DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
KELAS : 3B
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan izin dan
kekuatan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan MAKALAH ini dengan judul
“ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KELAINAN KONGENITAL PADA
SISTEM DIGESTIVE ” tepat pada waktunya.
Tugas ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah KEPERAWATAN ANAK II.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, dalam isi
maupun sistematiknya. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan wawasan kami. Oleh
sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.
Akhir kata yang kami sampaikan, selamat mempergunakan dan mempelajari makalah ini
sebaik-baiknya, semoga ada guna dan bermanfaat bagi setiap orang yang mempelajarinya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana proses asuhan keperawatan Kelainan Kongenital pada Anak.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Hirschprung
1. Pengertian
Hirschsprung (megakolon/aganglionic congenital) adalah anomali kongenital
yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian
usus (Wong, 1996).
Penyakit Hisprung (Hirschprung) adalah kelainan bawaan penyebab gangguan
pasase usus (Ariff Mansjoer, dkk. 2000).
Hirschprung adalah kelainan bawaan berupa obstruksi usus akibat dari tidak
adanya sel-sel ganglion parasimpatik pada dinding saluran intestinal lapisan
submukosa, dan biasa terjadi pada calon bagian distal (Fitri Purwanto, 2001).
Hirschprung merupakan suatu kelainan bawaan berupa aganglionosis usus yang
dimulai dari sfingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang bervariasi dan
termasuk anus sampai rektum. Juga dikatakan sebagai kelainan kongenital dimana
tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbact di kolon (A. Aziz
Alimul Hidayat,2006).
2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan
dinding usus, mulai dari spingter ani internus kearah proksimal, 70 % terbatas
didaerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat
mengenai seluruh usus dan pilorus.
Adapun yang menjadi penyebab hirschsprung atau mega kolon kongenital adalah
diduga karena terjadi faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan
Down syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan submukosa pada dinding plexus.
Dalam keadaan normal bahan makanan yang dicerna bisa berjalan disepanjang
usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi
ritmis ini disebut gerakan peristaltiik). Kontraksi dirangsang oleh sekumpulan saraf
yang disebut ganglion yang terletak dibawah lapisan otot.
Sedangkan menurut (Amiel, 2001) penyebab hisprung tidak diketahui, tetapi ada
hubungan dengan kondisi genetic Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan
dengan neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung familiar (Edery,
1994). Gen lain yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel
neurotrofik glial yang diturunkan dari factor gen, dari factor gen endhotelin-B, dan
gen endothelin -3 (Marches, 2008).Penyakit Hirschprung juga terkait dengan Down
syndrome, sekitar 5-15% dari pasien dengan penyakit Hirschprung juga memiliki
trisomi 21 (Rogers, 2001).
3. Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda dapat bermacam-macam berdasarkan keparahan dari kondisi
kadang-kadang mereka muncul segera setelah bayi lahir. Pada saat yang lain mereka
mungkin saja tidak tampak sampai bayi tumbuh menjadi remaja ataupun dewasa.
4. Pathofisiologi
Istilah congenital agang lionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal.
Segmen aganglionik hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus
besar. Ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan
tenaga pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter
rektum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal
yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna.
Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon.
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya
bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kimia darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal
biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai
dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada
penatalaksanaan cairan dan elektrolit.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto polos abdomen dapat menunjukan adanya loop usus yang distensi dengan
adanya udara dalam rectum.
2) Barium enema
Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum
memasukkan kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada
daerah zona transisi.
Kateter diletakkan didalam anus, tanpa mengembangkan balon, untuk
menghindari kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya peforasi. foto
segera diambil setelah injeksi kontras, dan diambil lagi 24 jam kemudian.
Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang
mengalami dilatasi merupakan gambaran klasik penyakit Hirschsprung. Akan
tetapi temuan radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpetasi dan sering kali
gagal memperlihatkan zona transisi.
Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung
adalah adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema
dilakukan.
c. Biopsi
Biopsi rektum untuk melihat ganglion pleksus submukosa meisner, apakah
terdapat ganglion atau tidak. Pada penyakit hirschprung ganglion ini tidak
ditemukan.
6. Penatalaksanaan Medis
a) Pembedahan
b) Konservatif
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak
dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya
meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema.
Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta
situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total.
7. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1) Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan
kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan
bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan
kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan
sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).
2) Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang
sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam
setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah
muntah dan diare.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi
total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi
mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala
ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan,
enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau
busuk dapat terjadi
c. Riwayat kesehatan dahulu
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Hirschsprung
d. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya
3) Pemeriksaan fisik
b. Auskultasi: Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut
dengan hilangnya bisng usus.
