktor yang

bertalian dengan pengaruh dari luar (Vivian, 2014).

Salah satu penyebab kematian bayi luar kandungan adalah hiperbilirubin,

dimana hiperbilirubin merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering

ditemukan pada bayi baru lahir dalam minggu pertama dalam kehidupannya.

Insiden hiperbilirubinemia di Amerika 65%, Malaysia 75%, Indonesia 51,47 %

(Putri dan Mexitalia, 2014).

Berdasarkan data Riset Kesehatan dasar (Riskerdas, 2015) menunjukkan

angka hiperbilirubin pada bayi baru lahir di Indonesia sebesar 51,47%, di Sumatra
2

Barat 47,3% dengan faktor penyebabnya antara lain, Asfiksia 51%, BBLR 42,9%,

Sectio Cesaria 18,9%, Prematur 33,3%, kelainan kongenital 2,8%, sepsis 12%.

Hiperbilirubin pada bayi baru lahir merupakan penyakit yang disebabkan

oleh penimbunan bilirubin dalam jaringan tubuh sehingga kulit, mukosa, dan

sklera berubah warna menjadi kuning (Nike, 2014).

Hiperbilirubin adalah warna kuning yang dapat terlihat pada sklera,

selaput lender, kulit, atau organ lain akibat penumpukan bilirubin. Peningkatan

kadar bilirubin terjadi pada hari ke-2 dan ke-3 dan mencapai puncaknya pada hari

ke-5 sampai hari ke-7, kemudian menurun kembali pada hari ke-10 sampai hari

ke-14 (Dewi, 2014).

Terjadinya kuning pada bayi baru lahir, merupakan keadaan yang relatif

tidak berbahaya, tetapi pada kadar bilirubin yang tinggi dapat menjadi toksik dan

berbahaya terhadap sistim saraf pusat bayi. Hiperbilirubin dengan konsentrasi

bilirubin yang tinggi, yang serumnya mungkin menjurus kearah terjadinya kern

ikterus bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Kern ikterus adalah ensefalopati

bilirubin yang biasanya ditemukan pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubin

berat (bilirubin indirek lebih dari 20 mg%), disertai penyakit hemolitik berat dan

pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak (AlKhadar, 2010).

Hiperbilirubin itu terbagi atas dua, fisiologis dan patologis dimana

hiperbilirubin fisiologis adalah keadaan hiperbilirubin karena faktor fisiologis

yang merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir. Hiperbilirubin

patologis adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah

mencapai nilai yang melebihi batas normal hiperbilirubin dan mempunyai potensi

untuk menimbulkan kern ikterik(Manuaba, 2012).

Hiperbilirubin patologis terjadi pada 24 jam pertama pada bayi baru lahir,

karena patologis dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai 12 mg% untuk
3

cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan, dampak buruk yang diderita

bayi seperti: kulit berwarna kuning sampai jingga, bayi tampak lemah, urine

menjadi berwarna gelap sampai berwarna coklat dan apabila penyakit ini tidak

ditangani dengan segera maka akan menimbulkan dampak yang lebih buruk lagi

yaitu kern ikterus suatu kerusakan pada otak akibat perlengketan bilirubin indirek

pada otak yang ditandai dengan bayi tidak mau mengisap, letargi, gerakan tidak

menentu, kejang, tonus otot kaku, leher kaku dan bisa mengakibatkan kematian

pada bayi atau kecacatan di kemudian hari(Wijayaningsih, 2013).

Menurut Kosim (2014) menyatakan faktor resiko yang mempengaruhi

hiperbilirubin meliputi faktor maternal seperti usia gestasi, komplikasi kehamilan

(preeklamsi, anak sunsang, anak besar), faktor perinatal seperti infeksi pada bayi

baru lahir (asfiksia), trauma lahir (cepalhematom) dan jenis persalinan (Sectio

Caesarea), dan faktor bayi baru lahir seperti prematuritas, rendah asupan ASI,

hipoglikemia, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) dan rendahnya asupa ASI.

