Anda di halaman 1dari 6

DAVID HERMAWAN TEDJA/ 13710748/Kelompok 1/ PKM Medaeng

HIV/AIDS Tanpa Komplikasi

Definisi

AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau
penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human immunodeficiency virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV.

Patofisiologi

 Patogenesis penyakit HIV secara imunologis.


Infeksi monosit dan makrofag sangat penting dalam patogenesis HIV. Makrofag adalah
“penjaga-gerbang” infeksi HIV. Selain memberikan jalan masuk untuk penularan awal,
monosit dan makrofag merupakan reservoir dan “pabrik” virus, yang hasil keluarannya
tetap sangat terlindungi dari pertahanan pejamu. Makrofag juga menyediakan suatu
kendaraan untuk pengangkutan HIV menuju berbagai tempat di tubuh, khususnya sistem
saraf.3
Keadaan imunosupresi berat, yang terutama menyerang imunitas seluler, merupakan
penanda AIDS. Hal ini terutama disebabkan oleh infeksi dan hilangnya sel T CD4+ serta
gangguan pada fungsi kelangsungan hidup sel T- helper. Makrofag dan sel dendrite juga
merupakan sasaran infeksi HIV. Molekul CD4+ merupakan suatu reseptor untuk HIV yang
berafinitas tinggi. Hal ini menjelaskan mengenai tropisme (kecondongan) selektif virus
terhadap sel T terutama makrofag dan sel dendrite. Namun, dengan berikatan pada CD4
tidak cukup untuk menimbulkan infeksi, selubung gp120 HIV juga harus berikatan pada
molekul permukaan sel lainnya untuk memudahkan masuknya sel. Peranan ini dimainkan
oleh dua molekul reseptor kemokin permukaan sel, CCR5 dan CXCR4. Selubung gp120
HIV (menempel secara nonkovalen pada transmembran gp41) mula- mula berikatan pada
molekul CD4. Ikatan ini menyebabkan perubahan konformasional yang membuka suatu
lokasi pengenalan baru pada gp120 untuk koreseptor CXCR4 (sebagian pada sel T) atau
CCR5 (sebagian besar pada makrofag). Kemudian gp41 akan mengalami perubahan
konformasional yang memungkinkan masuknya rangkaian peptide gp41 ke dalam membran
target sehingga memudahkan fusi sel- virus. Setelah terjadi fusi, inti virus yang
mengandung genom HIV memasuki sitoplasma sel. Koreseptor merupakan komponen
penting pada proses infeksi HIV. Oleh karena itu, kemokin dapat bersaing dengan virus
untuk berikatan dengan reseptornya, dan kadar kemokin dalam lingkungan mikro yang
mengelilingi HIV dan sel targetnya dapat memengaruhi efisiensi infeksi virus in vivo.3

Gejala Klinis

Perjalanan klinis infeksi HIV tebagi atas 3 tahap, yaitu:

1. Fase Akut
Fase akut menggambarkan respon awal seorang dewasa yang imunokompeten terhadap
infeksi HIV. Secara klinis, secara khas penyakit pada fase ini sembuh sendiri 3-6 minggu
setelah infeksi. 3
2. Fase Kronis
Fase kronis menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Para pasien tidak
menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang
mengalami infeksi oportunistik, seperti sariawan (Candidiasis) atau herpes zoster.
Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan gejala konstitusional yang
bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan onset adanya dekompensasi sistem
imun, peningkatan replikasi virus, dan onset fase krisis. 3
3. Fase Krisis
Fase ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat merugikan,
peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Pasien khasnya akan mengalami
demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare. Jumlah CD4+
menurun dibawah 500 sel/µL. 3
Setelah interval yang berubah- ubah, pasien mengalami infeksi oportunistik yang
serius, neoplasma sekunder, dan/ atau manifestasi neurologis , dan pasien yang
bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya. 3

Menurut penurunan CD4+, CDC ( Centers for Disease Control ) mengklasifikasikan gejala
pasien berdasarkan jumlah sel CD4+, yaitu:3

1. CD4+ lebih dari 500 sel/µL: asimptomatis


2. CD4+ 200- 500 sel/µL: gejala awal penuruna CD4+
3. CD4+ dibawah 200 sel/µL: disertai imunosupresi yang berat

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda vital, BB, tanda-tanda yang mengarah kepada infeksi
oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang terdapat pada tabel di bawah ini.
 Stadium 1
 Tidak ada gejala
 Limfadenopati Generalisata Persisten

 Stadium 2
 Penurunan berat badan bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya (<10%
dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
 Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis
media,faringitis)
 Herpes zoster