B. Diagnosa keperawatan
1. Risiko konstipasi b.d penyempitan kolon, sekunder, obstruksi mekanik
2. Risiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh b.d keluar cairan tubuh dari
muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh intestinal
3. Risiko injuri b.d pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding intestinal
sekunder dari kondisi obtruksi usus
C. Intervensi keperawatan
B. Atresia Ani
1. Pengertian
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate
meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002)
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk
anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001
RSCM)
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau
saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau
makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya
atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut
juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya
berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan
sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.
Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani
yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus
imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi
untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1. Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus yang menetap
3. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-
macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung
2. Etiologi
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus,
rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat
sampai keenam usia kehamilan.
3. Manifestasi Klinik
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
4) Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
5) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6) Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
7) Perut kembung.
(Betz. Ed 7. 2002)
4. Pathofisiologi
5. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum
dilakukan pada gangguan ini.
b) Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel
mekonium.
c) Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan
adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang
mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
d) Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
e) Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut
sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah
masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
f) Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah
tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan
gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada
bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid,
kolon/rectum.
c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah
dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah
antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.
6. Penatalaksanaan Medis
a. Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan
kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk
kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu
dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada
bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan
untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan
dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik
kantong rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus
tutup kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang
minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel
b. Pengobatan
1) Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
2) Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan
dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen)
7. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1) Biodata klien
2) Riwayat keperawatan
a. Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang
b. Riwayat kesehatan masa lalu
3) Riwayat psikologis
Koping keluarga dalam menghadapi masalah
4) Riwayat tumbuh kembang
a. BB lahir abnormal
b.Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang
pernah mengalami trauma saat sakit
c. Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal
d. Sakit kehamilan tidak keluar mekonium
5) Riwayat sosial
Hubungan sosial
6) Pemeriksaan fisik
B. Diagnosa Keperawatan
Dx Pre Operasi
1) Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake,
muntah.
3) Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
dan prosedur perawatan.
Dx Post Operasi
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
2) Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
C. Rencana Keperawatan
1. Diagnosa Pre Operasi
Dx. 1 Konstipasi berhubungan dengan aganglion
Tujuan : Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
Kriteria Hasil :
Penurunan distensi abdomen.
Meningkatnya kenyamanan.
Intervensi :
a. Lakukan enema atau irigasi rectal sesuai order
R/ Evaluasi bowel meningkatkan kenyaman pada anak.
b. Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam
R/ Meyakinkan berfungsinya usus
c. Ukur lingkar abdomen
R/ Pengukuran lingkar abdomen membantu mendeteksi terjadinya distensi
Dx. 2 Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake,
muntah
Tujuan : Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan
Kriteria Hasil :
Output urin 1-2 ml/kg/jam
Capillary refill 3-5 detik
Turgor kulit baik
Membrane mukosa lembab
Intervensi :
a. Monitor intake – output cairan
R/ Dapat mengidentifikasi status cairan klien
b. Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV
R/ Mencegah dehidrasi
c. Pantau TTV
R/ Mengetahui kehilangan cairan melalui suhu tubuh yang tinggi
Dx 3 Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
dan prosedur perawatan.
Tujuan : Kecemasan orang tua dapat berkurang
Kriteria Hasil :
Klien tidak lemas
Intervensi :
a. Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi dan
fisiologi saluran pencernaan normal. Gunakan alay, media dan gambar
R/ Agar orang tua mengerti kondisi klien
b. Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua
R/ Pengetahuan tersebut diharapkan dapat membantu menurunkan kecemasan
c. Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi
R/ Membantu mengurangi kecemasan klien
2. Diagnosa Post Operasi
Dx 1 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
Tujuan : Klien tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
Intervensi :
a. Gunakan kantong kolostomi yang baik
b. Kosongkan kantong ortomi setelah terisi ¼ atau 1/3 kantong
c. Lakukan perawatan luka sesuai order dokter
Dx 2 Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
Tujuan : Orang tua dapat meningkatkan pengetahuannya tentang perawatan di
rumah.
Intervensi :
a. Ajarkan pada orang tua tentang pentingnya pemberian makan tinggi kalori
tinggi protein.
b. Ajarkan orang tua tentang perawatan kolostomi.
D. Evaluasi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli
menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya
kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30%
kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier
adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau
iskemi
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali
memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus. Sebuah fakta penting adalah
bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier
pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita
penyakit tersebut. Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa
yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang
"memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
infeksi virus atau bakteri
masalah dengan sistem kekebalan tubuh
komponen yang abnormal empedu
kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
hepatocelluler dysfunction
3. Manifestasi Klinik
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala penyakit
ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala termasuk:
Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi
(pigmen empedu) dalam aliran darah.
Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru
lahir. Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan.
Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus
berkembang pada dua atau tiga minggu setelah lahir
Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari
hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang
dalam urin.
Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang
masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak
akibat pembesaran hati.
Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan
hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut
dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam
air serta gagal tumbuh
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
Gatal-gatal
Rewel
splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal /
Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah
dari lambung, usus dan limpa ke hati).
4. Pathofisiologi
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan
hambatan aliran empedu, dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau
keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat
total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab
tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah : sumbatan batu empedu pada ujung
bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri,
striktura pasca peradangan atau operasi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran
normal empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan
dan menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan,
edema, degenerasi hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati.
Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang
menekan vena portal sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan
gagal hati.
Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa
gatal. Bilirubin yang tertahan dalam hati juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah,
yang dapat mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning. Degerasi
secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly. Karena
tidak ada aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak
dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal
tumbuh.Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat
diserap oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan
lemak didalam tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi
berlebihan vitamin yang larut dalam lemak dapat membuat anda keracunan sehingga
menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung
5. Pemeriksaan Penunjang
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis
besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
a) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi
hati (darah,urin, tinja)
b) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati
c) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis
atresia bilier.
1) Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan rutin Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan
kadar komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia
fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati,
dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuaidengan obstruksi
total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT
< 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya,
peningkatan SGOT < 5kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih
mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum
total atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9%
dalam menentukan atresia bilier.
Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan
adanya bendungan saluran empedu total.
Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja /
stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time,
partial thromboplastin time.
b. Pemeriksaan khusus Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya
diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan
ini tidak lebih baik dari pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan
bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar asam
empedu di dalam empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam
cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.
2) Pencitraan
a. Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat ditingkatkan
bilapemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan
sesudah minum.Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi,
maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal
duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas
hati, sangat mendukung diagnosisatresia bilier. Namun demikian, adanya kandung
empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I
/ distal.
b. Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan,
kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis
selama 5 hari. Pada kolestasisintrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit
berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia
bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya keusus lambat atau tidak
terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang beratjuga tidak
akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas
danspesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik
(penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat
menyingkirkan kemungkinanatresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3
merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.Teknik sintigrafi dapat digabung
dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi
mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang terbaik
adalahmenggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c. Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary Iminodeacetic
Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga
dapat menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d. Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography).
Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia
bilier dengan kolestasisintrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan,
dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam.
Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas
untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
3) Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat
diandalkan. Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi
diagnostiknya mencapai 95%,sehingga dapat membantu pengambilan keputusan
untuk melakukan laparatomi eksplorasi, danbahkan berperan untuk penentuan
operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai di 6 tukan oleh
diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus100 200
u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan
agar dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan
apakah portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang
mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi
pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus
disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong
diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena
itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu
6. Penatalaksanaan Medis
a) Terapi medikamentosa
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asamlitokolat), dengan memberikan :
Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
Fenobarbital akan merangsang enzimglukuronil transferase (untuk mengubah
bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk
oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi
aliranempedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu. Kolestiraminmemotong siklus enterohepatik asam empedu
sekunder
b) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam ursodeoksikolat, 310
mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolatmempunyai daya ikat
kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
c) Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin, yaitu :
Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme. Disamping itu,
metabolisme yang dipercepat akan secara efisien segera dikonversi menjadi
energy untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan
sebagai lemak dalam tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti
lemak mentega, minyak kelapa, dan lainnya.
Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin A, D,
E, K
d) Terapi bedah
Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan
empedu keusus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10%
penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati
dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Biasanya
pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu
dilakukan pencangkokan hati.
Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier
dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa
tahun terakhir. Karena hati adalah organ satu-satunya yang bisa bergenerasi secara
alami tanpa perlu obat dan fungsinya akan kembali normal dalam waktu 2 bulan.
Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa
bahkan telah mempunyai anak. Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga
meningkatkan kemungkianan untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak
dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari anak kecil yang dapat
digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok. Baru-baru ini, telah
dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang dewasa, yang
disebut"reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk transplantasi pada
anak dengan atresia bilier.
7. Asuhan Keperawatan
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Maryanti, Dwi. 2011. Buku ajar Neonatus dan balita. Jakarta : CV. Trans Infomedia
Muslihatun, Wati Nur. 2010. Asuhan Neonatus Bayi Dan Balita. Yogyakarta : Fitramaya
Saputra, Dr. Lyndon. 2014. Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita. Tangerang : Binarupa
Aksara
Sofian, Dr. Amru. 2011. Sinopsis Obstetri. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta : EGC
Willian & Wilkins. 2011. Kapita Selekta Penyakit. Edisi 2. Jakarata : EGC