Salah satu factor resiko neonates yang berpengaruh terhadap kejadian

hiperbilirubin adalah bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). World Health

Organization (WHO) mendefinisikan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sebagai

bayi yang terlahir dengan berat kurang dari 2500gram. BBLR masih terus menjadi

masalah kesehatan masyarakat yang signifikan secara global karena efek jangka

pendek maupun panjangnya terhadap kesehatan (WHO(2014). Pada tahun 2011,

15% bayi di seluruh dunia (lebih dari 20 juta jiwa), lahir dengan BBLR (UNICEF,

2013). Sebagian besar bayi dengan BBLR dilahirkan dinegara berkembang

termasuk Indonesia, khususnya di daerah yang populasinya

rentan (WHO, 2014).

Di Indonesia sendiri persentase BBLR tahun 2013 mencapai 10,2%

(Balitbangkes and Kemenkes RI, 2013), artinya, satu dari sepuluh bayi di
4

Indonesia dilahirkan dengan BBLR. Jumlah ini masih belum bisa menggambarkan

kejadian BBLR yang sesungguhnya, mengingat angka tersebut didapatkan dari

dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, seperti buku

Kesehatan Ibu dan Anak dan Kartu Menuju Sehat. Sedangkan jumlah bayi yang

tidak memiliki catatan berat badan lahir, jauh lebih banyak. Hal ini berarti

kemungkinan bayi yang terlahir dengan BBLR jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Berat badan lahir dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Wardlaw (2004)

mengemukakan bahwa berat badan lahir tidak lepas dari gaya hidup (merokok,

alkohol, penyalahgunaan obat terlarang), nutrisi, aktivitas fisik ibu, asupan

makanan ibu selama hamil, usia ibu dan penyakit yang mungkin diderita ibu

(hipertensi, diabetes, malaria, HIV atau penyakit menular seksual). Berbagai

penelitian juga mengungkapkan bahwa ibu dalam kondisi sosial-ekonomi sangat

kekurangan lebih sering memiliki bayi dengan berat lahir rendah. Pada keadaan

seperti ini, berat badan bayi lahir rendah berarti disebabkan oleh ibu yang

kekurangan nutrisi dalam jangka waktu yang lama

Berdasarkan data di atas bahwa hiperbilirubinemia berkaitan dengan bayi

baru lahir yang mengalami BBLR, sehingga diperlukan penelitian mengenai

“Hubungan BBLR dengan hiperbilirubinemia di ruang perinatologi dan dara

RSUD Wangaya Kota Denpasar”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut diatas, untuk mengetahui hubungan antara BBLR

dan Hiperbilirubinemia, maka dapat disusun rumusan masalah seperti berikut:

1. Apakah ada hubungan BBLR dengan terjadinya Hiperbilirubinemia pada

neonatus?

2. Berapakah kejadian BBLR pada neonatus?


5

3. Berapakah kejadian Hiperbilirubinemia pada neonatus dengan BBLR?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan BBLR dengan

Hiperbilirubinemia pada neonatus.

1.3.2 Tujuan khusus

Selanjutnya, penelitian ini mempunyai tujuan khusus seperti diuraikan berikut ini:

1. Untuk mengetahui kejadian BBLR pada neonatus

2. Untuk mengetahui kejadian Hiperbilirubinemia pada neonatus dengan BBLR

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademik

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu kedokteran dan

memberikan informasi terbaru mengenai hubungan BBLR dengan kejadian

Hiperbilirubinemia pada neonatus dan sebagai acuan/sumber data bagi penelitian lebih

lanjut.

1.4.2 Manfaat praktis

Dengan mengetahui adanya hubungan antara BBLR dengan kejadian

Hiperbilirubinemia pada neonatus, maka dapat dipakai ditentukan tindakan pencegahan

agar tidak terjadi komplikasi yang buruk pada neonatus.