 Stadium 3
 Penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari 10% dari
perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
 Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
 Demam menetap yang tak diketahui penyebab
 Kandidiasis pada mulut yang menetap

 Stadium 4
 Sindrom wasting HIV
 Pneumonia Pneumocystis jiroveci
 Pneumonia bakteri berat yang berulang
 Infeksi Herpes simplex kronis (orolabial, genital, atau anorektal selama lebih dari 1
bulan atau viseral di bagian manapun)
 Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru)
 Tuberkulosis ekstra paru
 Sarkoma Kaposi

Pemeriksaan Penunjang

Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang
berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 (untuk penegakan Diagnosis,
menggunakan 3 macam tes dengan titik tangkap yang berbeda) dan selalu didahului dengan
konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes
cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan
sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3)
menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi
dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila
tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu
dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.

Terapi

Non-Medikamentosa

o KIE

Layanan terkait HIV meliputi:


1. Upaya dalam menemukan pasien HIV secara dini dengan melakukan tes dan konseling HIV
pada pasien yang datang ke layanan primer.
2. Perawatan kronis bagi ODHA dan dukungan lain dengan sistem rujukan ke berbagai
fasilitas layanan lain yang dibutuhkan ODHA. Layanan perlu dilakukan secara terintegrasi,
paripurna, dan berkesinambungan. Infeksi HIV merupakan infeksi kronis dengan berbagai
macam infeksi oportunistik yang memiliki dampak sosial terkait stigma dan diskriminasi serta
melibatkan berbagai unsur dengan pendekatan tim.

o Rencana Program Promosi Kesehatan

Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan dibeberapa Negara dan amat
dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk dilaksanakan secara sekaligus, yaitu:

1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda


2. Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai kelompok sasaran
3. Program kerja sama dengan media cetak dan elektronik
4. Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk program pengadaan
jarum suntik steril
5. Program pendidikan agama
6. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS)
7. Program promosi kondom dilokalisasi pelacuran dan panti pijat
8. Pelatihan keterampilan hidup
9. Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling
10. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak
11. Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan dan dukungan
untuk ODHA
12. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV.

o Medikamentosa
Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat anti retroviral (ARV). Kombinasi
yang diberikan adalah kombinasi penghambat reverse transcriptase dan penghambat protease.

Pengobatan antiretroviral yang bisa diberikan, seperti: 1,2,3


1. Zidovudin (AZT)
Dosis: 500-600 mg sehari per os
2. Lamivudin (3TC)
Dosis: 150 mg dua kali
3. Neviropin
Dosis: 200 mg sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg sehari dua kali.

Berdasarkan guidelines WHO, regimen terapi antiretrovirus, lini pertama untuk


dewasa adalah zidovudine, lamivudine, dan efavirenz. Substitusi satu obat bisa dilakukan.
Stavudine dapat menggantikan zidovudine, dan nevirapine dapat mengganti efavirenz.
Lini pertama bagi anak- anak dibawah 3 tahun adalah mengganti efavirenz dengan
nevirapine.

Pengobatan antiretroviral tidak boleh monoterapi. Hal ini dikarenakan oleh


virus HIV yang sangat mudah resisten. Jika dua atau lebih obat digunakan bersama- sama,
virus hanya bisa berkembang sangat lambat dan butuh waktu lama untuk menjadi resisten.
Oleh karena itu, minimal digunakan kombinasi dua obat dan lebih bagus jika
menggunakan kombinasi tiga obat yang berbeda.

Komplikasi

Infeksi oprtunistik sesuai stadium yang dapat menyebabkan kematian. (etc: Tuberkulosis
ekstra paru, Sarkoma Kaposi, Penyakit cytomegalovirus (retinitisatau infeksi organ lain, tidak
termasuk hati, limpa dan kelenjargetah bening), Toksoplasmosis di sistim saraf pusat,
Ensefalopati HIV)

Prognosis

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun
pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampIr semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian
meninggal.

Dr. David Hermawan T


SIP 13710827
Jalan. Darmo Sentosa Raya H-14
Telp 081703056730

8 Maret 2016

R/ Zidovudin (AZT) 500 mg No.XXX


S 1 dd 1
Lamivudin (3TC) 150 mg No.LX
S 2 dd 1
Neviropin 200 mg No.L
Dosis: 200 mg sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg sehari dua kali.

Pro : Bpk.Tono
Umur : 35 th
Alamat : Jalan. Darmo Permai Timur No 11 Surabaya

Anda mungkin juga menyukai