Teoritis
6

BAB III

KERANGKA TEORI, KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Teori

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling

sering ditemukan pada bayi baru lahir dalam minggu pertama dalam

kehidupannya. Hiperbilirubinemia terbagi atas dua, fisiologis dan

patologis dimana hiperbilirubinemia fisiologis adalah keadaan

hiperbilirubinemia karena faktor fisiologis yang merupakan gejala normal

dan sering dialami bayi baru lahir. Hiperbilirubinemia patologis adalah

suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai

nilai yang melebihi batas normal hiperbilirubinemia dan mempunyai

potensi untuk menimbulkan kern ikterik

Faktor resiko yang mempengaruhi hiperbilirubinemia meliputi faktor

maternal seperti usia gestasi, komplikasi kehamilan (preeklamsi, anak

sunsang, anak besar), faktor perinatal seperti infeksi pada bayi baru lahir

(asfiksia), trauma lahir (cepalhematom) dan jenis persalinan (Sectio

Caesarea), dan faktor bayi baru lahir seperti prematuritas, rendah asupan

ASI, hipoglikemia dan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). BBLR dan

prematuritas merupakan faktor risiko tersering terjadinya

hiperbilirubinemia di wilayah Asia tenggara.

Seringkali prematuritas berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak

terkonjugasi pada neonatus. Aktifitas Uridine Difosfat Glukoronil

Transferase Hepatik jelas menurun pada bayi prematur, sehingga kadar

bilirubin yang terkonjugasi menurun. Namun pada bayi cukup bulan dan

bayi prematur terjadi peningkatan hemolisis karena umur sel darah merah
7

yang pendek pada neonatus dan pada bayi BBLR, pembentukan hepar

belum sempurna (imaturitas hepar) sehingga menyebabkan konjugasi

bilirubin indirek menjadi bilirubin direk di hepar tidak sempurna.

3.2 Konsep Penelitian

Bayi Lahir BBLR Hiperbilirubinemia

-Gaya hidup ibu saat hamil - Prematuritas

- Nutrisi - Trauma lahir

- Aktivitas fisik ibu - Hipoglikemia

- Asupan makanan ibu selama - Asupan asi rendah


hamil
- Jenis persalinan
- Usia ibu dan penyakit yang
- Infeksi
mungkin diderita ibu
- Genetika
-Umur Kehamilan

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti


8

3.3 Hipotesis

Adanya pengaruh BBLR dengan terjadinya hiperbilirubinemia pada bayi

di RSUD Wangaya Denpasar


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan rancangan penelitian observasional analitik

dengan desain cross sectional, untuk mengetahui apakah BBLR merupakan faktor

resiko hiperbilirubinemia. Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi subjek

dengan BBLR (faktor resiko) dan hiperbilirubinemia / tidak hiperbilirubinemia

(efek).

Hiperbilirubinemia (+)
BBLR (+)

Sampel

Hiperbilirubinemia (-)

Hiperbilirubinemia (+)

BBLR (-)

Hiperbilirubinemia (-)

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

9
4.2.1 Tempat Penelitian

Pengambilan data dilaksanakan di Ruang Perinatologi dan Dara RSUD

Wangaya kota Denpasar

4.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan setelah usulan proposal disetujui sampai

jumlah sampel terpenuhi.

4.3 Populasi Penelitian

4.3.1 Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah semua neonatus, baik yang

mengalami BBLR maupun yang tidak mengalami BBLR.

4.3.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua neonatus yang dirawat

inap di perinatologi dan Dara RSUD Wangaya Kota Denpasar periode Juli

2017 - Juli 2018.

4.3.3 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah neonatus dengan BBLR di

perinatologi dan Dara RSUD Wangaya yang memenuhi kriteria inklusi dan

ekslusi yang diambil secara consecutive sampling dengan menggunakan data

register dari bulan Juli 2017 sampai bulan juli 2018.

4.3.3.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi sampel dalam peneliatian ini adalah nenonatus (0-

28 hari) di ruang perinatology dan Dara RSUD Wangaya kota Denpasar

4.3.3.1 Kriteria Eksklusi


10
1. Kriteria eksluksi sampel dalam penelitian ini adalah neonatus

dengan riwayat trauma, sepsis neonatorum, hipoglikemia,

inkompibilitas golongan darah atau rhesus, kelahiran prematur

4.3.4 Besar Sampel

Semua pasien anak dari bulan Januari 2017 yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi sampai jumlah sampel terpenuhi.

Z 2 ( PQ)
n
d2
2
n = 1,645 x 0,51 x (1-0,51)
2
0,1

n = 67,6

n = 68

Keterangan :

n : besar sampel

α : tingkat kemaknaan → 0.1 (zα → 1.645)

P : proporsi penyakit yang dicari (dari pustaka) → 51% = 0,51

Q : (1- P)

d : tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki (ditetapkan oleh

peneliti) → 0.1

Dari hasil perhitungan diatas, besar sampel minimal yang diperlukan

sebesar minimal 68 sampel.

11
4.4 Variabel Penelitian

Variabel bebas : BBLR

Variabel tergantung : Hiperbilirubinemia

Variabel perancu : Jenis persalinan ??

4.5 Definisi Operasional Variabel

1. Hiperbilirubinemia

Definisi: Pewarnaan kuning pada sklera, membran mukosa, dan kulit

akibat akumulasi dari bilirubin pada neonatus dengan kadar bilirubin

darah >5mg/dL. Di dapatkan dari data register. Dikategorikan menjadi

hiperbilirubinemia dan tidak hiperbilirubinemia

2. Berat badan lahir: Berat badan pada saat bayi lahir. Didapatkan dari data

register. Dikategorikan menjadi: BBLR <2500 gram, BBLSR <1500 gram,

BBLASR <1000 gram. Dalam analisa dibagi menjadi BBLR dan tidak

BBLR

3. Neonatus: Umur anak ditentukan dari hasil perhitungan tanggal lahir

dengan tanggal pengambilan data. Periode kurang dari 28 minggu setelah

kelahiran.

4. Jenis kelamin anak. Gambaran fenotip anak, diketahui dari pemeriksaan

fisik. Dikategorikan menjadi : (1) Laki-laki; dan (2) Perempuan.

5. Usia gestasi: Durasi dari gestasi diukur dari awal hari pertama haid

terakhir. Dikategorikan menjadi: bayi kurang bulan (<37 minggu), dan

12
bayi cukup bulan (≥37 minggu). Dalam analisa dibagi menjadi bayi kurang

bulan, bayi cukup bulan, bayi lebih bulan.

6. Paritas: Jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup maupun mati.

Dikategorikan menjadi: primipara, multipara, dan grandemultipara. Dalam

analisa dibagi menjadi primipara, multipara dan grandemultipara.

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian menggunakan data register di

perinatologi dan NICU.

4.7 Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang perinatologi dan NICU RSUD Wangaya.

Pengambilan data dilihat dari data register dari bulan Januari 2017 hingga jumlah

sampel terpenuhi. Data yang diambil sudah memenuhi kriteria inkulusi dan

ekslusi hingga sesuai dengan jumlah sampel minimal.

4.8 Alur Penelitian

Populasi neonatus dengan BBLR di


perinatologi dan Dara RSUD WANGAYA

Kriteria inklusi dan ekslusi

Sampel penelitian (n = 68)

Pengumpulan data dari register

13
Analisa data menggunakan program statistik

4.9 Analisa Data

Hubungan asfiksia dengan kejadian hiperbilirubinemia pada

neonatus di RSUD Wangaye kota Denpasar diuji dengan menggunakan

uji statistic Chi Square dan diolah dengan Statistical Product and Service

Solution (SPSS) 24 for Mac. Pada penelitian ini dilakukan analisis

univariat yang bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik sampel

penelitian. Selanjutnya dilakukan analisis bivariat yang berfungsi untuk

menghubungkan antara variabel bebas dan variabel terikat dengan

menggunakan uji Chi Square. Estimasi risiko relatif dinyatakan dengan

rasio prevalens (RP) dengan interval kepercayaan 95%. Tingkat

kemaknaan yang digunakan adalah 10%. Hasil penelitian disajikan

dalam bentuk tabel.

4.10 Etika Penelitian

Persetujuan penelitian dan penggunaan data register di setujui oleh kepala

bagian SMF Anak di RSUD Wangaya kota Denpasar

14

Anda mungkin juga menyukai